Bab 2

4513 Words
Hidup Seorang Simpanan Aku memandang mentari sore di antara puncak gedung kota Jakarta. Hatiku perih melihat langit jingga, hingga kuraih gelas alkohol untuk menghilangkan lelah, penat setelah bekerja. Selama beberapa hari ini aku terus menunggu telpon dari Adri. Seperti yang pernah ia janjikan akan menghubungi setelah liburan keluarganya berakhir, namun nihil, sudah lebih dari dua minggu dan tak ada pesan, telpon atau apa pun. Kadang aku jengah, ketika ia bersama keluarganya aku terabaikan, ia baru akan memungutku ketika rindu. Bukankah aku lebih mirip binatang peliharaan, dibandingkan seorang kekasih yang dihormati? Bahkan seekor peliharaan lebih dicintai ketika ia dipertontonkan, bukan disembunyikan dibalik kardus lapuk yang dimakan senyap. Kusenderkan tubuh di teralis balkon, menatap kolam renang yang penuh sesak orang. Sekali lagi aku mengeceki ponsel meski tak berbunyi. Begitu perihnya menunggu, ketika penantian tak membuat seseorang jatuh dalam rindu. Aku teguk lagi alkoh itu hingga sensasi kepahitannya menyegarkan bebanku. Ponsel berdering membuat kegembiraan memuncah dalam hatiku, kupikir itu Adri, tapi bukan. Hanya sebuah pesan sms banking membuatku merengut heran. Sebuah transfer 50 juta barusan saja masuk dalam rekeningku. Aku mengirim pesan pada Maya, mencaritahu apakah ada honor yang belum terbayar. Ia membalas lekas dan berkata, semua honor telah di transfer kemarin, sedangkan honor syuting baru akan dibayar ketika film lepas ke pasaran. Kubanting gelas ke lantai. Amarahku pecah, kukira Adri sudah berulah dan mengirim uang itu sebagai tebusan karena tidak menemuiku. Aku selalu benci diperlakukan seperti perempuan yang dibeli dengan uang. Alasanku bersama dengannya karena aku mencintainya, semua uang, barang dan kemewahan yang kumiliki tidak lain karena aku bekerja. Rasanya, harga diriku diinjak sebanyak nilai yang dia beri. Aku menelponnya, tapi panggilanku ditolak. Aku terus menghubungi dengan kesal sampai dia menyerah dan mengangkat telpon. Tapi yang Adri lakukan malah mematikan ponsel. Aku tertawa pahit, dan meluapkan rasa kesal dengan membanting semua barang yang ada di kamarku, membalik selimut, melempar bantal dan memberantakan semua barang. Aku meluapkan kemarahan sampai merasa tidak akan meledak dan tak akan mati karena amarah. Setelah puas, aku terduduk di lantai, meratapi betapa kesepiannya aku sekarang. Kuraih ponsel, dan membuka galeri untuk mencari foto wajah ibu yang tertutup banyak gambar lain. Aku ingat sudah berhari-hari semenjak kami terakhir bertemu dan aku belum datang lagi menjenguknya. Aku takut bertemu, cemas jika ia merengek padaku, meminta ikut pulang. Hal yang tidak bisa kulakukan, untuk mengurusnya di tengah kesibukan yang tak menentu. Aku biarkan ibu juga kesepian, entah sampai kapan. Kuambil obat tidur dari dalam meja di samping tempat tidur, lalu meneguknya cepat. Setelah itu kulangkahkan kaki ke kamar mandi, mengisi bak dengan air hangat dan menenggelamkan diri sambil mencoba memejamkan mata yang tak bisa mengatup, karena resah akibat mimpi buruk yang terulang. Aku tidak ingat berapa lama aku terbaring dalam bak mandi sampai aku terbangun di atas tempat tidur dengan pakaian hangat, dan selimut yang membalut badan. Dari lampu tidur di samping meja, nampak semua barang yang tadinya berantakan telah sedikit lebih rapi dari sebelumnya. Aku meringkuk lebih lama karena kedinginan, sambil berbalik badan memandang lampu-lampu kota dari balik kaca yang tirainya dibiarkan terbuka. Pintu kamar dibalik punggungku terbuka, seseorang melangkah masuk. Aku menengok sebentar, melihat pria berbadan tegap itu duduk di sofa sambil mengetik terpaku ke arah laptop di depannya. Aku tidak mengatakan apa pun, memilih melanjutkan tidur. "Ada masalah apa kamu menelpon?" ucap suara tegas sedikit serak itu. Aku menegakkan badan, menatap mata sipit Adri yang tertutupi kacamata, memaku ke layar komputer "Untuk apa, untuk apa kamu mengirimiku uang?" Adri yang berkulit pucat, dengan hidung tinggi, bibir berisi dengan lengkungan menawan dan rahang kotak itu seolah tak peduli "Kenapa, apa lima puluh juta terlalu sedikit. Apa kamu mau rumah, mobil? Kenapa kamu tidak bilang!" Kuraih bantal di belakang punggungku, lalu melemparnya ke arah Adri. Ia berdiri, berjalan ke sisiku "Kenapa, ada yang salah. Kamu tidak suka hadiah?" "Hadiah?" aku berdiri dari tempat tidur, membuka lemari di samping jendela, dan mengambil dompet. Beberapa lembar uang dari sana kulempar ke depan wajah pria yang mengenakan sweter berwarna gelap di depanku "Seberapa banyak kamu bisa memberiku uang? seratus, dua ratus, tiga ratus juta? Aku juga bisa membeli kamu kalau aku mau... Berapa harga diri, dan posisi kamu sampai kamu pikir kamu berhak membeli saya. Aku mengingatkan kamu ratusan kali Adri, aku tidak menerima kamu karena uang!" Adri hanya mengukir senyum sinis, ia berdecak sepintas "Harga diri kamu terlalu tinggi untuk dimainkan, aku juga sudah bilang kalau kamu cuma meninginkan uang aku bisa memberikan kamu lebih banyak dari upah yang bisa kamu dapat dari pekerjaan kamu sebagai artis. Tapi apa yang kamu mau, tidak pernah terpikir untuk saya berikan!" "Keinginaku masih sama. Aku menginginkan kamu! Tinggalkan keluarga kamu dan datang pada saya. Kamu lihat! Aku bisa beri kamu semua yang kamu perlu Adri, aku muak jadi simpanan, saya mencintai kamu... Saya mencintai kamu lebih dari semua orang yang kamu punyai" kataku, meratap ke dalam iris matanya yang gelap. "Kita sudah membicarakan ini, dan kamu tahu itu. Hanya karena kita bersama tidak berarti kamu bisa memiliki saya. Mustahil aku meninggalkan apa yang aku punya, keluarga, nama baik hanya untuk seorang perempaun, itu terlalu naif! Ada terlalu banyak orang yang harus aku lindungi Rai!!" Aku melangkahkan kaki ke belakang, membuka jendela lebar yang berhadapan balkon. Semilir angin membelai rambut dan tubuhku, rasanya sedikit menggigil dan menusuk ke dalam kulit. "Lalu bagaimana dengan saya?" kutahankan getir yang memenuhi tenggorokan "Satu tahun, satu tahun saya hidup seperti ini... Kamu datang, pergi tanpa memberi kesempatan untuk menunjukkan cinta. Kamu menyembunyikan saya, mengabaikan saya! Kamu tidak tahu seberapa besar aku butuh kamu tiap hari, kenapa... Kenapa kamu mencintai saya seperti ini? Apa kamu malu? Kalau kamu malu, lalu apa alasan kamu datang? Seberapa besar saya harus menerima penghinaan itu dari kamu?" tubuhku berhenti tepat di teralis balkon. Aku mengintip ke bawah, melihat lampu-lampu sekitar kolam renang masih menyala. "Rai, kemari!" ucap ia melangkah perlahan dengan tangan mengulur "kamu bisa jatuh kalau berada di sana, kemari..." ia melembutkan suara. Aku berpaling ke belakang, lalu menjatuhkan dompet dari tanganku, sembari menatap Adri lagi. "Sebaiknya kamu hidup bahagia saja bersama keluarga kamu! Jadi aku bisa menemukan kebahagiaanku sendiri!" Wajah Adri bermandi kepanikan, diam-diam dalam hati aku tersenyum melihat dia yang begitu. "Raina, bukan... Bukan begitu! Meskipun aku bilang seperti itu, bukan berarti saya tidak mencintai kamu! Saya tidak mungkin membahayakan nama dan kehormataan yang saya punya kalau kamu tidak cukup penting. Saya hanya tidak bisa memenuhi keinginan kamu! Kemari, raih tagan saya lagi. Kamu mencintai saya kan?" Melihat tangannya adalah sebuah godaan. Sama ketika untuk pertama kalinya aku meraih jemari itu dan dan membiarkan dia menggenggam hatiku. Entah sudah berapa lama aku memohon untuk diraih dalam pelukannya, dilepas dari belenggu rahasianya. Tapi kehormatan Adri dan keluarganya lebih mirip harta suci yang dijunjung sampai mati. Aku dan dia berakhir tanpa mampu melakukan apa pun meski jari kami memegang tangan masing-masing. "Apa kamu panik, apa kamu takut? Apa aku harus seperti ini agar kamu peduli? Jadi harus berapa kali aku mati agar kamu bisa lebih dekat dan tidak mengabaikan aku, lagi?" aku hampir mendorong tubuhku ke belakang, melepas tangan dari teralis beranda dan memilih jatuh dalam kematian. Tapi tangan Adri menyergap tiba-tiba, aku terjatuh kelantai dalam lindung pelukan hangat yang ia punya. Bau tubuhnya memenuhi hidungku. Aku membencinya, tapi juga merindukannya. Ia berujar dengan napas tersengal "Jangan bodoh! Kenapa kamu harus selalu berakhir begini?" "Karena cinta tidak cukup untuk membuat kamu keras kepala mempertahankan saya! Kalau tidak bisa memiliki kamu, apa bisa kita sedekat ini saja? Melihat kamu adalah kebutuhan..." jemari Adri membelai helaian rambutku dengan lembut. Debaran jantungya menggema begitu jelas di dalam telingaku. "Saya akan mencari jalan!!" ucapnya mengeratkan pelukan. Aku terbangun saat mendengar bunyi bel berdentang beberapa kali. Kutengok Adri masih tertidur pulas si sampingku. Sambil menahan kantuk aku beranjak ke pintu, mengintip dari lubang kecil yang berada di sana, dan betapa terkejutnya aku melihat Maya sudah berdiri di sana. Aku bingung sekaligus panik, setahuku kami tidak ada jadwal syuting hari ini. Rasa takut menyergah batinku. Kulihat sepatu Adri yang berada di samping pintu. Aku berlari masuk ke dalam kamar dan menepuki punggungnya beberapa kali. Pria dengan rahang kotak itu menggeliat malas, hingga aku mengguncang tubuhnya dengan keras. Ia bangun dengan muka masam. "Apa? Kamu kalau lapar, masak sendiri sana!" katanya hendak berbaring lagi, sampai aku menepuki lengannya. "Maya ada di luar Adri!" "Maya? Maya siapa?" butuh beberapa detik sampai Adri melongo terkejut. "Astaga, Maya?" tubuh tegap yan mengenakan tank top hitam itu kutarik ke dalam kamar mandi sambil memberikan sepatu miliknya. "Buat apa sepatu?" "Kalau Maya lihat barang-barang kamu, kamu pikir dia akan bilang apa?" "Dia mau bilang apa?" tukas ia bersikap tak peduli. "Adri!" "Kalau begitu kamu ambil cardigan saya juga di luar!" "Apa?" aku mendesah kesal berlari ke ruang tamu, menengok ke arah sofa, tempat di mana sebuah cardigan abu-abu tergeletak dengan sebuah gelas kopi. Aku berlari lagi ke kamar, dan meletakkan semua benda itu di sana sebelum menguncinya. Suara gebrakan tak sabar terdengar dari pintu. Sambil merapikan rambut aku memutar kenop pintu dan menyambut Maya dengan senyum senang. Ia mendengus, masuk ke dalam dengan sikap abai. "Bukanya kenapa lama? Kamu lagi sibuk, Na?" ia meletakkan tas selempangnya ke kursi dan menyenderkan punggung dengan nyaman ke sofa. "Aku baru bangun, tumben kamu datang apa kita ada pekerjaan hari ini?" "Kamu libuar kan, mau keluar tidak?" aku melirik ke kamarku, menjawab agak lama dengan ragu. "Keluar jalan-jalan? Kayaknya hari ini aku mau istirahat di rumah, May" mata gelap Maya melirik, ia nampak sedikit kecewa. Sebisa munkin aku berusaha membesarkan hatinya "Tapi... Nanti kita bisa kan jalan-jalan lagi, memangnya kamu mau ke mana May?" Maya bergumam, lalu melirik ponsel "Sweter cokelatku masih sama kamu kan?" "Sweter, ah iya... Mau aku ambilkan?" "Biar aku aja!" ucapnya berdiri, aku menahan pundaknya, cemas jika ia hendak menuju ke kamarku. "Kamu duduk aja May, biar saya yang ambilkan buat kamu!" Maya lagi-lagi mengamatiku dengan heran. Aku mencoba mengalihkan perhatiannya "Kamu mau minum sesuatu, May?" gadis berusia 24 tahunan itu mengangguk. "Saya bisa ambil sendiri kan?" "Iya... Tunggu di sini, aku ambil sweter kamu dulu!" Aku membuka pintu kamar yang terkunci, sedang Maya menuju ke dapur yang berada di sudut ruangan. Kucari sweter yang Maya pinjamkan sekitar seminggu lalu itu, ketika kami syuting untuk adegan hujan, dan aku tidak membawa jaket saat menggigil kedinginan, dalam proses pengambilan gambar yang berlangsung empat kali dini hari buta. "Rai mana Maya?" aku terlonjak kaget melihat Adri di belakangku. "Astaga Adri, Maya diluar! Kenapa kamu di sini?" "Aku sudah sembunyi lama Rai, kamu kira enak di dalam kamar mandi, dikunci seperti kucing? Coba kamu masuk ke dalam!" ucap Adri protes dengan muka masam. "Jadi kamu paham kan rasanya! Aku juga begitu..." Adri berdecak. "Aku tidak pernah mengunci kamu di toilet rumahku Rai!" "Kamu mengunci aku di dalam mobil kamu sebulan yang lalu! Alasan kamu buat pergi rapat. Aku nelponon kamu, tapi kamu tidak mengangkat telpon dari aku. Kamu lupa sama aku dan baru datang jam 06.00 sore. Kamu begitu! Padahal waktu itu kamu janji pada saya kalau itu liburan kita! Liburan yang kamu maksud mengunci saya, begitu?" "Itu rapat mendadak Rai, jadi aku tidak sempat bilang... Itu juga kamu ketiduran, aku sudah usaha bangunin kamu, tapi kamu molor jadi aku tinggalin!" "Jadi itu salah saya?" "Saya tidak bilang begitu, Rai kamu itu terlalu sensitif!" Aku menatapnya sinis "Ah, sensitif?" Adri berdehem, membelai keningnya dengan canggung "Rai kita baru bertemu, semalam kita bertengkar!" ia tersenyum mencoba menunjukkan sisi manis "Sayang... I love you" dahi Adri melekat di pundakku "Hari ini kita bisa menonton film kan. Kamu mau nonton film apa? Aku punya banyak koleksi film trus nanti aku bikin pop corn, sama jus jeruk. Hari yang sempurna untuk Adri dan Rai, kamu suka kan?" "Aku benci jus jeruk Adri" desahku kesal. "Ah, tapi aku suka!" cecarnya buru-buru. "Kamu suka yang istri kamu suka?" Adri berdehem lalu memelukku. "Saya tidak tahu dia suka, lagipula kenapa kamu lebih tahu dari saya?" "Raina, sweternya ketemu?" aku menengok kearah pintu yang terbuka. Maya memergoki kami. Jantungku rasanya akan berhenti, seluruh tubuhku bermandi keringat dingin dan rasa takut. Kulepas pelukan Adri segera dan mendorongnya menjauh. Maya berdiri tanpa ekspresi selama beberapa detik. "Maya, saya!! Ini... Saya bisa menjelaskan kalau dia.." Adri dengan percaya diri tersenyum tanpa beban. "Saya Adri Tanoeadji, kamu pasti familiar dengan nama itu? Kita bisa berbincang beberapa hal, membuat kesepakatan dan kamu bisa menganggap tidak melihat apa-apa hari ini!" "Saya tidak tahu kalau kamu ada tamu Na, saya pergi dulu! Sweternya kapan-kapan saja kamu bawa kalau kita ada jadwal ketemu!" "May... Maya!" aku mengejar Maya yang mengambil tas dari kursi tanpa peduli ketika aku memanggil. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan mengenai aku, tapi aku takut jika hal ini membuat Maya menjauh, lantaran menganggapku perempuan nakal. "Maya, dengarkan saya dulu! Saya bisa kasih tahu kamu alasan dia kemari!" kataku menahannya ketika ia sudah berada di ambang pintu dengan raut muka enggan. "Saya tidak bertanya untuk apa dia kemari Rai, kamu bisa melanjutkan apa yang kamu lakukan dengan Pria itu! Pria beristri, apa kamu sadar?" ucapnya menggebu bercampur kesal. "Maya, dia..." "Apa?" bentaknya membuatku diam "Apa kamu sadar apa yang kamu perbuat? Kamu cuma menghancurkan diri kamu sendiri dan keluarga orang lain. Apa kamu sudah alih profesi jadi perempuan simpanan sekarang? Kamu ingat kamu pernah bilang tidak akan pernah jatuh cinta pada pria manapun, tapi kenapa hari ini kamu malah melanggar janji kamu Rai? Apa cuma dia laki-laki di bumi ini?" "Maya, saya cinta sama dia..." "Apa dia cinta sama kamu?" aku tidak bisa menjawab pertanyaan Maya yang juga sudah terlalu lama kupertanyakan itu "Kalau dia cinta kamu, dia tidak di sini. Sembunyi di dalam kamar kamu!" Adri tiba-tiba menarikku menjauh dari Maya. "Beri jalan untuk orang yang mau pergi, menahan hanya membuat mereka besar kepala" ucap Adri menunjukkan sikap arogannya. "Adri, ini bukan urusan kamu!" kataku. "Ini urusan saya, dia melihat saya di sini dan sayangnya dia terlalu ikut campur! Oke Maya, terimakasih untuk jasa kamu yang sudah menjadi manager yang baik untuk Rai, tapi mulai besok kamu bisa berhenti. Upah kamu akan saya kirim nanti, tiga kali lipat dari yang bisa kamu dapat, tapi pastikan kamu tutup mulut, atau saya tidak menjamin kamu masih bisa mendapat pekerjaan di tempat lain!" "Adri!" pria itu menggenggam lenganku makin kuat. "Silahkan pergi!" Maya tersenyum hambar, menatapku penuh kecewa, aku tak bisa berbuat apa-apa. "Senang bekerja dengan kamu, Na! Saya permisi" "Maya... Maya" aku berusaha mengejar Maya, tapi Adri tak mau melepaskanku. Ia acuh menutup pintu meski aku menahannya, ia tidak peduli sama sekali "Adri, saya harus mengejar Maya Adri... Nanti dia pergi makin jauh, saya harus mengatakan sesuatu pada dia Adri!" tangisku pecah, memohon padanya. "Kamu mau bilang apa, apa yang mau kamu jelaskan? Dia itu siapa? Saya bisa menugaskan orang saya untuk jadi manager kamu, orang yang lebih baik, tidak banyak bicara. Kamu juga tidak perlu tinggal di sini, kamu bisa pindah. Kamu mau kemana? Kamu mau tinggal di Eropa? Amerika? Kamu bisa meninggalkan apartemen kecil kamu ke tempat lain Rai, ke rumah yang saya berikan! Kamu tidak perlu histeris!" dengan kesal, aku memukul d**a pria di depanku. "Dia itu satu-satunya sahabat saya, satu-satunya teman saya yang kamu usir. Maya benar, apa yang dia bilang benar, karena itu kamu minta dia pergi. Iya kan, Dri? Iya kan?" dengan kesal, Adri memegang lenganku, menyebut namaku menggunakan nada tinggi dan lantang. Mencoba tenang, ia berbicara dengan datar, meski terdengar sedikit menakutkan. "Dengar sayang, kamu pilih saya atau sahabat kamu? Kalau kamu memilih membuka pintu, saya pastikan kita tidak akan bisa bertemu lagi. Apa kamu mau begitu Rai?" aku berpikir, menatap mata sipitnya yang tajam. Menimbang ucapan Adri yang tidak sekalipun pernah mengingari ucapannya. Aku menggeleng menimpali, bercampur sedikit sesal mengingat kepergian Maya. Adri tersenyum puas, merasa cukup dengan apa yang ia dengar. "Kamu mencintai saya kan, Rai. Kamu mencintai saya lebih dari siapa pun yang ada di sisi saya. Apa kamu ingat ucapan kamu, janji kamu?" aku mengangguk, meski air mata masih menggantung terlalu banyak di pipiku. "Ya, begitu! sudah seharusnya begitu, karena saya juga cinta kamu" ia menyeka air mataku, memelukku dan membelai kepalaku dengan lembut. Hari itu Adri bertingkah begitu manis, mencoba menghiburku dengan memasak makanan kesukaanku, film dan hadiah-hadiah lain yang ia utarakan akan diberikannya padaku, meski begitu rasa sedihku tak menghilang. Membayangkan Maya yang pergi dengan raut kekecewaan selalu membuatku ingin menangis, dan ketika aku menangis Adri hanya diam. Ia mungkin seperti tak peduli, tapi jemarinya memegangi tanganku, tak melepaskannya meski aku kira dia juga sedikit lelah untuk jadi penghiburan. Adri bersenandung lalu memutar lagu dari ponselnya, musik jazz lantunan Billie Holiday menggema di dalam ruang tamu. Ya, itu adalah musik di malam ketika kami pertama bertemu. Tatapan pria itu menuju jauh ke depan jendela yang berada beberapa langkah di depan kami. "Aku bukan pendengar jazz, tidak pernah suka menonton film, tapi saat kita bertemu saya jadi suka semua itu. Sama seperti kamu, aku juga tidak pernah berencana untuk jatuh cinta karena saya pebisnis, dituntut untuk berbisnis, bukan jatuh cinta. Pernikahan saya sepuluh tahun yang lalu seperti kebetulan. Keluarga istri, keluarga saya, kami saling mengenal dan akhirnya merencanakan pernikahan. Bisnis kedua keluarga itu menjadi grup besar, sekarang bukan hanya membawahi pertelevisian, periklanan, asuransi, media masa, tapi juga rumah sakit. Kamu tahu seperti apa beban saya tiap hari? Saya anak satu-satunya dalam keluarga, saya diharapkan sejak kecil menjadi sempurna tanpa cacat. Saya hidup seperti apa yang ayah saya harapkan, siang dan malam tidak pernah berpikir ada yang saya inginkan dalam hidup. Tapi kita bertemu, dan saya selalu berpikir kalau pertemuan kita ini tidak adil" aku melirik Adri, ia tersenyum, meski nampak sekali kesedihan di raut mukanya. "Karena salah, kita seharusnya berpisah dari awal. Kita melukai banyak orang dan kamu, saya tahu itu. Kita akan kehilangan banyak hal, kalau melanjutkannya lagi" "Iya, iya saya tahu. Kamu sudah sering mengingatkan dan bukan berarti aku tidak pernah memikirkannya. Saya tahu kamu juga tidak suka di situasi ini, dan saya sudah egois karena menutut kamu terlalu banyak untuk mengerti" ia memberiku pelukan yang menentramkan "Beri saya waktu untuk bersiap menghadapi tekanan nanti di depan, tanggung jawab saya terlalu besar dan kadang membuat saya juga cemas, tapi tetap saja, saya cinta kamu! Saya mohon, kamu bisa bersabar sebentar lagi saja! Aku belum siap melukai siapa-siapa!" Kutepuk punggung Adri, membelai rambut gelapnya yang berbau wangi eucariutus menenangkan. "Entahlah, saya harap bisa cukup bersabar seperti kemauan kamu!" "Kamu mau jalan-jalan sebentar!" "Kemana?" "Kita bisa berkeliling naik mobil, menghirup udara segar mungkin!" "Di dalam mobil?" "Ya, aku cuma punya waktu sampai sekitar jam delapan malam, karena untuk ketemu kamu aku bilang mau ketemu Brian" "Brian siapa?" "Brian Atmaja!" aku melepaskan pelukanku darinya, dan mengamati Adri penasaran. Untuk pertama kalinya dia menyebut nama Brian Atmaja, seseorang yang tidak kuduga juga dekat dengan Adri. Apa ini takdir dan sebuah jalan. "Kamu kenal Brian Atmaja? Aku pikir dia masih di London" "Dia sudah pulang sekitar dua minggu yang lalu! Kamu tahu dia di London?" Adri bertanya, dengan nada menyidik yang menekan dan muka masam tak bersahabat. Aku tersenyum, membelai pipinya. Menghilangkan rasa cemburu yang mungkin mengusik egonya. "Dia mantan pacar temanku" "Ah, dia suka bergonta ganti pacar, seleranya cukup high class untuk main-main" "Berapa lama kamu kenal dia?" "Cukup lama sejak kami berkuliah di Boston. Lingkup pergaulan terlalu kecil untuk para pebisnis. Semua bisa jadi kawan, bisa juga jadi saingan. Kalau kamu kenal dia cukup baik, aku yakin kamu bisa dekat dengan Brian!" "Aku tidak tertarik, dia mungkin lucu tapi leluconnya terlalu kasar!" "Aku setuju soal itu! Dulu saat masih jaman kuliah, kami hampir berkelahi dengan preman sana, gara-gara Brian mabuk dan memaki bule di depan club malam... Dia cukup banyak ulah, tapi karena kaya sebagian skandalnya bisa tersembunyi rapat" "Keluarganya cukup berpengaruh, lagipula ayahnya sekarang menjadi pimpinan partai politik kan?" "Ya, bukan hal mustahil dia diusung menjadi kandidat calon presiden. Pengorbanan Pak Atmaja setara dengan besar ambisi yang dia punya" aku memgang tangan Adri, menyapu jemarinya yang panjang dan lebar. "Bagaimana kira-kira menurut kamu cara untuk bisa membuat orang sebesar dia jatuh, Adri. Apa kamu tidak berpikir untuk bersaing dengan dia?" Adri bergumam, ia mengangkat alisnya, lalu duduk menyender kursi. "Kalau kita tidak cukup kuat sebagai musuh, maka kita harus menjalin relasi" "Kalau begitu, kamu tidak cukup kuat jadi musuhnya? Aku terkejut untuk pertama kalinya kamu mengakui ada orang yang lebih hebat dari kamu?" Adri menarikku dalam pelukannya. Kubelai otot lengannya yang berisi. Ya, Adri penggila segala jenis olahraga, sebagian besar waktu liburnya jika tidak diluangakan untuk keluarga, tentu saja untuk berolagraga. "I'm not weak honey, i just need a reason to kill someone! Keluarga Atmaja masih jadi rekan bisnis yang menguntungkan. Selama aku bisa mengeruk uang dari persahabatan kami, mereka tidak bisa jadi musuh" Mendengar tanggapan Adri membuat semangatku menghilang "Ah, iya" Adri bergumam singkat "Tapi kamu tahu, aku tertarik untuk tahu sesuatu" "Apa?" kulirik wajahnya, yang nampak memukau di bawah sinar matahari sore yang cemerlang mengukir ketampanan di muka Adri. "Kamu tidak pernah bercerita mengenai keluarga kamu, saya hanya tahu Maya sebagai sahabat kamu?" "Keluarga? Untuk beberapa alasan aku harap kamu tidak tahu..." "Kenapa?" aku mencium pipi Adri lalu berdiri, beranjak menuju kamar untuk berganti baju, sekaligus mengubah topik bincang kami. Ini adalah kali pertama kudengar ia ingin tahu mengenai keluargaku, hal yang tak sekalipun kami singgung sejak saling berkenalan. "Apa kita jadi jalan-jalan?" tanyaku. "Kalau kamu mau!" dari balik pintu aku tersenyum, melambaikan tangan pada Adri. "Aku mau!" "Kalau begitu aku keluar lebih dulu, nanti telpon aku. Kujemput di depan lift!" Aku menelpon Adri saat akan tiba di lantai bawah. Hubungan diam-diam kami membuat semua harus dilakukan secara hati-hati. Akan buruk akibatnya bagi Adri maupun untukku sendiri jika ada yang melihat kami bersama-sama di depan publik. Kegiatan seperti berjalan-jalan meninggalkan apartemen, makan di luar, menonton di bioskop, semua hal itu nyaris tidak mungkin kami lakukan. Kami habiskan waktu hanya dalam apartemen, atau dalam mobilnya yang bahkan ketika bertemu harus berada jauh dari keramaian. Jika tidak begitu, hubungan ini tidak akan berjalan selama satu tahun lamanya, sekalipun kadang kala kebosanan menjadi tembok yang paling sulit diruntuhkan, selain pertengkaran yang seringkali terjadi antara kami berdua. Menambah sedikit rumit situasi ini. Lift di depanku terbuka, aku tercengang. Menghentikan langkah dan mematikan ponsel ketika melihat dengan siapa Adri sedang berbincang. Dia nampak akrab dengan seorang laki-laki berusia 30-an tahun, bertinggi sedang dengan setelan kaos hitam yang ditutup lagi blazer berwarna putih. Aku hendak menekan lift kembali menuju ke lantai atas, tapi sialnya laki-laki bermata bulat dengan hidung bangir dan bibir tipis itu melihatku. "Raina!" ia melambaikan tangan, Adri berpaling menatapku. Aku tidak mampu menyembunyikan kepanikan, meski memasang senyum sedikit terpaksa. Pria itu menarik tanganku, lalu memelukku di depan lift. "Kapan terakhir kita bertemu, kamu masih ingat aku kan?" ucap Brian melepas pelukan. "Ya, sangat ingat. Aku terkejut kamu di sini Brian?" "Ah, iya tentu saja!" Brian mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya. Sebuah dompet berwarna merah milikku yang jatuh semalam. Aku tidak menduga jika benda itu sampai ke tangannya, aku bahkan nyaris lupa mencari. Ia mengulurkan dompet itu padaku "Kebetulan ditemukan orang yang tepat. Jangan cemas, tidak ada yang hilang. Aku cuma terkejut, melihat banyak hal yang berubah dari kamu sejak terakhir kita bertemu, mungkin sekitar 14 tahun yang lalu. Aku pasti menyangka kamu orang lain, kalau tidak melihat KTP dan bertanya pada satpam di sini," Brian mendekat, berbisik lirih di telingaku "sekarang kamu juga punya nama baru, lalu bagaimana dengan keluarga baru? Boleh aku tahu kabar ibumu?" sepasang mataku menyapu sesaat, bukan hal yang mengejutkan ketika Brian mencoba menggangguku dengan sikap usilnya yang kasar. Aku menyentuh pundak Brian, membalas perkataannya yang sama menyebalkannya dengan ibunya yang kutemui beberapa waktu lalu. "Bagaimana dengan keluarga kita yang lama, kakak tersayang! Aku belum buka mulut pada publik, tapi kalau terpaksa, aku bisa melakukan jumpa pers. Bagi orangtua kita, pasti sangat memalukan memiliki anak diluar nikah yang sudah dibuang selama empat belas tahun. Apa kamu mau karir politik dia hancur?" Brian menjauhkan tubuhnya, ia menyeringai dengan sebagian alisnya terangkat congkak. Adri mendekat, menepuk pundak Brian, membuat laki-laki itu berbalik dan menyirnakan suasana tegang kami barusan. "Terimakasih, aku memang mencari dompetku!" "Sama-sama, apa kamu punya waktu minggu depan?" "Minggu depan?" aku mengamati mata tajam Brian yang mirip sekali dengan tatapan Caroline. "Mami bilang kalian bertemu beberapa waktu yang lalu, dan beliau tertarik mengundang kamu, bersama dengan kawanku tentu saja. Apa kamu sudah megenal Adri" aku melirik pria yang ia maksud, lalu tersenyum seolah ini kali pertama kami berjumpa. "Raina" kataku mengulur tangan. "Adri, Adri Atmaja" balasnya menjabat jemariku. "Mungkin kita akan sering bertemu karena aku juga tinggal di sini, mungkin satu lantai dari kamar kamu. Kalau ada apa-apa silahkan kamu bilang, aku bisa membantu" kata Brian. "Saya tidak perlu bantuan! Permisi" kataku meninggalkan mereka berdua, menuju ke tempat parkir yang berada di samping gedung. Ketika sudah berada cukup jauh dari keduanya, Adri mengirim pesan akan menyusul 20 menit lagi, sementara itu aku di minta menunggu dalam mobil Alphard hitam miliknya. Sambil menyalakan musik, aku mengeceki ponsel. Mengirim pesan pada Maya berharap dia akan membalas jika marahnya telah menghilang. Sikap Adri pagi tadi keterlaluan, terlalu kasar pada Maya, dan itu juga salahku tidak mengejarnya. Adri memberi pilihan terlalu sulit dan selalu berada di atas angin. Dia tahu akan selalu menang jika menggunakan dirinya sendiri sebagai bahan taruhan. Aku sudah cukup lelah selama ini dengan banyak masalah sendiri, dan sekarang kehadiran Brian membuat masalahku bertambah banyak. Sudah bertahun-tahun aku berusaha keras menjauhi keluarga itu, agar tak perlu lagi bersinggungan mereka kecuali demi alasan tertentu yang kutuju. Tapi entah kenapa, mereka tiba-tiba muncul satu persatu seperti penyakit kronis yang sulit disingkirkan. Pintu mobil terbuka, Adri membuka kacamata hitamnya dan mengenakan sabuk pengaman. Ia tak lantas menyalakan mesin mobil seperti yang kuduga, ia diam menatapku dengan tajam dan sikap curiga. Hal yang membuatku merasa tak nyaman, dia akan mencari tahu sampai benar-benar mengenal segala sesuatunya. Kadang-kadang sikap Adri yang seperti ini membuatku takut, dia tidak akan melepaskan sesuatu, jika tidak menghancurkannya lebih dulu. "Kalian cukup dekat saat mengobrol tadi?" "Tidak sedekat yang kamu pikir Adri, aku bahkan berharap tadi kami tidak bertemu sama sekali" Adri melepas sabuk pengamannya, meletakkan tangannya di dasbor mobil seperti mengurungku. "Kamu yakin tidak pernah memiliki hubungan tertentu dengan dia, sebelum kita bertemu?" "Apa yang sebenarnya kamu pikirkan?" Adri tak menjawab, tatap matanya menyipit makin tajam, tapi dari tingkahnya aku seperti bisa menebak isi kepalanya "Apa kamu pikir aku tidur dengan dia?" "Brian b******n, lagipula aku cuma ingin tahu!" aku menampar wajah Adri, dia tidak bicara banyak. Mungkin telah menebak apa yang akan kulakukan ketika ia bertanya demikian kasarnya. "Sepertinya aku kelewat murahan di mata kamu? Jalan-jalan hari ini sampai di sini saja, kamu sebaiknya pulang karena istri dan anak kamu menunggu di rumah!" "Raina..." Adri menahan lenganku "Saya keterlaluan, tapi hanya bertanya..."        "Apa yang sebenarnya kamu pikirkan aku tidak tahu sama sekali. Kalau aku jadi seperti wanita jalang mungkin karena kamu! Saya mengejar-ngejar kamu itu benar, tapi tidak berati aku juga mengejar laki-laki lain, dan merendahkan harga diri. Mungkin karena terlalu mencintai seseorang bisa membuat harkat seseorang jadi turun? Di mata kamu pun demikian" aku melepaskan tangannya, meninggalkan Adri dan menahan air mata sekali lagi. Perdamaian dan percintaan kami hanya bertemu dalam damai yang sekejap, sekarang berantakan lagi. Hal ini sudah biasa, tapi rasanya sulit membiasakan hati untuk terluka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD