Orang Asing Yang Sempurna

1593 Words
Alexander Harper Point of View Aku memperhatikan diriku dari pantulan cermin setinggi dan selebar salah satu dinding walk in closet dengan seksama. Entah mengapa aku tampak begitu lelah meskipun tubuhku tidak merasakan apapun. Aku berdehem pelan sebelum memutar tubuh kebelakang dan memperhatikan salah seorang penata gaya pribadiku yang sejak tadi berdiri di depan laci lemari berisi koleksi jam tanganku. "Gabe, apakah wajahku tampak lelah?" Gabe menoleh menatapku dengan kening berkerut. Ia menutup laci setelah mengambil sebuah jam tangan berwarna emas. "Seperti biasa. Kau tampak sempurna di mataku." jawabnya saat sudah berdiri dihadapanku sambil mencolek dagu dan mengedipkan mata.  Kalau saja Gabe seorang pria. Sebenarnya dia memang seorang pria. Namun mengingat Gabe lebih menemukan jati dirinya sebagai seorang wanita maka aku masih membiarkannya menyentuhku dalam batas wajar.  "Sepertinya aku salah sudah bertanya denganmu." Aku menyodorkan tangan kanan agar Gabe bisa memakaikan jam itu di pergelanganku. Gabe terkekeh geli. "Kalau begitu akan kupanggilkan Ben agar kau bisa bertanya padanya." katanya. Sebelum berlalu Gabe mencium jari-jari tangannya dan di tempelkan pada pipiku. "Gabe! You can touch me but you can't kiss me." kataku setengah berseru dan mengusap pipi. Aku menggeleng kecil sambil mendengus. Kemudian memutar tubuh, kembali menghadap cermin untuk merapikan rambut yang sudah di tata sedemikian rupa oleh penata rambut sekaligus makeup artist. Beberapa menit kemudian aku melihat Benedict  masuk dari pantulan cermin. Ia membawa sebuah tray berukuran kecil berisi dua butir vitamin di dalam saucer, air mineral kemasan botol kaca, dan rock glass korong dengan potongan buah lemon. Aku langsung membalikkan tubuh menghadap Benedict. "Kau atau Gabe yang menyiapkan semua ini?" "Tentu saja, Gabe. Aku masih punya banyak kerjaan lain." sindir Benedict. Ia meletakkan tray tersebut di atas meja kaca di tengah ruangan.  "Sudah aku duga." balasku sambil terkekeh geli. Setelah aku berhasil kembali ke pulang dengan selamat. Aku menyuruh Benedict untuk menghubungi pihak toko buku dan menanyakan apakah ada properti mereka yang rusak akibat para penggemarku agar bisa memberikan ganti rugi. "Bagaimana bisa kau masih tersenyum setelah hampir celaka?"  tanya Benedict heran. Ia menyodorkan vitamin dan air mineral yang sudah dituangkan ke dalam gelas. "Ini minumlah..." Aku memasukkan vitamin itu ke dalam mulut dan segera meneguk air mineral hingga habis. Sementara Benedict yang memperhatikanku hanya menggeleng samar membuatku bertanya, "Apa? Mengapa kau melihatku seperti itu? Kalau mau memujiku karena berhasil kabur seorang diri tanpa pengawal satupun jangan malu-malu." "Untuk apa aku memujimu? Itu bukanlah sesuatu yang bisa diberikan pujian. Sudah resikomu menjadi seorang bintang pop terkenal." Mendengar kata terakhir yang di sampaikan Benedict. Aku mendadak teringat sesuatu. Aku menelengkan kepala. "Berbicara masalah terkenal. Sepertinya aku tidak seterkenal itu." "Apa maksudmu dengan kau tidak seterkenal itu?" tanya Benedict bingung. Ia menunjuk ke arah belakang sebelum menambahkan. "Apa masih kurang semua piala penghargaan yang berderet di ruang kerjamu itu hmm?" Aku mengangguk kecil. "Sepertinya." gumamku masih di dengar oleh Benedict. "Buktinya, masih ada orang yang tidak mengenalku." Benedict mengangkat sebelah alis. "Siapa?" tanyanya dengan nada tidak percaya. "Siapa yang tidak mengenalmu?"  "Aku masih mempertanyakan masalah yang sama hingga detik ini. Bagaimana mungkin ada orang yang tidak mengenalku?" "Tunggu dulu. Aku masih tidak mengerti apa maksudmu. Bisakah kau tidak berbasa-basi dan langsung ke intinya?" Benedict hanya tahu sebatas aku berhasil kabur dari para penggemarku. Aku belum sempat menceritakan kejadian lebih detail mengingat saat baru menginjakan kaki di Penthouse, aku harus bergegas untuk mandi dan bersiap. Aku menghela napas cukup panjang sebelum mulai bercerita, "Awalnya aku memang menghindari penggemarku sendirian. Aku mencari tempat untuk bersembunyi dan rupanya aku berakhir salah masuk ke dalam kamar mandi perempuan dan di dalam sana ada seseorang." "Kau masuk kamar mandi perempuan?" Benedict hampir menyemburkan tawanya. "Lalu bagaimana? Apa wanita itu merupakan salah satu penggemar yang mengejarmu?" tambahnya dengan nada antusias. Sepertinya Benedict memang ingin aku di keroyok para penggemarku agar aku merasa jerah. Namun itu tidak akan terjadi, masalah seperti itu tidak mungkin membuatku memilih langsung berhenti untuk kabur seorang diri. "Itulah mengapa aku tidak mengerti. Wanita itu tidak mengenalku. Aku sempat mengira bahwa wanita itu pembenciku dari cara wanita itu menatapku, dari cara wanita itu berbicara kepadaku. Benar-benar ketus" jelasku sambil menerawang membayangkan ekspresi wanita itu. Kalau diingat kembali, aku seperti pernah melihat wanita itu entah dimana. Wajahnya terlihat familiar. Namun aneh kalau aku bisa melupakan seseorang yang sangat menarik dari segala sisi. Bahkan nyaris sempurna menurutku. "Sepertinya mustahil ada seseorang yang tidak mengenalmu. Apa mungkin dia hantu yang gentayangan?" tanya Benedict dengan bodohnya. Aku memutar mataku. "Buang saja gelar sarjana milikmu itu kalau kau masih percaya hantu itu ada." sindirku. "Lagi pula mana mungkin ada hantu gentayangan menggunakan Stella McCartney dan juga Saint Lauren hmm?" "Baiklah. Pertanyaanku memang konyol. Tidak mungkin ada hal semacam itu." gumamnya sambil meringis.  Aku sedikit berpindah posisi sambil menunjuk Benedict. "Oh! Jangan lupakan juga wanita itu berhasil membuatku memohon padanya agar tidak membuka pintu kamar mandi. Setidaknya sampai para penggemarku pergi dari koridor saat itu sebelum berlalu begitu saja tanpa membalas ucapan terima kasihku!" seruku menggebu-gebu. "Kau? Alexander Harper memohon pada seorang wanita?" tanya Benedict sambil melebarkan mata. "Ini benar-benar menarik. Wanita itu tidak mengenalmu, membuatmu memohon, dan meninggalkanmu." tambahnya sebelum terbahak. "Ya. Tertawalah sepuasmu." jawabku. Aku melangkah keluar dari walk in closet menuju kamar tidur untuk mengambil jas berwarna marun yang senada dengan celana yang ku kenakan dan Benedict mengikuti.  "Aku penasaran dengan wanita itu. Apakah dia cantik?" tanya Benedict. Ia duduk dengan kasar di tepain ranjang. Kedua tangannya bertumpu di belakang.  Aku menyeringai ke arah Benedict. Kalau sudah membahas masalah wanita seperti ini, kami berdua benar-benar sepaham. "Dia sangat cantik aku akui dan berkelas. Sangat jarang menemukan wanita seperti itu. Aku bahkan yakin kalau Gabe yang bertemu wanita itu. Dia benar-benar kembali menjadi pria." jawabku. Benedict mendengus geli sambil menggelengkan kepala. "Kau benar-benar membuatku penasaran. Siapa wanita itu? Siapa namanya?" Gerakan tanganku yang baru selesai memakai jas terhenti.  Aku mengalihkan pandanganku  dengan cepat sebelum tubuhku mengikuti menghadap pada Benedict . "Sial! Aku lupa bertanya siapa namanya." ... Aku turun dari Bentley ketika salah seorang petugas membukakanku pintu sambil mengaitkan kancing dari setelan jas yang kukenakan. Aku berjalan diatas karpet merah yang sudah tertata sangat rapi mengikuti tangga menuju pintu masuk Metropolitan Museum of Arts. Sesekali aku untuk berhenti sekedar memberikan senyum terbaikku di beberapa tempat agar para repoter dari berbagai media yang berkumpul di kedua sisi karpet dapat mengambil gambar. Namun aku tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mereka lontarkan terkecuali wartawan khusus yang diijinkan oleh pihak penyelenggara acara seperti saat ini. Aku berdiri dihadapan seorang komedian wanita yang biasa kulihat di acara lewat tengah malam. Wanita itu dengan gaya yang lucu menyapaku dengan antusias. "Alex Harper! My dearest future husband!"  "Hai Miranda! My dearest favorite comedian." balasku sambil memeluknya singkat.  Saat itu kami baru saling melepaskan diri, Miranda langsung membalikkan tubuh. Berteriak histeris tanpa berusara sedikitpun sembari mengibaskan tangan. Aku semakin tertawa dibuat Miranda karena tingkahnya. Kemudian ia kembali menghadap kearahku dengan ekspresi datar seolah wanita yang baru saja ku lihat adalah orang yang berbeda. "Oh maafkan kembaranku tadi. Ia benar-benar penggemarmu, Alex." "Bagaimana denganmu? Apakah kau bukan penggemarku?" tanyaku sambil menahan senyum. "Aku? Oh bukan. Aku bukan penggemarmu. Tapi aku penggemar beratmu." Miranda dengan cepat mengeluarkan ponsel dari tas selempang berukuran kecil yang di pakainya. Tanpa memberi aba-aba ia langsung bersandar pada dadaku dan mengambil foto. "Terima kasih atas fotonya." tambahnya sambil memasukkan ponsel. Aku terkekeh. Miranda benar-benar unik. Mungkin karena ia memiliki kemampuan untuk berubah dengan cepat membuatnya lucu. Bahkan ia satu-satunya komedian yang dipilih pihak Vogue untuk menjadi pewawancara para bintang tamu undangan malam ini. "Kalau begitu sekarang kau harus mengajukan pertanyaan untukku. Bukankah waktu kita terbatas?" Miranda menggeleng berusaha untuk fokus. Ia membenarkan mikrofon kecil yang terkait pada scafr di lehernya. "Kau benar. Maafkan aku. Aku selalu lupa diri jika melihat pria tampan. Baiklah, masuk pada pertanyaan pertama. Apa yang kau sukai dari acara malam ini, Alex?"  "Sebenarnya, alasan utama yang membuat Met Gala menjadi acara tahunan kesukaanku bukan hanya karena pameran seni yang dipamerkan sebelum menikmati jamuan makan malam atau peragaan busana. Aku berada disini karena aku menyukai kegiatan sosial. Aku ingin membantu dunia menjadi tempat yang lebih baik. Terutama untuk anak-anak." "Tidak hanya bertalenta dan penuh pesona. Kau benar-benar memiliki hati yang sangat baik. Itulah mengapa aku begitu mengagumimu, Alex.", balas Miranda dengan takjub.  "Terima kasih atas pujiannya. Tapi semua bantuan yang kuberikan juga merupakan berkat dari dukungan orang sepertimu, Miranda. Para penggemarku. Kalian semua selalu mendukungku dan membuatku bersemangat untuk terus berkaya." Miranda mengangguk sebagai tanda membenarkan perkataanku. "Lalu bagaimana dengan pakaian yang kau kenakan malam ini? Tema acara malam ini mengusung tema negri ajaib. Jadi bisakah kau menjelaskan sedikit?" tanyanya sambil sebelah tangannya membuat gerakan naik turun. Aku menunduk memperhatikan setelan jas yang kukenakan. Terutama pada bagian kemeja dalaman yang memiliki dasi rumbai berenda dan juga kancing dengan warna emas berukir seekor singa. "Saat aku berada di panti asuhan untuk mengajari anak-anak kecil disana untuk bernyanyi dan bermain musik. Mereka bercerita mengenai khayalan mereka di dunia dongen. Lebih tepatnya mereka memikirkan seorang raja. Dari sanalah kemudian aku meminta langsung pada Alessandro dari Gucci untuk membuat busana ini sesuai dengan yang diinginkan. Bahkan pemilihan warna, kain, seluruhnya dipilih langsung oleh anak-anak itu." "Astaga apakah aku boleh membawamu pulang Alex?" Miranda sedikit memiringkan kepala agar dapat melihat Benedict yang berdiri di belakang cameraman. "Apa aku boleh membawanya?" tambahnya bertanya. Benedict tidak menjawab. Ia memberi kode kepada Miranda dengan gerakan tangan menyilang di depan d**a. "Sayang sekali aku tidak boleh membawamu pulang untuk ku pajang di lemari. Kalau begitu, aku akan mencari pria tampan lainnya. Terima kasih dan sampai jumpa, Alex!" Kami berdua kembali berpelukan singkat. "Sampai jumpa juga, Miranda." kataku sebelum berlalu masuk ke dalam museum. ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD