Alexander Harper Point of View
Setelah hampir seharian pertemuan bersama perusahaan alat musik ternama yang mengkontrak-ku untuk menjadi Brand Ambassador, aku bersama Benedict, Gabe dan beberapa tim-ku saat ini sedang menikmati makan malam di sebuah restoran bintang lima yang kebetulan tidak jauh dari Penthouse, atau sebenarnya lebih sering disebut base-camp.
"Oh anggap saja makan malam ini juga merupakan sebuah perayaan kecil. Hampir saja Yamaha memilih bekerja sama dengan Shawn Mendes."
Sementara Gabe memutar mata sambil mengibaskan tangan dengan gemulai. "Tentu saja Alex-ku yang akan menang. Aku selalu berdoa setiap malam untuk kesuksesannya."
Aku terkekeh geli mendengar perbincangan santai itu sebelum pada akhirnya bertanya pada salah seorang penata busana pribadiku bernama Laura, mengenai pakaian yang akan ku kenakan untuk sesi pemotretan besok. Namun Benedict tiba-tiba menyergah kami dengan sedikit menrik lenganku dan memanggil namaku. "Alex.."
"Apa?" tanyaku sambil masih berusaha mendengarkan jawaban penata busana pribadiku hingga selesai.
"Bukankah itu Jace?"
Mendengar nama wanita itu disebut aku langsung mengalihkan perhatian sambil mengangkat sebelah tanganku sebagai tanda agar Laura menahan perbincangan kami. Kemudian aku mengikuti arah pandang Benedict yang mengarah ke pintu masuk resotran. Lebih tepatnya ke arah meja penerima tamu.
Saat itu aku melihat wanita itu, sedang berbincang bersama seorang hostess restoran. "Kau benar." gumamku membenarkan. Perlahan seulas senyum mengembang di bibirku mengingat ini sekian kalinya kami berdua bertemu tanpa sengaja. Mungkin inikah yang dinamakan jodoh? Aku menggelengkan kepalaku pelan karena merasa geli dengan diriku sendiri yang mendadak seperti orang bodoh.
Namun senyuman dibibirku tidak bertahan lama saat melihat seorang pria yang baru saja masuk kedalam restoran, berdiri disisi Jace sembari merangkul bahu wanita itu. Aku mengerjap beberapa kali.
"Siapa pria itu?" pertanyaan Benedict sama persis dengan pertanyaan yang berputar dalam benakku saat ini. Siapa pria itu?
Aku menggelengkan kepala kecil. "Aku tidak tahu. Jelas sekali pria itu bukanlah Lucas Graves." jawabku mantap. Meskipun tidak pernah bertemu secara langsung dengan ayah Jace, aku beberapa kali sudah melihat sosok pria itu di dalam foto-foto sebuah majalah bisnis maupun berita.
Tanpa berpikir panjang, aku dengan cepat bangkit berdiri hingga kaki kayu dari kursi yang ku duduki berderit akibat gesekan dengan lantai berbahan sama. Sontak semua orang mengalihkan pandangan kepadaku.
"Mau kemana?" tanya Benedict dengan nada bingung. Gabe hanya sebatas mengangkat alis sebagai tanda ia juga penasaran, sementara yang lain hanya saling menatap.
"Memastikan sesuatu." kataku sebelum menyesap sedikit wine milikku yang ada di atas meja.
Benedict mendengus geli. Ia menggelengkan kepala kecil. "Memastikan siapa pria yang datang bersamanya?" tebaknya.
"Siapa? Siapa yang sedang kalian bicarakan?" tanya Gabe sambil mencondongkan tubuh.
Aku meletakkan gelas di tanganku sebelum menepuk bahu Benedict. Kemudian aku menarik lengan kemejaku hingga sebatas siku seolah hendak bersiap untuk berperang sambil menoleh menatap Gabe dan yang lainnya. "Kalian semua tunggu disini. Aku akan segera kembali."
...
Jace Graves Point of View
"Selamat malam, selamat datang di Per Se. Apakah ada yang bisa saya bantu nona?"
Aku mengangkat sudut bibirku samar sambil mengangguk kecil sebelum menjawab. "Reservasi atas nama Kimberly Sterling." jawabku cepat.
"Reservasi atas nama Kimberly Sterling. Di mohon untuk menunggu sebentar. Saya akan mengeceknya di dalam sistem." kata wanita itu mengulangi untuk memastikan sebelum menyuruhku menunggu. Namun tidak sampai satu menit setelah aku memperhatikan wanita itu mencoba mengetikan nama yang sudah ku sebut, wanita itu memberikan tatapan sungkan, "Mohon maaf nona. Sebelumnya belum ada reservasi atas nama Kimberly Sterling. Apa mungkin nama yang digunakan berbeda?" tambahnya bertanya.
"Kalau begitu coba dengan Mike Sterling." timpal suara seorang pria membuatku segera menoleh.
Aku mendesah pelan saat melihat siapa pria itu. "Astaga, aku pikir siapa. Paman mengejutkanku." kataku sambil mengelus d**a.
Pria dengan nama yang sudah ia sebutkan kepada pelayan itu merupakan sahabat terdekat kedua ayah yang kumiliki saat mereka masih muda. Kalau tidak salah ingat, bahkan dulunya paman Mike pernah menyukai ibuku. Namun ibuku lebih memilih mendiang ayah kandungku yaitu Jasper Reid sebelum masalah percintaan mereka yang rumit dan berakhir menikah untuk yang kedua kalinya dengan Lucas Graves. Oh jangan lupakan juga dengan Paman Mike yang akhirnya menikah dengan Bibi Kimberly dengan kisah bagaikan cerita roman fantasi bagaikan dongen Cinderella, mengingat wanita yang dinikahinya dulunya merupakan pengasuhku saat aku masih kecil.
"Apakah kau sudah menemukan ponselmu, paman?" tanyaku sambil melihat ke arah saku setelan jas berwarna abu tua yang dikenakannya.
Paman Mike mengangkat tangannya sebatas d**a untuk menunjukkan ponselnya kepadaku sebelum meringis pelan. "Rupanya terjatuh di celah kursi." jawabnya sebelum perbincangan singkat kami harus usai karena hostess itu sudah menemukan reservasi dan hendak mengantar kami berdua menuju meja yang sudah di siapkan.
Saat itu Paman Mike baru saja duduk dibantu oleh hostess tersebut. Aku sambil menyampirkan tas ke bahu segera mengatakan, "Paman, aku akan ke kamar mandi sebentar."
Paman Mike mengangguk kecil. "Take your time honey."
"Be right back before you realize." tambahku sambil lalu.
Kamar mandi yang tujuanku berada di samping bawah tangga yang menuju ke lantai dua. Dengan cepat aku masuk dan meletakkan tasku di atas meja marmer wastafel berwarna hitam bercampur emas itu. Aku baru saja selesai menambahkan lipstick pada bibirku saat mataku menangkap sosok seorang pria masuk kedalam kamar mandi dari pantulan cermin dihadapanku. Detik itu aku langsung menegakkan tubuh sebelum menghela napas cukup panjang.
Pria itu itu menyeringai seperti biasanya. Ia mendekat hingga berdiri beberapa langkah di belakang tubuhku. "Kali ini kau tidak bisa mengusirku karena kamar mandi ini berlaku untuk semua jenis kelamin." katanya sebagai sapaan.
Aku membereskan barang-barangku sebelum menenteng tasku dan membalikkan tubuh. "Aku tahu. Kali ini, kau juga tidak bisa menghalangiku keluar."
"Apakah kau yakin?" tanya pria itu sambil mmengangkat sebatas kepalanya. Ia menggoyangkan gantungan berisi tiga kunci kecil hingga suaranya yang saling beradu menghentikan langkahku. "Aku sudah menduga kau akan mengatakan hal itu. Jadi untuk antisipasi, aku mengambil kunci ini." tambahnya dengan nada penuh kemenangan.
Aku membalikkan tubuhku kembali menghadap pria itu. Aku menggeleng samar sambil mendengus. "Apa yang kau inginkan kali ini? Kau sudah tahu nomor teleponku, kau sudah tahu dimana aku tinggal. Apakah masih kurang?"
Pria itu menggenggam seluruh kunci sebelum memasukkannya kedalam saku celana jins dan melipat tangan di depan d**a. Kemudian ia mengambil satu langkah kedepan sebelum mengatakan. "Aku hanya ingin bertanya sesuatu padamu." pintanya.
"Satu pertanyaan." balasku. "Setelah itu berikan kunci itu padaku."
"Oh kau sepertinya sedang dalam suasana hati yang bagus." kata pria itu sambil terkekeh geli.
"Cepatlah bertanya atau aku akan berubah pikiran." balasku lagi. Kali ini dengan nada yang lebih ketus dari sebelumnya.
Pria itu menelengkan kepala sambil menatapku menyelidik. "Pria itu...", ia menggantung kalimatnya dengan sengaja. "Apakah seperti itu tipe pria yang kau sukai?"
Aku mengerutkan kening samar. Aku sama sekali tidak mengerti apa maksud perkataannya. "Pria itu?" aku mengerjap beberapa kali. "Pria apa yang kau maksud?"
"Pria berumur dengan harta berlimpah." jawabnya nyaris seperti kembali bertanya ketimbang sebuah pernyataan membuatku semakin bingung.
"Pria berumur de-" aku menggeleng kecil saat menyadari sesuatu. "Maksudmu pria yang sedang bersamaku?" tebakku langsung.
Pria itu mengangguk kecil. "Jadi? Apakah seperti itu tipe pria kesukaanmu?" ia kembali bertanya dengan pertanyaan yang sama.
Aku mendesah pelan sebelum menghampiri pria itu tanpa melepaskan tatapan mataku yang tajam, hingga tas yang kubawa menjadi pembatas diantara kami. "Pria yang sedang bersamaku..." aku memberi jeda saat memiringkan kepala agar aku dapat melihat sebelah tanganku mulai mengambil kunci dari dalam saku celananya. Kemudian aku mengangkat kunci itu tepat dihadapan wajahnya sambil berbisik menambahkan. "Dia pamanku."
Pria itu menoleh menatapku dari jarak yang cukup dekat itu. "Pamanmu?"
Aku tidak menggubris pertanyaannya dan sedikit menabrakkan bahuku pada lengan pria itu sambil lalu. Aku segera membuka kunci, segera keluar dari dalam kamar mandi.
...
"Paman, maafkan aku. Kau pasti menungguku lama." kataku sambil tersenyum sungkan saat sudah duduk di hadapan Paman Mike yang sedang memainkan ponselnya.
Paman Mike mendongakkan kepala dan menggeleng kecil. "Tenang saja. Bibimu Kim, dia lebih lama lagi jika sedang berada di kamar mandi dibandingkan denganmu."
"Benarkah?"
"Hmmm benar. Apalagi jika dia sedang bersiap pergi ke suatu tempat. Jadi paman harus memberitahunya dua jam sebelum pergi atau kalau tidak paman dan Jackson akan mati kebosanan menunggunya." jelasnya tanpa menatapku karena pandangannya beralih pada seorang waiterss yang baru saja datang untuk memberikan buku menu untuk kami berdua. Kemudian ia memberi kode agar wanita itu pergi meninggalkan kami.
Aku terkekeh pelan. "Tapi wajar saja. Kami perempuan memang membutuhkan waktu lama jika bersiap."
"Itu dia salah satu pengorbanan kalau ingin memiliki istri cantik." balasnya sambil mulai membuka buku menu dan membacanya. "Kau, pesanlah sepuasmu. Paman akan membayar makan malam ini."
"Apa kita tidak menunggu Jean datang terlebih dahulu?"
"Paman sudah menghubungi Jean. Dia berkata jika sudah berada di parkiran."
"Oh." hanya itu tanggapan ku sebelum kembali membaca menu. Detik berikutnya aku menyadari sesuatu membuatku dengan cepat mengedarkan pandangan ke seluruh restoran berusaha mencari sosok pria yang beberapa hari ini tidak pernah berhenti mengganggu hidupku.
Seolah tahu aku sedang mencarinya, -saat aku menemukan keberadaan pria itu tengah duduk bersama beberapa teman-temannya di dekat jendela besar dengan pemandangan New York di malam hari- ia melambaikan tangannya kepadaku sambil tersenyum lebar. Saat waktu yang bersamaan, aku melihat Jean baru melangkahkan kakinya memasuki restoran. Gadis itu berdiri di hadapan meja penerima tamu membuatku mulai gelisah. Dalam hati aku berharap agar pria itu atau pun Jean tidak saling bertatapan sehingga sesuatu yang buruk sedang melintas di benakku tidak akan terjadi.
Namun aku lupa apabila keberuntungan memang sudah beralih pihak dariku. Pria itu tahu dimana keberadaan adikku yang kini melangkah masuk setelah menolak tawaran salah seorang hostess yang hendak mengantarkan. Bahkan, pria itu juga tanpa segan berteriak memanggilnya tanpa peduli beberapa orang disekitar menoleh bahkan termasuk Paman Mike dan membuatku melebarkan mata.
"Sialan!" maki ku tanpa sadar. Kemudian dengan cepat aku menghadap ke posisi semula sambil memijit pelipis. Dalam hati aku masih terus memaki pria itu.
Sementara Paman Mike, ia yang mendengar teriakan pria itu mengerutkan kening saat melihat Jean kini tengah berlari kecil menghampiri sumber suara. Ia menoleh menatapku sebelum bertanya, "Bukankah itu Alexander Harper?"
Aku mengangguk lemah. "The one and only."
"Bagaimana bisa Jean mengenal Alex? Apakah kau juga mengenalnya?" tambahnya bertanya.
"Don't remind me." gerutuku membuat Paman Mike mengangkat sebelah alis. Aku menghela napas panjang. "Dia bintang tamu di acara perayaan ulang tahun perusahaan ayahku tahun ini."
"Oh! Kalau begitu paman akan ajak dia dan teman-temannya bergabung."
"Terser- Apa?!" Aku dengan cepat mendongak, mengerjapkan mata beberapa kali sambil menegakkan tubuh. Aku menggelengkan kepala dan berusaha menghalangi Paman Mike dengan mengulurkan tangan ke arahnya. Namun paman Mike rupanya sudah terlebih dahulu melambaikan tangan kearah Jean dan pria itu itu sambil setengah berseru, "Jean, ajak Alex dan semua temannya bergabung dengan kita."
"You must be kidding me." kataku pasrah sambil perlahan menurunkan tangan dan menundukkan kepala.