Bab 3

3207 Words
Seorang diri aku menatap malam dari balik jendela. Merindukan apa yang tidak bisa dipunyai dan mencari segala yang tak mungkin dimiliki. Pertengkaran sehari lalu membuatku muak lagi. Aku mematikan ponsel, tidak ingin mendegar ada bunyi dering panggilan dari Adri. Melihatnya menelpon, hanya membawa goyah dalam hati yang sejak awal telah amat rapuh ini. Aku menutup mata mengitung hingga seratus dan berharap esok atau lusa segala hal jadi lebih mudah. Tapi keyakinan tak pernah cukup untuk melewati satu hari panjang. Ketika mata yang menatap muka bumi ini terbuka, yang kulihat sekali lagi hanya jendela dan rasa kecewa. Untuk menghilangkan penat karena kehabisan alkohol aku meminum segelas kopi sampai pagi menjelang, dan matahari dengan sinarnya yang jahat membuatku ingat untuk hidup lagi. Aku tidak pernah tahu apa yang kurasakan, selain sendiri tak terputus dan hampa yang selalu kosong. Aku tahu, hidup tak pernah membuat seseorang benar-benar memiliki hanya sebatas menggenggam untuk ditinggal pergi. Walau begitu tak pernah ada yang menjelaskan padaku, kenapa aku merasa sekosong ini. Denting bel yang berulang membangunkan kepalaku dari meja yang jadi alas tidur. Tanpa penasaran aku beranjak ke depan pintu, membukanya tanpa mengintip lebih dulu. Ya, tak ada siapa pun untuk disembunyikan hari ini. "Selamat pagi, Mbak Raina?" sepasang mataku menatap muka dengan suara asing itu. Pria bertubuh kecil dengan muka bulat, hidung pendek dan senyum lebar yang nampak lucu menyapaku penuh keakraban. Aku diam, bersikap abai selama beberapa detik. "Siapa kamu?" dengan cukup semangat ia memperkenalkan diri. "Saya Arofik, Mbak, manager baru yang Pak Adri kirim untuk bekerja mulai hari ini!" mendengar nama itu membuatku merasa muak. Aku menutup pintu, lalu kembali ke dalam untuk menghabiskan gelas kopi yang kutinggalkan barusan, sekalipun orang yang menyebut dirinya Arofik itu terus saja memanggil tanpa henti di depan pintu. Aku berjalan ke kamar, mencuci muka dan mengganti pakaian. Aku ingin pergi menemui Maya, memintanya kembali menjadi managerku, meski aku tahu dia mungkin masih sangat marah padaku karena kejadian dua hari yang lalu. Aku paham jelas alasan mengapa dia begitu tidak suka, karena Maya peduli padaku. Kami sudah hidup seperti saudara. Aku tinggal di rumahnya, tidur di kamar yang sama dan menganggap kedua orangtuanya juga sebagai orangtuaku juga. Aku masih ingat kejadian yang terjadi 14 tahun yang lalu, ketika hujan deras turun dengan gemuruh yang menghentak malam tanpa henti. Seorang diri aku berjalan melewati hujan tanpa sepeser uang untuk menemui keluarga Atmadja yang begitu terhormat, untuk meminta bantuan demi beberapa rupiah agar bisa membeli obat ibu yang malam itu anfal, karena sudah berminggu-minggu tak meminum obat, sampai dia mengamuk parah hendak mengakhiri hidup. Di depan rumah mereka yang seperti istana aku berdiri, memohon bisa masuk ke dalam rumah untuk meminta bantuan. Tapi aku diacuhkan, terbaikan sekalipun berteriak tanpa henti sampai suaraku rasanya akan habis. Aku menunggu sampai tengah malam, hanya untuk melihat pintu rumah seseorang yang seharusnya bisa kupanggil ayah itu terbuka. Benar, pintu itu terbuka dan memenuhi hatiku dengan banyak harapan. Harapan yang hanya dalam beberapa menit sirna begitu saja karena penghinaan bertubi-tubi. Aku diusir ke jalanan seperti seorang gelandangan dengan gelar sebagai anak haram. Hari itu hanya ayah Maya yang datang menaungiku dengan sebuah payung, menolongku berdiri dari air comberan yang membuatku merasa begitu busuk. Sampai hari ini, tiap mengingat kejadian itu rasanya jantungku terbakar dan kemarahanku memuncah. Aku merasa mati ratusan kali, dan bersumpah untuk bisa mencari kesempatan menghancurkan keluarga itu. Membuat mereka hidup di jalan dan merangkak seperti orang terhina. Sampai hari itu terjadi, aku merasa tidak akan pernah bisa mati dengan tenang. Tidak akan pernah! Kedengkian tak tertahan ini membuatku menguapkan kemarahan dengan membanting barang di depan meja rias, sampai kaca pecah berhamburan. Aku terbangun lagi dari masa lalu, mengingat tujuanku. Setelah bersiap kukenakan kacamata dan sebuah topi lebar untuk menutup wajah. Kunci mobil di dalam laci tak lupa kubawa hari itu. Di muka pintu, laki-laki 40 an tahun bawahan Adri itu duduk merengut di lantai dengan sebuah ponsel melengket di telinga. Ketika melihatku datang, ia buru-burur bangkit dengan sikap antusias. "Selamat pagi, Mbak! Mbak mau pergi kemana akan saya antar hari ini. Kata Pak Adri, Mbak Raina tidak bisa bawa mobil sendiri ya?" "Apa yang menelpon majikan kamu?" ia melirik ke arah ponsel di telinganya. "Iya Mbak" ucapnya sungkan. Aku merampas ponsel itu darinya lalu berjalan pergi beberapa langkah jauhnya dari Pak Arofik. "Saya tidak butuh orang kamu!" "Ra..." kumatikan ponsel sebelum sempat Adri mengatakan sesuatu. Aku berpaling menatap Arofik yang tersenyum kaku. "Mbak..." "Bisa minta tolong antar saya?" Pak Arofik segera menghambur. Aku memberikan kunci mobilku padanya "saya mau menemui teman saya yang tinggal di Radio Dalam, apa bapak bisa antar saya? Saya tidak begitu tahu jalan!" "Oh, iya, bisa Mbak..." ucapnya kemudian membukakan pintu lift untukku. Kami sempat berbincang sebentar, laki-laki itu lumayan ramah, hingga sikap ketusku menghilang perlahan. "Sudah berapa lama bapak bekerja untuk Adri?" "Sekitar sepuluh tahun mbak..." "Dia bilang kenapa Bapak di pekerjakan pada saya?" "Oh, kalau itu saya cuma diminta mengatur jadwal Mbak, mengantar Mbak kalau lagi ada perlu" aku bergumam saja menimpali ucapannya "Pak Adri juga bilang sesuatu, katanya dia mau Mbak bertemu sekertarisnya!" "Bilang pada Pak Adri saya tidak ada waktu!" "Bukannya Mbak sedang libur syuting sampai minggu depan?" pintu lift terbuka, menampakkan keramaian apartemen Golden Recidence tempat yang kutinggali selama 3 tahun belakangan, dan cicilannya masih belum lunas. Setidaknya aku butuh mengumpulkan uang sampai 10 tahun kedepan untuk menuntaskannya dengan usaha sendiri. "Saya tidak ada waktu untuk menemui Pak Adri! bilang begitu saja, nanti dia juga paham" "Oh, iya mbak!" ** Tiba di depan rumah Maya aku tertegun. Sebuah bendera kuning berkibar di depan pagar. Kursi-kursi bersusun rapi dengan sebuah tenda yang masih terpasang di depan halaman. Kardus-kardus bekas air minum yang tergeletak di bawa kursi, di bawa beberapa pria keluar dari rumah berukuran tak begitu luas tapi cukup nyaman untuk ditinggali di kawasan sepadat kota Jakarta. Pak Arofik membukakan pintu dengan heran. "Mbak, ini rumah teman Mbak? Kenapa ada bendera kuning. Ada yang baru meninggal ya, Mbak?" "Saya juga tidak tahu, Bapak tunggu saja di sini!" Aku beranjak masuk ke dalam dengan rasa takut, dan cemas. Hal yang aku takutkan mungkin sudah terjadi tanpa aku tahu. Kergian ayah Maya yang setahuku sudah menderita penyakit gagal ginjal sejak dua tahun belakangan hingga harus teratur mencuci darah tiap minggu di rumah sakit. Sejak beberapa waktu memang kondisinya makin menurun seiring waktu. Di dunia ini Maya sudah tidak memiliki siapa pun selain dua orang adik. Ibunya sudah meninggal tiga tahun yang lalu dan sekarang ayahnyakah yang meninggalkan dia? Jika benar, aku tidak mampu membayangkan perasaan kehilangan yang dia alami. Maya sangat mencintai ayahnya dan bekerja keras untuk bisa memenuhi segala kebutuhan keluarga mereka sejak ayah Maya sudah tidak bisa lagi bekerja semenjak sakit. Di ruang tamu senyum yang bercampur pilu dari Ahmad menyambutku. "Mbak, Raina?" ia menghampiri dengan mencium tanganku. Ahmad masih anak remaja berumur 13 tahunan. Aku ingat beberapa hari sebelum dia masuk sekolah, aku dan Maya sempat mencarikannya pakaian sekolah dan sepatu. Anak itu nampak tegar, meski jelas sekali di dalam matanya ada sayu dan kesedihan yang teramat dalam. Aku memeluknya, mencoba menghangatkan perasaannya. Mungkin sedikit terlambat, tapi aku harap dia bisa lebih tegar lagi untuk Maya. "Kak Raina?" seorang lagi adik Maya, namanya Gita usianya sudah 17 tahun, dan sebentar lagi akan masuk kuliah. Aku ingat kami sempat berbincang saat aku datang merayakan lebaran empat bulan yang lalu. Gita memiliki cita-cita untuk menjadi seorang dokter, karena melihat ayahnya yang sakit membuat ia memiliki tekad membantunya bisa sembuh dan berumur panjang. Maya berusaha keras mewujudkan mimpi Gita, ia menabung, menyisihkan sebagian penghasilannya untuk bisa membantu Gita mendapat bimbingan belajar dan biaya kuliah kelak. "Kakak tidak tahu ayah meninggal" ucapku. Gita termenung, mata bengkak dan merahnya bercerita lebih banyak untuk lukanya yang baru saja tergores. "Iya, itu juga tiba-tiba kak! Tapi aku pikir kak Maya datang untuk bilang pada kakak?" "Kapan?" "Kemarin!" Tertegun, hanya itu yang bisa kulakukan ketika mendengar jawaban Gita. Jika benar itu adalah kemarin, bukankah saat itu adalah ketika Maya datang. Aku tahu dia mungkin terlihat sedikit berbeda, tapi aku tak pernah berpikir jika keanehan yang terjadi itu karena hal ini terjadi. Aku melepaskan Ahmad dari pelukanku. Matanya berkaca-kaca, kubelai rambutnya, dan menyaka setetes air mata yang tertahan di sepanjang garis bulu mata anak itu. Ia tersenyum lagi, lalu dengan lengannya yang kurus ia mengusap hidungnya. "Kak Maya ada di kamar! Kakak mau ketemu?" tawar Ahmad, aku tersenyum lalu mengangguk. "Pintunya tidak di kunci kak!" timpal Gita ketika aku menuju ke kamar berpintu merah yang berada di samping ruang tv. Aku mengetuk pintu beberapa kali, namun tak ada sahutan dari dalam. Aku membukanya begitu saja, dan mendapati Maya sedang berbaring di tempat tidur dengan membelakangi pintu. Tak ada yang kukatakan selain tertegun sebentar bercampur bimbang, antara harus datang ke sisinya atau atau pergi, mengingat mungkin dia masih marah karena kejadian kemarin. Sambil menelan ludah dan menahan kesedihan, aku berbicara setahu yang kumampu untuk menghibur, karena aku tak tahu betul cara menghibur. Baik pada orang lain maupun diri sendiri. "Maya... Saya!" "Na.." ucapnya lirih, bangun dari tempat tidur dengan tanpa tenaga. Gadis berbalut kemeja hitam itu berbalik dengan gerusan air mata di sepanjang pipinya. Wajah bulatnya merah, tangisnya tersedu tanpa henti, hingga tubuhnya bergetar. Aku berlari ke sisinya memeluk Maya, membelai rambutnya dan membiarkan duka itu tumpah di lenganku tanpa mengatakan apa pun. "Ayah Na, ayah meninggal... Dia tidak bilang apa pun tapi meninggalkan saya... Sekarang saya harus bagaimana Na, harus bagaimana? Bagaimana?" saat itu aku tidak bisa mengatakan apa-apa selain terpaku menatap dinding bata dari balik jendela, "apa yang harus saya lakukan, Na?" Kutepuki punggung Maya, berpikir kalimat mana yang pantas untuk diutarakan. Apakah memintanya bersabar, atau harus berkata aku berduka cita tanpa perlu menangis? Kenangan pertemuanku dengan ayah Maya masih membekas seperti lusa kemarin. Dia begitu berjasa memberikan tempat tinggal dan membantuku mencari pekerjaan sampai semua mimpi yang tadinya mustahil bagiku bisa terwujud. Aku bersedih tapi air mata yang mengalir dari pipiku ini hanya sebutiran kecil. Mungkin karena menangis adalah hal yang cukup melelahkan dan aku tak cukup kuat menyediakan tempat untuk kesedihan berikutnya. "Kamu bisa menangis dan memikirkan nanti untuk besok! Beban harus dilepas supaya kaki bisa melangkah" kataku sembari menepuki punggungnya, sembari mendengar sedu tangisan Maya dalam dekapanku. Setelah lama ia menuang pilu, maya melepas pelukan. Menatapku dari matanya yang nanar. Aku mengalihkan tatapan ke tempat tidur. "Kenapa kamu tidak bilang saat datang?" Maya mengatur napas "Aku nggak siap menerima kabar ini dan sempat mikir untuk menghabiskan waktu bareng kamu, tapi kejadian kemarin membuat semuanya tidak sesuai harapan! Apa yang aku bilang kemarin mungkin kasar, tapi aku mau kamu sadar salah kamu di mana" "Ya, aku tidak berpikir kamu salah tapi aku juga mau kamu mengerti kalau itu pilihanku!" Mata Maya berpaling memendam kemarahan, meski begitu ia bernapas dalam seolah lelah memberi nasehat dan memilih mengacuhkan bagaimana aku tetap datang dengan sikap keras kepala. "Seharusnya aku nggak mengabaikan dugaanku. Aku tahu kamu punya pacar, tapi tidak berpikir kalau kamu menjalin hubungan dengan seseorang yang punya keluarga, kalau saja aku bisa lebih peduli sama kamu dan bertanya lebih awal, aku bisa minta kamu berhenti. Sekarang belum terlambat, putuskan dia Na, dan jalani hidup kamu lagi seperti dulu!" "Sudah terlambat May, selama tidak ada yang tahu semua akan baik-baik saja!" "Dia sudah berkeluarga Na, sadar!" ucap Maya memegang tanganku, mati-matian ia berusaha meyakinkan. "Aku tahu, tapi aku cinta sama dia!" "Cinta dan bodoh itu tidak sama Na, kamu merasa cinta karena dia belum ninggalin kamu. Tapi besok atau lusa dia akan kembali pada keluarganya, lalu kamu? Kamu akan jadi apa, selain terima nasib dicampakkan. Apa kamu tidak lihat banyak orang lain jadi simpanan orang kaya dan bagaimana nasibnya sekarang? Dicerca di hina, tidak ada tempat untuk perempuan kedua di mata orang lain! Sadar Raina, sadar!" aku tahu Maya benar, tapi aku selalu merasa hatiku jauh lebih benar lagi, hingga semua hal bisa diabaikan. "Kamu mungkin tidak tahu Maya, tidak ada perempuan yang mau jadi wanita kedua dalam hidup seorang laki-laki, kita semua ingin jadi yang pertama dan memiliki! Tapi selalu ada saat di mana kemauan itu berbelok, karena nasib sedang mempermainkan hati seseorang, begitu juga dengan perasaan saya!" "Tapi kita punya hak untuk memilih! Apa kamu tidak dengki membagi hati orang yang kamu cinta dengan perempuan lain? Apa kamu lupa membayangkan nasib istrinya, nasib anaknya? Kamu juga perempuan Na!" aku berdiri dengan rasa kesal. "Kenapa semua orang selalu peduli pada nasib perempuan pertama, lalu perempuan kedua apa juga bukan wanita? Apa hatiku juga tidak berhak terluka. Aku juga terhina Maya, tapi istri pertamanya tetap disebut istri, sedangkan aku tetap disebut simpanan karena cuma menerima cinta dan bukan status, tapi kamu menyalahkan aku seperti aku ini penjahat!" "Raina..." Maya berdiri hendak menghampiriku, aku menahan langkahnya meminta ia menjauh dariku dengan sebuah senyum dingin. Kami sudah berteman cukup lama, jadi tentu Maya sudah mengerti sikapku. "Aku minta maaf tidak datang karena memang tidak tahu, kalau kamu ada perlu telpon aku. Kita juga keluarga kan?" aku berbalik menuju pintu sebelum menariknya aku berbalik "Kalau kamu tidak keberatan aku mau datang untuk malam taudziah ayah" "Aku nggak yakin kamu mau datang atau tidak kalau kamu tahu Pak Adnand juga datang!" aku berdehem tak nyaman. "Dia tahu kalian di sini?" "Dia cuma tidak tahu kamu tinggal di sini 'kan. Kapan kamu mau bertemu dia Raina?" "Tidak ada pertemuan antara kami Maya, tidak akan pernah!" aku meninggalkan kamarnya, menuju kembali ke dalam mobil. Pak Arofik berpaling memandang dari kaca spion di atas kepalanya. "Bagaimana mbak?" "Kita pulang saja pak!" "Mbak tidak mau ke mana-mana lagi hari ini?" "Tidak, saya mau pulang!" Aku menatap jalanan ibu kota yang penuh sesak dan debu-debu kotor yang melayang di udara panas, sambil mengingat ucapan Maya yang membuatku merenung. Aku terusik oleh kebenaran tapi mempertanyakan juga perasaanku. Aku dan Adri sudah terlalu sering bertengkar sampai aku jenuh padanya, mungkin saat ini aku cuma menunggu waktu untuk bisa memperkuat alasan untuk meninggalkannya, sebelum dia yang berpikir untuk melepaskan aku lebih dulu. Lamunanku buyar, sepasang alisku mengernyit ketika mobil itu tidak mengantarku menuju ke apartemen, tapi membawaku ke sebuah hotel di kawasan Darmawangsa. Aku melirik lewat kaca mobil, menatap mata Pak Arofik yang terlihat segan bercampur takut. "Saya tidak ingat tinggal di Darmawangsa, tapi di Kemang!" ponsel milik Pak Arfoik berdering, ia tersenyum lalu mengangkatnya tanpa menjawab. Aku mendengar obrolan itu karena mengerti dengan siapa orang yang bekerja padaku ini patuh. "Iya Pak, sekarang sudah saya bawa... Di kamar 2012, akan saya beritahu. Selamat siang!" Pak Aroik berpaling membagi senyum yang memaksa ramah, "Maaf Mbak, saya tahu Mbak tidak tinggal di sini tapi, Pak Adri minta saya membawa Mbak kemari. Beliau ingin bertemu, sebenatar lagi sampai" aku diam saja, berpaling tak mau peduli. Pak Arofik berdehem lagi "Mbak bisa menunggu di..." "Kamar 2012?" timpalku tiba-tiba. "Oh, iya, Mbak..." Sebelum sempat Pak Arofik membuka pintu, aku turun lebih dulu dan menapakkan kaki memasuki lobi hotel bintang lima itu. Sambil menggunakan topi dan kacamata aku melenggang santai menuju meja resepsionis yang memberikan kunci kamar VIP ketanganku. Di dalam lift kusembunyikan muka, mencoba tidak menarik perhatian sampai tiba di lantai atas gedung. Hanya beberapa langkah kamar bernomor 2012 dengan warna mengilap menyambut. Kamar dalam lorong hotel itu hanya ada dua, hingga jarak di antara keduanya cukup berjauhan. Tempat yang sempurna untuk berteriak tanpa ada yang mendengar pikirku. Kunyalakan rokok, lalu duduk di sebuah sofa besar yang menghadap ke jendela. Aku selalu suka jendela karena melihatnya membuatku ingin menjatuhkan diri dari puncak gedung untuk terbang di antara udara. Menyambut kematian dalam hitungan detik yang menyambar dengan cara menyakitkan seperti itu, kelihatannya menyenangkan. Derit pintu terbuka membawa bau parfum Hugo Boss memenuhi udara, bercampur bau rokok yang menyelinap di hidungku. Langkah meletup dari sepatu Adri berhenti di sampingku. "Kamu merokok?" aku tak berpaling, asyik menikmati duniaku sendiri tanpa peduli kehadiran pria berkacamata itu, "Sepertinya kebiasaan kamu makin buruk Raina, apa kau mau aku menelpon dokter agar kamu bisa berkonsultasi?" ucapnya sambil duduk di depanku. Hari ini Adri begitu tampan dengan setelan jas biru tua yang pas melekat ditubuhnya dipadukan blazer berwarna hitam yang menutup kemeja putih di d**a bidangnya. Aku berdiri, mematikan puntung rokok itu dengan sepatu hak tinggi yang kukenakan. "Saya harap ini bisa jadi pertemuan terakhir kita! Jangan hubungi saya dan nikmati hidup kamu!" Adri tersenyum dingin, menatap ke jendela sambil menggigit bibirnya yang melengkung penuh. "Kalau kamu keluar dari pintu itu kita tidak akan pernah bertemu lagi, tanpa kamu minta pun saya bisa pergi tapi yang akan menyesal setelah hari ini adalah kamu!" aku menengok padanya, sekali lagi dia menggunakan dirinya untuk menahanku. Sudah berulang kali dan aku mendadak bosan, kenapa dia seperti anak kecil yang merengek dengan cara kasar seperti itu. Aku tak peduli dan terus berjalan sampai meraih kenop pintu. Tangan Adri menyambar, menarikku bersandar ke belakang tembok. Tubuhnya dekat, sedekat wajahnya yang hanya bersisa beberapa inci dari keningku. Tubuh Adri yang tinggi membuat tatapanku hanya mampu meraih lehernya yang berotot. "Kamu tidak akan pernah bertemu saya lagi, apa kamu tidak takut?" aku mengabaikan Adri mengalihkan tatapan ke arah lain, "Raina apa kamu masih marah pada apa yang saya bilang kemarin, jadi kamu mau meninggalkan saya?" aku mendiamkannya lagi. Bibir Adri berdecak "Aku tau aku keliru Raina...!! Sayang beri aku waktu, aku akan berhenti curiga pada kamu, pada teman kamu! Raina look at my please! I love you so much..." "Raina" ucap bibirnya lembut dengan nada putus asa sambil memelukku. "Kamu ini lucu Adri, aku mau melepaskan kamu dan kamu bilang mau pergi! Kita sudah berakhir apa kamu masih tidak paham?" "Tidak, aku tahu kamu bohong! Kamu sudah janji akan bersabar karena kamu mencintai saya. Kamu mau memberi waktu, tapi kenapa kamu selalu berubah Raina?" "Cinta lebih mudah pudar, seperti rasa rokok yang sisanya cuma candu. Mungkin begitulah nilai kamu di mataku Adri" "Raina, saya akan kasih kamu apa pun yang kamu mau... Apa kamu mau berlian, tas, baju? Bilang dan dalam hitungan menit semua itu akan ada di kaki kamu!" aku mendorong bahu Adri menjauh dariku. Ia memandang dengan penuh harap dari cerca sinar matanya. "Saya selalu menyesali bagaimana kamu tidak pernah berubah dan sekarang saya harus merasa kasihan pada istri kamu. Sikap kamu yang selalu menilai semuanya dari uang membuat saya jengah. Ini bukan pertama kalinya saya bertemu orang-orang yang memuja uang dan merendahkan orang yang tidak memiliki apa-apa. Kamu cuma beruntung, tapi tidak berarti kamu lebih baik!" aku ingin beranjak pergi, tapi lagi dan lagi Adri menahanku mendekati pintu. "Oke, saya akan berhenti membahas mengenai uang kalau kamu tidak suka! Saya hanya mau dengar apa yang kamu mau Raina, agar saya bisa melakukan sesuatu! Kalau kamu hanya diam dan marah apa yang harus aku lakukan! Tolong bilang sesuatu" Aku meliriknya dan tersenyum. Sekali lagi wajah puas tergambar jelas ada pada Adri "Apa kamu akan melakukan apa pun yang aku minta?" "Tentu, apa pun bilang saja!" "Kamu tidak akan ingkar janji?" "Saya bersumpah!" "Kalau begitu buka pintu, aku harus pergi" "Raina!" ucapnya memelas. "Kamu sudah bersumpah!" dengan berat sambil mengerutkan lengkungan mulutnya, Adri membuka pintu. Aku tersenyum sebelum meninggalkan dia seorang diri menuju lobi hotel. Pak Arofik sedang duduk sambil menunggu. Aku menghampiri dan meminta kunci mobil padanya. ia terheran, merogoh saku kemeja lengan pendek yang ia kenakan. "Mbak mau bawa mobil sendiri?" ucapnya.        "Tidak, saya naik taksi. Mulai sekarang Bapak bisa melayani Pak Adri lagi. Jangan cemas, Bapak sudah tidak punya alasan untuk bekerja pada saya!" kataku sambi lalu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD