TIGA

1626 Words
Ku gerakkan kaki ku untuk melangkah menuju kelas, lalu aku disambut oleh beberapa pasang mata memandang ku penuh penilaian. Lirikan mereka terus mengintai ku sampai aku terduduk didalam kelas, bahkan lirikan itu masih terasa oleh ku saat kegiatan kelas berlangsung, juga setelah keluar dari ruangan pandangan mereka tak luput menatap kehadiran ku dengan bisikan samar yang masih bisa aku tangkap, "oh dia yang ciuman sama Arshaka di party Jeanne," "eh, beneran dia yang ciuman sama Arshaka?" "kok dia bisa dekat sama Arshaka sih?" Aku mulai muak, ini bukan satu hari aku diperlakukan seperti ini, sudah 3 hari setelah acara party Jeanne digelar aku bagaikan buronan kelas kakap. Sulit bergerak bebas seakan dunia tak memperbolehkan ku berkeliaran kemanapun. Ku pikir keadaan akan kembali seperti semula jika aku tidak menggubris perilaku mereka. Namun keadaan lagi tidak memihak padaku. Bukan hal ini saja yang membuat ku muak, setelah acara sialan itu laki-laki bernama Arshaka juga terus bermunculan didepan ku selama 3 hari ini. 3 hari berturut-turut aku mendapati sosoknya sedang berkumpul dengan anak kampus, entah didepan halaman sambil merokok atau menemukannya sedang makan di kantin. Saat ini aku sedang duduk sendirian di teras kedai kafe samping gedung kampus, tempat dimana aku suka menyendiri sambil menikmati kegiatan monoton ku. Mendengarkan musik menggunakan earphone lalu melamunkan hal-hal yang tidak jelas: entah tentang kuliah ku, keadaan Ayah dan Leo, dan memikirkan bagaimana nasib ku dimasa depan. Karin sudah pulang duluan untuk membantu Ibunya di Butik. Awalnya aku ingin ikut ke Butik tapi aku mendadak ada urusan sama dosen prodi, dan setelah selesai aku memutuskan duduk termenung di kafe saja. Kalau lagi melamun pikiran ku cukup kritis. Dalam benak ku bertekad untuk melakukan perubahan kecil demi memiliki kehidupan yang maju. Tapi saat aku ingin menjalaninya, tekad ku meluap entah kemana. Kadang aku sendiri heran dengan diriku seperti ini. Kayak tidak ada gairah hidup, tapi aku happy-happy aja. Kemudian aku mengecek ponsel dan membuka semua media sosial ku: melihat beranda **, membaca cuitan di twitter, lalu menonton video di youtube. Tiba-tiba ada seseorang datang, meletakkan 2 gelas kopi diatas meja dan duduklah orang tersebut didepan ku. Aku mendongakkan pandangan ku, melihatnya yang sedang tersenyum seperti teriknya matahari. Begitu menyilaukan, sampai mata ku pedih melihatnya. "pantas saja disini panas. Ada matahari didepan ku." Baru saja aku mengibaratkannya seperti matahari, dia melayangkan gombalan receh menggunakan topik matahari juga. Kamu juga kayak matahari, bikin gerah hati. Kehadirannya tak aku acuhkan, aku kembali fokus memandangi ponsel ku. Tapi dia tak membiarkan ku untuk tak mengacuhkannya, jadi dia terus mengajak ku bicara. "kata Muel kamu sering pesan kopi disini sambil nunggu teman kamu, siapa namanya? Karin ya, bener nggak?" Aku tak menggubris ucapannya, masih terpaku memandangi ponsel. Malas. "weekend ada acara nggak? Kalau nggak ada, kita nonton di bioskop yuk. Atau kamu mau jalan-jalan? Atau kamu mau belanja sesuatu, aku temani." ucapnya sambil menopang dagu dengan satu tangannya, ia terpaku memandangiku namun aku tak berniat membalas tatapannya. Melirik saja tak minat. Aku masih terdiam didepannya, hingga aku tersentak kaget saat dia merebut ponsel ku secara paksa. Lalu ia mengantongi ponsel ku kedalam saku celana seragam abu-abunya ketika aku ingin merebut ponselku. Kegiatan kami mulai dilirik oleh pengunjung kafe yang mayoritas adalah anak-anak kampus. Hmm gawat sudah, nama ku makin sering dicibir oleh seisi gedung kampus. "kalau ada orang ngajak kamu bicara, tatap mukanya. Masa aku harus mengajari mu beretika saat berbicara dengan orang lain?" Tanpa perlu dia katakan aku sudah tahu cara etika berkomunikasi dengan lawan bicara. Masalahnya aku tidak mau berbicara padanya. "kembalikan hp ku!" titah ku dengan satu tangan terjulur ke depan. Ketika aku mendekatinya dan ingin meraih tangannya, ia menyingkir dan menepis tangan ku. "weekend aku jemput kamu dirumah." Arshaka, laki-laki yang harusnya menghormatiku karena umurku lebih tua 3 tahun darinya justru memperlakukan ku semena-mena dan memaksa ku untuk menuruti kemauannya.  Memangnya dia siapa? "jangan aneh-aneh deh! Kalau mau jalan sama perempuan lain aja sana, bukan sama aku. Sekarang kembalikan ponselku!" Aku mencoba mendekatinya lagi, merogoh saku celana, tapi dia menghindari perlawanan ku dengan mencengkram lengan ku. Memang cengkramannya tidak sakit tapi aku tidak suka dia menyentuhku seperti itu. Lalu ia mulai melepaskan tangan ku ketika aku mengerang tak suka padanya. "katakan mau dulu baru aku kembalikan." "ya Tuhan!" aku mencengkram rambutku kesal. "aku harus melakukan apa supaya kamu tahu kalau aku tidak mau pergi dengan mu?" "aku anggap kamu mau pergi sama aku, aku jemput kamu jam 8 malam." Aku tak habis pikir dengan semua pikirannya saat ini. Aku terpaku kesal memandanginya, lalu ia meletakkan ponsel ku diatas meja. Sebelum dia pergi, beberapa saat dia mengelus kepala ku lembut dan melayangkan senyuman padaku. Lalu ia pergi meninggalkan ku dengan perasaan campur aduk: kesal, marah, jengkel, tapi aku penasaran. Dia bilang dia akan menjemput ku dirumah, tapi bagaimana bisa? Dia kan tidak tahu dimana rumah ku. Aku pun belum memberitahukan dimana alamat ku padanya. Sudahlah, aku tidak peduli. Mungkin dia hanya iseng mengangguku saja. Segera aku memesan taksi online untuk pulang ke rumah. Hari ini dia berhasil membuat mood ku buruk. ********************************** Setelah pertemuan di kafe, aku tak menampaki sosok Arshaka di area kampus. Hari-hariku kembali berjalan normal, anak-anak kampus tidak lagi membicarakan ku, juga mereka tidak lagi menatapku aneh. Kembali dengan diriku yang tidak terlalu penting didalam kehidupan mereka. Tentunya aku lebih nyaman seperti ini, merasa bebas dan lega. Sebab aku tidak suka menjadi pusat perhatian. Aku asik menonton tv di ruang tengah, menonton channel talk show yang dibintang Sule dan Andre Taulany. Rumah yang sepi dan hening jadi berisik oleh tawa ku melihat Sule menyamar sebagai salah satu pesulap yang terkenal dikalangan masyarakat. Rumah hanya ada aku seorang, Leo dan Ayah sedang pergi ke gerai ikan hias. Sekarang ini mereka berdua lagi mempunyai hobi baru yaitu mengoleksi ikan hias. Setelah pulang kerja tadi siang Ayah membawa akuarium baru yang cukup besar, dan sekarang mereka sedang mencari penghuni baru di akurium tersebut. Ting... Tong... Bel rumah terdengar oleh ku, namun aku belum langsung beranjak dari sofa. Setelah aku berhenti tertawa melihat kekocakan Sule dan Andre di tv aku baru melangkah ke pintu. Aneh, tumben banget Ayah dan Leo memencet bel ketika pulang. Biasanya mereka akan langsung masuk, kalau pintu dikunci mereka akan berteriak memanggil ku. Aku memutar kunci dan menarik kenop pintu. Lalu aku membelalak terpaku melihat Arshaka berdiri didepan ku, mengenakan hoodie putih dengan jeans berwarna hitam. "hai Bi..." Menatapnya dari ujung kepala sampai ujung kaki, lalu kembali memandangi wajahnya tak percaya. "kok kamu belum siap-siap? Aku kan sudah bilang bakal jemput kamu jam 8." Spontan aku membalikkan badan dan melihat jam dinding menunjukan jam 8 malam. Dia beneran datang dan tepat waktu. "kam-- kamu beneran datang? Kok bisa?" tanya ku terbata-bata. "Arsha.." Kami berdua serempak menoleh ke sumber suara, mendapati Ayah dan Leo sudah pulang sembari menenteng plastik yang terisi ikan hias. "eh Leo..." sapa Arshaka santai, lalu ia berjalan mendekati Ayah dan mencium punggung tangannya sebagai tanda hormat. "kalian, saling kenal?" tanya ku penuh penasaran. Lalu Leo berkata, "kenal. Kan Arsha satu sekolah dan sekelas sama aku." Aku terdiam speechless. *********************************** "kok kamu diam terus? Lagi dapet ya?" Aku tak menanggapi ucapan Arshaka sedari tadi. Kepala ku pening, isi kepala ku semeraut, mau pecah rasanya. Aku duduk terdiam disamping Arshaka, selama perjalanan dia tak henti mengajak ku berbicara. Topik-topik umum dan receh ia layangkan dengan senyum yang tak pernah padam sejak dia berhasil membawa ku pergi dengannya. Setelah Leo mengatakan jika ia dan Arshaka saling kenal, dan mengatakan bahwa Arshaka suka main ke rumah, barulah aku mengerti kenapa dia begitu PD mengatakan akan menjemputku dirumah. Dia mengenalku sebagai kakaknya Leo, beberapa kali ia pernah main ke rumah dan mendapati ku yang terlalu asik dengan duniaku sendiri. Mau tidak mau akhirnya aku pergi dengannya sebab Ayah langsung mengiyakan keinginan Arshaka. Juga aku tambah melongo ketika Arshaka berhasil membujuk Ayah dengan mengatakan hal yang tidak-tidak pada Ayah, "om, saya mau ajak kak Bian pergi keluar. Saya janji nggak akan lama om." "memangnya mau pergi kemana?" "mau ajakin kak Bian jalan-jalan om. Kalau om berkenan, saya lagi dekati kak Bian. Mohon doa restunya ya om," Mengingat itu kepala ku semakin berdenyut pusing. "kamu sakit? Mau aku belikan obat?" tawarnya ketika mobilnya berhenti didepan minimarket. Jadinya kami hanya jalan-jalan menikmati padatnya Ibukota, tidak ke Mall ataupun pergi nonton bisokop yang ia tawarkan diawal. Aku tidak berharap kok, justru aku akan puas kalau dia paham bahwa aku tidak nyaman bersamanya. Tapi terlihat dia tidak paham, atau sengaja tidak tahu. Lalu ia kembali setelah memasuki minimarket, ketika di mobil ia mengeluarkan beberapa botol air mineral dan makanan ringan. "makan gih, aku beliin kamu snack kesukaan kamu nih." Aku tercengang melihat ia membelikan snack yang aku suka: ciki tortila dan kentang, juga ada pie dan stik coklat. "kamu tau dari mana aku suka semua ini?" tanya ku dengan dahi berkerut. "anggap saja aku secret admire mu," jawabnya sambil tersenyum. "aku serius!" "aku juga serius Bi..." Dia berdeham singkat, "...bukan secret admire juga sih. Aku benar-benar cari tahu kamu setelah kita berciuman di party Jeanne." "apa?" tanya ku tak percaya. Dia mengendikkan bahu singkat. Lalu aku berucap, "dengar ya, ciuman itu adalah ketidaksengajaan. Kamu tahu kalau aku menciummu karena aku mabuk." Saat aku sadar bahwa aku bukan mencium Erick di party Jeanne, segera aku menjauhkan diri dari Arshaka. Lalu buru-buru pergi meninggalkan gedung itu walau langkah ku sempoyangan. Tak lama Karin menyusul ku lalu membawaku ke rumahnya untuk menginap semalam. Hingga paginya aku baru pulang ke rumah setelah keadaan ku benar-benar baik seperti orang normal. Ayah memang tak pernah melarang ku untuk mencoba meminum alkohol, namun aku merasa segan saja sebab Ayah tak pernah membahas itu padaku. Aku malah jadi tahu diri bahwa alkohol tak bagus untuk tubuhku, walau kebanyakan orang mengatakan alkohol ada sisi baiknya. "yes, i know..." "...meski tidak sengaja tapi aku suka." lanjutnya lagi dengan memampang wajah polos. "suka?" dengus ku sinis, lalu mengalihkan pandangan ku kesamping sambil menyila tangan ke d**a. "aku dengar kamu player, jarang terlihat bersama dengan 1 perempuan saja. Kenapa kamu malah dekati aku hanya karena ciuman tak berarti itu?" "bagimu tak berarti, tapi bagiku iya." sahutnya santai tapi terdengar tegas. "hah??" pekik ku melotot padanya. "kamu menilai ku dari pendapat orang lain. Gimana kalau kamu sendiri yang menilai ku secara langsung?" "bilang aja kamu mau deket-deket sama aku." "emang iya." Aku memutar manikku kesal. "kenapa harus aku? Kenapa nggak sama perempuan lagi?" "aku cuma mau kamu, Bianca." "aku nggak mau." putus ku galak, namun ia malah terkekeh geli menatapku. "aku akan buat kamu mau sama aku." "kamu nggak bisa paksa aku." "aku bisa..." Sebelum ia mengucapkan sesuatu lagi, ia membenarkan posisinya agar ia menghadap padaku. Maniknya begitu lekat menatap ku dengan dalam, seakan ia mengunci ku supaya aku tidak bisa lolos darinya. Lalu ia tersenyum. "...akan aku pastikan kamu jadi milik ku, Bianca." **********************************

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD