Jace Graves Point of View
Aku turun dari Mercedes E300 Coupe-ku sambil melepaskan kacamata hitam yang kukenakan. Aku sebatas menaikkan kaca mata itu di atas kepala sebelum menyampirkan tas tenteng di bahu dan melangkah masuk kedalam toko buku. Sementara salah seorang petugas valet memindahkan mobil ke lahan parkir di basement.
Hari ini aku berencana untuk pulang ke kediaman keluargaku. Sebenarnya tidak bisa dikatakan itu bukanlah kemauanku. Lebih tepatnya aku dipaksa oleh adik perempuanku untuk pulang karena terhitung hampir dua bulan aku tidak pernah muncul. Untuk itu, tujuanku pergi ke toko buku adalah membeli buku sebanyak-banyaknya agar dapat kugunakan untuk menghabiskan waktu saat bersantai. Selain itu, aku juga kebetulan memiliki beberapa urusan dengan pemilik toko buku ini. Namun rupanya pertemuan itu harus dibatalkan beberapa menit yang lalu karena pemiliknya memiliki urusan cukup mendesak.
"Selamat pagi. Selamat datang di toko buku Wyatt Books and Music, Miss Graves." sapa seorang karyawan laki-laki ketika aku baru saja masuk kedalam ruang VIP yang sudah disediakan. Laki-laki itu tampak masih muda, mungkin sekitar seumuran dengan adik perempuanku. "Apa ada yang bisa saya bantu Miss?" tawar laki-laki di akhir.
Aku menggeleng kecil. "Tidak perlu. Aku akan mencari sendiri. Terima kasih." jawabku. Aku mengangkat sudut bibirku dan langsung mengambil posisi duduk di sofa. Kusilangkan kedua kakiku sambil meletakkan tas tentengku di atas pangkuan. "Oh kau juga tidak perlu membawakanku champagne." tambahku.
Laki-laki itu kemudian memberiku sebuah tablet untuk mencari dan memesan buku yang ingin ku beli. Tanpa memperdulikan laki-laki itu berpamitan untuk meninggalkan ruangan. Aku mulai menyibukkan diri menggeser-geser halaman utama webite toko buku sebelum menuju kolom pencarian.
Kurang lebih sekitar satu jam, aku sudah menemukan beberpa buku yang kurasa cukup untuk k*****a selama satu bulan. Tidak butuh waktu lama, sekitar sepuluh menit laki-laki itu kembali dengan membawa buku-buku yang sudah di bungkus ke dalam paper bag. Aku segera membereskan semua pembayaran mengingat ponselku mulai bergetar. Aku sudah bisa menebak siapa orang tidak sabaran yang sejak tadi menghubungiku. Jadi aku tidak berniat mengangkat panggilan itu dan berlalu. Namun saat aku sudah berada di lantai dasar hendak menuju pintu keluar. Aku menghentikan langkah, mengerutkan kening melihat beberapa petugas keamanan berusaha untuk bangkit berdiri seolah mereka baru saja terjatuh karena ada yang mendorong.
Aku hendak kembali melanjutkan langkah saat tiba-tiba seorang anak kecil berusia kurang lebih lima tahunan menabrakku hingga es krim dalam genggaman tangannya mengotori terusan berwarna biru donker yang kukenakan. Seketika aku menahan napas selama beberapa detik sambil menunduk meratapi terusan biru donkerku sebelum mengalihkan pandangan pada anak itu. "Anak kecil... Hai. Aku ingin bertanya, dimana orang tuamu?"
"Apakah aku dalam masalah?" dari suara anak itu. Jelas ia sedang ketakutan. Terutama manik mata biru anak itu menatapku dan es krim miliknya bergantian sebelum menggigit bibir bagian bawah.
Aku bertanya dimana orang tua anak itu bukan karena ingin mencerca mereka. Aku hanya ingin anak itu segera kembali kepada orang tuanya agar kejadian seperti ini terjadi pada orang lain. Aku menggelengkan kepala pelan. "Tidak. Kau tenang saja. Kau tidak sedang berada dalam masalah." jawabku. Meskipun aku tidak menyukai anak-anak. Aku masih bisa mengontrol diri dengan baik agar tidak berubah menjadi malaikat pencabut nyawa.
"Benarkah?" tanyanya. Kali ini anak itu menatapku penuh binar bahagia.
Aku membungkukkan tubuh agar tinggiku sejajar dengan anak itu. Aku berdehem pelan sebelum menambahkan. "Hmmm benar. Hanya saja...." aku menggantung kalimatku. "Lain kali jangan berlarian di tempat yang ramai. Apalagi sambil membawa es krim. Apakah kau tidak sedih melihat es krim mu jadi tidak bisa dimakan?" tanyaku sambil melirik es krim yang masih di genggam anak itu. Bagian bawah roti kering es krim itu sudah remuk sementara bagian atasnya sebagian menempel di terusanku dan sisanya semakin meleleh.
"Bagaimana dengan pakaianmu?" anak kecil itu balik bertanya. "Maafkan aku membuatmu sedih." tambahnya dengan suara mencicit di akhir.
"Aku tidak sedih karena pakaian masih bisa dicuci. Meskipun rusak, aku memiliki banyak di rumah. Sementara es krim mu." Aku meneggakkan tubuh, mengambil es krim anak itu, dan membuang di tempat sampah terdekat sebelum meletakkan paper bag di lantai. Aku mengambil selembar tisu basah dari dalam tas. "Bersihkan tanganmu terlebih dahulu."
Anak kecil itu menerima tisu basah pemberianku dan mulai membersihkan tangannya yang kotor. Ia mendongak menatapku di saat bersamaan dengan aku menyodorkan selembar uang dua puluh dollar. "Apa ini?" tanyanya bingung.
"Uang." jawabku dengan bodohnya. "Kau bisa membeli es krim baru dengan uang ini."
Mata anak itu membulat sempurna memperhatikan uang di tanganku. "Woah aku punya uang sendiri?" tanyanya entah pada siapa. Ia membuka kedua telapak tangan, membiarkanku meletakkan uang itu di atas tangannya.
Melihat ekspresi anak itu mau tidak mau membuatku menahan senyum. Cukup menggemaskan meskipun juga cukup merepotkan. "Hari ini toko buku sangat ramai. Cepat kembalilah ke orang tuamu. Aku yakin mereka pasti khawatir kau hilang."
"Baiklah. Selamat tinggal." kata anak itu setelah memasukkan uang ke dalam saku kemeja. Ia melambaikan tangan kepadaku sebelum berlalu sambil lari membuatku menggelengkan kepala.
"Dasar anak-anak. Mereka tidak bisa hidup tanpa berlari sepertinya." gumamku. Aku mengambil paper bag milikku di lantai. Aku mengurungkan niat untuk langsung kembali mengingat terusanku harus dibersihkan. Setidaknya agar tidak membuat mobilku kotor nantinya.
Tanpa menggubris orang-orang yang menatapku. Aku membalikkan tubuh, melangkah menuju kamar mandi terdekat yang tidak terlalu ramai yaitu di lantai satu. Baru saja aku masuk ke dalam, meletakkan semua barang bawaan di atas granit di sisi wastafel dan hendak mengambil tisu dari kotak yang menempel di dinding ketika ponselku berdering. Aku mengangkat panggilan itu tanpa melihat nama yang tertera di layar. "Aku hitung kau sudah menghubungiku sebanyak 8 kali sejauh ini."
"Akan terus belanjut kalau kau tidak mengangkatnya."
Aku memutar mata mendengar jawaban itu. "Ada apa, Jean?"
"Kenapa kau masih belum sampai?" tanya adikku dengan nada tidak sabaran.
"Sebentar lagi aku pulang. Aku masih harus membereskan sedikit kekacauan." jawabku jujur. Aku memang sedang tidak beralasan seperti yang sedang dipikir Jean.
"Baiklah aku tunggu sebentar lagi. Awas saja kalau kau berbohong padaku." panggilan diputus sepihak membuatku mendengus. Dengar? Dia memang berpikir aku mencoba mencari alasan bukan?
Kuletakkan ponsel ke dalam tas dan sebelah tanganku mengambil tisu. Aku mencoba membersihkan terusanku dan ternyata noda es krim cokelat tersebut cukup sulit untuk dihilangkan. Aku bukanlah orang yang mudah menyerah. Namun untuk masalah seperti ini aku memang bukanlah ahlinya. Aku sama sekali tidak mengerti tentang mencuci pakaian, membersihkan noda, atau hal-hal yang berhubungan dengan rumah tangga. Lebih baik semua kuserahkan saja pada pelayan di rumah dan dipastikan semuanya beres.
Setelah merapikan sedikit penampilanku di depan cermin. Aku membereskan semua barang milikku. Aku baru saja memutar tubuhku hendak berjalan menuju pintu keluar ketika tiba-tiba seorang ada seorang pria masuk dengan cepat.
Aku menghela napas cukup panjang. "Apa lagi ini?" gerutuku. Mengapa hari ini ada saja hal mengganggu hidupku. Aku mengambil beberapa langkah mendekat tanpa melepaskan pandangan dari pria itu yang kini sedang bersandar dengan mata terpejam setelah selesai mengunci pintu. Kemudian ia merosot perlahan ke lantai sambil berusaha mengontrol napas.
"Apa yang kau lakukan disini?" tanyaku tanpa basa-basi.
Pria itu membuka mata. Ia mengerjap beberapa kali sebelum merubah ekspresi terkejutnya menjadi ekspresi bingung melihatku. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh kamar mandi dan balik bertanya, "Apa yang kau lakukan disini?"
Aku melipatkan tangan di depan d**a. "Ini kamar mandi perempuan." jawabku dengan nada ketus. "Apa kau tidak bisa melihatnya?" tambahku bertanya sambil mengangkat sebelah alis.
"Benarkah?" balas pria itu meringis. Ia bangkit berdiri, membersihkan bagian belakang celana jins. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud apapun. Aku tidak tahu kalau ini kamar mandi perempuan."
Aku sedikit memiringkan kepala agar dapat melihat kenop pintu yang terhalang oleh pria itu. Kemudian aku menatap pria itu dengan mata menyipit. "Tidak bermaksud apapun tapi kau mengunci pintu itu?"
Pria itu menoleh kebelakang memperhatikan kenop selama beberapa detik. "Tentang itu..." ia menggantung kalimatnya sambil berdesis pelan. "Aku juga minta maaf."
"Aku tidak butuh maaf darimu. Cukup buka pintu itu agar aku bisa keluar."
Pria itu menggeleng dengan cepat. "Aku tidak bisa membukanya."
Aku mendengus pelan. Apa aku tidak salah dengar? Bagaimana mungkin ia mengatakan itu padaku? "Apa yang kau maksud kau tidak bisa membukanya? Tiga menit lalu aku baru melihatmu menguncinya dan sekarang kau tidak bisa membukanya? Apakah kau butuh ku daftarkan ke sekolah membuka pintu?"
"Aku benar-benar tidak bisa membuka pintu itu." kata pria itu lagi. Ia tampak ingin mengatakan sesuatu untuk menjelaskan lebih jauh. Namun ia mengurungkan niat saat melihatku melangkah mendekat. "Mau kemana?" tanya pria itu panik.
"Keluar."
"Jangan sekarang!" pria itu setengah berseru sambil merentangkan lebar agar aku tidak bisa melewatinya.
Darah di dalam tubuhku mulai mendidih sampai ke ubun-ubun. Bahkan tanpa kusadari aku mulai mencengkram tanganku. "Memangnya kau siapa berani melarangku?" nadaku bahkan sudah dipenuhi penekanan di setiap kata.
Bukannya memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Pria itu menatapku tidak percaya dengan mata membelalak lebar. Ia mengerutkan kening menandakan ia sedang bingung. "Kau tidak tahu siapa aku?" ia lagi-lagi balik bertanya.
Aku menghela napas yang entah sudah berapa kali ku lakukan sejak pagi. Sambil menurunkan kedua tangan sebatas panggul, aku menjawab, "Aku rasa aku tidak perlu tahu siapa dirimu."
"Kau benar-benar tidak tahu?" pria itu mengulangi pertanyaan dengan inti yang sama.
Aku menatap pria itu dengan ekspresi datar kali ini. Aku menelengkan kepala. "Apa aku terlihat seperti orang yang mengenalmu?" tanyaku. "Berhentilah menguji kesabaranku dan menyingkirlah. Aku ingin keluar." tambahku sambil berusaha melewati pria itu. Namun gerakan pria itu lebih cepat dibandingkan denganku.
Ia terlebih dahulu berhasil mencekal tanganku sebelum aku sempat menyentuh kunci pada bagian bawah kenop pintu. "Tunggu!"
Aku hendak mengeluarkan sepatah kata saat melihat segerombolan perempuan berlarian di koridor melalui jendela pintu kamar mandi. Sementara pria yang berdiri dihadapanku sontak menunduk seolah menghindari orang-orang di luar sana. Apa dia baru saja mencuri di toko buku ini? Tidak ada pertanyaan lain yang melintas selain pertanyaan itu mengingat gerak-gerik pria dihadapanku ini benar-benar mencurigakan. Namun jika dilihat dari penampilan dan paras tampan, pria itu tidak mungkin seorang pencuri. Aku menggeleng samar berusaha untuk tidak memikirkan lebih jauh apa yang baru saja kupikirkan. Masih banyak hal lain yang lebih penting dan menguntungkan untuk dipikirkan. "Lepaskan tanganku."
Pria itu menoleh kebelakang, setengah mendongak menatapku karena posisi kami sebelum beralih menatap tangannya yang menggenggam erat pergelangan tanganku. "Aku akan melepaskan tanganmu kalau kau mau menunggu sampai koridor cukup sepi."
Aku mengangkat tangan kiri untuk melihat jam yang melingkar di pergelanganku. "Lima menit dari sekarang." balasku sebagai tanda bahwa aku menyetujui permintaan pria itu. Kalau aku melanjutkan perdebatan ini mungkin tidak akan berakhir. Jadi aku memilih untuk mengalah dan menunggu.
Pria itu bangkit berdiri, berpindah ke dinding di sisi pintu untuk bersembunyi sebelum melepaskan tanganku dengan perlahan. "Terima kasih."
Aku tidak membalas pria itu. Bahkan setelah memastikan bahwa lima menit telah berlalu, aku segera keluar dari dalam kamar mandi.
...