Bab 3 Irene

2012 Words
Seberkas sinar matahari mengusik tidurnya yang lelap, telinganya terusik oleh suara ribut di sekitar. Matanya mengerjap lalu terbuka menyesuaikan dengan cahaya yang memasuki retina matanya, kening Leona mengernyit mendapati dua orang pria dewasa berdiri memandangnya heran. “Siapa kalian?” tanyanya sambil meringkuk. “Seharusnya kami yang bertanya seperti itu, ini toko kami, sedang apa kau di sini?” Pria dengan jaket hitam itu bertanya balik. Leona menolehkan kepalanya ke belakang, menatap spanduk besar dengan tulisan Toko Kelontong. “Maaf, saya akan pergi. Terima kasih,” ujarnya kemudian berdiri dengan membawa barang bawaannya dan berlalu dari sana. Kedua Pria itu saling memandang, kemudian mengangkat bahu acuh. Kaki berbalut sepatu sneakers itu terseret dengan lemasnya, koper yang di tariknya terasa lebih sulit ketika melewati jalan berlubang. “Aku harus ke mana?” gumamnya, kedua matanya mengawasi keadaan pasar yang perlahan di penuhi pedagang. Helaan napas lelah ia keluarkan, sebaiknya ia mencari Apato. Karena tidak mungkin ia kembali tidur di jalan. Suara berisik dari dalam perutnya, membuat Leona meringis sakit. “Aku lapar, sebaiknya aku cari makan dulu.” Leona memutuskan membeli dua buah Onigiri dan sebotol air mineral kemasan yang dibelinya di minimarket, ia harus berhemat karena ia tak tau apa yang akan terjadi ke depannya. Sepotong demi sepotong Onigiri masuk ke dalam mulutnya, kepalanya menengadah ke atas. Memperhatikan langit cerah di pagi hari itu, semalam ia berharap jika apa yang ia alami hanya mimpi. Namun, kenyataan pahit lah yang ia terima. Matanya kembali berembun dengan air yang menganak sungai di bawah matanya, setetes demi setetes air mata perlahan mengalir di pipinya. Kepalanya menunduk dalam, sebungkus Onigiri dalam genggaman menjadi pelampiasan rasa sedihnya. Ayah yang meninggalkannya sendiri, rumah yang disita, dan juga kehidupannya yang kini menjadi Tunawisma. Kini masuk dalam kisah hidupnya, rasanya ia menyesal menyia-nyiakan hidupnya yang dulu tidak pernah kekurangan. “Ayah, kuatkan aku,” gumamnya lirih. Sekilas wajah sedih Matsuo melintasi di ingatannya, juga ucapan Matsuo yang memintanya melakukan apa pun yang membuatnya senang, tapi apa Matsuo tau jika ia akan senang jika bersamanya. Leona menarik napas dalam lewat hidung, kemudian menghembuskannya lewat mulut. “Aku tidak boleh sedih. Akan aku buktikan jika aku mampu melewati ini semua,” ujarnya menyemangati diri sendiri. “Oke, pertama-tama ayo cari tempat tinggal dulu.” Leona kembali menyusuri jalan setapak, mencari Apato yang masih kosong di sekitar sana. Matahari sudah mulai beranjak naik, waktu menunjukkan pukul sepuluh. Sudah dua jam ia berjalan berkeliling di daerah sekitar sana, tetapi belum juga menemukan Apato kosong. Leona mengelap keringat yang mengucur di keningnya, ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ia mengacak rambutnya kesal, orang-orang yang melintas menatapnya aneh. “Kau mau lihat Hostel yang ku tinggali seperti apa?” suara seorang perempuan membuat Leona menarik perhatiannya pada dua orang gadis berseragam Senior high school, telinganya ia pasang baik-baik. “Seperti apa? Apa harganya mahal?” tanya gadis berambut pendek. “Cukup nyaman tapi tidak senyaman di rumah, harganya lumayan murah sekitar JP¥3.030 (Rp. 422.427)” ujar gadis rambut panjang. “Jika lebih nyaman di rumah, kenapa kau kabur? Dasar,” ejek gadis berambut pendek. Kedua gadis itu pun berlalu dari sana, Leona tersenyum tipis. Hostel, kenapa ia tak teringat tempat penginapan itu. Ah, setahunya ada Hostel murah di dekat sini. Ia mulai melihatnya melalu internet, Edo Tokyo Hostel. Sebuah Hostel yang terletak di distrik Edogawa, 5 km dari Tokyo Sky Tree. Untung saja rumahnya berada di distrik Edogawa, itu artinya ia hanya perlu menaiki taksi untuk sampai ke sana. Matanya memandang sekitar mencoba mencari taksi di sekitar sana, senyumnya terbit saat melihat sebuah taksi kosong berhenti tepat di depannya. Sopir keluar dari dalam taksi untuk membantunya memasukkan koper ke dalam bagasi, setelah urusan selesai, ia masuk ke kursi belakang dan mengatakan tujuannya. Taksi mulai bergerak dan perlahan meninggalkan tempatnya tadi berdiri, harga taksi dari tempatnya tadi sampai ke Edo Tokyo Hostel sekitar ¥500 (Rp. 69.707,40). Di dalam taksi, matanya memandang keluar kaca yang sengaja ia buka untuk menikmati angin. Leona sengaja memilih pergi dengan Taksi daripada berjalan, berjalan membutuhkan waktu sekitar 11 menit. Itu lumayan lama jika ia membawa barang berat seperti saat ini, kopernya terasa berat mungkin karena ia memasukkan beberapa Novelnya ke sana. Tiga menit berlalu, taksi pun tiba di tempat tujuan. Sebuah bangunan dua lantai adalah hal pertama yang ia lihat saat kakinya menginjak tanah, ia masuk ke dalam hostel tersebut sembari menarik kopernya. Begitu pintu terbuka, dirinya di sambut oleh seorang wanita paruh baya berpakaian tradisional Jepang. Leona membungkukkan tubuhnya memberi salam, ia kemudian berjalan ke arah meja Resepsionis. “Ada yang bisa saya bantu, Nona?” sapa Pria paruh baya dengan name tag Hayato. Leona mengangguk, “Ya, saya butuh satu kamar.” Mr. Hayato tersenyum tipis kemudian mulai membuka sebuah buku besar. “Untuk berapa hari Anda membutuhkannya?” tanya Mr. Hayato. Leona terdiam sejenak memikirkannya, “Eum.. dua hari? Ya, dua hari saya rasa cukup.” “Baiklah, satu kamar untuk satu orang dan dua hari. Dengan nama siapa?” tanya Mr. Hayato. “Leona, saya akan melakukan pembayaran secara tunai,” jawab Leona sembari mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam dompetnya. Mr. Hayato menerima uang yang diberikan Leona, “Saya terima. Kalau begitu, mari saya antar.” Leona mengangguk lalu mengikuti langkah Mr. Hayato menuju kamar yang telah dipesan, keduanya tiba di sebuah ruangan. Pintu dibuka oleh Mr. Hayato, Leona memperhatikan ruangan yang tampak luas itu. Sekitar delapan orang menatap ke arah mereka, Mr. Hayato berbalik ke arahnya. “Nona, silakan masuk. Semua kebutuhan sudah tersedia di dalam, termasuk Wi-Fi gratis,” ujarnya. Leona mengangguk sambil memperhatikan tempat tidur bertingkat atau bunk bed yang tersusun rapi, ada sekitar 12 buah tempat tidur bertingkat. “Ne, Arigatou.” Leona memberi salam sekali lagi sebelum Mr. Hayato berlalu dari sana. Ia memasuki ruangan itu dengan kikuk, semua mata memandangnya. “Kon'nichiwa (selamat siang bahasa Jepang). Aku Leona,” Leona kembali membungkukkan tubuhnya memberi salam. Penghuni kamar yang berisi lima orang wanita dan tiga orang pria itu, terlihat sedang sibuk dengan urusannya masing-masing. Tiga orang wanita menghampirinya, “Hai, namaku Hana, ini Shiho dan satu lagi Yuki,” ujar seorang wanita berambut pendek. Leona tersenyum tipis, “aku Leona. Salam kenal semuanya,” balasnya. “Masih ada empat ranjang kosong, dua ranjang berada dipojok dekat dinding dan dua lainnya berada di tengah dan kiri bawah. Kau bebas memilih nya,” ucap Hana. Leona mengangguk mengerti, kemudian berjalan menuju ranjang dipojok, menaiki tempat tidur bagian atas dengan tangga kecil. Ia membuka gorden putih yang menutupi tempat tidur, setiap kamar tersusun dalam kotak berbentuk persegi panjang terbuat dari kayu yang menjorok ke dalam dan ditutup dengan gorden. Terdapat dua lapis kasur berwarna putih dan hijau muda, ia masuk ke dalam. Kopernya sengaja ia biarkan di bawah, Leona merebahkan tubuhnya di sana. Ponselnya mati sejak tiga menit yang lalu karena kehabisan baterai, ia akan mengurus ponselnya nanti. Karena sekarang yang terpenting adalah apa yang harus ia lakukan jika masa menginapnya usai, setelah ini ke mana ia pergi. Jika ia menginap lebih lama lagi, ia takut jika tanpa sadar uangnya habis. Bagaimanapun ia harus berhemat saat ini, ia menggigit bibir bawahnya saat lagi-lagi ingatan hari kemarin mampir di otaknya. Air matanya kembali mengalir melewati pipinya, baru sehari Matsuo pergi, tetapi ia sudah merindukan Ayahnya itu. Leona tidur meringkuk sembari menenggelamkan wajahnya pada bantal, tangisnya teredam hingga ia tak perlu takut orang memergokinya menangis. Dadanya terasa sesak seolah udara di sekelilingnya menghilang, saat ini ia tidak memiliki siapapun. Gorden putih itu tersingkap dan menampakkan Hana dengan ekspresi khawatir, ia menoleh ke belakang tepat ke arah dua temannya yang menunggu jawaban darinya. Ia menggelengkan kepalanya kemudian menuruni tangga dan kembali duduk bersama teman-temannya. “Dia menangis,” ujar Hana membuat kedua temannya menunduk. “Biarkan dia menenangkan dirinya sendiri, setelah itu berikan ini untuknya,” ujar Shiho menunjuk makanan yang baru saja di belinya dan masih terbungkus dalam kotak. “Kami pergi dulu, sampai jumpa,” Shiho berdiri kemudian berlalu dari sana bersama Yuki. Hana menghela napas sambil menoleh ke arah Bunk bed Leona, lalu memulai makan dengan sesekali memperhatikan siapa tau Leona turun. Dua puluh menit berlalu, bertepatan dengan Hana yang selesai makan siang, Leona turun dari Bunk bed nya. “Hai, bagaimana tidurmu? Shiho memberikan kita makan siang, bagianmu sudah aku pisahkan,” ujar Hana kemudian mengambil Kotak Bento berisi Onigiri (Nasi kepal), dan tumis daging sapi dengan pelengkap beberapa sayuran. “Makanlah,” ucap Hana. Leona duduk berhadapan dengan Hana sambil menatap Kotak Bento yang ada di hadapannya, “Arigatou.” Hana mengangguk sambil tersenyum, ia memandangi Leona yang tengah menyuapkan sesendok nasi dan lauknya ke dalam mulut. “Enak!” seru Leona senang. “Syukurlah jika kau suka. Aku melihatmu sedang bersedih tadi, jadi ku harap ini dapat membuatmu tersenyum,” ujar Hana membuat Leona menghentikan aktivitas makannya. Lalu ia tersenyum menenangkan, “Terima kasih telah mengkhawatirkan aku.” Hari ini merupakan hari keduanya berada di Hostel, sudah dua hari pula ia tidak berkomunikasi dengan Irene. Leona sengaja mematikan ponselnya, ia merasa sungkan jika harus merepotkan Irene. Siang ini ia memutuskan untuk mencari lowongan pekerjaan, setelah mengirim lamaran lewat online, kini ia mencoba mencarinya langsung. Dengan kemeja putih dan rok span pendek hitam, dilengkapi high heels 3 cm warna hitam. Namun, sudah sedari pagi tadi lowongan pekerjaan di sekitar sana sedikit. Ia perlu mencarinya ke daerah lain, helaan napas lelah ia keluarkan. Leona memutuskan untuk beristirahat sejenak di luar kafe. Matanya memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang, besok ia harus keluar dari hostel atau menetap kembali, itulah yang saat ini ada dalam pikirannya. “Huh.. Aku pusing sekali, sudah berapa lama aku tidak membaca novel?” gumamnya. “Leo!” suara perempuan memanggil namanya, membuat bLeona menoleh ke sumber suara dan menemukan Irene tengah berlari ke arahnya. Ia meneguk ludahnya gugup. “Ke mana saja kau? Aku mencarimu,” tanya Irene yang langsung memeluk tubuhnya erat. Napas perempuan itu terengah-engah sehabis lari. Irene melepaskan pelukannya, “Jawab aku! Ke mana saja kau? Aku mencari di rumahmu tetap tidak ada siapa pun, dan aku menemukan tulisan rumah disita di gerbang.” Leona tersenyum tipis, ternyata Irene begitu mengkhawatirkannya. “Ceritanya panjang, kau akan bosan mendengarnya,” ujarnya tersenyum miris. Irene menghela napas pelan, ia tau ada sesuatu yang terjadi dengan Sahabatnya itu. Kepalanya menoleh ke depan tepat ke kafe yang buka, “Ayo makan siang bersama. Kau pasti lapar, kan? Akan aku traktir.” Leona mengembangkan senyum lebar, “Baiklah. Ayo!” Irene terkekeh geli, kemudian merangkul Leona dan mengajaknya memasuki Kafe. “Pesan apa pun yang kau mau,” ucap Irene. Leona mengangguk pelan sambil melihat buku menu, “Sepertimu saja.” “Oke, aku pesan dua spaghetti carbonara, dua ice tea, dan satu ice cream cokelat,” ujar Irene kepada Waiters. Waiters tersebut menerima pesanannya kemudian berlalu. Irene masih setia menatap Leona yang tengah melamun, ia penasaran tapi tak akan memaksa Leona bercerita. Ketika pesanan datang, keduanya mulai menikmati makan siang itu. Namun, tak berapa lama Leona menangis disela kunyahan. Irene menghela napas sebelum menghentikan makannya dan menghampiri Leona, disenderkannya kepala Leona diperutnya sambil sesekali mengelus kepalanya. Untung saja pengunjung kafe hanya ada sekitar 4 orang dengan mereka menjadi 6. “Makanlah dulu, setelah itu kau boleh melanjutkan tangismu. Jangan sampai kau mati kelaparan,” ujar Irene penuh perhatian disela candanya. Leona tertawa kecil mendengar ucapan Irene, ia mengangguk sebelum kembali melanjutkan makannya. Irene tersenyum, setidaknya hanya ini yang bisa ia lakukan untuk Leona. Makan siang telah usai 20 menit yang lalu, kini mereka tengah berada di Hostel tempat Leona menginap. Di sana hanya ada mereka, setelah Hana dan dua temannya memutuskan keluar memberi mereka waktu. “Jadi, bisa jelaskan apa yang terjadi? Pelan-pelan saja,” tanya Irene. “Ayah meninggal,” jawab Leona pelan. Irene menutup mulutnya terkejut, tapi melihat ekspresi Leona yang sedih, kenyataan pahit itu memang nyata. Irene membawa tubuh Leona untuk dipeluknya, tangis keduanya terdengar. Irene masih setia menenangkan Leona, ketika tangisnya reda barulah ia melepas pelukannya. “Ayah terkena serangan jantung... “ Leona mulai menceritakan awal dari semuanya, mulai dari ketika Ayahnya meninggal sampai bagaimana ia bisa berada di sini. “Kenapa kau tidak datang kepadaku?” tanya Irene sedikit kesal. “Maaf, aku hanya tak ingin mengganggu waktumu dengan Ayah dan Ibumu,” jawab Leona lirih. Irene menghela napas kembali, “Jika ada masalah, datanglah padaku. Kau tidak perlu sungkan, kau dan paman bahkan sudah banyak menolongku.” Leona mengangguk mengerti. “Sekarang bereskan barangmu, kau akan tinggal bersamaku,” putus Irene tegas. “Terima kasih, beruntung aku punya sahabat sepertimu. Aku menyayangimu, Irene!” Leona berucap dengan antusias. Irene terkekeh geli, biasanya Leona anti mengucapkan kata sayang kepada dirinya. Leona berkata jika itu adalah hal menggelikan, tapi lihatlah sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD