Chapter 2 : Chili

1084 Words
"Kau belum bisa melepaskan diri, Laura?"tegur seorang pria yang keluar dari ruang bawah tanah, sembari memegang segelas sampanye. "Bukan urusanmu Marvel, di mana Steven!"tandas nya selalu sarkas sembari mengedarkan pandangan. "Entahlah!"balasnya sambil menaikkan kedua bahu cukup tinggi, membuat Laura memutar bola matanya malas. "Kau terluka, Laura!" Tap!! Seketika, tangan gadis tersebut langsung menepis cepat sentuhan Marvel yang nyaris mengenainya. Ia menatap kilat, mengerutkan kening membuat suasana mendadak tegang. "Apa kau ingin aku patahkan tangan itu seperti teman mu kemarin, Marvel?" "Santai lah Laura. Kau berlebihan!" "Aku bukan p*****r yang mudah di sentuh siapapun!"balas Laura sembari mengeluh kasar dan menatapnya kilat. "Okay, baiklah, aku minta maaf!"tukas Marvel sembari menyesap minumannya sembari tersenyum tipis. Seketika, Laura langsung mengalihkan pandangan, memutar haluan tubuh dan menjauhkan diri. "Siapapun, pasti akan tertantang dengan mu Laura. Beruntung sekali Steven."pikir Marvel menatap keseluruhan tubuh gadis tersebut hingga hilang dari pandangannya. "Laura, kenapa kau mematikan jaringan earphone?"tegur Steven saat menatap langsung wajah kekasih nya tersebut. "Kau berisik!"balasnya singkat sembari mengikat rambut cukup tinggi, membiarkan bahunya terekspose. "Laura aku mengkhawatirkan mu!" "Ayolah Steven, aku bukan anak kecil lagi. Aku bisa jaga diri." "Nyatanya, kau ketahuan! Berita mu di mana-mana, Laura. Bagaimana jika mereka-" "Aku letih, keluarlah!"balasnya begitu datar, membuat Steven frustasi mengarahkan gadis tersebut. "Laura, dengar! Aku tahu ambisimu, tapi kau tidak bisa melibatkan The Prinsphone atas masa lalu mu." "Lantas, kau ingin aku bergabung bersama Golden Vogos? Pria yang tengah memeralatku?" Seketika, Steven terdiam dan mengulum bibirnya cekatan sembari mengalihkan pandangan. "Artinya kau berkhianat, ingat, Golden Vogos musuh kita. Manfaatkan moment ini, itu saja!"terang Steven sembari melewati gadis tersebut. "Itu artinya, kau yang ingin memperalat ku. Kenapa? Kau tertarik dengan Clan Blindberg yang tengah menyiapkan komputer Quantum itu?"tandas Laura menghentikan langkah Steven yang nyaris sampai pada bibir pintu. "Laura!" "Pria itu, meminta ku untuk berhubungan di ranjang. Kau setuju?"potong Laura sembari menaikkan satu alisnya. Ia tahu betul siapa Steven, tapi kali ini pria tersebut sedikit keterlaluan. "Laura, aku letih bertengkar dengan mu!"balas Steven tidak ingin menjawab. "Kalau begitu, kita putus saja. Aku akan menjadi partner ranjang Maxent dan mengajaknya bergabung untuk mewujudkan mimpi The Prinsphone. Kau Setuju?" "Laura kau tidak paham kondisinya!" "Baiklah, aku anggap kau setuju!"tandas Laura dengan suara parau. Ia mengepal tangan, menatap kilat ke wajah Steven yang tampak tidak beraturan. Seketika, Steven menghela napas. Ia muak dengan hubungan ini, Laura tidak pernah sekalipun mendengarkannya. Faktanya, pria tersebut tulus, ia mencintai Laura tanpa alasan. Berharap, gadis tersebut berhenti melakukan tindakan kriminal. "Harusnya, kau hanya diam dan berada di samping ku, Laura. Aku bisa memberikan mu segalanya, termasuk cinta!"ucap Steven pelan, ia menggelengkan kepala sedikit lalu beranjak setelah memastikan tidak ada satu katapun lagi yang keluar dari mulut gadis tersebut. _____________________ Maxent membuka laptop pemberian Laura, menyambungkan benda tersebut dengan beberapa kabel pendukung. Ia tampak sibuk hingga semuanya siap, Maxent langsung menarik kursi dan duduk tegap di depan layar benda berisi data penting tersebut, mulai fokus. "Ini dia,"keluh Maxent meneliti setiap layar penuh program yang ia pahami, semua di luar kepala. Bagaimana tidak, ia salah satu mahasiswa undangan pascasarjana yang mendapatkan nilai camlaude di Massachusetts Institute of Technology. Universitas yang mendapatkan predikat pertama terbaik dunia menurut Qs World University Rangkings. Beberapa menit kemudian, Maxent masih berkutat penuh pada layar laptopnya. Meneliti banyak hal yang bisa ia lakukan. Seperti biasa, Ia akan menjual>darkweb, bahkan menembus Mariana's web yang masih menjadi perbincangan hangat dunia. Begitu banyak konspirasi terhadap web tersebut hingga saat ini. "Selesai, aku tinggal menunggu notifikasi Paypal,"tukas Maxent sembari menaikkan kedua tangan ke atas tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun. Maxent terdiam sejenak saat merasakan sesuatu melintas di benaknya, begitu tajam. "Mau ku patahkan milikmu, Hahh" Mendadak, Maxent tersenyum kecil. Pikirannya hanyut pada Laura, gadis berani yang membuatnya begitu berusaha keras untuk mencari alasan, agar bisa menemuinya lagi dan lagi. Padahal, ia menjalin hubungan serius bersama Avril, sahabat Carolina, adiknya. Walaupun hubungan tersebut tertutup, Maxent ataupun Avril cukup menunjukkan sikap saling mencintai. Ah- entahlah. Pria tersebut masih terombang-ambing. Jika bisa, ia ingin memiliki keduanya. Ddrrrttt!! Lamunan Maxent buyar seketika, saat ponsel yang sempat ia letakkan di sisi laptop tersebut berdering lantang. Ia tersenyum kecil saat menatap nama yang tertera di layar ponsel tersebut seakan memanggilnya, CHILI, begitulah Maxent menyimpan nama Laura. Tap!! Maxent mengangkatnya, meletakkan benda tersebut di sudut telinga. "Kenapa? Kau tidak sabar dengan pekerjaan selanjutnya?"jawab Maxent sembari memundurkan tubuhnya menjauhi meja laptop. "Kau di mana? Aku ingin menginap di tempat mu,"tukas Laura sembari mengulum bibir. Ia bosan dengan suasana markas, mungkin menjauh dari Steven sejenak mampu memulihkan hatinya. "Menginap?"tanya Maxent memperjelas. "Jemput aku di coffeeshop, sekarang!"tandas Laura sembari mematikan ponselnya cepat, lalu melempar sembarangan benda tersebut. Lantas, Maxent bangkit dari tempat duduk. Ia mengedarkan pandangan di seluruh kamar dan masih berpikir keras. "Menginap? Di sini? Apa dia ingin berkenalan dengan mommy atau daddy?"pikirnya sembari melangkah kemana-mana. "Tidak bisa, Laura tidak bisa menginap di sini, Caroline bisa membuatnya jera!"Maxent kembali melebarkan senyuman. Ia mendekati laptopnya kembali, mematikan dan menggulung semua kabel seperti semula dan menyembunyikan semua peralatan di tempat aman, lantas, segera keluar dari ruangan tersebut. "Maxen! Kau mau kemana?"tegur Lorna sembari mengusap rambutnya yang basah. "Hm.. Aku ada keperluan. Mungkin tidak akan pulang malam ini." "Kau mau menginap di mana?"tanya Lorna menaikkan kedua alisnya, memaku pandangan tegas ke arah Maxent tegang. "Hm- aku ingin merefresh kan otak, mungkin menumpang di mansion daddy yang lain,"jawabnya sambil tersenyum. Seketika, Alexander langsung mengangkat pandangan sembari melipat koran yang ada di tangannya. "Aku dengar, kau membeli properti di Hillsboro beach dua minggu lalu-" "Ah tidak daddy. Itu hanya kabar bohong." "Dari mana kau mendapatkan uang sebanyak itu?"balas Alexander membuat Maxent langsung terdiam di tempatnya. Ia menggaruk tengkuk dan memikirkan ribuan alasan yang bersarang di kepalanya. "Dia mencuri dad,"potong Caroline masuk ke dalam pembicaraan sembari meraih sebuah apple dan langsung menggigitnya. "Sial, ingin ku benturkan kepalanya,"batin Maxent menatap wajah Carol sambil mengepal tangan. "Apa? Mencuri? Maxent-" "Kau boleh pergi!"potong Alexander saat Lorna terprovokasi ucapan Caroline. ''Alexander, apa yang kau katakan?" "Pakai black card mu dengan benar."sambung pria tersebut membuat Maxent semakin besar kepala. Ia menghina Caroline dan segera memutar tubuhnya sebelum Alexander berubah pikiran. "Dad, kenapa kau membiarkan-" "Caroline. Masuk ke kamar mu dan bersiaplah! Nanti malam aku akan mempertemukan mu dengan seseorang." "Dad, jangan mulai lagi. Aku muak dengan perjodohan ini!"tandas Caroline parau. "Aku akan mencari calon yang cocok untukmu, hingga kau setuju!"balas Alexander membuat Lorna memegang lengannya kuat. "Yah! Siapkan sebanyaknya dad, itu tidak akan terwujud. Lihat saja nanti,"tandas Carol sembari melangkah menjauh membiarkan keduanya diam sembari saling memandang. "Caroline masih muda, biarkan dia bersenang-senang,"protes Lorna sembari menelan ludahnya kuat. "Aku harus cepat menikahkannya, sebelum Milla macam-macam!" "Astaga Alexander, kau masih mengingat itu? Luiz bahkan tidak bicara pada Carol." 'Itulah sebabnya, kadang, pria diam karena suka!"balas Alexander membuat wanita tersebut diam. "Lagipula, tidak ada salahnya. Aku senang jika Carol bisa bersama Luiz. Mereka pasangan yang pas dan-" "Jangan mimpi!"potong Alexander dengan napasnya yang menggebu. Ia memutar pandangan, mendengar suara pintu kamar yang di banting Caroline sangat kuat. Entah, berapa kali ia harus mengganti pintu kamar gadis tersebut, yang jelas hampir setiap minggu pintu tersebut harus baru. _________________________ Bagaimana untuk part 2 ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD