Chapter 3: Last Mission

1181 Words
Playlist :  Jason Walker - Down •••          "Jadi ini milikmu?"tanya Laura yang mendudukkan dirinya di pinggir kolam, sembari memainkan ujung kakinya di dalam air. Sesekali sorot mata biru Laura beredar di seluruh backyard mansion tersebut, lantas kembali pada ujung kakinya yang terasa dingin. "Yah! Aku membelinya satu tahun lalu. Kadang, aku bosan berada di mansion yang sama dengan keluargaku,"balas Maxent datar sembari membuka minuman soft drink nya. "Itulah nikmatnya menjadi orang kaya, mereka bisa membeli apapun hanya dengan alasan sepele,"balas Laura tersenyum kecut sembari meraih soft drink yang ada di sampingnya. Membuka dan langsung menenggak minuman nyaris tandas. "Seandainya, aku tidak di buang. Mungkin aku tidak akan menjalani hidup sesulit ini,"tandas Laura sembari membuang napasnya kasar. "Di buang?" "Ya! Aku tidak seberuntung kau. Hidupku rumit,"balas Laura mencoba bersikap santai. Entah kenapa, di saat bersama Maxent ia ingin terlihat lebih bebas tanpa ada beban sedikitpun. "Hm! Aku tidak seberuntung yang kau katakan!" "Ayolah Maxent, apa yang kurang dari mu? Kau punya keluarga yang selalu mendukungmu, di negeri ini, siapa yang tidak tahu keluarga Morgan? Kau bisa membeli apapun." Maxent diam sejenak, ia memiringkan bibir lalu menatap tegas ke arah Laura sejenak. "Aku tidak pernah memiliki teman, Laura." Deg! Gadis itu menelan ludah, mengedarkan pandangannya lugas. Maxent tampak kesepian. Tercetak cukup jelas sekarang. "Laura, apa kau ingin melakukan satu hal dengan ku?"tanya Maxent dengan suaranya yang sedikit serak, tanpa melepaskan pandangannya sedikitpun. "Hm! Maybe!" "Aku ingin kau menjadi teman ku dan begitupun sebaliknya, kita bisa berbagi kesedihan atau sedikit rahasia kecil, yang akan kita simpan bersama!"celetuk Maxent membuat Laura langsung menarik napasnya berat. Ia memalingkan pandangan sebisa mungkin. "Daddy ku salah satu anggota Blindberg, pria itu, membuang mommy saat tidak berhasil membujuknya untuk menggugurkan ku. Pria itu, meninggalkan mommy di rumah sakit jiwa, agar bisa menutup rahasia ini rapat. Hingga akhirnya, ia menikah dengan gadis bangsawan Spanyol." "Apa karena itu kau bergabung bersama The Prinsphone?"tanya Maxent memerhatikan Laura mulai mengulum bibirnya. "Hm! Sebelum bertemu Steven aku menjalani kehidupan yang keras. Merampok, membunuh, kurir ganja, atau apapun itu hanya untuk bertahan hidup. Parahnya, daddy ku sendiri tidak ingin ada satu orangpun yang tahu bahwa aku anaknya. Karena itulah aku bergabung ke dalam The prinsphone untuk menghancurannya,"terang Laura sembari mengepal tangannya begitu kuat. Memikirkan begitu jauh semua yang ada di hadapannya. "Apa kau tidak bisa mengeluarkan mommy mu dari-" "Dia sudah tiada Maxent. Aku sendiri di dunia ini,"potong Laura sembari merapatkan giginya begitu kuat. Ia tidak pernah merasa begitu terbuka sebelumnya. Ia menyandarkan kepala di bahu pria itu, takut, jika Maxent menyadari kelemahannya sekarang. Laura menangis. "Di dunia ku, orang-orang hanya mengenal Alexander Dalle morgan. Apapun yang aku lakukan, yang mendapatkan pujian, pasti pria tua itu. Aku tidak di beri kesempatan." "Kau iri dengan daddy mu?"tanya Laura sedikit terhibur dengan ucapan Maxent. Jujur saja, tangisannya sedikit mereda. "Ayolah Laura. Aku sedang berusaha untuk menceritakan kesedihan ku!" "Kau tidak terlihat sedih, Maxent. Kau terdengar seperti memuji daddy mu itu, siapa? Pria tua katamu?"tukas Laura tertawa lepas di hadapan pria tersebut. "Aku membayangkan bagaimana seorang Alexander tidak memiliki rambut dan membawa tongkat, sialan .... Kau....apa yang kau katakan, Maxent."Laura tidak berhenti bicara. Ia terlihat lebih baik dengan senyuman yang sangat lebar saat ini. Gadis tersebut bahkan berkali-kali memukul Maxent. Sungguh ia sudah begitu lama tidak tertawa sehebat itu. Tap!! Mendadak, Maxent menariknya lebih dekat dan membungkam mulut Laura dengan ciuman yang khas. Lantas, mata biru gadis itu membulat lebar saat menerima serangan yang sangat spontan. Ia terdiam beberapa detik, seakan sesuatu mematikan seluruh sarafnya. Laura menikmati ciuman Maxent. Ini lembut, mampu membuatnya lumpuh bahkan berniat membalasnya. Tepat, enam detik kemudian Laura melingkarkan tangannya di leher Maxent. Memutar bibirnya bersama hingga ciuman mereka semakin dalam. Ia menerimanya, cukup jauh. "Apa kau tidak menganggap ku sebagai pelaku kriminal yang kejam Maxent?"tanya Laura saat keduanya saling melepaskan ciuman. Masih dalam bingkai tatapan yang tajam. "Aku melihat mu sebagai gadis yang berani, Laura. Kau cantik, seperti gadis lainnya bahkan lebih,"secepat kilat, wajah Laura merah. Ia tidak bisa menyembunyikan hal tersebut.  "For best friends,"ucap Laura sembari menggerakkan jari kelingking nya. "Itu norak Laura, tidak cocok untukmu." "Ayolah, sesekali kau harus lihat sisi lain ku. Tapi nanti, aku akan kembali menjadi gadis tangguh. Tidak ada di kamus ku cerita tentang seorang yang lemah."balas Laura mengedipkan mata. "Okey. Best friends. Setelah ini kembalilah jadi gadis tangguh, dewi The Prinsphone,"ucap Maxent mengikat jari mereka cukup kuat, tanpa melepaskan pandangan mereka sedikitpun. Laura cantik dengan sikapnya tersendiri, tidak ada yang kurang bagi Maxent. Hatinya lemah, sepertinya akan mudah bagi pria tersebut untuk melepaskan Avril. "Kau ingin bersenang-senang?"tawar Maxent sembari melepas ikatan tangan mereka. "Senang-senang?"tanya Laura sedikit terbata. Ada ribuan pikiran kotor di kepala Laura saat ini. "Yah! Akan penuh tantangan. Anggap hutang mu lunas." "Semudah itu? Apa kau ingin menawarkan ku untuk berhubungan di ranjang, Maxent?"tanya Laura cukup polos. Ia menelan ludah, cukup takut. Ayolah, Ia masih trauma dan tidak akan melakukan hal tersebut sembarangan. "Luar biasa. Baru di cium sekali, pikiran mu langsung berubah. Aku akan menunjukkan sesuatu padamu, Ayo!"Maxent mengulurkan tangan, membuat Laura langsung diam dan menatap jemari panjang pria tersebut. Tampak begitu menggoda. "Ayolah, kau pasti suka." Laura menahan napas, ia langsung mengangguk dan menyambut tangan Maxent erat, lalu bergerak mengikuti pria tersebut untuk memasuki kembali ruangan mansion. Maxent melangkah pelan, mengeratkan jemari keduanya hingga mereka sampai ke sebuah elevator dan segera memasukinya. "Kita turun?"tanya Laura membuat Maxent tersenyum tipis, tanpa menjawab apapun hingga akhirnya pintu terbuka lebar untuk mereka. Tap!! Laura membulatkan mata, meneliti sebuah secret room yang super mewah dan luas. "Aku melakukan banyak transaksi ilegal di dark web. Menghasilkan uang dan membeli semua ini,"terang Maxent menatap punggung Laura yang melangkah di depannya. "Ayo!"mereka kembali melangkah, menyusuri lorong yang dominan dengan warna putih tersebut hingga sampai di sebuah gudang. "Ya Tuhan, aku pikir ini asli. Kau menyukai iron man?"tanya Laura memerhatikan sebuah space replika Iron Man.          "Yah, sangat menyukai karakter tony Stark. Kau suka senjata kan? Ayo ikut, aku tunjukkan sesuatu,"tawar Maxent sembari menekan salah satu tombol rahasia yang ada di sudut tubuh patung Tony Stark. Tap!! Lagi, Laura ternganga, matanya membulat hebat. Sebuah hamparan senjata tersusun rapi, mungkin ribuan dalam segala jenis.          "Milik mu?"tanya Laura penasaran. "Yah! Sejak kecil, daddy membelikan ku ratusan senjata mainan. Aku jadi terbiasa dengan hal itu dan mewujudkannya secara nyata, ah ya- aku membeli semua ini tanpa bantuan daddy,"balas Maxent penuh penekanan membuat Laura langsung tersenyum simpul. "Ada lagi yang ingin kau tunjukkan?"tanya Laura dengan suara parau. Ia mulai bersemangat. Maxent mengangguk, ia menunjukkan galeri mobil, sebuah gitar listrik berwarna silver gold dan terakhir kejutan terakhirnya. Mereka menaiki elevator kembali, menuju lantai enam dan berhenti di sebuah ruangan dengan interior mewah berdinding tiga dimensi. "Kemarilah Laura!"ucap Maxent menangkap jemari gadis tersebut kembali, ia meraih ponselnya dan tampak menekan benda tersebut cukup lama. "Ada apa?" "Pintu ini hanya bisa di buka oleh ku, jika kau mencoba membobolnya, passcode akan masuk ke sini!"terang Maxent sembari menaikkan alis. Beberapa detik kemudian, pintu besi tersebut terbuka lebar, menampilkan sebuah ruangan menjulang menuju danau, berbentuk seperti kapal dengan kolam gantung.          "Baiklah, sepertinya istirahat di sini akan nyaman." "Ya! Sangat nyaman Laura. Tapi, kau harus ingat bahwa hutang mu belum lunas. Kita akan melakukan sesuatu hal malam ini, bersiaplah!" "Maksud mu?"balas Laura sembari mengerutkan kening. "Aku butuh sebuah data penting, hal ini memiliki nilai jual tinggi. Sangat berbahaya. Kita akan membobolnya nanti malam, aku tahu, kau menyukai tantangan Laura." "Sepertinya terdengar menarik Maxent, aku perlu senjata mu!" "Ambil berapapun yang kau butuhkan, Laura,"jawabnya sembari melempar senyuman yang sangat khas. Seketika, gadis tersebut kembali mendekat, menatap Maxent tanpa lepas dan membalas senyuman smirk yang ia miliki.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD