PROLOG
Langit malam ini begitu gelap, tanpa ada penerangan apapun. Bulan dan bintang seolah berkomplot untuk bersembunyi, enggan menyinari bumi. Beberapa kali terdengar bunyi gemuruh di atas langit, menandakan hujan akan turun membasahi bumi sebentar lagi. Tapi, semuanya seakan tidak berpengaruh bagi seorang gadis yang sedang berjalan dengan tatapan tidak terfokus itu. Tatapan yang begitu datar. Tatapan yang juga terlihat kosong. Menerawang. Melayang entah kemana. Pergi meninggalkan raganya yang terus berjalan dan berjalan. Tanpa arah. Tanpa tujuan. Wajahnya terlihat sangat lelah, juga kusam. Pakaiannya masih melekat pada tubuhnya dengan rapi, meskipun sudah terlihat sedikit kusut di beberapa sudut. Sebuah tas tangan berwarna hijau muda melingkari lengannya. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai dan bergerak kesana-kemari karena tertiup angin malam. Dia merasa dingin. Sangat dingin. Tapi, dia bahkan tidak menggigil karenanya. Baginya, rasa dingin seperti ini tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan hal-hal yang sudah dia lalui.
Tiba-tiba, hujan sudah turun dengan derasnya. Tanpa aba-aba. Tanpa ada embel-embel berupa gerimis terlebih dahulu. Langsung deras begitu saja. Tapi, lagi-lagi semua itu tidak ada pengaruhnya sama sekali bagi gadis itu. Dia tetap memasang wajah dan tatapan yang sama: datar, kosong dan tidak terfokus.
Kemudian, langkah gadis itu terhenti. Dia menengadah dan memejamkan kedua matanya. Perlahan, kedua bahu gadis itu mulai naik-turun dengan irama yang tidak beraturan. Semakin lama, semakin cepat. Bahu gadis itu mulai berguncang hebat. Dan, tahu-tahu saja, gadis itu sudah meluruh dengan kedua lutut yang bersimpuh di atas aspal jalanan tersebut. Kedua tangannya terkepal kuat di sisi tubuhnya.
“Ja... hat...,” lirih gadis itu dengan suara yang terbata dan bergetar hebat. Seketika itu juga, kedua matanya terbuka. Tatapan kosong itu telah berganti dengan tatapan penuh kesakitan. Penuh luka. Perih. Kesedihan yang tiada berujung.
Juga... amarah.
“JAHAAAAAAT!!!”
Merasa sesak dan tidak bisa bernapas dengan benar, ditambah dengan kepalanya yang terasa berat, gadis itu mendadak jatuh pingsan. Kebanyakan orang akan berpendapat bahwa kegelapan akan menjemput mereka ketika mereka akan jatuh pingsan. Namun bagi gadis ini, dia selalu melihat kegelapan. Dimanapun. Kapanpun. Sejak hari itu hingga detik ini.
Dia tidak pernah melihat cahaya.
Sama sekali.
Sebuah mobil Everest putih berhenti tepat di depan gadis itu. Pintu pengemudi terbuka dengan pelan dan sepasang sepatu kets muncul tepat di belakang tubuh gadis yang pingsan tersebut. Perlahan, sosok laki-laki itu melangkah, mendekati tubuh gadis tersebut dan langsung mengangkatnya tanpa kesulitan. Ditatapnya wajah sang gadis dengan tatapan iba, juga kasihan.
Ketika laki-laki itu sudah membaringkan gadis yang pingsan tersebut di kursi belakang, dia segera mengambil ponselnya dan menelepon sang Kakak yang kebetulan adalah seorang dokter di sebuah rumah sakit terkenal di daerah Jakarta Pusat. Karena terlalu berkonsentrasi dengan telepon dan jalanan di depannya, laki-laki itu tidak sadar bahwa si gadis sedang mengerang pelan.
Samar, dibawah penerangan yang sangat minim, gadis tersebut membuka kedua matanya. Dia mengerang pelan karena rasa sakit yang begitu hebat yang menyerang kepalanya. Dia menyipitkan mata dan melihat sebuat ID Card tergantung di kaca spion tengah. Ketika dia sudah berhasil membaca nama yang tertera pada ID Card tersebut, kesadarannya kembali hilang.
Keylo Izkar Arvenzo. Staff bagian keuangan.