Episode 1

1784 Words
A/N; WAKTU DARI CERITA INI ADALAH MUNDUR DARI CERITA KANIKA. . . .   HAPPY READING!   Aluna Mysha Mariella.   Anak tunggal dari pasangan dokter, Mario Erwan dan Maellea Dewinda kini tengah dilanda pusing kepala karena sang Bunda terus-terusan mengenalkannya pada lelaki-lelaki tampan pilihan Bundanya itu.   Entah sudah berapa banyak lelaki yang ditolak Aluna dengan alasan tidak sreg dan entah sudah berapa kali pula ada yang sampai tahap mereka makan atau jalan berdua tapi setelahnya say bye-bye karena berhasil membuat Aluna ilfeel.   Ia tahu, dirinya lah satu-satunya anak Ayah dan Bunda, satu-satunya harapan mereka untuk segera menimang cucu. Aluna tahu dan paham akan hal itu apalagi semua sepupunya sudah menikah, terakhir kemarin Kanika yang kini juga sedang hamil besar.   Tanpa perlu banyak berkata, Aluna tahu hati Bundanya, cukup dari tatapan mata beliau saat menggendong Idzar atau bahkan Kembar Riana-Rinjani. Hati kecil Aluna teriris melihat begitu jelas di depan matanya, Bunda sudah mendambakan Cucu.   Siapa yang tak iri, di saat yang lain sudah mulai memiliki kebahagiaan baru dengan Suami dan anak-anak mereka sementara ia di sini, sendiri, ada sisi ruang yang kosong di hatinya.   Sudah saatnya ia mencari kebahagian itu, sudah saatnya ia kini membahagiakan Bunda dan Ayah. Memang, kebahagian bukan di ukur dari seberapa cepat kita menikah dan memiliki anak, tapi ketahuilah bahwa ada jiwa yang bahagia saat kita ada di titik itu, rona bahagia yang mungkin takkan menghilang, rona bahagia yang lebih dari saat anak mereka lahir ke dunia.   Jiwa itu adalah Ayah dan Bunda.   Aluna selalu menutup telinga dari ocehan Bunda yang tak berkesudahan tentang Jodoh tanpa sadar membuat hati Aluna sedih. Sering kali hati Aluna menjerit-jerit, menangis dalam sujudnya untuk segera di pertemukan dengan seseorang yang bisa ia sempurnakan separuh Ibadahnya.   Hhhhh... Aluna hanya bisa menghela napasnya panjang-panjang sambil melihat pemandangan parkir berjamaah di jalanan Jakarta pagi ini. Pemandangan biasa yang sudah tak lagi asing bagi  semua orang yang punya satu tujuan yang sama.   Beginilah rutinitas pagi setiap hari Aluna yang akan berangkat kerja bersama Ayah dan Bundanya, lagi-lagi Ayah dan Bunda. Ya mau bagaimana? Hanya mereka yang Aluna miliki saat ini, tak ada lagi.   "Ayah.. Ayah... Stop bentar, minggir dulu." pinta Aluna mendadak, untung saja Ayah Mario sedang tidak mengebut di tengah jalan.   "Ada apa sih, Dek?" tanyanya heran begitu mobilnya sudah berhenti di parkiran mini market.   "Anu, Yah. Bentar ya, Adek turun dulu, 5 menit aja." mohonnya lalu segera keluar dari mobil.   "Ngapain sih anakmu itu, Bun?"   "Nggak tahu, Yah." Bunda Ellea lantas membuka kaca mobilnya, seketika hatinya terenyuh melihat kelakuan putrinya itu.   Sepagi ini anak seusia Bryan dan Bryna-- cucu keponakan Bunda, sudah mengadu nasib di jalanan keras Ibu Kota, membawa keranjang makanan yang di jualnya, bersaing dengan orang lain yang juga berjualan di saat seharusnya anak itu ada di kelas, menunggu pelajaran di mulai.   Bunda Ellea turun dari dalam mobil dan menghampiri Aluna.   "Kamu beli apa, Dek?" tanya Bunda El.   "Ini lho, Bunda, lemper ayam. Enak deh, ini Adek udah borong buat di klinik." jawab Aluna sambil memperlihatkan kresek putih berisi beberapa buah lemper ayam lalu menyodorkan satu buah untuk Bunda El mencoba.   Ternyata enak.   Bunda El memandang wajah yang nampak lelah di hadapannya. "Nak, kamu jual apa aja?" tanyanya lembut.   Anak lelaki itu membuka tutup keranjang di depannya. "Cuma bolu kukus sama lemper ayam ini aja, Bu." jawabnya, suaranya parau.   "Ya udah, ini semua harganya berapa? Ibu beli semua ya?" ujar Bunda El.   Ekspresi anak lelaki itu nampak terkejut sekali saat mendengar bahwa makanan yang dijualnya pagi ini akan habis di beli. "Be-beneran, Bu?" tanyanya sekali lagi masih nampak tak percaya.   Bunda Ellea mengangguk, anak lelaki itu langsung memasukkan makanan tadi ke dalam kresek putih dengan semangat, ia bagi menjadi beberapa.   "Ini Bu," anak itu memberikannya pada Bunda El.   Beliau lalu mengeluarkan 3 lembar uang seratus ribuan yang langsung ia kepalkan ke tangan anak itu. "Kasih ke Ibu kamu ya, Nak?" ujarnya.   "Tapi ini kebanyakan, Bu."   Bunda El menggeleng. "Nggak apa-apa. Nama kamu siapa? Kok nggak sekolah?"   "Nama saya Tio, Bu." jawabnya mencoba tersenyum. "Saya sekolah kok, Bu. Tapi nanti siang, itu di bawah kolong tol sana, Bu, Kak." tambahnya.   Aluna yang paham situasi langsung merangkul sang Bunda, ia tahu wajah Bundanya sudah akan menangis sebentar lagi.   "Ya Allah." gumamnya. "Yang semangat sekolahnya ya, Nak. Ibu nggak bisa kasih apa-apa sekarang ini, tapi, kalau Tio butuh Ibu atau ada teman atau siapapun yang sakit, Tio cari Ibu ya? Tio tahu klinik di pertigaan sana kan?"   Tio mengangguk paham.   "Ibu kerja di sana. Kalau di tanya siapa, bilang aja Bunda El, mereka pasti tahu." ucap Bunda sambil memegang kedua bahu Tio. "Kalau gitu, Ibu sama Kakak Luna permisi dulu ya, jangan lupa uangnya kasih ke Ibu kamu ya, Nak."   Mata Tio yang tadi sayu sekarang berbinar. "Terimakasih ya, Bu, Kak. Semoga Allah balas kebaikan Ibu sama Kakak." katanya tulus, Bunda dan Aluna hanya mengaminkan sebelum mereka kembali ke mobil. . . . . .   "Kok lama? Terus ini beli apa?" tanya Ayah Mario.   "Iya, Yah. Ceritanya panjang, ini Ayah bawa aja ya buat di rumah sakit, bagiin ke perawat atau siapapun lah." sahut Bunda El tersenyum sambil membagi dua belanjaannya tadi.   "...Pagi ini, kita di ajarkan lagi untuk selalu bersyukur atas apa yang kita miliki saat ini, ya kan Dek?"   "Iya Bunda. Ujian Allah beragam. Apalagi anak tadi seumuran sama Dedek dan Mamas,"   Bunda El hanya mengangguk menanggapi Aluna barusan. Benar, apalah arti cobaan hidupnya bila di luar sana banyak sekali yang bahkan lebih menderita.   Jangan selalu merasa jadi orang yang paling menderita di dunia jika di luar sana masih ada yang lebih parah. Maka bersyukurlah.   Alhamdulillah Alla Kulihaal.. . . .   Aluna memilih bekerja di klinik daripada di Kmc. Alasannya satu, ia tak ingin jadi bahan gunjingan, cukup sudah sakit hatinya mendengar Kani, Aliya, Jasmine dan Jihan menjadi bahan gunjingan di sana dan ia tak ingin jadi korban juga.   Dan desas-desusnya Kanika juga akan pindah ke Klinik, ia habis di gunjing dan dituduh macam-macam. Kanika sudah cerita semuanya pada Aluna, namun entah kapan Kanika akan pindah karena sekarang tengah hamil 6 bulan.   "Jadi Kani kapan pindah ke sini, Mbak? Bidan Husna kan kontraknya habis minggu depan, dia juga nggak mau perpanjang " tanya Bunda El pada Mama Lanny, Aluna hanya mencuri dengar dari sisi meja yang lain.   "Nggak tahu deh, pusing Mbak tuh. Udah di kasih tahu, bukannya buru-buru pindah, nanti Genta ngamuk bisa panjang urusannya." keluhnya sambil membuka bungkus lemper ayam yang tadi di beli Bunda El.   Aluna hanya diam saja, ia tahu semua kartu yang di sembunyikan Kanika dari Suaminya itu, memang manusia di jaman ini selalu merasa benar dan merasa paling tahu segalanya sampai membuat orang lain drop seperti yang Kanika alami.   Aluna memainkan ponselnya sampai ia melihat foto Kanika di grup keluarga, ia sedang tertidur di brankar dengan doppler di perutnya. Genta yang mengirimkan ke grup chat itu, perasaan tak enak menghampiri Aluna bahwa sebentar lagi akan ada yang memulai ceramahnya.   "Mbak! Ini Kanika kenapa lho?"   Tuhkan.   Mama Mailanny langsung membuka ponselnya dan menemukan foto yang sama. Ia langsung menghubungi Genta detik itu juga dan menanyakan apa yang terjadi pada Kanika.   Dengan menahan segala emosi yang bergejolak setelah mendengar penjelasan Genta, beliau menutup teleponnya. "Masih pagi, ada-ada aja!" geramnya.   "Tapi Kanika nggak apa-apa kan, Ma?" tanya Aluna.   "Nggak, dia nggak apa-apa langsung ditangani Masmu tadi. Nanti Mas Adri bicara dulu sama Mama Nadia soal mutasi Kanika ke sini dan kata Genta, kamu siapin berkas sekarang ya, Lun. Untuk data relawan medis yang dikirim ke Lombok." jelasnya dan kalimat terakhir membuat Aluna mengerjap tak percaya.   "Lombok, Ma?"   "Iya, gantikan Genta. Dia mau pergi tapi bimbang sama Kanika."   Aluna lagi-lagi hanya bisa mengangguk patuh lalu langsung mengerjakan apa yang tadi di perintahkan. Menyiapkan berkas untuk data relawan medis dari KMC Group yang akan berangkat ke Lombok minggu depan.   ------ Tangan Aluna sedang sibuk menuliskan resep beberapa obat untuk pasiennya yang kesekian siang hari ini. Mendadak, klinik jadi padat setelah jam 10 pagi tadi dan datang dengan keluhan yang rata-rata sama karena musim pancaroba mulai datang.   "Banyak-banyak minum air putih ya, Ibu, cuacanya lagi nggak bagus. Sama dijaga pola makannya, jangan telat nanti asam lambung Ibu naik lagi." ujar Aluna lembut pada pasien di depannya ini.   "Iya, Dok. Hehehe tahu aja saya makannya suka asal aja, ya maklum, Dok." kekeh si pasien.   Aluna tersenyum. "Nggak apa, Bu. Asal di jaga ya, jangan sampai telat makan, dikurangi dulu pedas-pedasnya, ya. Semoga cepat sembuh ya," tambahnya sambil memberikan lembar resep tadi.   "Nggih, Dok. Saya permisi kalau begitu." pamitnya, Aluna mempersilakan.   Selesai sudah polinya hari ini, Aluna menatap keluar jendela samping ruangannya yang langsung menghadap taman. Minggu depan ia akan meninggalkan ruangannya ini sampai satu bulan ke depan, semoga saja ia kuat dengan kondisi daerah pasca dan masih rawan gempa itu.   Ini pertama kalinya Aluna turun sebagai relawan di daerah  bencana, ia belum pernah sebelumnya. Semoga saja pengalaman ini bisa membawanya menjadi manusia lebih baik lagi dari sebelumnya dan bisa terua mensyukuri nikmat yang Tuhan berikan.   Ia sudah melihat semua pemberitaan yang beredar mengenai Lombok yang berkali-kali di guncang gempa berkekuatan besar. Beberapa kali pula air matanya menetes tak tertahankan, baru membaca saja ia sudah sesak napas tak karuan apalagi ia melihat langsung nanti?   Ah, semoga batin dan fisiknya kuat, sekuat warga yang terkena dampak gempa. Ia bisa, ia yakin itu.   Zztt   Ponsel Aluna bergetar pendek, ada pesan dari Bunda.   "Dek, nanti temenin Bunda belanja ya. Mau titip makanan sama selimut buat korban bencananya, terus besok kamu anter ke KMC..."   Begitu kira-kira isi pesan Bunda, Aluna hanya membalas singkat saja tanda ia mengiyakan ajakan Bunda untuk pergi belanja keperluan-keperluan primer yang akan di sumbangkan. . . . . .   Aluna sedang mendorong trolinya yang sudah penuh barang belanjaan sementara Bundanya sedang mencari sesuatu di bagian lain supermarket ini. Netranya bertabrakan dengan mata bulat seorang gadis kecil berambut panjang yang nampaknya sedang kebingungan mencari orang tuanya, Aluna menghampirinya.   "Cantik, kok kamu sendirian aja? Mama Papa kamu, mana?" tanya Aluna sambil berjongkok di depan anak kecil tadi, anak itu diam menatap wajah Aluna.   "Eemm..." Netranya langsung melirik ke sana ke mari mencari seseorang. "Papaaa... Hiks..." lirihnya.   "Eehh sayang jangan nangis, kita cari Papa, yuk!" ajak Aluna lalu menggandeng tangan anak kecil tadi.   Aluna celingukan sambil mencari-cari di mana Papa anak ini. Tiba-tiba genggaman tangan anak tadi lepas dari Aluna, ia lalu berlari menghampiri lelaki yang sepertinya Papanya itu.   "Quinny dari mana? Itu siapa?" kata lelaki itu melihat Aluna mematung di kejauhan.   "Quinny cari Papa, Papa yang ke mana? Itu yang tolongin Quinny," sahutnya.   Lelaki tadi menoleh lagi ke arah Aluna lalu tersenyum dan mengangguk tanda terimakasih sementara anaknya sudah menarik-narik bajunya untuk segera keluar dari supermarket.   "MashaAllah... Pantas aja anaknya cantik, pasti Istrinya cantik juga." gumam Aluna seriring mereka menjauh dan kini Aluna yang terpisah dari Mama.   Alamak!!! .. to be continue
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD