Di dalam ruang ganti pengantin wanita milik gereja paling megah yang berada di Provintia Valderossa, berdiri seorang gadis bertubuh ramping dengan tinggi yang proporsional di depan cermin seukuran tinggi badannya. Gadis itu menatap nanar ke arah cermin yang tengah menampilkan refleksi tubuhnya. Gaun indah nan mahal yang membalut tubuh semampainya terasa seperti belenggu.
Di telinganya terngiang kembali kata-kata yang diucapkan oleh orang tua angkatnya, “Ini satu-satunya caramu membalas budi atas kebaikan yang selama ini telah kami berikan padamu, Clara. Hanya dengan cara ini kamu bisa menyelamatkan keluarga kita.”
Hati Clara kini hancur berkeping-keping karena sadar dirinya bukan pengantin yang tengah berbahagia, melainkan jaminan yang harus diberikan demi melunasi hutang keluarga angkatnya.
Clara mendengar suara pintu terbuka. Ia bergegas meninggalkan cermin dan menyibukkan diri untuk merapikan gaun pengantinnya. Detik berikutnya sosok pria berusia pertengahan 60-an datang menghampirinya.
“Ayo, Clara! Calon suamimu sudah menunggu di altar,” ucap pria yang tak lain adalah Ayah angkat Clara, August Moretti.
“Bisakah kita membatalkan pernikahan ini, Papa?” pinta Clara dengan suara lembutnya.
“Kita sudah membicarakannya dalam waktu lama, Clara. Cepatlah, Tuan Adrian bukan laki-laki yang suka menunggu,” ujar August kemudian bergegas kembali ke arah pintu.
Clara tak punya pilihan lain. Dengan langkah lesu ia mengikuti jejak ayah angkatnya menuju altar. Diiringi para gadis dan beberapa anggota keluarga lainnya, Clara terus melangkah tanpa bisa menoleh lagi untuk mengambil langkah seribu meninggalkan acara pernikahannya.
Sesampainya di pintu masuk menuju altar, August menyodorkan tangannya pada Clara. “Jangan menunduk terlalu dalam. Tamu-tamu yang hadir adalah orang-orang penting dan berpengaruh. Kamu masih ingin melihat perusahaan keluarga kita bangkit kembali bukan? Kita bisa mencari relasi di tempat ini,” bisik ayah angkatnya tanpa memikirkan perasaan Clara saat ini.
Kemudian Clara memberanikan diri mengangkat kepalanya. Tepat saat itu ia melihat sosok laki-laki tinggi dan bertubuh atletis sedang berdiri di altar dengan wajah datar sedang menatap Clara dengan dingin dan menusuk seolah sedang melihat Clara bukan sebagai calon pengantinnya, melainkan sebagai properti yang layak diperjual belikan di meja lelang.
Suasana di dalam gereja besar ini terasa hening, dingin dan mencekam. Suara pendeta mengucapkan janji suci memecah kesunyian yang sempat tersisa selama beberapa saat. Ketika pendeta menanyakan kepada Clara atas kesediaan menjadi seorang istri dan pendamping hidup untuk Adrian Valente, mulut gadis itu seolah terkunci sangat rapat. Dadanya terasa sesak dan kepalanya ingin meledak ketika tatapan dingin Adrian mengarah padanya seolah mengatakan, “Jangan coba memberontak, Clara!” Hingga akhirnya ia tak punya pilihan lagi selain mengucap kata, “Ya, saya menerima Adrian Valente menjadi suami saya.”
Pendeta mengizinkan Adrian mencium Clara untuk pertama kalinya. Clara hanya bisa menampilkan wajah tanpa ekspresi ketika bibir Adrian mendarat di bibir lembabnya. Hanya ciuman sekilas dan tanpa rasa. Bukan ciuman yang dalam, romantis dan penuh cinta yang diberikan oleh Adrian. Clara sendiri tak berharap apa pun pada laki-laki yang bahkan nyaris tak ia kenal itu.
***
Lampu kristal di aula resepsi masih menyala terang meski sebagian besar tamu sudah pulang. Musik klasik yang lembut terdengar samar, bercampur dengan suara langkah pelayan yang sibuk membereskan sisa pesta yang sebenarnya tidak terlalu mewah untuk ukuran keluarga kaya raya seperti keluarga Valente.
Clara duduk di kursi pojok ruangan, gaun pengantinnya yang putih gading terasa berat di tubuhnya. Pundaknya tegang, jemarinya meremas kain gaun, dan senyumnya yang tadi ia paksakan sepanjang acara sudah benar-benar hilang.
Pernikahan seharusnya menjadi hari paling bahagia dalam hidup seorang perempuan, bukan? Seharusnya ada tawa, kebahagiaan, dan rasa lega. Tapi bagi Clara, hari ini justru terasa seperti mendapat vonis penjara atas kesalahan yang tak pernah ia lakukan.
Ketika hatinya terus menggerutu otaknya memaksa kepalanya untuk menoleh pelan saat mendengar suara hentakan dari sepatu kulit mendekat ke arahnya. Adrian Valente. Suaminya seorang pria tampan dengan bola mata abu-abu yang menenangkan sekaligus mematikan, rahang kokoh serta sorot mata tegas yang seakan terukir sempurna tanpa cacat. Jas hitamnya melekat sempurna pada tubuh tegap dan atletisnya. Setiap langkahnya membawa aura berwibawa dan berkharisma yang membuat siapa pun menunduk entah karena segan atau justru ketakutan.
Namun semua keindahan dan kesempurnaan yang melekat dalam diri seorang Adrian Valente tidak ada artinya di mata Clara. Karena di mata Clara, laki-laki itu hanyalah seorang rentenir kejam yang tak mau rugi. Menurut Clara tak ada yang spesial apalagi sampai meninggalkan kesan mendalam pada fisik Adrian. Laki-laki dingin dan penuh misteri seperti itu bukanlah kriteria pria yang diimpikan Clara untuk jadi pendamping hidupnya.
“Sudah selesai berpura-pura tersenyum, Nona Clara?” Suara Adrian terdengar rendah, dalam, dan penuh ironi ketika menyapa Clara. Meski Clara bersikap dingin dan angkuh padanya, Adrian menganggap hal itu bukan sebuah masalah besar untuk dipikirkan solusinya. Ia sama sekali tidak memikirkan cara untuk mencoba mendekati apalagi menaklukkan benteng pertahanan yang dibangun Clara bahkan di hari pertama mereka bertemu dua bulan lalu.
Clara menegakkan tubuh, mencoba menjaga wibawa meski hatinya berdegup kencang. “Berpura-pura? Saya tidak mengerti maksud Anda. Saya hanya lelah. Itu saja," ketusnya.
Adrian mengangkat satu alis, lalu duduk di kursi di depannya. Tatapan matanya menelusuri wajah Clara seakan ingin membaca isi hatinya. “Kamu pandai menyembunyikan kebencianmu. Hampir semua tamu percaya kamu adalah pengantin bahagia.”
Clara terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Di satu sisi, ia benci pada pria itu karena telah menyeretnya ke dalam pernikahan paksa. Tapi di sisi lain, aura Adrian begitu kuat, begitu mengintimidasi, hingga ia sulit bernapas di hadapannya.
“Kenapa… saya?” akhirnya Clara memberanikan diri bertanya. “Ada banyak wanita di luar sana yang rela berlutut untuk Anda, Tuan Adrian Valente. Mengapa saya yang dipilih?”
Adrian bersandar santai di kursinya, menautkan jemarinya di depan d**a. Senyum tipis terbentuk di bibirnya. "Kenapa kamu menanyakan hal itu sementara kamu sendiri tahu alasan kenapa saya menikahimu.” Adrian membalik pertanyaan yang tadi Clara tanyakan padanya.
"Iya, saya tahu karena hutang keluarga saya, kan?"
Adrian menatap Clara lurus-lurus. "Sebenarnya hutang orang tua angkatmu tidak seberapa jumlahnya. Bahkan meski mereka tidak membayarnya seperser pun tidak akan membuat saya bangkrut," ucapnya meremehkan keberanian Clara.
"Lalu apa alasan Anda yang sebenarnya?" geram Clara.
Adrian merendahkan tubuh hingga kini wajahnya sejajar dengan wajah Clara. "Jadi kamu benar-benar tidak tahu?" ucapnya seolah sedang menyembunyikan sesuatu yang besar dan penting tentang Clara.
Dari awal ia merasa hanyalah sebagai pion yang dikorbankan keluarganya demi menutup utang besar pada salah satu gurita bisnis milik Valente Corp yang bergerak di bidang perbankan. Sebuah bank swasta kecil yang dibangun sebagai sarana untuk pencucian uang dan pendanaan bisnis para kelompok mafia yang menjadi sekutu Valente Corp. Namun kini perasaan itu lenyap begitu saja. Hal yang kini dirasakannya lebih membuatnya khawatir dibanding hanya sekadar dijadikan jaminan.
“Jadi saya bukan hanya… bagian dari transaksi pelunasan hutang papa saya?” Clara bertanya lirih, hampir tidak berani menatap mata abu-abu itu.
Adrian mencondongkan tubuh, suaranya menurun menjadi bisikan. “Semua pernikahan adalah transaksi, Clara. Bedanya, transaksimu denganku memberimu kesempatan untuk hidup lebih lama.”
Tubuh Clara merinding. Ada ancaman terselubung dalam kalimat itu, meski nada bicara Adrian terdengar tenang. Ia baru sadar betapa gelap dunia pria ini. Selaih itu ketika untuk pertama kalinya ia memiliki keberanian menatap bola mata Adrian lebih lekat dan lebih dalam, Clara menyadari sesuatu hal yang tak pernah diduganya selama ini. Bahwasanya ia pernah melihat sorot mata yang sama tajam dan kelamnya seperti milik sorot mata Adrian di masa lalu.
***
Malam itu, setelah resepsi berakhir, Clara dipisahkan dari keluarga Moretti. Gadis itu dibawa ke rumah megah Adrian dan menutup akses komunikasi dalam bentuk apa pun dengan keluarga angkatnya tersebut. Bangunan besar dengan arsitektur Eropa klasik itu berdiri angkuh di tengah kota, dikelilingi pagar tinggi dan penjaga bersenjata. Dari luar tampak indah, tapi bagi Clara, ia seperti masuk ke penjara emas.
Kamar pengantin mereka yang merupakan kamar utama rumah ini terletak di lantai tiga. Besar, mewah, dengan ranjang berkanopi putih dan balkon menghadap citylight yang ada di Distrik Elysium, pusat bisnis elit, politik mafia dan merupakan daerah kekuasaan Valente Corp. Namun suasana di dalam kamar begitu hening dan berbanding terbalik dengan pusat kota Elysium, hingga membuat Clara gugup.
Adrian membuka jas, meletakkannya di kursi, lalu melepas dasinya dengan gerakan santai. Clara berdiri kaku di dekat pintu, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Malam pertama. Kata-kata itu bergema di kepalanya dan membuat pipinya panas.
Adrian menoleh dan melihat wajah tegang Clara. Ia menatap gadis itu seolah sedang meremehkannya. “Kamu takut padaku?”
Clara menggigit bibirnya. “Haruskah saya tidak takut pada Anda, Tuan Adrian?”
Mata abu-abu itu berkilat. Ia berjalan pelan mendekat, langkahnya mantap, hingga akhirnya berdiri hanya sejengkal dari Clara. Jarak begitu dekat membuat Clara bisa mencium aroma maskulin yang khas dari tubuhnya.
“Saya tidak akan menyentuh tubuhmu barang seinci pun tanpa izin darimu,” katanya pelan, tapi nadanya mampu mengejutkan Clara. “Saya bukan pria yang suka memaksa. Tapi ingat, Clara… sekarang kamu istriku. Mau tidak mau, hidupmu akan selalu berada di bawah bayanganku.”
Clara terdiam. Ada bagian dalam dirinya yang sedikit lega mendengar ia tidak akan dipaksa malam itu. Tapi bagian lain justru semakin takut karena Adrian jelas bukan pria biasa. Ia adalah pria yang bisa memberinya perlindungan… sekaligus kehancuran.
“Kenapa saya merasa seperti sandera?” Clara akhirnya berkata, suaranya bergetar.
Adrian menatapnya lama, lalu mengangkat dagu Clara dengan jemarinya. “Karena memang itu yang kamu rasakan. Tapi jangan salah, Clara. Kamu bisa memilih: menjadi sandera dalam ketakutanmu, atau menjadi ratuku di dunia ini.”
Kata-katanya bagai pisau bermata dua, mengerikan sekaligus memikat. Clara tidak mengerti mengapa ia merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Adrian seolah musuh, tapi juga satu-satunya pelindung yang tersisa.
~~~
^vee^