Alexander Harper Point of View
18 Februari 2019.
Bandara Internasional J. F. Kennedy.
Aku mendongak menatap langit pagi ini tampak begitu cerah. Dihiasi semburat awan tebal, burung-burung berterbangan di udara, dan juga semilir angin membuatku merasa tenang selama beberapa saat.
Inilah yang memang kubutuhkan. Ketenangan. Namun sangat mustahil untuk mendapatkan ketenangan saat mengingat profesiku sebagai bintang pop. Tentu jadwal padat sudah menjadi konsumsi sehari-hari. Bahkan kalau aku berhasil mendapatkan waktu senggang, aku sudah merasa seperti mendapatkan hadiah yang sangat luar biasa melebihi hadiah pada saat musim Natal atau hadiah ulang tahun.
Seperti sekarang. Aku bersama seluruh tim baru saja mendarat setelah tur dunia keduaku yang berakhir di Singapore. Perjalanan dari Asia Tenggara menuju Amerika cukup memakan waktu hampir seharian penuh membuatku cukup lelah selama di perjalanan.
Tidak berhenti disana. Malam ini aku masih harus menghadiri Met Gala dan tentu sejak siang aku sudah disibukkan untuk fitting outfit, hairstyle, dan masih banyak persiapan lainnya. Belum termasuk ada beberapa foto di karpet merah dan beberapa interview singkat bersama beberapa majalah mengenai tema pakaian yang dirancang khusus oleh perancang busana untukku.
"Sebentar lagi selesai." sahut Benedict tiba-tiba sambil berjalan menghampiri.
Aku yang sejak tadi sedang bersandar pada pintu depan Rover menoleh menatap Benedict. Sesaat aku mengalihkan pandanganku pada supir dan juga flight attendant yang membantu mengurus bagasi kami semua kedalam mobil. "Kapan? Jelas sekali masih ada banyak barang yang bertumpuk di dekat tangga pesawat."
"Kau tunggu saja di dalam. Istirahat selama beberapa menit."
Aku menggeleng. "Kau tahu aku tidak bisa tidur di dalam mobil, Ben. Badan ku akan terasa remuk." balasku apa adanya. Aku memang bukanlah orang yang bisa dengan nyamannya tidur di mobil ataupun tempat lain selain ranjang.
"Setidaknya duduklah didalam agar tidak kepanasan." Ben masih berusaha menyuruh ku untuk masuk kedalam mobil. "Sarah juga sebentar lagi kembali dari kedai kopi di dalam."
Aku menegakkan tubuhku sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana jins. "Aku sudah tidak berselera untuk minum kopi."
Terlihat dari dengusan yang keluar dari bibirya. Aku yakin Benedict sudah tahu jika aku akan mengatakan kalimat itu. Benedict sudah bekerja selama kurang lebih lima tahun sejak pertama kali aku mulai berkarier di industri musik pada umur dua puluh tahun. Dia benar-benar mengenalku dengan baik bahkan tidak ada orang yang mengenalku sebaik dirinya. Aku juga yakin ia lebih mengenalku di banding orang tuaku. "Apa yang kau inginkan?"
Aku terkekeh pelan sambil menepuk bahunya. Kemudian mengusapkan tanganku seolah membersihkan bagian bahu jaketnya. "Hubungi supir di rumah untuk mengantarkan mobilku kemari."
"Mobilmu?" tanya Benedict mengkonfirmasi. Ia dengan cepat menggelengkan kepala sebelum aku sempat menjawab pertanyaannya itu. "Tidak akan. Jangan harap." tolaknya langsung.
"Kumohon. Hanya sebentar. Aku tidak akan kemana-mana." kataku setengah merengek seperti anak kecil memohon untuk dibelikan sebuah permen di supermarket.
"Aku tidak percaya padamu." Benedict menghempaskan tanganku yang bergelayut di lengan kanannya. "Kau selalu kabur dari semua jadwal yang sudah ku susun dengan rapi saat meminta berkendara sendiri."
"Aku hanya mampir ke toko buku untuk membeli beberapa buku. Kemudian mengambil beberapa barang di mansion sebelum kembali ke base camp." jelasku dengan cepat.
Benedict mendengus lagi. Kali ini dengusannya bukanlah dengusan geli namun lebih mengarah pada dengusan kesal. "Kau tadi bilang tidak akan pergi kemana-mana." sindirnya.
"Ayolah, Ben. Kau tahu aku tidak pernah mengingkari janji." Aku masih berusaha memohon. "Selama ini aku juga tidak benar-benar kabur. Hanya terlambat datang di beberapa acara. Lagi pula saat itu aku tidak meminta izin padamu. Aku langsung menghubungi supir secara pribadi. Tapi kali ini? Aku mengatakannya padamu secara langsung."
Kalau orang lain mungkin akan langsung berlari menghindar mengingat betapa seram ekspresi yang diberikan Benedict. Apalagi tatapan sinis yang diberikan padaku saat ini benar-benar terasa menusuk menembus seluruh kulit. Namun semua itu pengecualian untukku. Aku sama sekali tidak terpengaruh.
"Sebentar saja. Dua jam. Aku berjanji akan pulang sebelum jam makan siang." tambahku sambil mengangkat dua jari dan tersenyum lebar.
Benedict mendorong bahuku dengan jari telunjuk. "Oh aku heran mengapa aku bisa bertahan menjadi asisten, manajer, bahkan sahabatmu sekaligus." gerutunya sebelum mengibaskan sebelah tangan.
"Jadi?" tanyaku sambil mengusap kedua telapak tangan. "Apakah aku boleh pergi?"
Benedict tidak mengeluarkan sepatah kata-pun. Ia segera mengeluarkan ponsel dari dalam saku jaket kulit yang dikenakannya. Kemudian ia tampak mencari sebuah nomor yang ada di dalam kontak sebelum menekan tombol hijau. Saat layar ponsel itu sudah menunjukkan layar sedang memanggil nomor yang di tuju. Ia melirikku dengan tidak kalah tajam dengan sebelumnya. "Kau sudah puas? Kau menang kali ini."
Aku memberikan senyum penuh kemenangan. "Kau memang yang terbaik!" kataku setengah berseru membuat Benedict memutar mata. "Kalau begitu aku akan menunggu kopi dan mobilku di dalam Van." tambahku sebelum berpaling.
...
Wyatt Books and Music sepertinya menjadi pilihan yang sangat tepat untuk membeli beberapa buku yang kuperlukan. Bukan hanya karena toko buku dan alat musik mereka adalah yang terbesar dan terlengkap di New York. Namun lebih mengarah pada privasi yang memang sangat kubutuhkan untuk saat ini. Mereka memiliki beberapa ruang privasi untuk orang-orang sepertiku atau siapapun yang tidak ingin terganggu. Sistimnya kurang lebih hampir sama dengan restoran. Jadi para pelanggan hanya perlu duduk manis sembari menikmati champagne yang disediakan dan menunggu para karyawan disana untuk mencarikan buku yang diinginkan.
"Aku ingin membeli lima buku partitur." kataku sambil menutup sebuah majalah yang ada dalam genggamanku saat seorang karyawan wanita melangkah mendekat. Di tangan wanita itu terdapat segelas champagne yang kemudian di letakkan di atas meja di sisi sofa yang sedang ku duduki.
"A-apa hanya itu saja? Mungkin ada buku lain yang diinginkan?" tanya wanita itu dengan tergagap di awal kalimat. Sesekali bisa ku lihat wanita itu melirik kearahku diam-diam.
Aku menggeleng kecil sebelum meletakkan majalah ke atas meja. "Tidak ada. Itu saja." jawabku. Kemudian aku mengambil champagne dan membuat gerakan memutar di udara.
"Baiklah. Kalau begitu mohon ditunggu." wanita itu memasukkan pesanan yang kuinginkan di dalam sebuah tablet yang terkoneksi ke seluruh sistem yang ada di toko buku. Ia mendunduk sekali sebelum melangkah mundur dan mengatakan. "Saya permisi..."
Saat itu aku hanya menikmati minuman yang disediakan sembari memainkan ponsel untuk mengecek social media. Terutama notifikasi aplikasi i********: yang masih ramai dari para penggemar. Mereka memberikan pujian atas Worldwide Tour ke-2 ku yang menakjubkan membuatku mengulas senyum. Terkadang membaca pesan-pesan mereka menjadi salah satu mood booster yang paling mudah untuk ku dapatkan. Bahkan lucunya, ada seorang gadis masih menginjak bangku sekolah dasar meninggalkan komentar di salah satu foto yang ku unggah kemarin pagi. "Dear Alex. Aku harap saat aku besar nanti aku bisa menikahimu." gumamku.
Aku terkekeh sambil menggeleng tidak percaya. Terlebih melihat emoticon hati berwarna merah muda sebanyak lima baris yang ditinggalkan. "Oh Alex! Bahkan dari anak kecil hingga nenek-nenek menyukaimu." kataku dengan percaya diri entah pada siapa sebelum mengunci layar dan memasukkan ponsel kedalam saku celana.
Berselang beberapa menit. Karyawan wanita tadi kembali masuk ke dalam ruangan. Ia sudah membungkus buku yang ku beli ke sebuah paper bag berlogo toko buku ini dengan bill sticker sudah menempel di sisi kantungan itu. "Permisi. Ini untuk pesanannya."
Aku bangkit berdiri dan menerima kantungan. Kemudian aku mengeluarkan sebuah kartu kredit berwarna hitam dari dalam dompet dan memberikan kartu itu. "Ini..."
Wanita itu tidak membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan semua pembayaran dan mengembalikan kartu milikku beserta print out dari mesin EDC. Aku tersenyum ramah kearahnya. "Terima kasih atas bantuanmu." kataku.
Kumasukkan kartu milikku kembali ke dalam dompet. Aku hendak mengambil selembar lima puluh dollar untuk kuberikan sebagai tip. Namun wanita itu dengan cepat menyergah, "Oh kau tidak perlu memberiku tip."
Otak pintarku saat itu langsung memahami apa yang diinginkan wanita itu. Aku memasukkan dompet ke dalam celana sambil terkekeh geli. "Apa kau mau mengambil foto bersama dan tanda tanganku?"
Wanita itu mengangguk antusias. Ia dengan cepat mengeluarkan ponselnya dari dalam saku rompi seragam yang dikenakannya. Kemudian menyodorkan ponsel itu bersama sebuah spidol hitam permanen yang tampaknya sudah ia persiapkan sejak tadi. "Aku benar-benar menyukaimu." katanya berterus terang.
"Apa yang kau sukai? Apa karena suaraku atau..." aku sengaja menggantung kalimat untuk sekedar menggoda wanita itu.
Wanita itu tersipu malu sambil mengusap tengkuk. "Mungkin karena kau tampan" jawabnya mencicit.
Aku menahan senyum mendengar itu. Sambil menggeleng kecil aku mulai menuliskan nama dan tanda tanganku diatas pelindung ponsel yang terbuat dari plastik berwarna biru laut milik wanita itu sebelum kami mengambil foto bersama beberapa kali. Dan, sebelum benar-benar aku berlalu dari dalam ruangan, aku mengedipkan sebelah mata.
...
Aku baru melangkah keluar dari dalam lift ketika melihat pintu masuk utama toko buku tiba-tiba ramai dipenuhi banyak sekali orang terutama kaum hawa. Mereka terlihat berusaha menerobos para petugas keamanan yang membuat barikade untuk memblokir jalur masuk sambil meneriaki namaku.
Saat itu aku mulai panik. Aku bertanya-tanya mengapa para penggemarku bisa tahu aku berada di sini? Apa mungkin karena karyawan wanita tadi? Rasanya tidak mungkin dalam waktu kurang dari sepuluh menit aku berjalan dari ruang VIP menuju lobi, para penggemarku sudah berkumpul setelah melihat foto tadi. Apa mungkin mereka mengikutiku dari bandara? "Ya. Sepertinya dari bandara." gumamku.
"Itu Alex! Alex!"
Teriakan itu membuatku mengalihkan pandangan ke arah pintu. Aku melebarkan mata, "Sialan! Mereka melihatku." tepat setelah itu, mendadak semua penggemarku berhasil melewati petugas keamanan hingga masuk kedalam lobi. Tanp pikir panjang aku segera berlari pergi meninggalkan lobi untuk menghindar melalui pintu tangga darurat yang ada di ujung koridor sebelum semua menjadi kacau.
Aku sudah pernah mengalami masalah seperti ini sebelumnya. Tentu aku tidak ingin terjadi lagi. Saat itu aku berada di sebuah pusat perbelanjaan di Chicago untuk mengisi sebuah acara amal. Seperti biasa aku pergi bersama Benedict dan beberapa pengawal. Semua bermula dari beberapa orang mengikuti kami karena ingin meminta foto bersama atau tanda tangan. Namun lama kelamaan, dalam beberapa menit aku sudah dikerumuni lautan manusia hingga kami semua kesulitan mencari jalan keluar. Parahnya lagi, karena para penggemarku yang terlalu antusias, mereka tanpa sadar saling mendorong hingga beberapa pengawal terluka. Bahkan pakaian dari perancang busana ternama yang kukenakan untuk tampil robek di beberapa tempat. Belum lagi dengan bagian leher atau lengan atas sepanjang bahu terluka akibat goresan kuku. Jadi apakah bisa dibayangkan jika aku sendiri? Tidak ada Benedict dan pengawal yang melindungiku. Jawabannya sudah bisa dpastikan sangat kacau. Parahnya mungkin aku bisa saja berakhir di rumah sakit.
"Alex!" teriakan itu terdengar semakin mendekat. Aku berhenti sejenak untuk melihat kebawah dan mengukur berapa lama waktu yang kupunya sebelum aku tertangkap oleh mereka.
"Sialan! Kenapa mereka bisa menyusulku?!" seruku setengah memaki. Mereka tampak baru memasuki pintu darurat sementara aku sudah berada di lantai pertama. Aku hendak memilih menuju kembali ke lantai empat dimana ruang VIP berada untuk bersembunyi disana. Namun itu tidak memungkinkan mengingat aku tidak memiliki banyak waktu. Aku harus mengambil barang di mansion, lalu kembali sebelum jam makan siang atau aku akan di habisi Benedict. "Aku benci di saat aku tidak punya pilihan."
Di lantai pertama itu. Orang-orang yang ada disana terkejut. Mereka menatapku bingung bahkan ada yang menatapku aneh ketika aku keluar dengan cepat hingga pintu darurat menabrak dinding hingga menimbulkan suara yang cukup keras. Terlepas dari itu semua, aku termasuk beruntung karena tidak banyak yang menyadari siapa diriku. Jadi detik berikutnya mereka kembali menyibukkan diri masing-masing seolah tidak melihat kejadian yang baru saja terjadi mesikpun beberapa orang mulai menyadari.
Aku dengan cepat berjalan melewati rak-rak buku sambil mengatakan pada setiap orang yang kulewati, "Selamat membaca" kataku dengan bodoh. Namun tidak ada kata yang bisa kupikirkan selain dua kata itu karena otakku dipenuhi dengan cara untuk kabur. Dan kurasa inilah waktu yang tepat untuk berdoa meskipun aku bukanlah orang yang beriman kuat agar aku mendapatkan jalan keluar.
Baru saja aku hendak memanjatkan doa. Beberapa remaja berhasil menyusulku di lantai pertama ini. Tampaknya mereka berpencar ke setiap lantai sehingga membuatku menyesali pilihanku sebelumnya yaitu kembali ke lantai empat. Tentu saja disana mereka tidak mungkin menemukanku karena mereka pasti tidak akan bisa masuk tanpa kartu pelanggan VIP.
"Alex!",
Aku mendengar teriakan seseorang memanggil namaku. Sontak aku langsung berlari menuju koridor yang mengarah ke lift. Aku segera masuk ke salah satu dari dua pintu yang saling berhadapan dan mengunci diri di dalam.
Masih dengan napas tersenggal, aku memejamkan mataku dan menyandarkan diri pada pintu untuk beristirahat. Aku merosot perlahan untuk duduk dilantai sebelum aku mendengar suara seseorang, "Apa yang kau lakukan disini?"
...