Bab 3

1103 Words
Riri merebahkan tubuhnya yang lelah sehabis kunjungan ke 3 butiknya di sini."Eve..., kapan kita berangkat ke Bali?" "Besok, cin," jawab Eve. "Ganti lusa, deh." "Kenapa? James mau ke sini, ya?" Tebak Eve. Riri menoyor eve."otak kamu itu ..., James ... terus. Mau?" Eve mencolek lengan Riri."ish ... ya pasti mau donk. James juga mau ...,mau muntah." Riri tertawa, kemudian melirik ponselnya. Omong-omong soal James, sejak kepergiannya kemarin ke Bandung James sedikit rewel. Tak seperti biasanya yang membiarkan Riri pergi kemana pun yang ia mau. Menghilang berbulan-bulan pun, James tetap sabar menunggu. "Kamu berangkat jam berapa, sayang?" Tanya James, masih dengan keromantisannya pada Riri. "Hmmm aku jadi ke Bali, tapi ... sebelumnya aku mampir ke Bandung dulu, James." "Hmmm, kamu menipuku, Honey," kata James dengan suara rendah. Riri tertawa."Hei, aku enggak tau. Eve yang atur jadwal. Mungkin lusa baru ke Bali." "Tetap aku kesal! Jangan pergi, biar aku suruh orang atur butik kamu sampe beres." "Nggak bisa. Harus aku lihat sendiri. Oke,James ..., aku sudah mau berangkat. Aku tutup ya." "Hmmm oke, I love you, Ri." "Love you too, James." Riri tersenyum begitu mengingat pembicaraannya dengan James di telepon. "Cin, berhubung kamu tunda penerbangannya. Aku ketemu sama temen-temen, ya. Enggak jauh kok dari sini," kata Eve yang terlihat sudah rapi, wangi, dan modis pastinya. "Lo ninggalin gue,Eve," omel Riri. "Emang kamu mau gabung sama cewek-cewek cantik kayak kita?" Eve mengedipkan matanya dengan nakal. Riri bergidik."Ogah! Mending jalan sendiri." Eve berdiri menyandang tasnya."oke! Emak pergi dulu. Inget yey, kalau jalan sendiri jangan pake baju ketat nan seksi." "James telepon lo?" Riri melotot. "Hiyess ..., pergi dulu... daaahhh." Eve melenggang dengan cantiknya. Riri bengong, suasana mendadak menjadi hening. Kemudian ia mendapat ide. Riri mencari tempat makan yang asyik,ia berniat untuk pergi sendiri. Riri melirik jam dinding masih menunjukkan pukul 3 sore. "Masih sempat tidur,nih," pikirnya. Riri menguap berkali-kali. Makanannya sudah habis, begitu juga dengan kopi yang dipesan belakangan. Pergi tanpa Eve memang menyebalkan. Biasanya Eve mengurus semuanya, ia hanya perlu terima bersih. Kali ini hujan turun dengan deras, rencananya untuk menghampiri beberapa cafe lagi di kawasan dago sepertinya batal. Riri menopang dagu, menunggu hujan turun. Ia benar-benar ingin menikmati me timenya dengan berjalan kaki atau naik gojek. "Permisi,Mbak?" seorang pria menghampirinya. Riri menoleh." Iya, Mas?" "Riri?" Riri mengernyit."Hmmm iya. Siapa,ya?" "Saya Damar. Tempo hari ketemu di pestanya Pak James. Hmmm ... pria yang kamu pilih untuk ikutan games." Damar garuk-garuk kepala kebingungan sekaligus tengsin karena Riri sama sekali tidak ingat. "Oh... iya. Eh, silahkan duduk," kata Riri ramah."Di sini juga?kebetulan, ya?" "Iya. Ada urusan kerja. Kamu ngapain?" "Urusan kerjaan juga. Wah, kamu masih ingat ya sama saya." Riri terkekeh. "Iya dong! Malah kemarin mau saya ajak ngobrol,kamunya udah ngilang," kata Damar. Riri tersenyum geli. Yang dimaksud Damar menghilang pasti saat James membawanya ke hotel, kemudian bercinta, melepaskan hasrat. Omong-omong soal bercinta, mendadak Riri menjadi gelisah. Mungkin faktor udara dingin dan pria tampan di hadapannya. "Ri?" panggil Damar karena Riri terdiam. "Eh, iya?" "Dih, ngelamun. Kamu sudah selesai makan?" tanya Damar. Riri tersenyum."Iya sudah. Nunggu hujan turun, rencananya mau jalan kaki sekalian nikmati suasana sini." "Ya udah sama aku aja,aku bawa mobil. Ntar bawanya pelan-pelan, biar kamu bisa nikmatin suasana," tawar Damar. Riri tersenyum simpul."Ya udah boleh, deh. Aku bayar dulu." Tak lama kemudian Riri muncul dan langsung menarik lengan Damar. Begitu eratnya, sampai dadanya menyentuh lengan Damar. Damar tersentak, namun kembali tersadar karena Riri terus berjalan keluar. Damar hanya bisa meneguk salivanya. "Duh, untung ketemu kamu. Jadi, bisa deh keliling walau hujan." Riri membuka sweaternya, tersisa kaos ketat. "Iya, aku seneng-seneng aja kok. Bete juga, capek karena kerjaan," balas Damar. Ekor matanya melirik ke arah d**a Riri. Dalam pikirannya adalah betapa nikmatnya bisa meremas itu. "James galak enggak di kantor?" "Haha... enggak. Galak kalau memang kami salah. Kamu kenal baik sama Pak James?" "Iya. Kami teman dari kecil. Kami sudah seperti saudara. Eh ... kamu tinggal dimana?" "Di hotel. Dekat tuh dari sini," tunjuk Damar ke sebuah jalan yang baru saja mereka lewati. "Mampir deh ke sana, yuk. Aku bete di hotel sendirian. Asisten aku lagi pergi punya acara sendiri." Penawaran yang menggiurkan bagi Damar. Damar mengangguk dengan semangat. Hatinya bersorak."Iya boleh." Damar memutar balik mobilnya, menuju hotel dimana ia tinggal selama di Bandung. Damar dan Riri masuk ke dalam kamar hotel. "Hah, ternyata capek juga." Riri merebahkan diri di tempat tidur dengan santai seolah-olah kamarnya sendiri. Damar hanya bisa tersenyum tipis, kemudian duduk di sofa. Mereka sama-sama terdiam sejenak. Riri turun dari tempat tidur, menghampiri Damar dan duduk tepat di sebelahnya. Jaraknya sangat dekat. "Kemarin kamu nyariin aku ada apa?"tany Riri memulai pembicaraan. "Ehmmm mau ngajak ngobrol aja, sih, kenalan,"ucap Damar jujur. "Oh... iya ... iya, namaku Riana Larasati. Temen-temeb club biasa manggil Riri. Kamu boleh panggil apa aja, deh." Riri memainkan rambutnya. "Berarti boleh memanggil sayang?"tatap Damar dengan mesra. Setiap menatap Riri, ada sesuatuyang ingin meledak dalam dirinya. "Hah?" "Kamu, kan, bilang, apa aja," ledek Damar. Riri terkekeh kemudian memukul lengan Damar dengan pelan. Namun beberapa detik kemudian, Damar menangkap tangan Riri, lalu menciumnya. Riri terdiam, mendadak jantungnya berdegup kencang. Damar tersenyum, sementara Riri masih menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Damar menarik Riri dalam pelukannya, kemudian mengecup bibir Riri. Riri tersentak, meskipun sekilas, tapi mampu membuat tubuhnya seperti terkena sengatan listrik ratusan volt. Mendadak tubuhnya bergetar, miliknya berdenyut, kini ia merasa haus. Haus akan sentuhan dan ingin dipuaskan. Mereka bertatapan, Damar masih bertahan dalam posisinya karena di dalam hati ia sedikit takut Riri akan menolak. Riri tak tahan lagi. Akhirnya ia menyerang Damar, melumat bibirnya dengan rakus. Mendapat serangan yang memang diinginkan, Damar pun membalas ciuman Riri. Terjadi pergumulan yang panas. Riri melepas ciuman mereka karena sudah kehabisan napas. Mereka bertatapan kemudian tersenyum. Perlahan Damar membuka kaus ketat Riri. Akhirnya ia bisa menikmati keindahan yang sempat tertutupi sepanjang jalan. Membuat sesuatu di dalam dirinya ingin meledak.. "Jangan berhenti, " Riri. Damar tersenyum. "Katakan sesuatu dulu padaku." "Iya, apa itu?" "Kamu mau jadi kekasihku?" tanya Damar. Pertanyaan yang sepertinya kurang tepat dipertanyakan saat ini. Tapi Damar sudah tak tahan, ia ingin memiliki Riri. "Aku enggak bisa jawab sekarang," rintih Riri. Nafsunya sudah memuncak di ubun-ubun. "Kapan kamu jawab, Sayang?" "Setelah kamu puasin aku," jawab Riri. Otaknya sudah tak bisa berfungsi. "Baiklah!"Tidak sulit bagi Damar untuk mewujudkan keinginan wanita itu. Dalam ebberapa menit saja ia mampu menerbangkan Riri hingga langit ke tujuh. Riri memeluk Damar, mencium pipinya kemudian berbisik."Aku mau menjadi kekasihmu." Damar terbelalak."Benarkah?" Damar bergerak ingin turun dari tubuh Riri. Riri menahan Damar."Begini saja dulu, beberapa menit." Damar mengecup bibir Riri."Apapun buat kamu, sayang. Tapi ... bener kamu mau jadi kekasihku?" Riri mengangguk pasti. Ia sudah jatuh cinta pada Damar. Kini, Damar adalah candunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD