Ingin menjaganya

1588 Words
"Mana uang buat Saya! Kenapa kamu jadi anak tidak berguna?!" Dari luar kamar sesosok laki-laki berusia setengah baya memukul pintu seperti biasanya. Dia Bagas, Ayahnya Anggia. Dia akan bertindak kasar seperti monster ketika mabuk. Ini sudah lama terjadi, sejak Lena sang Mamah memilih pergi dari Rumah. Ketimbang meneruskan hidup pas-pasan bersama sang Suami. Anggia memejamkan kedua matanya penuh ketakutan. Ia menahan pintu sekuat tenaganya. Agar tidak terbuka. Karena jika pintu terbuka. Sang Ayah akan masuk, kemudian memukuli dirinya seperti yang sudah-sudah. Anggia harus bisa melindungi Ayahnya. Agar laki-laki itu tidak masuk penjara. Karena dengan memukuli dirinya. Bisa saja para tetangga atau siapa pun yang mengetahui itu akan memasukan Bagas ke dalam penjara. Meski Anggia sendiri meyakini. Kalau hal itu adalah yang terbaik. Namun seburuk apa pun Bagas dengan sikap temperamennya. Dia adalah Ayahnya. Ayah yang pernah mencintainya, dan membesarkan dirinya sampai menjadi dewasa seperti sekarang ini. "Anggia! Buka!" Pukulan sang Ayah pada pintu bagian luar semakin kuat. Anggia tidak yakin kalau kayu yang semakin lapuk itu akan kuat menahan amukannya. Anggia terus berpikir bagaimana caranya agar ia bisa melarikan diri dari sang Ayah saat ini. Dan kembali setelah ia sadar dari mabuknya. Karena Bagas akan kembali normal. Jika pengaruh dari minumannya hilang. "ANGGIA! BUKA PINTUNYA! JANGAN JADI PEMBANGKANG KAMU! ANGGIA!" Anggia gemetar dengan memejamkan kedua matanya amat kuat. Perlahan kedua matanya memanas. Mamah tolongin Anggi, Mamah ... oleh punggung tangannya ia mengusap airmatanya. Ia bisa mendengar kalau saat ini sebagian engsel pintunya mulai rusak. Demi apapun keadaan ini amat sangat menakutkan. Tolonglah Tuhan ... Gadis itu terisak penuh ketakutan ketika pintu mulai terbuka. Mengahdirkan sesosok Ayah dengan tatapan tajam bak kedua mata pembunuh yang siap mengoyak semua yang ada pada dirinya. "ANGGIA ANAK p*****r! KAMU DAN IBUMU SAMA SAJA! KALIAN PANTAS MATI!" "Arrgghhh!" Anggia meringis, tangan Bagas mulai menemukan mangsanya. Ia menjambak rambutnya Anggia kuat. Hingga tanpa bisa di tahan air matanya menetes deras. Saking sakitnya yang ia rasakan. "Arrgghhh! Ampun Papah ... Ampun!" Anggia terisak dengan sorot mata nelangsa. Memohon sepenuh hati. Agar Bagas tidak menyiksanya lebih dari ini lagi. "MANA p*****r ITU ANGGIA! MANA?!" "Arrgghhh Anggia enggak tahu Papah ... Tolong sakit Papah ..." Isakan Anggia tak lantas membuat Bagas melepaskan tangannya. Ia malah menggusur gadis itu dengan kasar. Seolah rambut Anggia adalah sebuah tali yang bisa ditarik kapan saja, kemana saja. "Sakit papah ... Tolong ... " Anggia di gusur dari kamarnya ke bagian tengah rumah. Air matanya menetes deras. Tubuhnya gemetar hebat penuh ketakutan. "Papah ... Ampun! Sakit Pah ... Sakit ..." Raungan pilu di rumah itu sama sekali tidak membuat Bagas menghentikan aksinya. Malah saat ini ia mengambil pecut. Dan mulai memecut gadis itu bertubi-tubi. "Arrgghhh! Ampun Papah!" Anggia menjerit. Rasa sakit di sekujur tubuhnya terasa kian menyiksa. Belum habis rasa perih dari kepalanya. Kini malah kedua tangannya di ikat kuat sehingga memperlihatkan memar merah yang kentara. "Ampun Papah! Ampun ... " Gadis kecil itu merintih. Memohon, dan menjerit. Namun tidak ada yang bisa menolongnya. Di rumah itu hanya ada dia dan Bagas saja. Akhirnya dengan kesadaran yang semakin menipis Anggia terdiam lemas. Kemudian perlahan kedua matanya tertutup bersamaan dengan linangan air mata yang jatuh begitu saja. Mamah ... *** "Anggia ..." Terasa pelukan hangat dan usapan lembut di kepalanya. Membuat gadis itu terbangun. "Anggia anak Papah, apa yang terjadi Nak?" Seperti biasa Bagas memang tidak pernah ingat dengan apa yang telah ia lakukan pada Putrinya. Tentu saja, itu karena efek dari minuman yang sedang ia konsumsi. Sudah menjadi rahasia umum jika minuman beralkohol bisa membuat mabuk dan bahkan memicu hilangnya kesadaran. Itu disebabkan karena adanya beberapa kandungan yang cukup kuat. Salah satunya adalah kandungan ethanol yang terdiri dari dua atom karbon dan satu atom oksigen. Ethanol sangat mudah larut di dalam air sehingga jika kita mengkonsumsi minuman beralkohol, kandungan ini bisa bergerak dengan leluasa ke seluruh tubuh. Saat memasuki saluran pencernaan, ethanol akan segera memasuki alirah darah dan menyatu ke membrane sel, menembus berbagai jaringan, otot, kulit, dan juga otak. Saat di otak inilah ethanol akan mempengaruhi bagian nucleus accumbens yang berperan besar pada memori otak. Pengaruh ethanol akan merangsang pelepasan hormon dopamin dalam jumlah yang banyak dan membuat pikiran menjadi lebih tenang. Efek lain yang dipicu oleh konsumsi alkohol adalah membuat seseorang lebih percaya diri dan lebih cerewet. Hanya saja, alkohol juga akan bekerja dengan menekan saraf dan otak yang bisa membuat kita hilang kesadaran atau muntah-muntah. yang menjadi masalah adalah, jika konsumsi alkohol dilakukan terlalu sering atau berlebihan, fungsi otak bisa terganggu sehingga kita akan mengalami gangguan pernafasan yang bisa memicu kematian. Back to Bagas. Ia menatap wajah sang putri dengan gemetar. Dan penyesalan yang luar biasa. "Maafin Papah, Nak maaf ..." Bagas memeluk erat sang putri yang sudah tak sadarkan diri dengan keduanya air matanya yang mengalir begitu saja. Anggia Papah ... Jangan tinggalin Papah ... Bagas menangisi sang putri. Memohon pada waktu. Agar jangan sampai terjadi apa-apa pada putrinya.  Lena, di mana kamu Lena ... Selama apa Lena sang istri meninggalkannya. Namun tetap jauh di dalam hatinya Bagas selalu memikirkan perempuan itu.  Lena ...  Rasa sesak yang menyayat. Membuatnya terisak hebat. Bukan hanya menyesal karena apa yang tengah terjadi pada putrinya. Tapi juga menyesal karena ketidak mampuannya dirinya sebagai laki-laki. Sehingga membuat sang Istri pergi. *** Anggia berjalan di koridor dengan ringisan kecil di kedua bibir manisnya. Apa yang terjadi kemarin pada dirinya masih sangat ia rasakan. Badannya terasa sakit luar biasa. Kepalanya terasa pusing serasa sudah di pukul kuat. Kemudian tubuhnya terasa demam. Namun Anggia harus tetap sekolah, ia butuh itu untuk masa depannya. Ia berjalan menggapai dinding koridor. Karena lututnya terasa lemas. "Anggia Senja!" Langkah kecil itu terhenti. Ketika di depannya sesosok tinggi menghalangi jalannya. Anggia menatapnya sekilas, kemudian mengacuhkannya. Dan memilih jalan lain untuk ia lewati. Namun bukan Langit namanya. Jika ia melepaskan mangsanya begitu saja. Ia kembali mengahadang gadis itu. "Bisa gak? Enggak usah sombong sama gue?" Langit menatap lekat wajah cantik yang saat ini terlihat muram. Ia merasa kesal karena kemarin gadis itu lari begitu saja dari kantin. Sebelum ia mendapatkan nomer ponselnya. "Maaf Kak, saya harus ke kelas." Jawab Anggia pelan. Ia merasa kepalanya sakit luar biasa. Kedua matanya mulai terasa mengabur. Ia juga tidak mengerti kenapa. "Gue belum beres ngomong sama lo! Mana ponsel lo?" "Saya mohon jangan ganggu saya. Saya mohon Kak," Langit mendecih, kenapa gadis itu menganggap dirinya seakan penjahat yang akan menculiknya saja. Halooooo ... Dia itu Langit. Cowok The most wanted guy. Yang selalu jadi rebutan di Mutiara. Kenapa sekarang mendapatkan penolakan yang memalukan dari seorang gadis kecil seperti Anggia? Merasa kesal, ia meraih kedua bahu gadis itu dan memegangnya kuat. "Arrgghhh!" Anggia meringis. Kedua bahunya terasa amat sakit. Di sana kemarin ada bekas pecutan papahnya yang kuat. Sehingga sampai pagi ini masih terasa sakit. Melihat reaksi aneh gadis itu. Langit menautkan kedua alisnya. "Ada apa?" Anggia menggeleng. "E-enggak ada, lepasin kak sakit." Langit menggeleng. "Gue minta nomer ponsel lo, mana?" "Enggak bisa Kak,". "Kenapa? KENAPA ENGGAK BISA?" Bentakan Langit membuat ke dua telinganya terasa berdengung. Hingga gadis itu memejamkan kedua matanya.  "Kenapa Kaka bentak saya?"  Entah kenapa rasanya sangat menyebalkan. Kenapa Anggia harus menerima bentakan dari orang yang bukan siapa-siapa. Ia sudah lelah dengan sikap Ayahnya. Kenapa harus ada orang lain lagi yang memperlakukan dirinya kasar seperti itu. "Kenapa?" Tanya Anggia dengan kedua matanya yang memerah. Kejadian kemarin sudah cukup membuat hatinya mati rasa. Kenapa tidak ada orang yang lebih lembut padanya. Anggia mengalihkan tatapannya ke arah lain. Karena tak kuasa menahan genangan kedua matanya. Langit menarik napas dalam. Ia seharusnya tak membentak gadis itu. Dan membuatnya ketakutan. Tapi ia kesal, ia cemburu pada ketiga sahabatnya Anggia yang bebas menghubungi gadis itu kapan saja mereka mau.  "Ok, maaf." "Permisi kak," Langit menggeleng, "Tolong berikan nomer ponselnya?" "Saya sudah katakan saya ... Arrgghhh!" Tak mau mendengarkan lebih banyak alasan Anggia. Langit menarik pergelangan tangan gadis itu kuat. Ia tak akan melepaskannya. Sebelum gadis itu memberikan nomer ponselnya. "Berikan Anggia!" "Lepaskan kak, sakit." Anggia terus berusaha melepaskan kedua tangannya. Namun siapa dirinya. Langit bahkan bukan saingan ketiga sahabat lelakinya. Apalagi dirinya yang hanya gadis kecil, yang tidak mempunyai kemampuan apapun. Langit tak menjawab. Lebih tepatnya tak ingin menjawab permintaan gadis itu. Percuma, karena hanya akan menambah perdebatan mereka saja.  "Saya suka kamu Anggia? Apa kamu tidak mau mengerti?" Kali ini Langit berkata dengan pelan. Kedua matanya menatap dalam jauh ke dalam kedua mata cantik yang saat ini bahkan tak mau menatap dirinya. "Saya sudah katakan Kak, jangan ganggu saya. Saya mohon." "Bukan itu jawaban yang saya mau, bilang. Ya atau tidak?" "Tidak." Jawab Anggia mantap. Membuat kedua bibir laki-laki itu tersenyum kecil.  Ia perlahan melepaskan tangan Anggia. Namun masih menatapnya lekat. "Baik, gue biarin lo lolos hari ini. Tapi tidak besok. Karena besok Lo harus jawab Ya. Kalau tidak, ketiga temen lo bakal babak belur." Anggia menarik napas lega. Akhirnya laki-laki itu melepaskan dirinya. Ia ingin segera sampai di kelas dan merebahkan kepalanya. Namun, entah kenapa ke dua matanya terasa berkunang-kunang.  Anggia juga merasa kepalanya amat berat. Ia mencoba bertumpu pada dinding sekolah lebih kuat. Namun pertahanan itu sepertinya tidak berhasil. Ia limbung, dan jatuh ke lantai koridor. "Anggia!" Teriakan Gara yang baru datang. Membuat Langit memutar dirinya. Ia kembali melihat ke arah Anggia. Dan saat itu juga kedua matanya membelalak lebar. "Anggia..."  Gumamnya, ia segera melangkah lebar. Bahkan hampir berlari.  "Minggir lo!" Langit menepis tangan Gara. Ketika laki-laki itu hendak mengangkat tubuh lemah Anggia. Membuat Gara mendengus jengah. Sejak kapan ia tidak boleh menjaga sahabatnya.  "Apa lo?!" Serang Langit. Ketika melihat Gara hendak protes. Kemudian dengan segera namun amat lembut. Langit mengangkat Anggia dan membawanya ke UKS.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD