Udara pagi di rumah Adrian terasa berbeda. Clara berdiri di balkon kamarnya, menatap kota yang mulai sibuk. Angin semilir membawa aroma bunga dari taman di bawah, tapi entah mengapa ia merasa ada hawa asing, seperti ada mata yang sedang mengawasi dari segala arah. Ia merapatkan gaun tidurnya. Malam sebelumnya masih segar di kepalanya. Adrian, suami yang dingin dan penuh rahasia tak sekalipun menyentuhnya. Clara tak tahu apakah harus merasa lega atau justru tersinggung.
Pintu kamar terbuka. Clara menoleh, menemukan Adrian sudah rapi dalam setelan hitam yang elegan. Ia tampak seperti laki-laki sukses yang hendak ke kantor, tapi Clara tahu hidupnya lebih rumit dari sekadar mengurus bisnis.
“Kamu akan tinggal di sini sepanjang hari,” katanya datar sambil memasang jam tangan mewah di pergelangan tangannya.
Clara mengerutkan kening. “Apa maksudmu? Aku tidak bisa keluar?” tanya Clara tak mengerti.
Adrian menoleh, menatap Clara dengan mata abu-abunya yang menusuk. “Kamu boleh keluar…,” ucap Adrian dengan nada menggantung. “Jika ingin dilenyapkan orang-orang yang menunggu celah untuk melukaimu. Dunia yang kumiliki, Clara, bukan dunia yang bisa kamu masuki dengan bebas,” sambungnya tegas tak terbantahkan.
Clara tercekat. Ia ingin membantah, tapi melihat sorot mata Adrian, ia tahu itu bukan ancaman kosong. Itu kenyataan.
***
Setelah menyelesaikan acara makan paginya tanpa ditemani Adrian, Clara mencoba menjelajahi rumah. Ia menemukan lorong panjang dengan dinding dihiasi lukisan klasik, tangga spiral yang indah, dan sebuah perpustakaan besar yang penuh buku. Dari luar, tempat itu tampak sempurna. Semua furniture dan desain interior rumah megah Adrian membuatnya kagum dan ingin mengabadikannya ke dalam sebuah lukisan yang indah. Membayangkan hal itu membuat Clara merindukan rutinitas hariannya melukis di galeri.
Clara membuang rasa rindunya itu jauh-jauh karena merasa di balik keindahan rumah megah Adrian, ada sesuatu yang terasa janggal. Penjaga berseragam hitam berdiri di hampir setiap sudut. Mereka tidak tersenyum, apalagi mengganggu Clara. Mereka hanya menatap tajam seolah setiap gerakan Clara bisa dicatat dan dilaporkan. Clara masih belum terbiasa dengan mereka. Seumur hidupnya baru kali ini setiap pergerakannya diawasi oleh orang asing.
Saat melewati dapur, Clara mendengar dua pelayan berbisik. “Kasihan Nyonya muda… Aku tidak yakin gadis muda itu akan betah tinggal selamanya di tempat ini,” ucap suara pelayan pertama.
“Ssst! Jangan keras-keras. Kalau Tuan mendengar, kita bisa hilang besok pagi,” jawab yang lain, wajahnya pucat.
Clara menahan napas. Ia ingin bertanya lebih jauh, tapi begitu mereka melihatnya, kedua pelayan itu langsung terdiam dan pura-pura sibuk. Ada sesuatu yang mereka sembunyikan.
***
Sore harinya, Adrian pulang lebih cepat dari yang Clara duga. Ia masuk ke kamar kerja dengan ekspresi keras, membawa setumpuk berkas. Clara, yang penasaran, memberanikan diri mengetuk pintu.
“Masuk,” jawab suara berat itu.
Clara melangkah ragu. Ruangan itu besar, dengan meja kayu hitam, rak penuh buku hukum, bisnis juga ilmu pengetahuan lainnya dan sebuah brankas besar di sudut. Adrian duduk di kursi kulit, membuka dokumen-dokumen tebal dengan wajah serius.
“Kamu selalu terlihat sibuk,” kata Clara pelan.
“Karena aku memang sibuk,” jawab Adrian tanpa menoleh.
Clara menggigit bibir. Ia benci merasa tak dianggap. “Bukankah tadi malam kamu mengatakan besok banyak hal yang akan kita bicarakan. Tapi kenyataannya, kamu bahkan tidak menatapku ketika aku mengajakmu bicara.”
“Waktunya tidak tepat untuk itu, Clara,” ucap Adrian masih tetap tanpa menoleh ke arah Clara.
“Aku bahkan tidak tahu siapa sebenarnya pria yang kini jadi suamiku,” tegas Clara dengan jantung berdebar lebih cepat. Napasnya kini seperti tercekat di kerongkongan karena sudah berani-beraninya menyulut api keributan di antara mereka.
Benar saja, berkat ucapannya itu Adrian akhirnya mengangkat wajah. Mata abu-abu itu menatap tajam. “Apa yang ingin kamu tahu, Clara? Bahwa aku adalah pemilik bank tempat keluargamu berhutang lalu tak bisa membayarnya? Bahwa aku menyelamatkan keluargamu dari kehancuran, dan sebagai gantinya kamu jadi milikku?” Kata-kata Adrian terdengar dingin dan menusuk.
Clara menelan ludah. “Itu… terlalu kejam,” cicitnya dengan suara tertahan.
Adrian tersenyum sinis. “Kejam? Dunia ini jauh lebih kejam daripada aku. Dan cepat atau lambat, kamu akan menyadarinya.”
Clara berdiri, berjalan ke arah jendela besar, lalu menyingkap tirai. Dari sana terlihat halaman rumah yang luas, dengan penjaga berpatroli. Ia bisa lihat pantulan bayangan Adrian lewat kaca, laki-laki itu menoleh padanya lagi.
“Aku ingin kamu mengingat ini, ada banyak orang di luar sana yang ingin melihatku jatuh. Dan mereka tak akan segan melibatkanmu untuk mencapainya,” ucap Adrian tegas dan penuh wibawa.
Clara terdiam. Ia tak membantah lagi. Ada rasa takut yang semakin menebal di dadanya.
***
Malam ini, Clara kesulitan tidur. Kata-kata Adrian terus terngiang di telinganya. Dunia yang kejam. Ancaman yang mengintai. Ia berbalik ke sisi ranjang. Adrian belum masuk kamar. Rasa penasaran mendorongnya keluar. Dengan langkah hati-hati, ia berjalan melewati lorong menuju lantai bawah.
Suara samar terdengar dari ruang bawah tanah, ruang yang tidak ia ketahui sebelumnya. Pintu besi setengah terbuka. Clara menempelkan telinganya, jantungnya berdetak kencang.
“Saya sudah bilang, jangan pernah menyentuh istri saya!” suara Adrian, dingin tapi penuh amarah.
Clara membelalak. Ada suara pria lain, lirih, penuh rasa sakit. Seperti seseorang dipukuli.
“Saya… hanya… melaporkan…”
“Diam!” suara Adrian membentak. “Kamu berkhianat. Dan di rumah ini, pengkhianat tidak pernah hidup lama.”
Tubuh Clara gemetar. Ia bisa bisa merasakan sebenci apa Adrian pada pengkhianat. Rasa takutnya itu membuat ia ingin lari, tapi kakinya seakan terpaku. Beberapa menit kemudian ia mendengar suara benda jatuh, lalu suara seseorang terengah-engah dan hening.
Pintu tiba-tiba berderit. Hal itu membuat Clara panik. Ia lalu memutuskan untuk segera berlari kembali ke kamar. Ia masuk, menutup pintu, dan pura-pura tidur di ranjang. Napasnya masih memburu.
Sekitar setengah jam kemudian pintu kamar terbuka. Adrian masuk, wajahnya datar seakan tak terjadi apa-apa. Ia melepaskan jas, lalu duduk di sofa.
Di ranjangnya Clara berusaha tenang, tapi tangannya menggenggam erat selimut. Apa yang baru saja ia dengar? Apa benar suaminya barusan membunuh seseorang di ruang bawah tanah?
***
Pagi berikutnya, Clara tak bisa menahan diri. Ia turun ke dapur, berharap bisa menemukan jawaban. Tapi yang ia lihat justru membuatnya semakin yakin ada sesuatu yang salah.
Seorang penjaga sedang mengangkut karung hitam besar melalui pintu belakang. Karung itu panjang, berat, dan butuh dua orang untuk mengangkatnya. Clara merinding. Ia tahu apa yang mungkin ada di dalam karung itu.
Saat matanya bertemu dengan salah satu penjaga, pria itu menatapnya tajam, lalu menyeringai tipis. “Sarapan sudah siap, Nyonya.”
Clara buru-buru pergi, tubuhnya gemetar ketakutan.
***
Keesokan harinya kehidupan Clara berjalan seperti mimpi buruk. Adrian tetap bersikap normal di depannya, dingin dan sinis tapi tak pernah bersikap kasar. Namun Clara tahu ada sisi lain dari pria itu. Sisi yang berlumuran darah. Namun yang membuatnya bingung, meski ketakutan tumbuh, ada perasaan lain yang ikut muncul. Setiap kali Adrian menatapnya, setiap kali ia melindungi Clara dari penjaga yang bersikap kurang ajar, ada kilatan lembut yang membuat jantung Clara berdebar.
Bagaimana mungkin seorang pria bisa menjadi monster… dan sekaligus pelindung?
~~~
^vee^