Episode 3

2240 Words
Continue here...   "Ada apa, Pak?" tanya Mama Nadia.   "Tolong Istri saya. Dia mau melahrikan, Bu Dokter."   Mama Nadia mengangguk. "Baik, Pak saya siapkan tim saya dulu ya. Tenda Bapak di sebelah mana?"   "Di ujung sana Bu Dokter." tunjuk si Bapak ke arah ujung lapangan.   "Aluna, tolong bangunkan Bidan Fanny nanti sekalian lewat saya panggil dr. Hamzah juga. Kamu ikut bantu ya, siapkan partus set nya." perintah Mama Nadia pada Aluna lalu beliau ikut si Bapak tadi ke tendanya.   "Baik, Dok." Aluna lantas kembali ke dalam tenda membangunkan Bidan Fanny.   Tunggu-tunggu. Mama Nadia bilang apa tadi? Hamzah? Aluna nampak berpikir sambil menyiapkan partus set bersama Bidan Fanny, ia nampak berpikir dan termenung.   "Dok! Ayo!" Bidan Fanny menarik sebelah tangan Aluna yang sebelahnya lagi menenteng galon kecil berisi air bersih untuk cuci tangan. . . . . .   Sampai di sana Mama Nadia nampak sedang berbicara dengan Hamzah sambil menunggu kontraksi si Ibu yang sudah berbaring sambil meringis-ringis di tengah cahaya lampu yang tidak terlalu terang.   Aluna dan Bidan Fanny segera menyiapkan apa yang di perlukan. Mata Aluna dan Hamzah sempat bertemu pandang beberapa detik sebelum pekikkan dari Ibu di belakang Aluna membuyarkannya.   "Apa nggak sebaiknya kita bawa ke tenda medis aja, Dok?" tanya Bidan Fanny sambil memakai handscoon.   "Terlalu jauh, pembukaan jalan lahir sudah sempurna tinggal mengejan aja." sahut Mama Nadia lalu menit berikutnya beliau sibuk membimbing pasien di depannya ini untuk mengejan perlahan tapi pasti.   Aluna memperhatikan tiga orang di sekelilingnya dengan seksama, tugasnya malam ini adalah menerangi dengan senter dari ponselnya dan membersihkan si bayi nanti setelah keluar. Namun, sejak tadi ia perhatikan wajah Hamzah yang memucat, entah apa yang dipikirkannya atau memang ia sedang sakit, Aluna tidak tahu.   "Dr. Hamzah! Tolong fokus!" hardik Mama Nadia membuat Hamzah kembali pada fokusnya.   "Maaf, Dok." sahut Hamzah sekenanya.   Hingga beberapa menit kemudian suara lengkingan tangis tedengar di waktu hampir tengah malam ini. Aluna sudah siap di samping Mama Nadia membawa kain bersih untuk menutupi bayi yang baru lahir itu.   "Alhamdulillah, selamat ya, Ibu, Bapak. Anaknya laki-laki, sehat sempurna." ujar Mama Nadia sambil memperlihatkan bayi merah yang masih menangis kencang.   "Alhamdulillah... Terima kasih Bu Dokter..."   Mama Nadia lalu mengangguk dan meminta Hamzah untuk membersihkan sisanya sambil menunggu placenta nya keluar. Sementara Aluna dan Bidan Fanny mengurus si bayi yang sudah nampak tenang setelah bersih dan dipakaikan baju lalu diberikan pada Ibunya untuk segera menyusu.   Setelah semua selesai, Aluna mulai menguap Bidan Fanny juga.  "Ngantuk dok, boleh balik nggak ya?" bisik Bidan Fanny ke telinga Aluna.   "Sama. Saya jughaa.." Aluna menguap lagi matanya sayu dan berair.   Mereka berdua masih menunggu Mama Nadia dan Hamzah yang sedang mengobrol dengan Keluarga dari Ibu dan Bapak yang minta tolong tadi. Padahal aslinya kepala Aluna sudah cenat-cenut karena terbangun dengan paksa, ia tadi langsung duduk dan pusing kepalanya baru terasa sekarang.   Mereka nampaknya asyik sekali mengobrol, Aluna dan Bidan Fanny tidak enak untuk menginterupsi padahal waktu sudah dini hari. Besok pagi ada pemeriksaan kesehatan dan lanjut keliling beberapa desa.   "Tomorrow is gonna be long... Long.. long day..." desah Aluna dalam hati mengingat besok padat sekali dan ia belum juga terpejam.   "Ehm, dok maaf, sepertinya kita harus balik ke tenda masing-masing sekarang. Sudah jam 2 pagi, nanti kita ada penyuluhan pagi kan?" bisik Hamzah saat sepertinya sudah habis topik pembicaraan.   Mama Nadia nampak mengangguk lalu mereka semua pamitan dengan Keluarga ini.   Mereka semua kembali ke tenda masing-masing dengan Aluna yang sudah jalan dengan terhantuk-hantuk sambil sebelah tangannya menggandeng Bidan Fanny agar ia tak jatuh terperosok karena ngantuk berat dan sebelahnya lagi membawa partus kit.   Aluna kembali ke tempatnya dan kembali memeluk bantal kesayangannya sampai lupa menyelimuti dirinya sendiri. Mama Nadia yang baru saja menandaskan minumnya saat melihat Aluna sudah pulas tertidur tak terusik dengan nyamuk langsung mengambil krim anti nyamuk di bawah bantalnya.   Mama Nadia tersenyum lalu menyapukan krim  anti nyamuk ke pipi putih Aluna yang kini benar-benar pulas lalu menyelimutinya. Semua anak dan menantu dari keluarga Prayuda sudah seperti anaknya sendiri, tak terkecuali Aluna yang jarang ia temui namun ia selalu merasa dekat dengan semuanya.   "Kamu capek banget ya, Lun? Dari pagi sampai sore main sama anak-anak, terus bantu Mama ikut partus. Semangat, perjalanan masih panjang, Anakku." gumamnya lalu merebahkan diri di samping Aluna, ia sudah menganggap Aluna seperti putrinya sendiri.   ----------  Hari sudah pagi, matahari sudah tinggi saat Aluna baru selesai dengan ritual mandinya, semua harus antre, tak terkecuali. Saat ia kembali ke tenda, semua temannya tak ada, semua sibuk ada yang mempersiapkan untuk pemeriksaan kesehatan pagi ini, bahkan ada yang membantu di dapur umum.   Salahkan dirinya yang terlalu pulas tertidur dan akhirnya dapat giliran mandi paling terakhir. Aluna segera membereskan bajunya lalu mengeluarkan alat perangnya juga memasukkan makanan-makanan ringan untuk di bagikan pada anak-anak lagi. Sepertinya hanya Aluna sendiri yang punya stok makanan ringan sebanyak ini, apalagi niatnya bukan untuk makan sendiri melainkan dibagikan karena ia tahu pasti akan ada kunjungan keliling juga, jadi untuk menarik perhatian anak-anak, ia sendiri harus kreatif.   "Mata kamu bengkak gitu dr. Luna? Kenapa?" tanya dr. Faiz saat melihat Aluna datang dengan wajah sembab khas orang kurang tidur.   "Semalam ikut partus dok, terus mantau sampai kira-kira jam 2 pagi." Aluna mengerjapkan matanya beberapa kali untuk menghilangkan kantuknya.   "Oohh pantes ada suara bayi nangis semalam itu ya. Kok saya nggak tahu ya?"   "Yee, dokter di tenda mana, saya di mana. Dr. Nadia semalam panggilnya saya,  Bidan Fanny sama dr. Hamzah. Itu aja kayaknya udah keroyokan." kekeh Aluna kemudian mengingat semalam mereka berempat sibuk sekali.   "Hahaha iya sih, semalam juga kan ada yang di tenda medis. Jaga pasien yang luka-luka."   Aluna mengangguk, ia sudah mengambil posisi di samping dr. Faiz lalu satu persatu pasien mengantre di depan mereka dan ditangani. Keluhannya semua sama, tak lain dan tak bukan adalah masalah pernapasan karena di sini debu di mana-mana.   Setelah selesai dan seperti halnya kemarin, Aluna langsung di kerubungi anak-anak dan dengan senang hati Aluna membuka tas berisi makanan yang dibawanya tadi. Melihat ke sisi lain tempat ini, di ujung sana ramai Ibu-ibu, beberapa di antaranya hamil dan juga balita yang sedang menunggu giliran periksa, di sana ada Mama Nadia, beberapa Bidan dan Hamzah tentunya.   Oh, bicara soal Hamzah. Aluna masih penasaran kenapa bisa Hamzah kehilangan fokus dan akhirnya di marahi Mama Nadia. He seems fine dan tiba-tiba mata mereka kembali bertubrukkan, Hamzah hanya melempar senyum dan Aluna tersenyum kembali.   "Kak, ayo main!" ajak salah satu anak yang menarik-narik baju Aluna.   "Yuk. Tapi tunggu dulu, ya?"   Anak itu mengangguk patuh menunggu Aluna berkemas. "Dok, ajak anak-anak main dulu ya." katanya pada dr. Faiz sambil meletakkan kembali stetoskopnya ke dalam tasnya.   "Iya sana gih, temenin main. Udah nggak ada kerjaan kok, aku yang handle, hibur aja mereka."   Aluna mengangguk lalu pergi ke tengah tanah lapang itu dan bermain dengan anak-anak yang sudah mulai ceria seperti tak terjadi apapun pada mereka padahal Aluna sendiri tahu bahwa mereka semua memiliki trauma yang terpatri di dalam diri mereka hingga besar nanti.   Tanpa Aluna sadari, di kejauhan Hamzah memperhatikan interaksinya dengan anak-anak, mereka semua nampak nyaman bermain dengan Aluna padahal baru saja tiba di sini. Ia lihat Aluna kembali ke tenda dan mengambil sesuatu di sana, Aluna duduk bersama anak-anak membentuk sebuah lingkaran.   Aluna membuka lembar demi lembar buku cerita bergambar yang ia bawa dari Jakarta. Sengaja ia beli untuk ia mendongeng di sini, Hamzah masih memperhatikan dari jauh.   Aluna menceritakan dongeng tentang cerita Timun Mas. Bahkan saking totalnya, Aluna sampai meniru suara raksasa yang mengejar-ngejar Timun Mas. Tawa riuh anak-anak dan jeritan karena kaget membuat sekelilingnya ikut tertawa juga, tak terkecuali Mama Nadia yang baru selesai sesi konsultasi dengan pasiennya.   Mama Nadia tersenyum sambil geleng kepala melihat Aluna kini di gelayuti anak-anak, ada yang dipangkuannya, memeluk leher Aluna dari belakang dan lain sebagainya sampai sepertinya tak mau pisah dari Aluna.   "She's will be a good Mother to be." gumam Mama Nadia.   "Dokter kenal dengan dr. Aluna? Sepertinya dia dekat sekali dengan dokter?" tanya Hamzah polos.   "Sangat kenal, sejak Aluna masih kecil. Aluna adalah sepupu dari anak menantu saya satu-satunya, dr. Aliya." jelas Mama Nadia.   Hamzah mengangguk paham. "Lalu kalau dr. Jasmine, dr. Jihan?"   "Ya, mereka berdua Iparnya dr. Aliya dan dr. Aluna. Kamu baru tahu ya?"   "Hehehe, iya Dok. Saya kan baru di KMC, ternyata beberapa ada yang relate ya, Dok? Atau memang semua keluarga dari dr. Aliya itu dokter semua ya?"   "Oh nggak, Papa dan salah satu adik laki-lakinya Aliya itu arsitek kok. Tapi ya hampir semua sisanya dokter termasuk dr. Mario, kepala departemen orthopedi dan dr. Ellea, dulu pernah jadi kepala departemen bedah juga dan sekarang pindah di KMC Klinik bersama dr. Mailanny, Mamanya dr. Aliya"   "Garis keturunan ya, Dok." kekeh Hamzah kemudian.   "Ya, bisa di bilang begitu."   Hamzah mengangguk paham, ia baru tahu bahwa di sekelilingnya ada yang terhubung satu sama lain bahkan sudah kenal sejak semua masih kecil. . . . . .   Hari ini kegiatan padat sekali sampai mereka kembali ke tenda semula saat matahari sudah mulai tenggelam, langit menjadi jingga. Semua orang lelah, tapi terasa menyenangkan saat melihat hampir semua anak-anak kembali ceria seolah lupa apa yang telah terjadi.   Aluna duduk di batang kayu sambil meneguk segelas teh hangat dari dapur umum. Memandang sekelilingnya sambil merapal doa agar semua segera kembali seperti semula. Aluna bisa jadi mellow seketika saat ada penggungsi yang menceritakan bagaimana gempa itu menghancurkan desa mereka.   Sejak tadi tak henti ia beristighfar dalam hatinya agar selalu dilindungi tiap langkahnya,  mensyukuri nikmat yang Tuhan berikan karena masih memiliki keluarga yang lengkap, sehat dan tanpa kurang satu apapun.   "Sendirian?"   Suara siapa itu? Aluna menoleh ke sumber suara di sampingnya. "Eh. Iya dok," sahut Aluna.   "Jangan panggil saya gitu, Hamzah aja."  protesnya.   "O..oke, Hamzah."   Hamzah duduk di samping Aluna, agak menjauh sedikit sambil menyeruput tehnya juga. Lama mereka terdiam menikmati matahari tenggelam di kejauhan.   Banyak pertanyaan yang ingin sekali Aluna tanyakan pada Hamzah namun lidahnya seolah kaku. Ia merasa enggan, sungkan, takut Hamzah tersinggung bila ia bertanya.   Aluna memainkan ponselnya, mengalihkan perhatian. Padahal tidak ada sinyal di sini, hanya 4G saja namun internetnya tidak berjalan sama sekali.   "Internet di sini emang ada sinyal ya?" tanya Hamzah sambil melirik ke arah ponsel Aluna yang menampilkan laman ** namun tidak bisa memperbaharui feeds.   "Eh. Itu..., Iya nih nggak jalan internetnya. Padahal kemarin ada lho." jawab Aluna berusaha menghilangkan kecanggungannya.   Hamzah hanya tersenyum saja. "Kamu itu praktik di KMC tapi kok saya nggak pernah lihat ya?"   "Oh nggak. Saya di KMC Klinik, bukan di rs." sahut Aluna.   Hamzah mengangguk paham sementara Aluna masih merasa akward moment karena belum menemukan topik obrolan yang pas. Mana yang duluan akan ditanyakannya, Aluna pun bingung.   "Hmm..., Semalam itu kamu kenapa sampai di bentak sama dr. Nadia? Lagi sakit sampai nggak fokus gitu?" tanya Aluna akhirnya.   Ekspresi wajah Hamzah berubah. "Oh. Itu..." ia menggangtung kalimatnya, membuat Aluna semakin penasaran. "Saya sehat kok cuma..."   Aluna menaikkan satu alisnya menunggu jawaban, kenapa Aluna jadi takikardia begini menunggu apa kalimat selanjutnya yang akan diucapkan Hamzah.   "I lost my wife, after she deliver our baby. Dia, ada masalah dengan jantungnya tapi tetap ingin melakukan persalinan normal. Tanpa dia peduli nyawanya yang penting anak kami lahir. Dan ya, setelah bayi lahir, jantungnya melemah dan...." ujarnya pelan tak sanggup lagi menceritakan membuat Aluna melongo tak percaya.   Apa tadi katanya?? Istri?? Bayi?? Jadi Hamzah....   Aluna mengerjapkan matanya tak percaya bahwa seorang Hamzah yang dulu pernah naksir Kanika adalah seorang duda? What??   "I'm sorry for your lost. Saya nggak maksud tanya soal itu, maaf."   "It's okay. Harusnya saya udah ikhlas, karena udah 8 tahun berlalu, tapi ya terkadang jika di situasi seperti semalam membuat saya ingat dia."   "Jadi ini alasan kamu kenapa memilih jadi Obsgyn?" tanya Aluna, Hamzah mengiyakan.   "Ya, mungkin mendiang Istri saya adalah 1 dari 10 orang Ibu yang meninggal setelah melahirkan bayinya. Mungkin udah takdir Tuhan, saya nggak bisa melawannya, sekuat apapun itu. Bisa saja kan, jika waktu itu dia menjalani operasi caesar tapi akhirnya dia akan pergi juga." Hamzah memutar cincin di jari manisnya, cincin yang hanya lepas ketika ia bekerja di rumah sakit dan kembali lagi di pakainya saat ia berpergian.   Aluna hanya diam mendengarkan cerita Hamzah, ia jadi tak enak hati karena sudah bertanya hal yang ternyata begitu sensitive bagi Hamzah.   "Cuma cincin ini yang masih saya bawa jika pergi ke luar kota. Dara. Kiandara." gumamnya memandang benda kecil berwarna silver itu.   Hati Aluna mencelos, betapa cintanya Hamzah pada mendiang Istrinya. Ia jadi iri, bagaimana yang sudah meninggal saja masih amat sangat di cintai, tapi apa kabar dirinya yang masih belum menemukan siapa orang yang benar-benar mencintainya selain Ayah?   "Dia pasti bangga sama kamu. You bring a new life into this world, she's supposed to be happy, she's watching you, your kids. Mungkin raganya tidak di sini tapi dia selalu ada di sisi terdalam hati kamu." ujar Aluna mencoba bijak.   Habis makan apa Aluna bisa keluar kata-kata seperti itu?   "Thanks." sahut Hamzah.   Sejujurnya Hamzah sudah mencoba untuk berpaling ke lain hati. Ke Kanika misalnya, dulu saat Hamzah belum tahu bahwa Kanika sudah dipinang Genta. Jika saja Kanika masih sendiri saat itu mungkin saat ini Hamzah sudah bisa move on dari masa lalunya.   Entahlah, Hamzah sendiri masih gamang dengan perasaannya. Ia memikirkan anaknya, apa suatu saat nanti jika Hamzah menikah lagi, anaknya itu akan menerima Ibu sambungnya? Bisa saja Hamzah egois, namun itu bukan dirinya.   Kehilangan orang tercinta mengajarkannya untuk selalu bersabar dalam kondisi apapun. Ada yang pergi dan datang ke dalam hidup Hamzah dan mengajarkannya untuk tidak memikirkan dirinya sendiri, tidak egois karena ada hati anaknya yang harus di jaga.   The good, the bad, the lies and the truth. That's life. .......
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD