1. Kesepakatan.

1184 Words
Marchel berjalan tergesa-gesa menuju mobilnya, masuk ke dalam kemudi dan membanting pintu dengan keras. Rasanya ingin sekali buru-buru meninggalkan gedung Apartemen mewah di pusat Singapura itu.Tidak pernah menyangka bahwa kejutan besar yang akan dia berikan pada Dara, malah berbalik mengejutkannya dengan dasyat. Semua seperti mimpi. Jika tidak melihat dengan matanya sendiri, Marchel mungkin tidak akan percaya. Bagaimana bisa wanita yang sudah dipacarinya lebih dari tiga tahun, terlihat begitu menikmati berada di bawah tubuh telanjang sahabatnya sendiri. Bukan masalah patah hati yang membuat semua ini terasa berat, tapi janjinya pada keluarga untuk membawa calon istri dalam waktu dekat menjadi sangat mengganggu. Marchel tidak mungkin membatalkannya, sebab ibu dan ayahnya terlihat begitu berharap. Melihat wajah kecewa mereka adalah hal yang paling tidak diinginkan laki-laki itu di dunia. Ciiittttttt....Untung saja Marchel cepat menghentikan mobilnya. Karena baru saja ada seorang wanita yang berlari menyebrangi jalan seenaknya. Ingin sekali dia memaki, tapi dia sudah berlari kencang ke ujung jalan. Lalu ada dua orang laki-laki sedang mengejar. Sepertinya wanita itu dalam masalah besar, sebab Marchel mengenal orang-orang yang sedang mengejar dia. Melihat raut wajah ketakutan wanita tadi, entah kenapa Marchel tidak tega. Dia melajukan mobilnya dengan kencang dan berhenti tepat di sampingnya kemudian membuka pintu penumpang. Tanpa disuruh wanita itu langsung masuk dan menutup pintu, lalu mobil kembali melaju kencang. “Kita pernah ketemu kan?” Tanya Marchel. Wanita itu menoleh sambil masih mengatur napas, kemudian matanya melotot. “Kak Marchel, syukurlahhhh aku selamat.” Wajah Marchel masih tetap datar. Belum ada keinginan untuk tersenyum walaupun wanita di sampingnya adalah sepupu adik iparnya. “Mereka anak buah Madam Olive, apakah kau seorang p*****r?” Tanya Marchel tanpa basa-basi. Bagaimana bisa ada orang yang se-to the point ini dalam berbicara? Carol sampai menganga tidak percaya. “Jaga bicaramu! Aku bukan pelacur.” Tanpa menjawab Marchel menunjukan layar ponselnya ke hadapan Carol. Barisan kalimat iklan yang tertera disana beserta foto dirinya yang sexy membuat mata Carol ingin keluar dari tempatnya. “Satu juta dollar? Kau lumayan mahal ternyata.” Carol benar-benar ingin menangis, tapi dia menahannya mati-matian. Bagaimanapun dia harus tetap menjadi wanita kuat seperti biasanya. “Menurutmu bagaimana kalau keluargamu yang terpandang itu sampai tahu mengenai hal ini?” Rasa syukur yang tadi sempat hinggap di hati Carol hilang entah kemana. Apalagi melihat smirk yang ditampilkan laki-laki itu. Jangan lupa nada pengucapannya yang seperti mengancam itu. “Apa aku sedang diancam?” Marchel terkekeh. “Aku tidak sedang mengancam, aku sedang mengajakmu membuat kesepakatan.” “Aku tidak ingin membuat kesepakatan apapun terutama denganmu.” Lagi-lagi Marchel terkekeh. “Kalau begitu bersiaplah foto-foto iklan ini akan sampai di ponsel ayahmu.” Carol mendengus dengan marah. Kepalanya seperti sudah mengeluarkan api. Marchel benar-benar berbeda dengan Dimas yang baik, seperti itu kesan yang Carol dapatkan. “Aku bisa menghapus semua iklan ini, dan benar-benar melepaskanmu dari Madam Olive jika kau menyetujui syarat yang aku berikan. Tapi kalau tidak, maka aku akan menurunkanmu disini dan siapapun di negara ini tahu bahwa tidak akan ada yang bisa keluar dari tempat Prostitusi Madam Olive.” Semua yang dikatakan Marchel adalah benar. Tidak ada satu orangpun yang akan dibiarkan lolos oleh Madam Olive. Carol bersumpah akan membalas dia yang sudah menjebaknya masuk ke tempat laknat itu. “Apa syaratnya?” “Menjadi istriku.” Carol melotot. “Apa kau sudah gila? Mana mungkin aku menikah denganmu.” Seperti biasa ada debaran yang menggila di d**a Carol ketika membicarakan pernikahan. “Kenapa tidak mungkin?” “Tentu saja karena aku tidak mencintaimu. Dan yang kedua aku tidak ingin menikah.” Marchel terkekeh. “Aku juga tidak mencintaimu. Kita tidak memerlukan semua itu. Kau tidak ingin menikah dan aku juga tidak ingin menikah tapi keluargaku akan kecewa jika aku melakukannya. Anggap saja pernikahan ini sebagai alat untuk membebaskan kita dari semua tuntutan keluarga. Lagipula kau tidak punya pilihan untuk menolak.” Ujar Marchel terdengar begitu sombong di telinga Carol. Melukai harga diri wanita itu begitu dalam. “Lebih baik aku berakhir di tempat Madam Ol—” Ucapan Carol terpotong oleh laju mobil yang berhenti dengan tiba-tiba. “Baik, silahkan turun dari mobilku!” Carol tidak brgeming. Diantara semua kesulitannya, sekarang adalah masa-masa terberatnya. “Kenapa diam saja? Sana turun!” Carol menggeleng. “Apakah tidak ada syarat lain selain menikah?” Marchel tampak berpikir. “Tidak!” Jawabnya kemudian. “Orang tuaku belum tentu setuju denganmu.” Ucap Carol masih mencoba bernegosiasi. “Mereka akan menyambutku dengan hangat. Ayo taruhan kalau tidak percaya!” Seperti mendapat angin segar Carol tersenyum. Bagaimanapun orangtuanya pasti akan menolak Marchel, dia hanya perlu memanipulasi keadaan nantinya. “Baik, kalau aku yang menang, pernikahan kita batal dan iklan itu tetap dihapus.” Marchel tertawa. Sedikit geli melihat perubahan sikap wanita dewasa disampingnya yang tiba-tiba saja seperti anak kecil ketika membicarakan taruhan. “Kalau aku yang menang, kabulkan apapun permintaanku.” Dengan penuh percaya diri Carol mengangguk. Selama ini dia tidak pernah gagal membuat orangtuanya membenci calon yang hendak dijodohkan dengannya. “Kalau begitu lepaskan aku dari Madam Olive. Kesepakatan kita sudah deal kan?” Marchel melajukan kembali mobilnya dan berhenti di depan Apartemen mewah. Masih belum menjawab pertanyaan Carolin. “Ayo turun!” Mereka berjalan menuju lift dengan Caroline mengekor di belakangnya. “Apakah tempat tinggalmu di lantai paling atas?” Marchel mengangguk masih dengan wajah datarnya. Setelah itu tidak ada lagi percakapan. Padahal Carol sudah berusaha mengajak laki-laki datar itu berbicara. Begitu pintu lift terbuka hanya ada satu pintu di lantai itu. Carol tidak heran jika tempat tinggal Marchel adalah sekelas penthouse seperti ini, mengingat kekayaan keluarga Prayogo yang berlimpah itu. Tapi melihat sikap dingin laki-laki itu yang jauh sekali dari karakter Dimas, membuat Carol sedikit merinding. Padahal biasanya, wanita itu adalah jenis yang tidak takut pada laki-laki manapun. “Sayang aku udah nunggu lama loh!” Seorang wanita cantik menyambut kedatangan Marchel dengan sumringah, tapi begitu melihat Carol pandangannya langsung berubah. Marchel berdecih dalam hati, menunggu lama dari Hongkong! Setengah jam yang lalu laki-laki itu masih melihat Sandara baru saja selesai bergumul dengan Marco, sahabat Marchel sendiri. Jarak apartemen Dara dan Marchel sepuluh menit jika lancar. Jika dihitung, Dara baru saja sampai sebelum Marchel tiba. Seharusnya Marchel akan sampai lebih dulu jika tidak bernegosiasi dengan Carolin. “Benarkah?” Jawab Marchel cuek. Berjalan begitu saja menuju dapur kemudian berhenti ketika menyadari Carol masih berdiri di depan pintu. “Sedang apa di situ? Ayo kamu butuh minum.” Melihat tatapan sinis wanita berambut pirang itu, Carol berkesimpulan bahwa dia sedang berada di tengah-tengah perang dunia. “Sayang dia siapa? Dan kenapa kamu secuek ini padaku?” Sudah Carol duga. Jika di luar sana tidak berbahaya untuknya, Carol sudah berlari meninggalkan tempat ini. “Dia calon istri yang akan aku kenalkan pada orang tuaku minggu depan.” Mata wanita itu melotot. Yang bisa Carol lakukan adalah menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan menyiapkan kuda-kuda  seandainya nanti akan ada beberapa cakaran dan jambakan yang akan menyerangnya. “Apa maksudmu?” “Masih bertanya apa maksudku Dara? Kita sudah berakhir sejak area pribadimu merasakan nikmatnya kehangatan milik Marco. Aku tidak mungkin mengenalkan w************n dan penghianat pada ibuku yang lembut dan baik hati.” Sebagai seorang wanita Carol ikut merasakan betapa tajamnya ucapan Marchel. Dia bahkan sampai meneguk air liurnya. Tidak menyangka kakak Dimas yang terkenal sempurna itu ternyata sangat menakutkan. “Kamu percaya pada gosip murahan seperti itu? Apa perempuan penggoda ini yang menyebarkan gosip itu?” Tatapan kebencian jelas sekali ditujukan pada Carol. Sayangnya Carol tidak peduli. Dia lebih merinding melihat ekspresi Marchel. “Silakan keluar dari tempatku! Jangan mengganggu ku lagi.” Marchel berjalan mendekati Carol dan menarik tangannya menuju dapur. “Lepaskan tangan w************n itu! Aku tidak terima dibuang seperti ini.” “Kau yang membuang ku dengan pengkhianatan, berhentilah menjadi terlalu drama. Keluar atau aku akan menyuruh satpam mengusirmu dari sini.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD