Senyum Langit

1266 Words
Anggia perlahan membuka kedua matanya. Menatap pemandangan sekeliling yang terasa asing. Sebuah kamar besar dengan ukuran king size. Kemudian piyama yang sedang ia kenakan sepertinya bukan miliknya. Di mana ini? Anggia bertanya pada dirinya sendiri. Perlahan ia bengun dan duduk menyandar pada kepala ranjang. "Sudah bangun?" Pertanyaan seseorang membuat Anggia menatap kaget padanya. "Kakak ngapain di sini?" Langit senyum kecil, "Ini rumah gue, kenapa? Enggak boleh?" Anggia mengerjap. Rumahnya? Maksudnya? Kemudian dengan gerakan cepat Anggia turun hendak turun dari ranjang itu. Tapi Langit menahannya. "Mau kemana lo?" "Ma-mau pulang." Anggia menunduk dengan menepiskan tangannya yang di pegang Langit. "Pulang? Kemana?" Anggia mengangkat wajahnya dengan kedua alis yang berkerut. "Ke rumah saya Kak, kenapa pertanyaan kakak aneh seperti itu? Meskipun saya miskin saya juga punya rumah." Langit mendengus. "Di rumah lo ada siapa?" "Papah." Jawab Anggia pendek. Langit kembali mendengus kasar. Kemudian ia mendekat dan duduk di kasur di samping gadis itu. Membuat Anggia waspada. "Lo pengin tahu berapa jam lo pingsan?" Anggia menggeleng. "Seharian!" Dengan tatapan cepat dan tak percaya. Anggia menatap laki-laki di depannya itu. Kemudian ia menggeleng. "Tidak mungkin," "Kenapa tidak mungkin?" Langit berdiri gelisah. Ia bersidekap d**a dan menatap gadis itu tajam. "Lo itu luka, lo itu sakit, dan itu parah. Kenapa lo sampe enggak peka pada diri lo sendiri. Apa lo mau mati?" Suara Langit terasa meninggi. Dan tentu saja hal itu membuat Anggia kaget. Kenapa laki-laki itu semarah ini padanya. Apa urusannya? Ini tubuhnya, miliknya. Kenapa ia harus repot-repot ikut campur. "Saya tidak mengerti apa maksud kakak, sepertinya saya harus pulang." Anggia kembali hendak beranjak. Namun sekali lagi Langit menarik gadis itu hingga kembali terduduk. "Gue belum selesai ngomong sama lo Anggia. Dengerin dulu coba." "Kakak kenapa sih ikut campur urusan saya?" Kali ini Anggia terlihat marah. Ia mulai merasa kalau Langit mulai mengendalikan dirinya. Anggia tidak suka di atur oleh siapapun. Apalagi oleh orang yang bukanlah siapa-siapa untuknya. Ia mungkin tahu kalau Langit ini Adalah laki-laki anak orang kaya. Laki-laki yang banyak diburu para gadis. Tapi bukan berarti Anggia mau-mau saja. Jika Langit mengendalikan dirinya sesukanya. "Hey! Saya tanya, kenapa Kakak ikut campur urusan saya?" Bentak Anggia, ia amat kesal pada laki-laki itu. Namun Langit masih terdiam saja. Hanya menatapnya saja. Pingsannya Anggia membuat Langit cemas. Apalagi ketika dokter pribadinya mengatakan. Kalau Anggia ini mempunyai banyak luka di sekujur tubuhnya. Dan itu cukup parah. Langit ingin tahu siapa pelaku yang tak berotak. Karena dengan teganya telah melakukan hal sekejam itu. Makanya ia membawa gadis itu kerumahnya. Ia berharap akan ada keluarga Anggia yang datang menjemput. Namun, Tidak ada seorangpun yang menjemputnya. Kecuali tiga cowok sahabatnya Anggia. "Kenapa Kakak diam aja. Saya mau pulang Kak?" Lagi, Langit masih saja terdiam. Ia hanya menatap Anggia datar. Menarik napas resah. Kemudian, "Gue enggak akan ijinin lo balik, kalau keluarga lo enggak ada yang jemput!" Ini keputusan pinal Langit. Ia ingin tahu siapa yang telah tega menyiksa gadisnya. Dari itu biarlah Anggia di sana. Sampai lukanya benar-benar sembuh. "Kak..." Anggia mencoba meraih ujung bajunya Langit. Namun laki-laki itu menepisnya. Ia keluar dan menguncinya kemudian. "Kak Langit! Kak!" Anggia mengetuk pintu sekuatnya. Namun sepertinya Langit sudah pergi. Hingga gadis itu hanya bisa menyandarkan dirinya di belakang pintu. Memejamkan kedua matanya erat sejenak. Apa sih maunya tuh cowok? Masa gue di kurung di sini? *** Karena merasa kesal dan bosan. Anggia kembali naik ke atas ranjang. Dan mengutak-atik ponselnya. Ia menemukan banyak pesan. Dari Gara, Raya, dan Teja. Tapi tidak ada dari Ayahnya. Kenapa? Mendadak hatinya sakit. Kenapa Papah enggak khawatir sama Anggi? Tanpa bisa di tahan air matanya lolos begitu saja. Papah... Ia menangis, bukankah seperti yang sudah Langit katakan. Kalau ia pingsan seharian. Tapi kenapa Ayahnya sama sekali tidak ada kabar. Kenapa Pah? Anggia memeluk bantal. Dan memejamkan kedua matanya erat. Tok tok tok Ketukan dari luar. Membuat gadis itu mengusap air matanya cepat. Ia segera turun dari ranjangnya. "Neng? Sehat?" Seorang ibu-ibu masuk dan membawa makanan di nampan. Kemudian di simpan ke atas meja. "Sehat Bu," jawab Anggia segan. Si Ibu menatap ramah padanya. "Nanti di makan ya Neng, kalau tidak. Saya bakal di marahi sama Den Langit." Anggia menautkan kedua alisnya. Ia pikir tadinya perempuan itu adalah Ibunya Langit. Karena pakaiannya sama sekali tidak memperlihatkan seorang pembantu. Ia mengenakan pakaian amat rapih layaknya seorang nyonya besar rumah itu. "Eh, iya Bu. Tapi ... Kak langitnya kemana ya Bu?" Si Ibu tersenyum tipis, "Dia ada urusan katanya. Neng di sini aja dulu. Jangan kemana-mana. Jangan lupa minum obatnya yaa... Saya permisi ya neng." "Eh, Bu. Tunggu dulu." Anggia menahan pintu yang hendak di tutup oleh perempuan setengah baya itu. "Iya Neng," "Saya mau pulang Bu, saya ...." "Maaf Neng, Den Langit sudah berpesan. Dia melarang Eneng buat kemana-mana dulu. Maaf ya neng." Si Ibu segera menutup pintunya. Kemudian menguncinya lagi dari luar. Anggia menarik napas dalam. Si Langit itu benar-benar keterlaluan. Kenapa ia harus di sekap seperti ini. Ikhh bete! Anggia kembali menjatuhkan dirinya ke atas kasur empuk di sana. Menatap langit-langit kamar yang ternyata di sana ada sebuah lukisan pemandangan senja di sore hari. Anggia tersenyum. Pemandangan itu amat indah. Siapa gerangan orang yang begitu rajinnya melukis pemandangan senja di langit-langit kamar. Pasti pegel banget! Pikirnya. Setelah makan dan minum obat. Anggia membaca pesan dari ketiga sahabatnya. Gara Gi, lo sehat? Gue ke rumah lo, ko enggak ada siapa-siapa? Bokap lo juga enggak ada. Anggia menautkan kedua alisnya. Jadi Papahnya tidak ada di rumah. Terus kemana? Kemudian ia melihat pesan lainnya. Teja Gi, lo gak matikan? Gi jangan dulu mati. Gue belum kawin. Lo harus lihat istri gue bunting geude dulu yaaa ... Baru Lo boleh mati! Sialan! Temannya yang satu ini memang menyebalkan. Tapi entah kenapa Anggia malah terkekeh. Raya Gi, kemarin. Si Langit rebut lo dari Gara waktu lo pingsan. Terus di bawa pulang deh, lo yakin? Si Langit enggak ngapa-ngapain lo? Awas aja kalau ketemu gue, lo udah bunting! Anggia menggeleng jengah. Kelakuan Raya ini sebelas dua belas dengan Teja. Menyebalkan. Namun sekali lagi Anggia tidak marah. Ia sudah biasa mendengar perkataan absurd mereka. Gue kangen kalian. Anggia menyimpan ponselnya. Kemudian menyalakan televisi yang memang sudah tersedia di sana. Malam sudah larut. Langit pulang dari urusannya. Ia masuk ke dalam kamar Anggia. Dan melihat gadis itu sedang tertidur. Malem Gi? Langit mengusap pipi gadis itu amat hati-hati. Seolah Anggia terbuat dari sebuah porselen yang rawan pecah. Betapa ia senang bisa melihat gadis itu berada di rumahnya. Selama hampir empat tahun ini, ia hanya bisa menatapnya dari jauh saja. Sejak ia kelas dua SMP. Ia sudah mengagumi gadis itu. Namun Anggia tidak pernah menyadari kehadiran dirinya. Anggia sibuk dengan kegiatan sekolah. Anggia memang termasuk murid yang amat tekun. Selain itu ia juga selalu melihatnya kerja part time. Anggia ini amat bekerja keras. Lalu ketika ia keluar SMP. Ia meninggalkan Anggia. Ia seperti merasakan kehilangan separuh jiwanya. Namun takdir tak bisa disangka. Anggia juga sekolah SMA di sekolahnya. Dan akhirnya mereka dipertemukan kembali. Lagi, Anggia selalu cuek padanya. Bahkan sama sekali tak mengenali dirinya. Kemanapun selalu dengan ketiga sahabatnya. Teja, Gara, dan Raya. Sebenarnya kalau mereka cewek. Langit tidak peduli. Tapi masalahnya, sahabatnya Anggia ini adalah cowok semua. Dan Langit tidak suka melihatnya. Ia pernah mendengar ungkapan. Bahwa tidak ada yang murni antara persahabatan laki-laki dan perempuan. Langit tidak mau, kalau suatu saat. Ada salah satu diantara sahabat lelakinya Anggia yang jatuh hati pada gadis itu. Makanya mulai saat ini Langit akan bergerak cepat. Ia akan memilikinya sebelum siapapun. Tidur Gi ... Mimpi indah! Langit merapikan selimut yang dikenakan gadis itu. Dan meninggalkan kannya. Sepertinya malam ini Langit akan tidur dengan kedua bibirnya yang tersenyum. Karena senjanya sudah berada di dekatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD