Bab 2

1269 Words
    "Saga.."     Senja segera memeluk pemuda berparas blesteran itu dengan erat. Ia menangis pilu dipelukan Sagara. Pemuda itu mengelus lembut punggung Senja dan berusaha menenangkan wanita setengah baya itu. Wanita yang sudah ia kenal sejak ia kecil, wanita yang selama ini menjadi tempat Rebecca, sang mama melepaskan segala kepenatan dan kegundahannya, wanita yang sudah menjadi sahabat mamanya sejak SMA.     "Saga.. kok bisa di Jogja?" tanya Langit, mantan calon ayah mertuanya, laki-laki setengah baya itu menggenggam lengan Sagara seolah ingin menyalurkan kekuatan untuk pemuda itu agar lebih kuat. Sagara tersenyum tipis dan menatap laki-laki setengah baya itu.     "Dapat ijin dari komandan, Pah, " jawab Sagara. Matanya kini tertuju pada sosok wanita berambut panjang yang berdiri tepat di sebelah Langit. Bening. Orang yang dulu sempat mengisi kesepian di hatinya, ralat hingga kini masih menjadi pengisi kekosongan hatinya.     "Bang Aga," sapa Bening. Sagara tersenyum. Pancaran matanya berubah sendu saat memandang gadis itu. Seketika ingatan tentang kenangan lamanya bersama gadis itu kembali menyeruak, namun Sagara berusaha untuk tetap biasa saja dan menampilkan wajah datar seolah dirinya baik-baik saja. Sagara kembali menatap Langit dan Senja lalu berkata, "Saga ijin masuk ke dalam dulu mah," ucap Sagara seraya melepaskan pelukan Senja. Wanita setengah baya itu mengangguk dan beralih memeluk Langit, suaminya.     "Sudah.. jangan nangis terus," bisik Langit sembari mengecup lembut puncak kepala Senja. Senja hanya mengangguk dan kembali merentangkan tangannya untuk memeluk Sea. Langit dan Senja betul betul sudah menganggap Sagara juga Sea seperti anak mereka sendiri. Kedekatan yang semula sebatan sahabat kini sudah melebihi keluarga. Bagi Sahara, Langit dan Senja adalah orangtua keduanya. Walaupun hubungannya dengan Bening telah usai, tak menghalangi Sagara untuk tetsp bersikap hormat dan baik pada Langit dan Senja.     Sagara berjalan masuk ke ruangan dingin yang mencekam itu. Ruangan perawatan intensive itu benar benar sunyi, hanya terdengar suara alat pendeteksi jantung yang begitu nyaring di telinganya, belum lagi suhu udara diruangan yang benar benar dingin hingga menusuk tulang, Sagara terus berjalan menuju brankar tempat Rebecca, sang mama dirawat. Ia duduk di bangku yang berada dekat brankar, menatap sendu Rebecca yang terbaring tenang, lalu tangannya terulur meraba tangan Rebecca yang sudah terlihat renta. Nampak kerutan kerutan tipis disana karena termakan usia.     "Mah.. Saga pulang,"desis Sagara. Pemuda itu duduk di sisi brangkar sembari memejamkan matanya. Ia mengecup lembut punggung tangan sang mama dan tanpa terasa air matanya luluh sudah.     "Maafin Saga.. Saga nggak ada buat mama waktu papa pergi maaf," ucap Sagara saat ia memiliki kesempatan mengunjungi sang mama hari itu. Dia bersimpuh dihadapan Rebecca dan mencium lutut wanita baya itu.     "Maaf karena Saga belum bisa berbakti pada mama dan papa," sesalnya lagi. Rebecca menggengam erat bahu putra sulungnya itu.     "Sagara Biru.. tahu nggak kenapa papa kamu memberi nama itu padamu?" Suara lembut sang mama terdengar sedikit bergetar di telinga Sagara. Sagara menggelengkan kepalanya. Rebecca mengelus lembut kepala pelontos sang putra lalu tersenyum tipis.     "Karena mama dan papa sangat menyukai lautan. Lautan yang luas dan berwarna biru. Mengartikan bahwa ada kesabaran yang luas disana. Sebelum kamu ada, mama dan papa pernah kehilangan putra karena waktu itu mama banyak pikiran saat papa kamu dinyatakan tewas. Kami tidak henti berdoa dan berusaha hingga saat papa kamu dinas di Bengkulu, kami berkunjung ke pantai. Memandang indahnya lautan dari pinggir pantai. Papa mu bilang, lautan itu kuat, lautan itu tangguh ,butuh orang yang kuat dan tangguh untuk bisa mengarunginya. Lautan itu tanpa ujung seperti kesabaran yang seharusnya memang tak berujung. Kamu tahu nggak kenapa mama bilang seperti ini?" Sagara kembali menggelengkan kepalanya, netranya terus menatap wajah ayu sang mama. "Mama dan papa percaya kamu diluar sana berjuang bertaruh nyawa dan sekuat tenaga menjaga nyawa agar tetap selamat untuk kami semua yang ada disini menunggu kamu pulang. Mama dan papa nggak pernah berpikir sedikitpun bahwa kamu tidak berbakti. Justru bakti terbesarmu kamu tunjukkan tidak hanya untuk kami orang tuamu tapi juga untuk bangsa dan negara ini. Kamu tahu, Saga.. papa sangat bangga dan bahagia saat kamu menerima permintaannya untuk melanjutkan karir di dunia militer. Meski ada hati mama tidak rela dan takut, tapi mama percaya kamu memang mewarisi jiwa itu.. jadi mama mohon, jangan pernah lagi sedikitpun berpikir jika kamu tidak bisa berbakti."     Ucapan Rebecca enam bulan yang lalu itu kembali berputar di pikiran Sagara. Tangannya kembali terulur untuk membelai puncak kepala sang mama yang tertutup perban.     "Saga dapat ijin untuk mengunjungi mama.. Saga mohon mama kembali pulih.. Saga sekalian pamit karena Saga ada misi rahasia lagi. Dan.. ini sangatlah berat. Semoga mama selalu merestui Saga.. mohon doa dan restunya agar misi Saga bisa berjalan lancar. Dan selamat. " Sagara berbisik pelan tepat ditelinga sang mama. Sagara melihat air mata sang mama menetes disana. Dia sadar bahwa ibunya mendengar apa yang ia katakan. Selama ini jika Sagara mendapat surat tugas rahasia dia hanya akan berpamitan dengan kata 'latihan'.     "Saga ijin kembali ke Jakarta ya mah.."     Sagara berdiri begitu lama memandang sang mama. Matanya kembali berkabut karena air mata mulai menggenang disana. Sagara memberikan salam hormat khas tentara pada sang mama sebelum akhirnya dia memutuskan untuk keluar ruangan.     Sea menyambut Sagara dengan pelukan.     "Abang disini kan?" Tanya Sea dengan suara parau.     "Maaf.. Abang nggak bisa lama disini, Sea.. ini Abang harus balik lagi ke Jakarta. Dalam perjalanan ke sini tadi ada pesan dari komandan kalau ada rapat di kesatuan. Maaf.."     Sea melepaskan pelukannya. Dia kembali mendekap erat tubuh Senja sembari sesekali menghapus kasar air matanya yang terus saja mengalir.     "Sea ditemani Mama Senja, papa Langit dan Mbak Bening," ucap Sagara sembari membelai lembut kepala Sea.     "Titip Sea, mah.. pah," ucap Sagara kemudian. Senja dan langit hanya mampu mengangguk.     "Saga mohon pamit.."     Sagara sembari mencium punggung tangan Senja dan Langit.     "Bang Aga.. " gumam Bening saat mata mereka saling beradu.     "Titip Sea," ucap Sagara singkat. Bening nampak mengangguk pelan. Dia terus menatap punggung pemuda itu saat dia melangkah pergi.     "Bang Aga." Bening memanggil Sagara dengan sedikit berlari saat mengikuti langkah jenjang Sagara. Pemuda itu berbalik dan kembali menatap gadis itu dengan tatapan sendu.     "Ada apa?" Sagara menatap Bening dengan wajah datarnya. Bening terdiam. Sejenak ia masih memandangi wajah Sagara dari jarak dekat.     "Lama nggak ketemu," ucap Bening kemudian. Sagara tersenyum dan mengangguk tipis.     "Ada waktu untuk ngopi bareng?"     Sagara menaikkan satu alisnya, merasa heran dengan ajakan bening. Sagara diam sejenak.     "Atau mau aku antar ke bandara?" Kali ini Bening menawarkan diri saat ia tak kunjung mendapatkan jawaban dari laki-laki gagah yang berdiri di hadapannya itu.     "Abang bisa pergi sendiri," ucap Sagara kemudian.     "Bang.." Tangan Bening mencekal lengan Sagara, membuat dia harus membalikkan tubuhnya dan menghadap ke arah Bening (lagi).     "Ijinkan Bening menebus semua kesalahan Bening," pinta Bening dengan mata berkaca kaca. Sagara diam.     "Untuk apa?" Entah kenapa saat diingatkan kembali dengan kejadian satu tahun lalu rasa emosi di dalam hati Sagara kembali mencuat. Wajahnya berubah sangat datar dan dingin. Tidak pernah sekali Sagara melemparkan tatapan seperti itu untuk Bening. Tidak ada lagi sorot mata hangat di mata lelaki itu.     "Tolong bang.. Bening nggak mau hubungan kita jadi seperti ini," ucap Bening. Kali ini air matanya mengalir perlahan lolos dari pertahananya.     "Abang sudah tidak mempermasalahkan, Ning.. Abang titip Sea dan Mama. Abang permisi."     Sagara melepaskan genggaman tangan Bening dan berlalu dengan langkah cepat. Hatinya kembali terluka. Ada desiran aneh disana hingga rasanya membuat mual. Belum pernah dalam seumur hidupnya berlaku sekasar tadi pada Bening.     "Abang cinta kamu. Tapi yang kamu lakukan pada Abang sungguh menyakiti hati Abang.."  Batin Sagara. Pemuda gagah itu terus berjalan tanpa kembali menoleh ke belakang. Rasa nyeri di dalam hatinya masih sangat terasa hingga saat ini. Bening sudah terlanjur masuk terlalu jauh di dalam hati Sagara, membuat Sagara sulit untuk melupakan kisahnya dengan gadis itu. Semua sudah berlalu.  Jangan berharap hal yang tidak mungkin.(*) _____________________________________
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD