Kediaman Adrian di malam hari seperti sebuah istana yang terlalu besar untuk dihuni hanya oleh dua orang. Dinding marmer putih yang dingin, lorong panjang yang sepi, dan lampu gantung kristal yang berkilau seperti ribuan bintang, justru membuat Clara merasa semakin kecil. Setiap langkah yang ia ambil bergema, seakan rumah ini ingin mengingatkan bahwa ia adalah orang asing yang dipaksa tinggal di dalamnya.
Clara menatap jendela kaca besar di ruang tengah. Hujan baru saja reda, menyisakan tetesan air yang berkilauan di bawah cahaya lampu taman. Dari balik kaca, ia bisa melihat bayangan samar dirinya sendiri. Mata itu, mata seorang perempuan yang beberapa hari lalu masih hanya seorang anak anak angkat dari keluarga sederhana yang memiliki sebuah galeri lukis kecil di pinggiran kota, kini berubah menjadi mata seorang istri dari laki-laki tampan dan kaya raya tapi tak sepenuhnya ia kenal.
Seketika, suara pintu terbuka membuat Clara yang sedang melamun tersentak. Ia menoleh, mendapati sosok Adrian masuk ke ruang tengah. Seperti biasa, pria itu berjalan dengan langkah tenang, tegap, dan dingin. Kemeja hitam yang dikenakan masih basah sedikit di bagian bahu, mungkin terkena sisa hujan. Clara bisa merasakan detak jantungnya semakin kencang, walau ia berusaha menutupi dengan berpura-pura sibuk membetulkan posisi jarinya di pegangan kursi.
“Belum tidur?” suara Adrian terdengar dalam, serak, dan terlalu menenangkan untuk seorang pria yang katanya pewaris keluarga mafia.
Clara menelan ludah. “Sulit… tidur di tempat baru," jawabnya dengan suara yang jelas-jelas terdengar gugup.
Adrian berhenti beberapa langkah di depannya. Mata tajamnya memandang dalam, seolah menembus dinding pertahanan Clara. Namun, yang membuat Clara semakin bingung adalah tatapan itu tidak hanya dingin. Ada sesuatu yang lain di tatapannya, samar dan seakan ingin disembunyikan.
“Mau kutemani?” tawar Adrian.
Clara membeku. Kata-kata sederhana itu terasa seperti godaan, sekaligus ancaman.
Clara tidak tahu apakah Adrian sungguh-sungguh peduli, atau sekadar bermain-main dengan kelemahannya. "Oh... Tidak perlu.” Clara buru-buru berdiri, tapi gerakannya membuatnya sedikit goyah. Adrian spontan mengulurkan tangan, menahan lengannya agar tidak jatuh. Clara menjadikan kesempatan ini untuk menatap laki-laki itu lebih dekat dan intens. Ada aroma maskulin samar dari tubuh Adrian, dingin tapi menenangkan.
“Jangan memaksakan diri,” ucap Adrian pelan, nadanya jauh lebih lembut dari biasanya.
Clara berusaha melepaskan lengannya, tapi semakin ia mencoba, semakin kuat genggaman Adrian. Bukan kasar, melainkan tegas, seolah mengatakan bahwa ia tidak akan membiarkannya lari. Dan justru itu yang membuat d**a Clara semakin bergejolak.
“Kenapa… kamu ingin menemaniku?” tanya Clara akhirnya, suaranya hampir berbisik.
Adrian menunduk sedikit, menatap matanya tanpa berkedip. “Karena kamu sekarang istriku.”
Jawaban itu sederhana, tapi justru membuat hati Clara semakin kacau. Ia ingin membantah, ingin mengatakan bahwa pernikahan ini hanya transaksi yang menjerat kehidupan bebasnya. Tapi entah kenapa, bagian dalam dirinya justru ingin percaya dan ingin meyakini bahwa ada ketulusan dalam kata-kata itu.
Adrian akhirnya melepaskan lengannya perlahan. Clara segera mundur satu langkah, mencoba menjaga jarak. Namun dalam hatinya, ia tahu jarak itu hanyalah ilusi. Tidak peduli sejauh apa ia melangkah, bayangan Adrian akan selalu mengikutinya.
***
Hari-hari berikutnya tidak lebih mudah bagi Clara. Meski Adrian jarang bicara, tapi laki-laki itu berusaha mendengarkan keluh kesah Clara yang membuat istrinya itu tidak nyaman. Salah satunya Adrian mengubah kebiasaan paginya yang dilewati tanpa makan pagi, kini menyempatkan waktu untuk menemani Clara menikmati makan pagi bersama. Perubahan berikutnya adalah setiap kali mereka bertemu di meja makan atau lorong rumah, Adrian selalu memerhatikan gadis itu lewat tatapan lurusnya. Tatapan itu, meski ditunjukkan secara diam-diam tapi cukup mampu mengusik pikiran Clara.
Suatu waktu Clara kembali merasakan perasaan pernah bertemu dengan Adrian. Namun sampai detik ini Clara belum menemukan jawabannya dimana dan kapan pernah bertemu suaminya itu sebelum pertemuan pertama mereka dua bulan lalu. Ia belum bisa meyakinkan intuisinya sendiri. Yang ia yakini hanyalah pernah bertemu di waktu lampau dan itu sudah sangat lama sekali.
***
Malam ini, Clara tidak bisa tidur. Ia memutuskan untuk berjalan keluar kamar dan menuju balkon di lantai dua. Udara malam menusuk kulitnya, tapi pikirannya terlalu penuh untuk memikirkan dingin. Adrian belum menunjukkan batang hidungnya meski waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Laki-laki itu bahkan melewatkan makan malam tanpa kabar.
Dalam kesunyian malam, tiba-tiba Clara teringat bagaimana Adrian menatapnya pagi tadi saat tanpa sengaja menjatuhkan gelas. Pria itu tidak memarahinya, hanya mengambilkan gelas lain dan berkata, “Hati-hati, Clara.” Suaranya kala itu terdengar lembut sekali, kontras dengan bayangan seorang pewaris mafia.
“Kenapa aku jadi terus memikirkan dia?” Clara berbisik pada dirinya sendiri, mengusap wajahnya yang terasa panas. “Aku seharusnya takut padanya… bukan begini.”
Clara baru saja hendak berbalik masuk, ketika mendengar suara langkah kaki mendekat. Clara sangat mengenal langkah tenang itu sebagai langkah kaki Adrian.
Detik berikutnya laki-laki itu berdiri di ambang pintu balkon, bersandar dengan santai, namun tatapannya menusuk langsung ke hati Clara.
“Kamu tidak tidur lagi,” katanya.
Clara menggenggam railing balkon dengan gugup. “Aku… hanya butuh udara segar.”
Adrian berjalan perlahan mendekat, lalu berdiri di sampingnya. Mereka berdua terdiam, hanya suara jangkrik dan angin malam yang menemani. Clara bisa merasakan kehangatan samar dari tubuh pria itu, cukup dekat untuk membuat tubuhnya kaku.
“Apa kamu membenciku, Clara?” pertanyaan itu meluncur tiba-tiba, membuat Clara menoleh cepat.
Mata Adrian terlihat berbeda malam itu. Ada sesuatu di sana—sebuah luka, sebuah rahasia, dan sebuah kerinduan.
Clara terdiam. Bibirnya ingin menjawab, tapi pikirannya berperang. Apakah ia membenci pria ini? Ataukah ia takut mengakui bahwa hatinya mulai goyah?
“Aku…” Clara menunduk, suaranya bergetar. “Aku tidak tahu.”
Adrian tersenyum samar, senyum tipis yang jarang sekali muncul di wajahnya. Senyum itu membuat Clara semakin kacau.
“Jawaban jujur,” ucap Adrian pelan. “Itu cukup bagiku.”
Clara tidak mengerti tujuan Adrian memberinya pertanyaan itu. Terlebih lagi dengan reaksi Adrian atas jawaban yang diberikan pada laki-laki itu. Tak ingin berlama-lama dipermainkan oleh suasana hati yang tak menentu, Clara memutuskan untuk kembali ke dalam kamar.
Setibanya di kamar dengan hati yang berdebar tidak karuan, Clara berbaring, menatap langit-langit, sembari mencoba menenangkan pikirannya. Tapi bayangan Adrian terus menghantui. Tatapannya, senyumnya, dan kata-katanya. Clara tahu ia seharusnya menjaga jarak. Tapi bagaimana bisa, jika pria itu terus mendekat, menembus pertahanan yang susah payah ia bangun?
Di saat yang sama, ada sesuatu yang membuatnya resah. Adrian terlalu misterius. Setiap kali Clara merasa hampir mengenalnya, Laki-laki itu seperti menarik diri, menutup kembali pintu yang sempat terbuka.
“Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan, Adrian?” Clara berbisik pada dirinya sendiri sebelum akhirnya memejamkan mata.
Dan Clara tidak tahu, malam itu tepat di balik pintu kamarnya yang tertutup, Adrian berdiri diam beberapa saat. Menatapnya dari celah kecil yang tidak disadari Clara.
***
“Seandainya kamu tahu siapa aku sebenarnya, Clara…” suara Adrian nyaris tak terdengar, penuh kepedihan yang tidak pernah ia tunjukkan. “Kamu mungkin tidak akan menatapku dengan cara yang sama.”
Sementara Clara terlelap dengan hati yang bergejolak, tanpa sadar bahwa suatu hari nanti ia akan menyaksikan sesuatu yang bisa menghancurkan semua perasaan samar yang baru mulai tumbuh.
~~~
^vee^