Bab 1

1749 Words
    Mentari mulai menyingsing, pemuda dengan mata cokelat dan tubuh berkulit putih itu berlari mengelilingi asrama tempatnya bertugas. Sudah menjadi rutinitasnya setiap pagi sebelum memulai aktifitas pekerjaannya pemuda itu akan melakukan lari pagi dan olah raga ringan lainnya seperti push up, pull up, dan juga sit up. Dengan nafas terengah, pemuda itu berjalan gagah memasuki koridor barak perjaka tempatnya beristirahat bersama beberapa orang anak buahnya yang juga masih lajang. Ia menghapus keringat yang menetes dipelipisnya dengan punggung tangannya.     Bila dilihat dengan seksama, wajah dari pemuda gagah itu tidaklah mencerminkan wajah Indonesia asli. Matanya menyorot tajam dengan manik mata berwarna cokelat kehijauan, alisnya tebal, dan hidungnya nampak mancung menantang, menandakan jika pemuda gagah itu memiliki darah campuran. Pemuda gagah itu mengambil gelas dan meminum air mineral dari dispenser nya sembari mengambil gawainya diatas nakas. Ia kembali mengusap pelipisnya dengan punggung tangan kirinya seraya menatap layar ponsel dan seketika alis tebal pemuda gagah itu terangkat satu     16 panggilan tak terjawab.     Alis mata pemuda itu berkerut. Mata hazelnya menatap fokus pada gawainya. Ia kemudian menerawang jauh menerka-nerka untuk apa sang penelpon memanggilnya sebanyak itu. Tiba-tiba pemuda itu terkesiap saat ponsel pintarnya kembali berdering.     Sea is calling...     "Halo dek.."     "Kemana aja sih? Daritadi ditelpon.. "     "Maaf .. Abang jogging, nggak bawa hape. Ada apa, dek? Gimana kabar mama? Sehat kan?" Itulah hal pertama yang ada di pikirannya, menanyakan kabar sang mama tercinta. Pemuda gagah itu memang sudah hampir enam bulan ini jarang sekali pulang ke kampung halamannya di Jogjakarta karena kesibukan pekerjaannya.     "Sea lagi di rumah sakit bang.. mama sakit. Tadi pingsan di kamar mandi. "      Mata pemuda itu membulat sempurna mendengar kabar yang begitu mengagetkan bagi dirinya itu. Ia ingin menghilangkan pikiran buruk yang berputar di kepalanya. Dia memandang lurus kedepan sembari menghembuskan nafas panjang mencoba menetralkan segala hal yang berkecamuk di dalam hati dan pikirannya.     "Kamu jangan nangis. Sekarang temani mama dulu. Maaf, Abang nggak bisa temani kamu dan jaga mama disana. Abang nggak dapet cuti, dek. Kata dokter mama kenapa?"Isakan tangis lebih kentara terdengar. Sea terus menangis tergugu diseberang telepon itu."Sea.. jangan nangis. Dokter bilang mama kenapa, dek?" tanya pemuda gagah itu.     "Dokter bilang karena anemianya mamah.. cuma takutnya kena stroke karena jatuh. Sea takut, bang," ucap Sea di sela-sela tangisnya. Pemuda gagah itu nampak kembali memejamkan manik matanya namun sesegera mungkin dia menetralkan emosinya demi menenangkan adik perempuannya.     "Nanti Abang coba telepon Bening, Om Langit dan Tante Senja buat nemenin kamu, kamu tunggu disitu sebentar yaa.. temani mama. Kalau ada apa apa cepat kabari Abang. Kalau kamu bingung ambil keputusan bilang Abang. Yang kuat ya, dek. Minta Benny temani kamu disana.." ucap pemuda gagah itu dengan suara bariton yang khas. Pemuda itu berusaha setenang mungkin walaupun pada kenyataannya dirinya tidaklah setenang yang terdengar.     "Aku udah sama Benny sekarang, " jawab Sea. Pemuda gagah itu tahu benar jika kekasih sang adik itu memang dapat diandalkan, setidaknya bisa menggantikan posisi dirinya disana menemani dan menenangkan Sea.     "Biar Abang bicara sama Benny sebentar,"ucap pemuda gagah itu.     "Ya Abang.. ini Benny.." Suara bariton yang besar dan dalam nampak terdengar dari ujung telepon itu, menandakan jika yang berbicara diujung sana adalah Benny, kekasih Sea.     "Ben, kamu jadi pengganti Abang yaa. Tolong jagain Sea dan Mama, Abang nggak bisa pulang sekarang. Tetep kabari Abang yaa, "pinta pemuda itu.     "Siap, bang!" ucap Benny tegas. “Abang nggak usah khawatir, Benny bakal jaganin dan nemenin Sea disini. Kalau ada apa-apa nanti Benny kabari Abang,” ucap Benny seolah memberikan ketenangan pada pemuda gagah itu.     Telepon ditutup. Pemuda itu menundukkan kepalanya sembari menggengam gawainya. Untuk kali kesekian dirinya merasa tidak bisa menjadi anak berbakti pada orang tuanya. Hatinya terasa berdesir miris. Membayangkan betapa mamanya sangat mencintai dan memberinya semangat penuh pada karirnya. Saat ayah tercintanya meninggal dunia secara mendadak karena penyakit jantung, ia kembali drop, merasa frustasi, kala itu dirinya tidak dapat menghantarkan ayah tercintanya ke peristirahatan terakhir karena sedang menjalankan tugas dalam sebuah misi rahasia. Ia mendapatkan kabar duka itu dari komandan operasi dilapangan. Ia merasa sedih, namun dia tidak mampu melakukan apa-apa selain mendoakan sang ayah dan menjalankan tugasnya dengan sebaik mungkin. Hal yang benar-benar masih membekas dalam hati dan ingatan pemuda gagah itu.     Pemuda itu kemudian bangkit dari tempat duduknya dan mempersiapkan diri, walaupun perasaannya berkecamuk tetapi dia tetap harus menjalankan tugas negaranya. Pemuda kini sudah nampak gagah dengan seragam loreng kebanggannya, memasang dengan benar baret merah kebanggannya. Ia kemudian berjalan menuju ke kantor yang tidak jauh dari asrama tempatnya tinggal. Pemuda itu duduk di atas kursi kerjanya, namun pandangannya menatap kosong kedepan.     "Ndan, ada apa kok sepertinya lemas begitu?" Salah satu anggotanya yang bernama Simon, pemuda yang berasal dari Nusa Tenggara Timur. Putra daerah dari Waingapu, Sumba Timur bertanya dengan logat dan cara bicara yang khas. Pemuda yang disebutnya komandan itu menoleh dan menatap Simon.     "Mama saya masuk rumah sakit, Mon. Gejala stroke," jawab Pemuda itu. Ia kembali diam dan menatap lurus kedepan. Simon memberikan tatapan penuh simpati pada komandannya itu. Pemuda berparas manis itu paham betul bagaimana rasanya dalam keadaan jauh dari keluarga dan dalam masa tugas secara tiba-tiba mendapatkan kabar kurang baik  seperti itu.     "Semoga ibu komandan bisa segera pulih. Apa tidak sebaiknya komandan ambil cuti saja toh? Ee kemaren kan waktu Jendral Purn Leonard meninggal komandan tidak pulang, sekarang apa tidak sebaiknya cuti saja begitu? " Pertanyaan Simon membuat komandannya itu menoleh dan tersenyum getir sembari menggelengkan kepalanya.     "Nanti malam kita ada tugas Ring satu lagi toh, lupa kau?" Pemuda berparas kebule bulean itu mengelak. Ingin rasanya ia kembali dan melihat keadaan ibundanya, namun ia ingat jika ada tugas negara yang lebih penting yang menjadi prioritas utamanya saat ini.     "Kapten Sagara Biru!"     Seketika pemuda bernama Sagara Biru itu berdiri dan memberikan hormat pada wakil komandan kesatuan dalam Satuan 81 Kopassus Letnan Kolonel Inf. Elang Pradana. Pria yang masih nampak terlihat gagah dan tampan meski umurnya sudah tidak muda lagi. Elang merupakan saudara asuh Sagara selama di Akademi Militer, namun hubungan mereka jauh lebih dekat dari itu karena memiliki ayah angkat yang sama yaitu, Langit Aksara  Mahendra, seorang Jenderal Bintang Empat yang kini telah purna tugas dan digadang-gadang menjadi calon Menteri Pertahanan Kabinet ini.     "Ikut saya keruangan," ucap Elang tegas.      "Siap!" jawab Sagara dengan tubuh tegap dan pandangan lurus kedepan.Sagara berjalan gagah menuju ruang kerja wakil komandan di batalyon tempatnya bernaung, mengikuti langkah kaki Elang yang sudah berjalan didepannya.     "Duduk, Ga," ucap Elang santai sembari mempersilahkan Sagara duduk di sofa tempat kerjanya. Elang duduk dihadapan Sagara seraya meletakkan tongkat komando di atas meja. Elang menatap Sagara penuh arti sembari menghembuskan nafas panjang.       "Kata Mama Senja, Mama Rebecca masuk rumah sakit ya?" Tanya Elang. Manik mata tajamnya menatap Sagara. Ia tahu benar wajah Sagara mengisyaratkan sebuah kekhawatiran.    "Siap. benar!" Mendengar jawaban Sagara, Elang terkekeh.     "Hanya ada kita berdua Ga.. bersikaplah biasa," ucapnya sembari tersenyum. Sagara nampak tersenyum tipis lalu mengangguk.     "Kamu nggak ada niatan cuti? Bisa saya bantu kalau kamu mau, Ga." tawar Elang. Sagara menatap ke arah Elang dengan penuh harap. Namun ia ingat jika semalam ia sudah mendapatkan surat tugas rahasia yang membuatnya menggelengkan kepalanya.     "Nggak bang, nanti malam sudah akan ke lokasi titik temu dengan pasukan gabungan penyelamatan sandera di Filipina," ucap Sagara. Elang nampak tersenyum. Kini ia mengerti betapa Langit papa angkatnya begitu mengagumi kegigihan dan keberanian Sagara. Lelaki muda dihadapannya ini memang sangat berdedikasi dan juga setia pada tugas negaranya. Hingga saat papanya Jenderal Purn Leonard Diptaanggalih seorang mantan KSAD (Kepala Staff angkatan Darat) meninggal dunia, dia sedang dalam misi rahasianya. Walaupun Elang tahu jika Sagara sangat bersedih dan nampak raut kehilangan teramat sangat, namun pemuda itu mampu memimpin tim-nya dengan amat baik. Bagaimana tidak, Leon yang selalu mendorong Sagara untuk selalu berjuang dan berjuang. Satu kata-kata yang pernah diucapkan Sagara yang ia dapatkan dari Leon adalah :   "Kesuksesan itu tidak didapat dari sebuah pemberian cuma-cuma bahkan juga tidak turun dari langit. Kesuksesan itu didapat dari setiap tetes darah dan keringat kesengsaraan, pengorbanan, dan kerja keras yang ditempa setiap saat."     Mungkin itulah juga yang selalu menjadi semangat bagi Sagara untuk menjalani setiap tugas negaranya.      "Kamu saya bebas tugaskan. Kita berangkat jam 2 dini hari. Jika kamu mau ke Jogja, silahkan."  Ucap Elang dengan senyuman tipis diwajah tampannya. Sagara membulatkan manik matanya seolah tak percaya.     "Tapi bang.."     Elang tersenyum. Ia terus menatap dengan sorot bangga kepada Sagara atas dedikasi dan konsistensinya pada tugas dan negara. Elang menghembuskan nafas berat dengan netra yang terus menatap Sagara.     "Selagi ada kesempatan, temuilah ibumu. Saya cukup menyesal ketika jendral Leon meninggal dan kamu sedang dalam misi rahasia. Tidak bisa pulang. Sekarang kamu temui ibumu. Selagi ada waktu, Ga. Ini perintah, Ga." ucap Elang tegas. Sagara terdiam ditempatnya, manik mata tajamnya mulai berkaca-kaca, Sagara hanya mampu mengatakan siap dengan tegas. ***     Sagara berjalan dengan pakaian kasual dan hanya menenteng satu tas ransel dipunggungnya. Kemeja kotak-kotak dengan kaos polos berwarna hitam, celana jeans, dan sepatu kets. Begitulah fashion keseharian Sagara Biru jika sedang bebas tugas. Setelah membeli tiket secara online, dan untungnya bisa dapat sekalian untuk pulang kembali ke Jakarta, Sagara segera berangkat ke bandara Halim Perdanakusuma dengan diantar oleh Serda Adi, ajudannya.     "Nanti pulang saya jemput lagi, Ndan," ucap Serda Adi. Sagara mengangguk dan berjalan masuk kedalam bandara. Penerbangan kali ini berjalan lancar dan tidak terlambat. Memudahkan langkah Sagara untuk pulang menemui ibunda tercinta Rebecca Ferguson. Sesampainya di Bandara Adisucipto Jogjakarta, Sagara memilih mengendari taxi menuju Rumah Sakit Pratama, tempat Rebecca dirawat. Sagara nampak berjalan gagah di sepanjang koridor Rumah Sakit, langkahnya terhenti saat melihat Sea sedang duduk dengan lemas ditemani oleh Benny kekasihnya. Sagara berjalan gagah menghampiri Sea. Gadis itu mendongak perlahan dan terkesiap saat melihat Sagara sudah berada tepat dihadapannya.     "Abang?"     Sea segera menghambur ke arah Sagara dan memeluk tubuh kekar itu erat seraya kembali menangis.     "Abang.. mama," ucap Sea dalam sela-sela isakan tangisnya. Sagara memeluk tubuh Sea seraya membelai lembut punggungnya berusaha menenangkan adik kesayangannya itu, meski tidak dapat dipungkiri hati Sagara pun remuk saati ini. Sedapat mungkin Sagara menahan air mata yang sudah sejak tadi berdiam di pelupuk matanya.     "Abang pulang?"Tanya Sea seraya menghapus air matanya. Sagara mengangguk.     "Sebentar," jawab Sagara singkat. Ia kemudian menuju ruangan ICU (intensive care unit) dan menatap tepat dibalik kaca ruangan terbaring seorang wanita baya berparas kebule bulean. Dia Rebecca. Dengan berbagai alat bantu ditubuhnya.     "Apa kata dokter?" Tanya Sagara dengan mata berkaca-kaca.     "Tekanan darah rendah. Waktu jatuh kepalanya kena lantai dan nggak sadar.. Abang mau ketemu mama?"     Sagara mengangguk. Ia lalu berjalan menuju pintu ruang ICU. Tapi langkahnya terhenti saat melihat seorang gadis berambut panjang dengan mengenakan dres selutut berjalan menuju ke arahnya bersama kedua orang tuanya. Bening. (*) ________________________________
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD