Elang Group, Macau.
“Kenapa kamu memberikan kotak perhiasaan peninggalan ibumu padaku?”
Thea menatap kotak persegi panjang yang diberikan Kevan padanya. Thea belum resmi menjadi istrinya, tapi Kevan sudah langsung mempercayakan barang berharga peninggalan ibunya padanya.
Kevan menarik bibirnya melengkukang senyuman. “Tidak apa karena sebentar lagi kamu akan menjadi menantu Keluarga Abraham dan kamu akan menjadi Nyonya Abraham, Babe.”
“Tapi ini berlebihan Kev. Kita belum menikah dan aku tidak mau menerimanya ini,” tolak Thea kembali memberikan kotak berwarna hitam tersebut dengan ukiran bunga ke tangan Kevan.
“Sinih bukalah lebih dulu biar kamu tahu isi di dalamnya seperti apa.”
“Aku tidak tertarik, Kev.”
Kevan lagi lagi mengulum senyuman manis. Inilah yang Kevan sukai dari Thea, wanitanya tidak matre, Theanya tidak silau harta.
Di tariknya tubuh Thea agar posisinya sama-sama saling berhadapan. Kevan menunjukan benda berharga peninggalan sang ibu.
Di dalam kotak tersebut ada gelang, kalung, anting dan juga beberapa cincin yang memang terlihat kono modelnya namun harganya sangat fantasis mahal.
Thea tidak ingin melihatnya ia pun langsung menutup kembali kotak tersebut.
“Ini milikmu mulai sekarang.”
“Kev,” tolak Thea lagi.
“Aku tidak suka penolakan. Lebih baik kamu simpan perhiasaan berharga ini dan aku ingin kamu memakainya nanti di hari pernikahan kita,” ucap Kevan.
“Lebih baik kamu simpan perhiasaan berhaga milik ibumu sendiri.”
Kevan terkekeh menatap gemas pada kekasihnya. Sekian detiknya Kevan berikan kecupan lembut di bibir Thea.
Kevan memang tidak salah memilih. Thealah wanita yang pantas menjadi istri dan ibu untuk anak-anaknya kelak. Selama lima tahun ini, Thealah wanita yang sudah sabar menunggunya dan wanita sepertinya Thea jelas langka dan pantas di perjuangankan.
“Kelamaan Babe. Aku percaya sama kamu makanya dari itu aku minta kamu buat simpan atau kamu mau pakai pun, aku sama sekali tidak masalah. Ibuku pasti senang barang berharganya di pakai oleh menantu yang tepat.”
Kotak tersebut kembali di serahkan ke tangan Thea dan lagi lagi Thea berikan pelototan tak suka.
“Ini sebagai DP dulu aku lamaran kamu setelah sah aku akan berikan harta yang aku punya padamu,” ungkap Kevan kembali dengan senyuman tampan.
“Ish, sombong banget mentang-mentang sudah jadi Ceo.”
Tapi Thea tersenyum senang, di mana biasanya pria selalu minta DP yang sudah jelas making love tapi Kevan malah memberikan DP perhiasaan mendiang ibunya.
Digenggamnya erat kedua tangan Thea lalu mengecup punggung tangan Thea.
“Aku percayakan barang berharga ini padamu.”
Ketukan pintu ruangan menarik Thea dan Kevan yang langsung menoleh sedangkan Kevan lekas memasukan kotak tersebut ke dalam tas Thea.
“Ya masuk.”
“Maaf Pak.” Cia muncul dari balik pintu.
“Iya, Cia. Ada apa?”
“Hari ini ada meeting bersama dengan klien. Beliau sudah menunggu di ruangan meeting.”
“Oh baiklah. Saya akan kesana dan tunggu saja saya di luar,” pinta Kevan yang dianggukan Cia.
Kevan menangkupkan wajah Thea lalu mendeketkan hidung mancungnya untuk bertemu dengan hidung mancung Thea.
“Tunggu aku di sini dan jangan kemana-mana.”
“Kalau kamu sibuk, aku pulang saja. Aku nggak mau ganggu kamu kerja.”
Thea tahu kok jadi Ceo itu tidaklah mudah karena selain tanggung jawab yang besar pekerjaanya pun ikut banyak.
“Tidak, di sini saja tunggulah calon suamimu ini tengah mencari nafkah agar bisa cepat menghalalin kamu,” kata Kevan.
“Ish, sekarang kamu pinter gombal ya sama aku.”
“Aku nggak gombal sayang. Ini beneran sayang. Di sini saja yah. Aku ingin kamu menungguku sebentar kok.
"Lagian kamu mau pulang ke apartement Laura juga mau apa sendirian. Mita dan Luara kan kerja juga, mereka ada di lantai bawah.”
Kata Kevan membenarkan kalau kedua sahabatnya itu berada di lantai bawah. Tapi mau bertemu dengan Laura dan Mita pun Thea nggak berani apa lagi di jam kerja seperti ini.
“Jadi di sini saja yah, tunggu aku. Kalau kamu bosan menunggu, kamu boleh baca-baca buku yang ada di rak sana,” tunjuk Kevan pada rak yang buku yang berjajar.
Thea berikan ibu jarinya dan kerlingan mata kode Thea akan menunggu Kevan di ruangannya. Kevan berikan kecupan cukup lama di bibir Thea sebelum ia benar-benar keluar dari dalam ruangan Kevan untuk segera meeting bersama dengan klien.
Di depan pintu, Cia berdiri. Wanita itu masih menunggu Kevan untuk pergi ke ruangan meeting bersama.
“Cincin tunangan yang Bapak berikan oke juga meski modelnya terlihat kuno.” Cia membukan obrolan, tapi lebih tepatnya sendirian untuk Kevan.
“Beruntung banget ya wanita kampung itu bisa mendapatkan peninggalan dari mendingan ibu anda. Bukan cuma satu, tapi banyak sepertinya di dalam kotak itu.”
Kevan masih diam meski beberapa kali pria itu terlihat menghela napas.
“Beruntung banget wanita kampung itu naik tahta jadi Nyonya Abraham,” sindir Cia keras.
Wajah cantik bernama Patricia itu sama sekali tidak menunjukan takut berbicara pada atasnya bahkan menyindir keras Ceo Elang Group sekalipun Cia hanya seorang sekretaris Ceo Elang Group.
“Aku kasihan pada nasib temen bobo Bapak. Sudah tiap malam nemenin bobo, harus melayani nafsu Bapak. Tapi dia tidak diberikan apa-apa.
"Itu barang peninggalan penting lho, Pak. Harusnya biar adil Bapak juga kasih lah sama temen bobo Bapak.”
Cia menujukan ekspresi pura-pura bodoh di depan Kevan. “Oh ya Pak. Aku baru ingat. Bapak sama temen bobo Bapak itu nggak kerasa yah sudah dua tahun hubungan?”
Kevan berhenti melangkah lalu menoleh ke samping di mana Cia berada dengan d**a bergumuruh kesal.
Wajah cantiknya sekretarisnya itu terlihat cengengesan di depannya sumpah demi apa kalau Kevan tidak mengingat Cia itu siapa mungkin detik ini juga Kevan akan melemparkan wanita itu keluar dari lantai empat puluh.
“Lho Pak, kenapa berhenti? Ruangan meetingnya masih lumayan jauh di depan sana,” tunjuk Cia sama ikut berhenti tepat di depan Kevan.
“Maksudmu apa sih hah? Kamu sudah nggak punya sopan-sopannya pada saya Cia!”
“Ups, maaf Pak. Kalau saya nggak sopan. Saya hanya sekedar mengingatkan Bapak saja kalau di sini Bapak nggak hanya punya kekasih bernama Arthea Maharani tapi Bapak juga punya wanita yang sering Bapak datangin buat temen bobo Bapak.”
Rahang Kevan mengetat dengan kedua tangannya sudah sejak tadi terkepal erat. Kevan muak dengan sindirian Cia.
“Atas dasar apa kamu mengingatkan saya hah?”
“Saya teman Bapak. Sebagai teman yang baik saya harus mengingatkan Bapak akan hal itu.”
Kevan menyungingkan senyuman. “Ck! Teman?”
Dengan percaya dirinya Cia berikan anggukan mantap. “Iya Pak. Saya teman terbaik bapak. Jadi tidak salahnya saya mengingatkan Bapak.”
“Dengan cara minta di bagi dengan adil dengan wanita itu? Begitu menurutmu?”
“Iya benar Pak. Bapak harus ingat Bapak sudah berselingkuh dari kekasih tercinta Bapak. Dua tahun lebih lho Pak.”
“Apa hakmu bicara seperti itu sama saya hah? Yang selingkuh itu saya dan barang itu pun juga punya saya. Mau saya kasih pada siapapun bukan urusan kamu!”
Tangan Cia bersedikep matanya menatap Kevan tak gentar sekalipun tatapan Kevan tajam menghunus seolah ingin menguliti tubuhnya hidup-hidup.
“Dia lebih pantas mendapatkan itu dari pada temen tidurku. Asal kamu tahu, temen tidurku itu sudah dua tahun lebih ini menjual tubuhnya padaku. Demi apa?”
Kevan menjeda, bibirnya tertarik lalu berikan senyuman remeh pada wanita yang nampak tak gentar berbicara dengannya.
“Hidup mewah bergelimang harta. Peninggalan ibuku itu tidak seberapa bahkan tidak ada apa-apanya akan apa yang sudah saya berikan pada wanita itu.”
Cia mengepalkan kedua tangannya. “Penthouse. Mobil sport, barang branded dan juga uang bulanan yang fantasis yang dia minta selalu saya berikan padanya.
"Apa semua itu kurang dan terlihat iri saat saya hanya memberikan perhiasaan yang tak seberapa itu pada tunanganku?!”
“Tapi anda harus adil Pak,” tekan Cia mengingatkan.
Kevan geleng-geleng kepala, bibirnya kembali melengkung senyuman meremehkan temannya yang sok ikut campur masalah pribadinya.
“Dia bukan siapa-siapa saya. Hubungan kita cuman simbiosis mutualisme jadi dia tidak punya hak di sini. Saya tidak cinta sama dia. Dia sudah beruntung hanya jadi patner tidur saya kalau tidak. Dia sudah jadi gembel.”
Kilatan mata Kevan yang tajam seperti itu namun tak membuat Kevan takut, bahkan Cia seolah terang-terangan mengibarkan bendera perang dengan Kevan.
“Kenapa Bapak begitu jahat sama dia?”
“Saya tidak pernah jahat sama orang.”
“Tapi wanita itu selingkuhan Bapak.”
Kevan menghembuskan napas kasar. “Kalau begitu sampaikanlah pada temenmu itu. Kalau dia ingin perhaisaan mewah, maka gunakanlah uang pemberianku dengan baik.”
Karena selama lima tahun ini Kevan tidak pernah memberikan apa-apa pada Thea, tapi pada teman tidurnya Kevan sampai membelikan penthouse, mobil sport dan juga memberikan uang bulanan padanya.
“Satu lagi. Katakanlah pada dia cerdaslah memakai uangku karena aku tidak akan pernah memberikannya lagi setelah aku resmi menikahi kekasihku, Thea.”
Kevan kembali melanjutkan jalannya tanpa mempedulikan Cia yang terus bergerutu. “Tapi saya dengar Bapak sudah memangkas uang bulannnya, bahkan tidak ada setengahnya?”
Kevan kembali membalikan badannya. “Ck. Segitu pun aku masih memberikan uang pada dia. Maka nasehatilah dia agar tidak menghabiskan uangku di meja judi sebelum aku benar-benar membuat wanita itu menjadi gembel!” tegas Kevan.
“Apa Bapak tidak takut kalau dia akan membongkar semua kebukaan Bapak selama ini. Dari hubungan gelap bahkan semua rahasia lain yang tidak kekasih Bapak tidak tahu?” Cia masih nampak takut berbicar lantang seperti ini pada Kevan.
Lagi lagi pria itu menarik sudut bibirnya ke samping dengan dengusan berat. Tatapan matanya yang membunuh tak membuat wanita keras kepala seperti Cia takut padanya.
“Maka bersiaplah karena aku akan membawanya ke neraka bila dia macam-macam padaku. Camkan itu!” tegas Kevan pada Cia.
Kevan mengakui kesalahannya sudah bermain-main dengan wanita itu dan menghianati cinta Thea. Namun menyesal sekarang pun tidak ada gunannya.
Kevan sudah berselingkuh itu dibenarkan, tapi dia akan menanggung semau konsekuensi dari perbuatannya ini asal Thea tidak pergi meninggalkannya. Ia akan melakukan apapun asal Thea mau memaafkannya.
“Ya hallo Dan?” jawab Kevan pada panggilan telephonenya lagi lagi membuat Kevan berhenti sejenak.
“Gawat ini Kev.”
“Gawat kenapa?”
“Barang di gudang kita yang mau kita kirim ke Rusia ternyata barang curian.”
“Apaah…,” seru Kevan seraya menghentikan langkahnya.
“James bohongin kita kalau dia membeli barang itu dari Joe Thang. James dan Joe bersekongkol buat nipu kita,” ucap Dante dengan helaan napas berat.
“Terus itu barang siapa? Kita sudah membayar mahal barang itu pada Joe Thang.”
“Ya, gue tahu itu. Tapi itu barang itu milik The Black King.”
“The Black King?” ulang Kevan yang dianggukan di sebarang sana oleh Dante sekalipun pria itu tidak tahu.
“Dia ada di sini, Kev. The Black King ada di sini dia mencari kita. Mereka mencari 13k Bloods!
"Thea nggak aman di sini Kev! Lo harus cepat-cepat bawa Thea pergi dari sini sebelum—”
Dor!