Hari itu, Clara duduk sendirian di ruang perpustakaan besar rumah Adrian. Ruangan itu dipenuhi rak-rak tinggi berisi ratusan buku tua dengan aroma khas kertas yang sedikit menguning. Tangannya membolak-balik halaman buku yang bahkan tak ia pahami isinya, hanya untuk mengalihkan pikiran yang terus berputar tentang laki-laki itu.
Adrian…
Nama itu terus menempel di kepalanya, seperti bayangan yang enggan pergi. Clara menghela napas panjang, lalu menutup buku dengan suara debum pelan. Hatinya kacau. Ada rasa takut, benci, kagum, sekaligus penasaran yang bercampur aduk. Setiap kali Adrian mendekat, Clara merasa tubuhnya menegang. Tapi di saat yang sama, ada ketenangan aneh yang tidak bisa ia bantah.
“Aku seharusnya menjaga jarak…” gumam Clara lirih.
“Kenapa?” Suara dalam yang akhir-akhir ini sudah tak asing lagi di telinga Clara membuat darahnya bedesir.
Clara sontak terlonjak kaget. Buku yang ada di pangkuannya hampir jatuh. Ia menoleh, dan mendapati Adrian berdiri di ambang pintu, bersandar dengan kedua tangan di saku celananya. Pandangannya tenang, tapi tajam seakan ia sudah mendengar semuanya sejak awal.
“Kamu…” Clara berusaha menenangkan diri. “Sejak kapan kamu ada di sana?”
“Cukup lama untuk mendengar kamu menyebut namaku sebanyak tiga kali, lalu mengatakan bahwa kamu seharusnya menjaga jarak.” Adrian melangkah masuk, suaranya tenang tapi menusuk. “Siapa yang kamu maksud? Aku?” sambungnya.
Clara menunduk, menghindari tatapan matanya. “Maaf, aku tidak bermaksud menyinggungmu,” sesal Clara.
“Katakan saja.”
“Ya, yang aku maksud adalah kamu. Seharusnya aku menjaga jarak denganmu,” ucap Clara ragu.
“Kenapa?”
“Karena… aku tidak tahu siapa dirimu yang sebenarnya.”
Hening sejenak. Adrian berhenti tepat di depan Clara, lalu jongkok hingga sejajar dengannya. Tatapannya menusuk, tapi juga ada kelembutan samar yang membuat Clara bingung.
“Kalau aku memberitahumu… apa kamu siap mendengar?”
Clara terdiam. Ada dorongan besar untuk menjawab ya, tapi hatinya gemetar. Ia takut kebenaran itu akan menghancurkan perasaan yang perlahan tumbuh, meski ia sendiri enggan mengakuinya.
“Entahlah. Aku sendiri juga tidak yakin soal itu,” jawabnya akhirnya, hampir berbisik.
Adrian tersenyum tipis, senyum yang bahkan tidak sampai ke matanya tapi cukup untuk membuat Clara semakin sulit bernapas.
“Sepertinya kamu belum siap mengetahui siapa aku yang sebenarnya,” ujar Adrian kemudian menegakkan kembali tubuhnya.
***
Hari-hari berikutnya, Adrian dan Clara semakin sering bersinggungan. Seperti dua kutub magnet yang saling tarik-menarik, mereka mendekat lalu menjauh lagi. Ada keraguan cukup besar di antara keduanya sehingga membuat keduanya berusaha saling menjauh. Namun mereka cukup memiliki keinginan untuk saling mendekati satu sama lain.
Pagi ini, Clara tanpa sengaja bertemu Adrian di dapur. Ia sedang berusaha membuat teh sendiri karena pelayan belum datang. Saat ia hendak menuang air panas, tangannya sedikit gemetar dan hampir saja menyenggol teko.
Adrian, yang tiba-tiba muncul di sampingnya, dengan cepat menahan tangannya. Sentuhan itu membuat Clara terdiam kaku.
“Biar aku saja.” Suara Adrian rendah, tenang, tapi Clara bisa merasakan denyut nadinya sendiri yang berdegup semakin kencang.
Laki-laki itu dengan tenang menuangkan teh ke dalam cangkir, lalu mendorongnya perlahan ke arah Clara. “Hati-hati. Tanganmu terlalu rapuh untuk memegang sesuatu yang panas,” ucap Adrian dengan nada bicara yang cukup menggoda.
Clara mengangkat wajahnya, hendak membalas dengan ketus karena tak terima dengan kata-kata Adrian yang terkesan meremehkannya. Tapi tatapan Adrian yang begitu dekat dan begitu meneliti membuat kata-kata itu tertahan di tenggorokannya.
“Aku bukan anak kecil,” ucap Clara akhirnya, lebih lirih daripada yang ia ingin serukan.
Adrian tersenyum samar. “Kamu memang bukan anak kecil. Tapi kamu jauh lebih berbahaya daripada anak kecil.”
Clara membeku. Jantungnya berdebar tak menentu. Ia tidak tahu harus menafsirkan kata-kata itu sebagai pujian, peringatan, atau sekadar permainan kata.
***
Malam hari tiba, Clara kembali kesulitan memejamkan matanya. Perasaan aneh terus menghantui, membuatnya gelisah. Setelah melalui beberapa malam di rumah megah Adrian, rasa ingin selalu berada di dekat laki-laki mulai tumbuh. Namun Clara tidak berani mengartikan apa pun perasaan yang baru saja tumbuh di hatinya itu. Ia lalu memutuskan untuk keluar kamar dan berjalan menyusuri lorong rumah yang panjang dan sepi mencari keberadaan Adrian.
Tanpa sadar, langkahnya yang hati-hati membawa Clara ke ruang latihan di lantai bawah. Pintu setengah terbuka, dan dari celahnya ia melihat Adrian. Laki-laki itu sedang berlatih menembak. Senjatanya berkilat di bawah lampu neon, dan setiap kali peluru ditembakkan, suara dentumannya menggema ke seluruh ruangan. Gerakan Adrian presisi, tenang, tanpa ragu sedikit pun.
Clara berdiri terpaku. Baru kali ini ia melihat sisi lain Adrian begitu jelas. Sosoknya dingin, mematikan, sekaligus memiliki pesona yang sulit dilupakan. Namun, yang lebih membuat hatinya bergetar adalah ekspresi di wajah Adrian. Fokus, tapi juga kosong. Seakan setiap peluru yang dilepaskan bukan hanya untuk melatih kemampuan, melainkan untuk melampiaskan sesuatu yang jauh lebih dalam.
Seolah ada yang menariknya Clara melangkah masuk lebih dalam. Suara pintu yang berderit membuat Adrian menoleh cepat. Dalam sepersekian detik, mata tajamnya memancarkan kewaspadaan, tapi segera berubah begitu menyadari bahwa itu hanya Clara. Laki-laki itu memang memiliki refleks yang sangat peka terhadap sesuatu yang berada di dekatnya, terlebih pada hal-hal yang mengancam nyawa dan keselamatannya.
“Kenapa kamu di sini?” tanyanya, suaranya terdengar sedikit lebih keras dari biasanya.
Clara menelan ludah. “Aku… tidak bisa tidur. Lalu aku mendengar suara.”
Adrian menurunkan senjatanya, lalu berjalan mendekat. Clara bisa melihat butiran keringat di dahinya, membuat laki-laki itu terlihat semakin menakutkan sekaligus memikat. Clara ingin menepis penilaiannya yang kedua, tapi ia sendiri juga tidak bisa membohongi kalau Adrian memang layak mendapatkan penilaian itu.
“Kamu seharusnya tidak melihat sisi ini dariku,” ucap Adrian, nadanya rendah.
Clara menatapnya lurus, mencoba mengumpulkan keberanian. “Tapi ini memang dirimu, bukan?”
Adrian terdiam. Mata mereka saling bertemu, dan untuk sesaat, waktu seakan berhenti. Clara bisa merasakan jantungnya berdegup kencang, sementara bagian dari dirinya ingin lari tapi bagian lain justru ingin tetap tinggal.
“Kamu mengerikan, Adrian,” bisik Clara, suaranya hampir pecah.
Adrian mendekat sedikit, jarak mereka hanya tinggal beberapa inci. “Dan kamu tetap menatapku, meski tahu itu.”
Clara membeku berada di jarak sedekat itu dengan Adrian. Tubuhnya kaku, tapi hatinya seolah terbakar. Tarikan itu, antara ingin menjauh dan ingin semakin dekat, membuatnya hampir gila.
Adrian menatapnya lama, sebelum akhirnya memalingkan wajah. Ia mundur satu langkah, lalu berkata lirih, “Pergilah tidur, Clara. Sebelum kamu benar-benar terjebak terlalu jauh.”
Clara masih berdiri di tempat, tubuhnya bergetar. Kata-kata itu menggantung di udara, menyisakan luka sekaligus kerinduan yang aneh. Ada sebuah kecewa yang tumbuh di emosinya karena Adrian masih bersikap dingin padanya. Ternyata berbagi kamar selama berhari-hari tidak juga mencairkan kutub es dalam diri Adrian. Akhirnya Clara memutuskan pergi tanpa berkata apa pun.
Sesampainya di depan pintu baja, Clara berbalik perlahan sebelum benar-benar keluar dari ruangan menembak. Ia menoleh ke arah tadi berdiri berhadapan dengan Adrian. Detik itu ia menemukan Adrian masih berdiri tegap memegang senjatanya, tapi pandangannya kosong ke lantai.
Dan saat itu juga Clara menyadari satu hal, tarik-ulur ini tidak akan berhenti dalam waktu dekat. Meski terasa menyesakkan mereka sadar bahwa kini sama-sama terikat. Namun tak satupun berani mengakuinya. Atau setidaknya menunjukkan sikap bahwa kutub es dalam diri mereka sudah mulai mencair.
***
Di kamarnya ketika Clara mencoba untuk tidur, suara dentuman keras terdengar dari luar rumah. Clara menebak itu seperti suara tembakan. Namun ia yakin bukan berasal dari ruangan tempat Adrian latihan menembak. Suara dentuman kembali terdengar lebih memekakkan telinga. Membuat Clara terlonjak bangun dan panik sembari berlari meninggalkan ranjang untuk mencari tahu sumber suara tembakan. Takut-takut Clara mengintip di balik tirai jendela, ia melihat kilatan api senjata di kejauhan.
Pintu kamarnya terbuka dengan keras. Adrian masuk dengan wajah tegang, mata abu-abunya dingin penuh kewaspadaan. Di tangannya ada pistol berkilat. Clara melihat sekilas. Tampak berbeda dengan yang digunakan oleh Adrian untuk berlatih.
“Clara, dengarkan aku,” suaranya tegas dan mendesak. “Jangan keluar dari kamar ini, apa pun yang terjadi. Mengerti?”
Clara menelan ludah, tubuhnya gemetar. “A-Apa yang terjadi?”
Adrian menatapnya, kali ini ada kilatan cemas yang nyata. “Mereka menemukanmu. Musuhku tahu kamu ada di sini.”
Clara membeku. Musuh? Mencarinya? Apa maksudnya? Namun, sebelum Adrian sempat benar-benar pergi, terdengar suara pintu besar rumah terbuka dengan keras dari arah depan. Suara langkah-langkah tergesa masuk ke dalam rumah, diikuti percakapan samar dari beberapa orang.
Adrian menoleh cepat ke arah Clara. Dengan wajah serius dan tatapan dinginnya ia berkata, “Malam ini… sepertinya kamu akan melihat lebih dari yang ingin kamu ketahui sebenarnya tentang aku, Clara.”
Adrian berlari keluar sebelum Clara sempat bertanya lebih lanjut. Suara langkah cepat, teriakan para penjaga, dan tembakan semakin jelas. Clara berdiri kaku di tengah kamar, dadanya sesak.
Untuk pertama kalinya, ia sadar bahwa dunia Adrian bukan hanya gelap tapi juga berbahaya. Dan kini, ia sudah terjebak di dalamnya.
Clara menutup mulutnya yang bergetar. Mimpi buruk itu benar-benar akan menjadi kenyataan. Air matanya jatuh, bukan hanya karena takut tapi juga karena satu pertanyaan yang menusuk hatinya, apakah aku bisa selamat hidup di sisi pria seperti Adrian Valente?
~~~
^vee^