Dibawah pantulan sinar matahari yang lumayan terik itu, Zeva bisa melihat sosok Devan yang sedang bermain basket di lapangan kampus. Senyumannya yang selalu disukai oleh Zeva... tatapan mata Devan yang teduh namun juga menyorotkan ketegasan... wajah tampannya yang selalu dipuja oleh seluruh mahasiswi di kampus... kedua manik matanya yang berwarna cokelat terang yang bisa menyihir semua gadis... tubuh atletisnya yang begitu mempesona... semuanya... semuanya yang ada pada diri Devan selalu disukai oleh Zeva. Sejak dia menginjakkan kakinya di Universitas Avion, Zeva selalu mengagumi Devan. Ralat. Gadis itu menyukai Devan. Teramat sangat menyukai Devan. Bahkan, menyukai mungkin bukanlah lagi kalimat yang tepat untuk menggambarkan perasaan Zeva pada Devan.
Gadis itu mencintai Devan.
“Va? Ngeliatin Kak Devan melulu, nggak bosen?”
Suara lembut bernada ramah itu membuyarkan lamunan Zeva. Gadis itu menoleh dan tersenyum manis ke arah Jasmine, sahabatnya semenjak dia masih duduk di semester satu, dua tahun yang lalu, hingga detik ini. Keduanya kini sudah duduk di semester empat, sementara Devan sudah duduk di semester delapan. Sebentar lagi, laki-laki itu akan mempersiapkan acara wisudanya.
“Sebentar lagi, kan, dia bakalan wisuda, tuh... makanya, gue mau puas-puasin ngeliatin Kak Devan.”
Jasmine menghembuskan napas panjang dan duduk di samping Zeva. Gadis berdarah Arab tersebut merangkul pundak Zeva erat dan menatap wajah sahabatnya itu dengan tatapan simpatik.
“Bukannya bermaksud bikin lo sedih atau gimana, ya, Va... tapi, lo tau, kan, kalau Kak Devan itu udah punya... pacar...?”
Tatapan mata Zeva yang tadinya berbinar-binar ketika menatap sosok Devan, juga senyum yang sejak tadi masih bertengger manis di bibirnya, kini lenyap entah kemana. Tatapan gadis itu berubah menjadi sendu juga sedih. Kosong. Datar. Hampa. Senyumannya mulai lenyap secara perlahan. Raut wajahnya kini berubah murung dan muram. Lalu, gadis itu menarik napas panjang. Ketika dia melakukan hal tersebut, Zeva bisa merasakan sesak pada rongga dadanya. Seolah-olah, setiap oksigen yang dia hirup justru membunuhnya secara perlahan, bukan membuatnya lega.
“Gue tau....”
“Terus, sampai kapan lo bakal menyiksa diri lo sendiri? Sampai kapan lo akan memikirkan orang yang sama sekali nggak mikirin lo? Sampai kapan lo—“
“Sampai gue lelah... sampai gue menyerah... sampai gue nggak bisa lagi nahan semuanya. Sampai saat itu tiba, mungkin gue akan berhenti mikirin dia... berhenti suka sama dia... berhenti cinta sama dia... tapi....” Zeva menarik napas panjang. Kedua matanya berkaca-kaca, seiring dengan rangkulan tangan Jasmine yang semakin mengerat di pundaknya, seolah memberikan seluruh energi positif yang dia punya untuk sahabatnya itu. Zeva tersenyum getir dan menatap sosok Devan kembali. Laki-laki itu sedang tertawa bersama temannya dan tak lama, dia menghampiri seorang gadis berambut pendek dengan wajah bak putri raja. “Untuk saat ini, biarin gue hidup dengan perasaan tulus gue buat dia. Meskipun dia nggak tau kalau gue suka bahkan mungkin udah cinta sama dia, meskipun dia nggak sadar kalau ada gue selama ini, yang selalu mendo’akan dia dan selalu merhatiin dia, tapi, gue nggak apa-apa, kok. Gue tulus cinta sama dia. Suatu saat nanti, entah kapan, pasti dia akan sadar... kalau ada seorang gadis bernama Zevarsya Venzaya yang mencintai dia sampai kapanpun.”
“Seandainya dia tetap sama ceweknya... seandainya dia nggak pernah sadar kalau ada seorang Zevarsya Venzaya yang selalu mencintai dia dengan tulus, bahkan sampai mengorbankan perasaannya sendiri setiap kali harus ngeliat adegan mesra bikin muak dia sama pacarnya itu, apa yang bakal lo lakuin?” tanya Jasmine. Darahnya mendidih ketika melihat kemesraan Devan dan pacarnya tepat di depan Zeva. Apa Devan buta dan tuli sehingga tidak bisa menyadari semua perlakuan tulus Zeva padanya selama ini? Devan dan Zeva memang pernah mengikuti organisasi yang sama dan sejak saat itu, hubungan keduanya mulai dekat. Meskipun itu hanya sebatas SMSan, BBMan, atau sekedar mengobrol biasa.
“Cinta nggak harus memiliki, kan?”
“Lo munafik.” Jasmine berdecak jengkel dan menggelengkan kepalanya dengan gemas. “Lo benar-benar manusia munafik, Va... entah elo itu emang bener-bener baik orangnya atau lo cuma bersikap layaknya elo bisa mengikhlaskan semua hal itu.”
“Yup. Gue emang munafik.” Zeva terkekeh pelan dan kembali menatap Devan dengan tatapan sendu. “Seenggaknya, kemunafikan gue itu mungkin bakal bikin gue semangat untuk belajar ngelupain dia nantinya.”
“Zeva bego.” Jasmine merutuk sahabatnya dengan kesal. “Zevarsya Venzaya benar-benar bego.”
“Bukannya semua orang akan bersikap bego ketika mereka mencintai seseorang?”
###
Sinar matahari yang masuk melalui celah jendela membuat Zeva mengerang pelan. Gadis itu membuka kedua matanya perlahan dan mengerjap seraya berusaha untuk menyesuaikan penglihatannya. Dia memegang kepalanya yang terasa pusing dan kilasan masa lalu yang muncul dalam mimpinya barusan membuatnya sesak bukan main. Sudah lebih dari enam tahun, tapi perasaan cinta untuk Devan masih tetap ada. Meskipun Devan telah meninggalkan kampus lebih dulu daripada dirinya, rasa cinta itu tetap ada. Bertahan dengan sangat kuat didalam hatinya. Jasmine bahkan sudah mencoba mengenalkannya dengan teman-teman lelakinya, namun Zeva tetap bertahan pada Devan.
Hanya Devan.
Mendadak, Zeva menyadari sesuatu. Dia menatap keseluruhan ruangan dan mengerutkan kening. Ruangan ini bukanlah kamarnya. Ruangan ini lebih rapi jika dibandingkan dengan kamarnya. Di sampingnya bahkan terdapat tiang infus yang terpasang langsung ke pergelangan tangannya.
Rumah sakit?
Kenapa dia bisa berakhir di rumah sakit?
Satu persatu ingatannya mulai muncul ke permukaan. Dia ingat dia mendapat telepon dari Jasmine yang mengatakan bahwa Devan mencarinya. Setelah enam tahun terlewat begitu saja, Devan tiba-tiba mencarinya melalui Jasmine. Jasmine bilang, Devan ingin mengatakan sesuatu pada dirinya. Namun, Jasmine melarang Devan untuk mencari dirinya apalagi sampai berani menemui dirinya. Dia juga ingat, setelah mendapatkan kabar tersebut, rasa sakit mulai menyerangnya. Kenapa? Kenapa saat dia mulai mengambil keputusan untuk melupakan Devan, setelah enam tahun menyakiti dirinya sendiri akibat tetap bertahan pada perasaannya yang tak terbalas tersebut, Devan malah mencari dirinya?
Karena itulah, dia berjalan ditengah hujan. Dia ingin menjernihkan pikirannya sebentar. Tapi, setelah berjalan cukup jauh, dia tidak ingat apa-apa lagi.
“Udah sadar?”
Suara berat yang menginterupsi pikirannya membuat Zeva menoleh. Gadis itu menyipitkan kedua matanya dan mengerutkan kening saat melihat seorang laki-laki keluar dari dalam kamar mandi. Laki-laki tersebut mengenakan kemeja biru tua polos dengan dua kancing atasnya yang dibiarkan terbuka serta lengan baju yang dilipat hingga mencapai siku. Kemeja tersebut dimasukkan kedalam celana jeans hitam yang dipadu dengan sepatu kets hitam. Rambutnya diberi sedikit gel hingga membuatnya nampak keren. Benar-benar keren. Zeva bahkan yakin seratus persen semua gadis akan terpesona pada laki-laki itu.
“Lo siapa?” tanya Zeva dingin. “Lo mau ngapain di ruangan ini? Lo mau macem-macem, ya, sama gue? Lo mau ngapa-ngapain gue, ya?!”
“Kayaknya otak lo sedikit kebentur dan akhirnya gegar otak, deh, karena pingsan seenaknya aja ditengah jalan semalam.” Laki-laki itu perlahan mendekati ranjang Zeva. Zeva yang mulai memasang sikap waspada, langsung bangkit dari posisi tidurnya dan duduk bersandar di sandaran tempat tidur.
Tiba-tiba saja, laki-laki itu mulai mengurung tubuh Zeva dengan kedua tangannya. Zeva yang tidak bisa kemana-mana, hanya bisa menelan ludah susah payah dan menatap tajam laki-laki itu. Sepertinya, laki-laki itu tidak takut sama sekali, karena yang dia lakukan hanya menaikkan satu alisnya dan tersenyum miring.
“Gue yang nemuin lo pingsan ditengah jalan dan bawa lo ke rumah sakit. Ingat?” tanya laki-laki itu.
Zeva terlihat sedang berpikir sejenak. Gadis itu tidak menatap kedua mata laki-laki itu dan sebagai gantinya, dia menatap ke arah lain. Ketika dia bisa mengingat semua kejadian semalam, Zeva tersentak. Perlahan, dia menatap ke arah laki-laki itu dan nyengir kuda.
“Ha—hai.” Zeva menggeram kesal dalam hati karena ketololan sikapnya barusan. Hai? HAI?! DEMI TUHAN! Apa itu respon yang baik untuk diberikan pada seseorang yang sudah menolongnya? Hanya mengucapkan kata ‘hai’?
“Keylo. Nama gue Keylo Izkar Arvenzo,” kata laki-laki itu sambil memundurkan tubuhnya kembali untuk menjauh dari Zeva. Diulurkannya sebelah tangannya yang dijabat dengan sedikit ragu oleh Zeva.
“Zevarsya Venzaya.”
###
“Elo kenapa bisa sampai pingsan ditengah jalan, sih, Va?”
Omelan Jasmine itu hanya ditanggapi dengan senyum oleh Zeva. Hari ini, Zeva sudah boleh pulang ke rumah dan Jasmine berbaik hati untuk menjemputnya. Besok Zeva resmi bekerja disalah satu perusahaan swasta yang cukup bergengsi di bilangan Jakarta.
“Tiap kali lo ketemu gue, lo udah ratusan kali nanya hal itu ke gue, Jas,” balas Zeva geli. Dia sedang menyisir rambutnya, sementara Jasmine duduk di tepi ranjang. Zeva kembali mengenakan pakaiannya saat dia pingsan tempo hari. Dia sudah tidak sabar untuk menghirup udara segar diluar sana.
“Habisnya, gue heran aja, gitu. Elo bisa-bisanya pingsan gitu ditengah jalan. Coba kalau waktu lo pingsan terus ada mobil lewat? Kalau lo ketabrak, gimana? Kalau gue nemuin lo udah di kamar mayat, gimana?”
“Lo do’ain gue mati, gitu?”
“Bukan itu maksud gue.” Jasmine menghela napas panjang. “Lo pingsan waktu itu karena... karena kabar yang gue kasih ke lo, ya?”
Ucapan Jasmine membuat gerakan Zeva terhenti. Gadis itu memasang wajah muram dan menatap kosong pantulan dirinya sendiri di depan cermin. Bayangan Devan kembali memenuhi otaknya, silih berganti berputar dalam benaknya. Dia bahkan bisa mendengar suara tawa Devan, melihat senyum Devan, melihat Devan melambai ke arahnya, mendengar Devan....
“Va?”
Suara Jasmine memotong semua jalan pikirinnya mengenai Devan. Zeva berdeham pelan dan kembali melanjutkan acara menyisir rambutnya. Gadis itu kemudian memutar tubuh dan menampilkan senyumannya kepada Jasmine.
“Nggak... bukan karena Kak Devan, kok.” Zeva mendekati Jasmine dan menarik lengan sahabatnya itu agar dia bangkit berdiri. “Gue pingsan karena kecapekan. Udah, nggak usah bahas yang aneh-aneh lagi. Sekarang, lo antar gue pulang.”
“Siap, Bos!”
Kedua gadis itu berjalan di koridor rumah sakit sambil mengobrol. Sampai kemudian, Zeva merasa keseimbangan tubuhnya mulai goyah saat bahunya disenggol dengan sangat keras dari arah berlawanan. Tubuh Zeva yang hampir terjungkal ke belakang itu langsung ditahan oleh orang yang menabraknya. Zeva mengucap syukur dalam hati dan menghela napas lega. Hampir saja kepalanya mendarat dengan mulus di atas kerasnya lantai rumah sakit.
“Zeva?”
Tubuh Zeva menegang ketika mendengar suara tersebut. Suara yang selama ini selalu muncul didalam mimpinya. Suara yang selama ini selalu mengisi hari-harinya saat dia masih kuliah dulu. Suara yang selama ini berusaha dia enyahkan dari dalam hati dan pikirannya.
Suara... Devan!
“Zeva? Zevarsya Venzaya, kan?” tanya Devan dengan suara yang penuh dengan semangat. Kedua matanya berbinar-binar ketika menatap wajah Zeva. Tangannya masih memegang lengan Zeva. Entah Devan sadar atau tidak bahwa kini kulit gadis yang sedang dipegangnya itu terasa dingin. “Lo Zeva, kan?”
Zeva berubah menjadi patung. Gadis itu hanya diam dan menatap Devan dengan tatapan kosong. Sementara itu, Jasmine yang berada di samping keduanya hanya bisa menatap Zeva dan Devan tanpa ada niat untuk ikut campur.
“Lepas....”
Suara Zeva yang terdengar sangat lirih dan jauh membuat Devan tersentak. Pun dengan Jasmine. Dia baru pertama kali mendengar nada suara sahabatnya yang seperti ini. Selama dia bersahabat dengan Zeva, Zeva selalu terdengar ceria. Seberat apapun masalah yang sedang dia hadapi, suara gadis itu tetap terdengar riang. Tapi, sekarang?
“Zeva? Gue mau ngomong sama lo.”
“Lepas....” Zeva berusaha melepaskan lengannya dari cengkraman Devan, namun laki-laki itu tidak membiarkan. “Lepas....”
“Va, please....” Devan memohon. “Gue cuma kepingin tau kabar lo.”
Mendadak, sebuah tangan memegang lengan Zeva yang masih bebas. Gadis itu terkejut dan menoleh. Devan juga yang terkejut hanya bisa mengerutkan kening ketika menatap sosok seorang laki-laki yang tengah tersenyum lebar ke arahnya. Laki-laki yang kemudian beralih menatap Zeva dengan tatapan lembut dan mengangkat dagu gadis itu supaya wajah keduanya sejajar.
“Hai, cantik.” Keylo mengedipkan sebelah matanya ke arah Zeva. “Kamu kenapa nggak nungguin aku? Pacar kamu yang ganteng ini, kan, udah janji buat jemput kamu.”
“PACAR?!” seru Zeva, Jasmine dan Devan bersamaan, sementara Keylo hanya tertawa renyah dan menjawil hidung Zeva dengan gemas.
Sebenarnya, siapa yang gegar otak sekarang? Batin Zeva kesal seraya berdecak jengkel. Dia menatap Devan dan Keylo bergantian. Pacar darimana, coba? Sinting!
###