Bab 2 Kehilangan

2551 Words
Ruang makan yang kosong menyambutnya pagi ini, helaan napas kasar Leona keluarkan. Matahari belum keluar dari tempat persembunyiannya karena waktu masih menunjukkan pukul 5.00 a.m. Ia sengaja bangun lebih pagi agar dapat berbicara dengan ayahnya, tetapi ternyata Matsuo telah pergi bekerja lebih dulu, ia terlambat lagi. Wajahnya tampak kuyu dengan mata sembab dan lingkar hitam bawah matanya terlihat lebih gelap, Leona menangis semalaman. Ia baru dapat tidur setelah tangisnya reda, dan itu terjadi saat waktu sudah lewat tengah malam. Sereal gandum dan cokelat hangat di depannya seolah tak menarik lagi baginya, di rumah yang mewah ini, kadang ia merasa kesepian. Terlebih semenjak sang ayah yang mulai bekerja kembali dua tahun lalu, itulah yang melandasi dirinya selalu sibuk berkencan dengan novel di kamarnya. Matsuo memiliki sebuah perusahaan kecil yang dirintisnya bersama mendiang ibu Leona, tetapi perusahaan itu baru kembali beroperasi 2 tahun lalu. Karena masih merupakan perusahaan baru, Matsuo selalu sibuk mencari relasi yang mau bekerja sama dengan perusahaannya. Sedangkan Leona, ia dulu adalah anak yang rajin. Ia selalu datang kuliah, tetapi semangatnya memudar saat melihat ayahnya yang jarang pulang. Mungkin karena itulah mereka mulai sibuk dengan urusan mereka masing-masing, dan awal renggangnya hubungan ayah dan anak. Kepulangan Matsuo ke rumah bisa dihitung dengan jari, dalam sebulan ini ayahnya hanya pulang sebanyak 7 kali. Leona tidak tau pukul berapa ayahnya pulang, tetapi yang pasti, mereka akan bertemu keesokan paginya dan ia akan mendapati Matsuo yang tengah berada di dapur dengan celemek bunga di badannya. Leona tersenyum geli kala mengingatnya, semua hal kecil itu masih membekas di ingatannya. Namun, senyumnya memudar saat semua itu akan jarang terjadi. Terakhir kali Matsuo memaksakan sesuatu untuknya adalah 9 bulan yang lalu, selebihnya pria itu sibuk mengembangkan perusahaan. Pintu terbuka dan menampakkan Irene dengan pakaian yang rapi, perempuan itu berjalan ke arah sahabatnya yang memasang raut wajah muram. “Ada apa ini? Kau memanggilku pagi-pagi untuk melihat wajah murammu itu?” tanya Irene dengan nada bercanda. Leona mendengus, “Temani aku sarapan, dan buatkan aku omelette. Bosan rasanya terus sarapan dengan sereal, kau boleh ikut makan di sini.” Irene mengangguk mengerti, sudah menjadi kebiasaan Leona jika sedang sedih selalu memintanya memasakan sesuatu untuk mengembalikan mood-nya. Dia mengikat rambutnya sambil berjalan menuju dapur di samping ruang makan dan hanya terpisah oleh sekat. Butuh sekitar 20 menit hingga masakannya jadi, dia membuat omelette dan sup ayam sebagai pelengkap sarapan mereka. Irene berjalan mengambil nampan kemudian meletakkan dua mangkuk berisi sup dan sepiring telur dadar itu di sana, lalu menghampiri Leona yang berada di meja makan. Dia menyajikan makanan yang dibuatnya ke hadapan Leona, dan menyingkirkan mangkuk sereal dan cangkir cokelat itu ke samping. “Makanlah. Setelah itu, ayo kita pergi. Kau butuh liburan, dan jangan bawa novel-novel itu,” ujar Irene. “Oke, terserah kau saja. Aku sudah sangat lapar. Itadakimasu (selamat makan bahasa Jepang).” Keduanya memulai sarapan dalam keheningan, Irene memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutnya. Matanya terus mengawasi Leona yang dengan lahap memakan sarapannya, ia menghela napas saat melihat air mata yang perlahan menuruni pipi tembam gadis di depannya. Kebiasaan Leona lainnya adalah perempuan itu akan menangis ketika sudah dibuatkan makanan, dan berkata seolah-olah dia menangis karena masakannya yang enak. “Ini enak sekali! Rasanya sampai aku ingin mati,” isak tangis itu terus terdengar dengan nada kesal. Irene terdiam, jika menangis bisa mengangkat sedikit beban di hati, maka dia akan membiarkannya hingga reda. Butuh waktu sekitar 10 menit sampai tangisan Leona reda, Irene berjalan menghampiri kemudian menenggelamkan kepala Leona pada perutnya. Dia mengelus lembut rambut pendek Leona, "Ini pasti tentang paman lagi, 'kan? Apakah kalian bertengkar?" Leona mengangguk. Irene melepaskan pelukannya, kedua tangannya menangkup di wajah Leona. "Astaga, lihatlah wajahmu menjadi berantakan." Dia memperhatikan bagaimana mata Leona yang sembab, hidung dan pipinya yang memerah, juga hidungnya yang berair. Irene meringis jijik saat Leona menjilat ingusnya, ia menjauhkan diri dari Leona. "Hei, itu jorok!" kesalnya membuat Leona tertawa canggung. Irene menghela napas melihat kelakuan Leona, "Begini saja, hari ini kita bersenang-senang. Pertama, kita akan pergi ke salon. Lalu aku traktir kau makanan yang enak, bagaimana?" Leona mengangguk senang atas tawaran Irene, "Nah, sekarang bersiaplah dulu." ~~ Mereka berjalan berdampingan memasuki sebuah Salon dan Spa yang tak jauh dari kediaman mereka. “Selamat datang! Silakan duduk di sana.” Salah seorang pekerja wanita menyambut mereka kemudian menuntun keduanya untuk duduk di kursi salon yang telah disediakan. Irene menyeret tangan Leona, kemudian mendudukkannya di kursi salon di samping kursinya. “Gaya seperti apa yang kalian inginkan?” tanya petugas salon di belakang mereka masing-masing. “Cukup perawatan saja. Dan tolong bersihkan perempuan itu,” ujar Irene menunjuk Leona yang tampak tak nyaman di sini. Ini pertama kalinya ia kemari setelah dua tahun lalu, sementara itu petugas salon terkikik geli mendengarnya. Butuh waktu sekitar 2 Jam untuk melakukan segala perawatan di salon itu, Leona dan Irene keluar dari sana dengan wajah yang lebih cerah. Beberapa orang menatap mereka, “Kali ini mereka memandang karena apa? Apa aku masih tetap jelek?” ujar Leona kesal. Irene tertawa kecil mendengarnya. “Tidak, kau cantik. Mereka pasti terpesona melihatnya,” jawabnya. “Setelah ini kita pergi ke Supermarket, ku lihat isi kulkas mu kosong,” lanjutnya. Leona hanya mengangguk, ia memberikan fokus pada rambutnya yang terlihat halus dan wangi seperti dulu saat dirinya masih peduli pada penampilan. Ia bahkan terus tersenyum sambil terus menghirup aroma wangi rambutnya yang kini bergelombang indah, Irene yang melihatnya hanya menggelengkan kepalanya beberapa kali sambil ikut tersenyum. Seperti ini lebih baik, keluarga Leona sangat baik padanya. Bahkan tak jarang Matsuo membantunya kala dia kesulitan biaya dengan biaya sekolah, Irene hanyalah seorang anak rantau. Ayah dan ibunya berada di kampung, dia kesini karena mendapatkan beasiswa. Perkenalannya dengan Leona terjadi saat mereka menjadi teman di sekolah menengah pertama, mereka bertemu ketika dia kehilangan dompetnya saat pertama kali datang ke Tokyo. Saat itu Leona yang sedang berada di sana menolongnya, perempuan itu datang dan memberikan beberapa lembar uang dengan nominal besar dengan secarik kertas berisi nomor ponsel dan alamat dan pergi begitu saja. Irene yang saat itu kebingungan, akhirnya memutuskan untuk menggunakan uang tersebut menuju alamat yang diberikan Leo. Di sanalah ia bertemu dengan Leona dan Matsuo. Keduanya memberikan dia tumpangan, bahkan ketika Irene menolak dan mereka malah memberikan uang untuk menyewa sebuah rumah. Akhirnya, Irene menggunakan uang tersebut untuk menyewa sebuah Apato (Apartemen Jepang sejenis Kost-an di Indonesia) di sekitar sana. Mereka tiba di sebuah supermarket, memasukinya kemudian mengambil troli dan berjalan ke arah setiap rak. Irene berjalan ke arah rak khusus untuk kecantikan, Leona hanya mengikuti dari belakang. Irene mulai sibuk dengan produk-produk yang tak begitu ia mengerti, kecuali pasta gigi, sabun, dan sampo. “Kau itu 'kan memiliki banyak uang, gunakanlah itu untuk kebutuhanmu,” ucap Irene sambil terus fokus pada produk-produk yang berjejer rapi di depannya. “Novel-novel merupakan hal penting untukku, lagi pula untuk apa kita membeli barang-barang sebanyak itu?” Leona menunjuk sabun cair dan beberapa kecantikan lainnya dalam troli belanja. Irene menghentikan aksi melihat-lihatnya, dia menoleh pada Leone kemudian. “Kau sudah hidup di zaman di mana penampilan adalah hal yang dilihat pertama kali ketika bertemu. Memang tidak semua orang seperti itu, tetapi ditatap dengan pandangan meremehkan itu, tidak enak. Jika kau hidup di Seoul, kau akan merasakannya.” Ah, Leona hampir saja lupa jika wanita cantik disampingnya itu berasal dari Negeri Ginseng. “Kalau begitu, pilihkan sesukamu. Tetapi jangan yang beraroma menyengat, pilih saja yang cocok untukku.” Leona memandang rak yang berisi jajaran makanan ringan, senyumnya melebar. Kemudian ia berjalan menuju tak tersebut, “Aku ke sana dulu.” Irene mengangguk tanpa menoleh, ia tetap fokus melihat tulisan-tulisan berisi deskripsi produk. Leona mengernyitkan keningnya begitu selesai dengan beberapa bungkus makanan ringan dalam dekapannya, ia merasa ada seseorang yang memperhatikannya. Kepalanya menoleh kesana-kemari, tapi tak mendapati satu pun orang yang memperhatikannya. Ia menghela napas sebelum kemudian berjalan ke arah kaca lebar Supermarket yang langsung menunjukkan suasana di luar, ia mengernyit mencoba menjelaskan pandangannya pada jalanan sekitar. Sebuah tepukan di pundak mengejutkannya, ia menoleh dan mendapati Irene tengah menatapnya bingung. “Ada apa?” tanyanya. “Entahlah, aku merasa ada seseorang yang memperhatikan. Seperti Paparazi, sungguh aneh” jawab Leona dengan bergidik ngeri. “Paparazi? Memangnya kau artis?” Irene terkekeh geli diikuti Leona yang sama-sama merasakan geli pada ucapannya. Mereka berpisah sepulangnya dari Supermarket, Irene pergi setelah ada urusan penting dengan Dosennya. Sedangkan Leona memutuskan kembali ke rumahnya, setelah mendapat telepon dari kenalan Matsuo yang memintanya datang ke rumah sakit. Selama perjalanan, hatinya bergemuruh hebat. Sekelebat ingatan masa kecilnya dulu mampir di kepalanya, Leona meletakkan telapak tangannya di d**a. Hatinya tak jua tenang, meskipun ia menggunakan metode pernapasan agar tetap tenang. Leona terlalu takut memikirkan apa yang terjadi. “Ayah! Paman apa yang terjadi pada ayah? Kenapa dia bisa sampai masuk rumah sakit? Padahal semalam, ayah terlihat baik-baik saja.” Leona bertanya dengan bertubi-tubi kepada Teman Sang Ayah yang selalu ia panggil Paman. “Leo, ayahmu terkena serangan jantung. Perusahaan bangkrut, dan ayahmu memiliki hutang di Bank dengan jumlah yang sangat besar.” Penjelasan itu seolah menusuk hatinya, bukan karena ia yang akan kehilangan hartanya, tetapi karena hatinya sakit saat tau ayahnya menyimpan beban yang begitu besar. "Bagaimana semuanya bisa terjadi?” Leona bertanya dengan lirih. “Paman tidak tau jelasnya seperti apa, ayah mu begitu pandai menyembunyikan semuanya dan memendamnya sendirian. Yang Paman tahu, dia ditipu oleh rekan bisnisnya dan mengalami kerugian. Untuk menutupi segala kerugian itu, ia memilih meminjam uang di Bank. Karena bunga yang besar, ia tak mampu membayarnya. Akhirnya perusahaan di sita, dan ayahmu tiba-tiba terkena serangan jantung,” jelasnya dengan nada menyesal. “Siapa? Siapa yang menipu Ayah?” tanya Leona. Paman Matt, menghela napas berat. “Kau mungkin tidak terlalu paham, tapi aku akan memberitahumu. Dia adalah seorang pebisnis yang terkenal karena kehebatannya dalam mengembangkan perusahaan, dia berasal dari Korea Selatan.” Tangan Leona terkepal kuat, karena penipu itu ayahnya kesakitan. Leona menggigit bibir bawahnya keras, ia mencoba menahan isak tangisnya. Pintu terbuka dan menampakkan seorang Dokter dengan pakaian khas operasinya, menatapnya dengan tatapan menyesal dan kepala menggeleng. Saat itulah Leona merasa dunianya runtuh, ia berlari dan menerobos masuk ke dalam ruang operasi tempat sang ayah berada. Di ranjang rumah sakit itulah, ia melihat ayahnya yang tertutup kain putih dari rambut sampai ujung kaki. Ia menggeleng beberapa kali, langkah kakinya terasa berat untuk sekedar melangkah perlahan. “Tidak, ayah tidak boleh meninggalkanku. Jika Ayah pergi, aku dengan siapa? Ayah buka matamu, kumohon, bangunlah! Tidak! Tidak!” Leona menangis semakin keras di samping tubuh kaku nan dingin Ayahnya. Ia memeluk erat tubuh pucat itu, sembari mengulang kalimat yang sama. Kini ia kehilangan semuanya, kenapa ia tak memaksa ayahnya atau setidaknya mencari tau apa yang sebenarnya terjadi? Ia menyesal, sungguh dan penyesalan itu kini menggerogoti hatinya. ~ Leona menatap lesu foto sang Ayah, proses kremasi telah selesai satu jam yang lalu. Kini dengan balutan pakaian serba hitam, ia termenung seorang diri di dalam rumah yang sebentar lagi bukan menjadi miliknya. “Kenapa ayah tak membawaku juga? Kenapa kau meninggalkanku sendiri? Aku takut, aku tak tahu harus apa.” Suaranya terdengar lirih di antara keheningan, ruangan tampak gelap karena tidak mendapat pencahayaan. Ketukan keras di pintu membuatnya menoleh, ketukan itu lebih tepat bila disebut gedoran. “Nona! Saya tau Anda di dalam, tetapi rumah ini akan kami sita! Besok kami akan kembali, karena itu tolong bereskan barang-barang mu dan pergilah!” teriakan seorang Pria membuatnya mendengus di sela tangisnya. Apalagi ini, apakah setelah ia kehilangan satu-satunya orang yang ia miliki, ia juga harus kehilangan rumah yang memiliki banyak kenangan ini? “Pergi saja kalian! Ini rumahku! Selamanya tetap rumahku!” ia membalas dengan teriakan kesal, tapi tak ada sahutan sepertinya orang-orang dari Bank itu telah pergi. Leona berjalan cepat ke arah kamar ayahnya, ia memperhatikan isi kamar yang terlihat rapi itu dengan sendu. Jadi di sinilah tempat ayahnya selalu merenung, Ia merebahkan tubuhnya di kasur dengan sprei katun warna abu yang terlihat lembut itu. Memeluk sebuah bantal dengan erat, kemudian ia menenggelamkan wajahnya dalam bantal yang lembut itu. Terdengarlah suara tangis yang menyayat hati, hari masih siang namun cuaca mendung seolah mengerti suasana hatinya yang berduka. Suara ketukan pintu yang keras, membuatnya terusik dalam tidur. Rasanya baru satu jam ia tertidur dan kini suara itu mengganggunya, kelopak matanya terbuka secara perlahan. Hal pertama ia lihat adalah ruangan kamar yang gelap, ia mendudukkan dirinya kemudian berdiri untuk membuka pintu. Hal pertama yang ia lihat begitu membuka pintu rumah adalah dua orang pria berbadan besar, ia mengenyit. Sampai ingatan jika mereka adalah Petugas Bank, membuatnya mengernyit kesal. Kenapa ia begitu bodoh dengan membukakan pintu untuk orang-orang yang ingin mengambil rumahnya. “Ada apa?” Ia bertanya dengan galak. “Tadinya kami akan kemari besok, tapi Pimpinan kami menyuruh menyita rumah ini malam ini. Sekarang bereskan barang-barangmu dan pergi dari sini!” jelas pria berkepala plontos. Ia mengernyit tak suka, “Aku tak akan pergi dari sini! Ini rumahku!” Kedua pria itu saling memandang dan memberikan kode, “Jika Nona tidak mau pergi sekarang juga, terpaksa kami akan membawa Anda ke penjara.” Leona membulatkan matanya kemudian menggeleng, tidak, ia tak mau masuk penjara. Akhirnya ia memilih masuk ke dalam rumah. “Baiklah, aku akan bereskan barang-barang dulu.” Begitu tiba di kamar, Leona memperhatikan sekitarnya. Memasukkan beberapa pakaian dan novel-novel miliknya ke dalam koper, tak lupa juga ia membawa tabungan miliknya yang tak pernah ia gunakan. Ia kemudian berjalan memasuki kamar ayahnya, memilah beberapa baju milik mendiang ayahnya dan memasukkannya ke dalam koper yang sama. Ia akan membawanya jika rasa rindu itu hadir lagi, tak lupa ia bawa album foto ayahnya dan dirinya. Tatapan terakhir ia layangkan ke sekeliling, walau kelak rumah ini bukan miliknya lagi, tetapi semua kenangan itu akan selalu tersimpan dalam hatinya. Dalam setiap langkahnya terasa berat meninggalkan rumah yang telah menemaninya sejak bayi, rumah itu kini memiliki kertas dengan tulisan Di sita tepat di pintu gerbang. Leona mengelus perutnya yang sakit, ia lapar. Entah sudah berapa jauh ia berjalan, tapi tak jua ia temui sebuah rumah untuk di sewa dengan harga murah. Ia membayangkan makanan yang selalu ayahnya beli dulu namun selalu berakhir di tempat sampah, ia menyesal telah menghamburkan makanan. Kini lihatlah, ia hidup luntang-lantung di jalanan dengan keadaan kelaparan. Malam semakin larut, ia memilih mengistirahatkan tubuhnya di depan sebuah toko yang tutup. Ia mengeratkan mantel yang dikenakan sembari mendekap erat tas berisi beberapa benda pentingnya, ia takut gelap. Tapi apa boleh buat, jika ia pergi ke hotel dan bermalam semalam, uangnya tak akan cukup untuk ke depannya. Ia juga ingin pergi ke Apato Irene, tetapi ia tak ingin merepotkan Sahabatnya itu terus-menerus. Bahkan tadi ketika ia mengunjungi Apato Irene, ia mendapati perempuan itu tengah tertawa bahagia bersama ayah dan ibunya yang mungkin baru saja tiba di Tokyo. Matanya memandang lurus ke depan, memikirkan bagaimana nasibnya kini. Besok, apa yang harus ia lakukan? Ia rasa ia harus keluar dari universitas, kemudian mulai mencari pekerjaan dan tinggal di sebuah Apato. Jika ia punya keluarga atau setidaknya seorang saudara, mungkin ia tak perlu kebingungan seperti ini. Tapi apa daya, ayah dan ibunya yang telah lama pergi, tak pernah bercerita apapun mengenai mereka di masa lalu. Bahkan ia tak pernah bertemu sang ibu secara langsung, karena beliau telah meninggal sebulan setelah melahirkannya. Matsuo hanya memberinya sebuah foto seorang wanita cantik yang tersenyum ke arah kamera. Foto usang yang menjadi satu-satunya pengobat rindu pada seorang Ibu. Matanya mulai terpejam, “Aku harap semua ini hanya mimpi. Aku masih terlelap dan meringkuk seperti bayi, kemudian Ayah datang mengecup keningku.” Hal paling menyedihkan adalah ketika kau merindukan seseorang yang tidak akan pernah kembali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD