He is Langit Angkara

1170 Words
Laki-laki yang terhormat tidak akan menatap perempuan yang bukan miliknya dengan lancang! __Anggia Senja__ *** Anggia dan ketiga teman cowoknya sedang di kantin. Pada jam istirahat seperti sekarang ini memang waktunya antri panjang. "Lah, antri panjang banget." Keluh Gara, laki-laki itu melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Iya sih, mana nih perut udah laper banget lagi," Sahut Teja, ia mengelus perutnya seolah di dalam ada bayi yang sedang menunggu ia kasih makan. "Sabar ya dek ..." Ucapnya menunduk, seolah ia sedang bicara pada calon bayinya. Membuat Anggia tertawa nikmat. "Orang gila!" Raya menjitak kepala sahabatnya itu. "Jangan di ketawain Gi, dia kesenengan tuh, dapet tawa dari lo!" "Yee ... Gue mah sahabat terkeren. Bisa bikin Anggi ketawa. Lah, kalian apaan? Malah bikin kesel aja, iyakan Gi?" Anggia hanya tersenyum saja. Mereka bertiga selalu membuatnya tertawa. Meksipun tawa itu hanya bertahan di sekolah saja. Karena setelah datang kerumahnya. Tawa dan semua sinar ceria di wajahnya akan menghilang begitu saja. "Gi, gimana? Bokap lo udah enggak mukulin lo lagi kan?" Tanya Gara cemas. Ia sebenarnya tidak ingin bertanya hal pribadi pada sahabatnya itu. Namun kejadian beberapa tahun yang lalu. Membuatnya merasa khawatir. Ia takut Anggi menjadi luahan emosi Ayahnya Anggia. Anggia menunduk. "Udah enggak ko, Papah udah enggak mukulin gue lagi." "Bener?" Kali ini Raya yang bertanya. Anggia mengangguk saja. Rasanya kedua matanya jadi memanas jika ingat kejadian itu. Kejadian di mana Ayah yang dicintainya berubah menjadi sesosok monster yang akan membinasakan dirinya. Dulu Ayahnya amat memanjakan dirinya. Namun setelah Ibunya pergi dengan laki-laki lain. Ayahnya berubah menjadi pemarah, dan tak jarang memukul dirinya. Ayahnya bilang, dia mirip dengan Mamahnya sehingga dengan memukul Anggia. Ayahnya seperti merasa memukul Ibunya, yang telah mengkhianati cintanya. Mendadak rasa sesak memenuhi seluruh isi dadanya. Kenapa begini Tuhan! Sekuat tenaga Anggia menelan semua rasa sakit itu. Dia akan berusaha menjadi gadis dewasa. Dia akan berusaha menjadi tegar, sekuat karang. Meski akhirnya akan hancur terkikis laut pantai. "Ebuset! Gue belum ambil makanan!" Teriak Gara, ia melihat pada antrian yang sudah mulai kosong. Kemudian ia melirik Anggia. "Gi, lo diem di sini ya? Kita bertiga bakal antri. Nanti gue beliin makanan buat lo. Awas jangan pergi, soalnya nanti bangkunya diambil orang lain, ok?" Anggia mengangguk saja. Lantas ketiga sahabatnya bergegas kearah antrian Sementara Anggia duduk di sana dengan menatap kearah ponselnya. "Ehem!" Dehaman seseorang membuat Anggia menatap pada sosok tinggi dan tampan di depannya. "Boleh gue duduk di sini?" Langit bertanya. Ia menunggu moment ini cukup lama. Ia menunggu ketiga bodyguard itu pergi. Sedari tadi dari kejauhan ia melihat gadis cantik itu. Dan kini kesempatan sudah di depan mata. Maka Langit tak mau lagi menunggunya. "A-ada apa Kak?" Anggia masih ingat pada sosok tinggi itu. Dia laki-laki yang memaksanya mengajak main badminton kemarin. "Anggia Senja!" Langit duduk di depan gadis itu meski tanpa dipersilahkan. Membuat gadis itu membuka kedua bibirnya hendak protes. Namun ... "Temen-temen lo enggak akan makan di sini! Lo lihat!" Langit menunjuk ke arah ketiga teman laki-lakinya. Saat ini mereka sedang di tahan oleh antek-anteknya Langit. Mereka terpaksa duduk di sana dengan makanannya. Anggia mendengus pelan, benar kata para murid Mutiara. Kalau Langit adalah pemaksa. Langit akan melakukan apa pun yang ia inginkan. "Makan bareng gue!" Langit memberi isyarat pada temannya. Kemudian seorang laki-laki datang dengan nampan yang di atasnya ada makanan untuk Anggia dan dirinya. "Kak ..." "Lo enggak boleh protes. Karena ketiga temen lo bakal babak belur." Anggia menelan salivanya susah payah. Mana bisa ia membiarkan ketiga sahabatnya babak belur oleh antek-anteknya Langit. Ia sangat tahu, kalau Kakak kelasnya itu adalah King Mutiara yang siapa pun tidak ada yang bisa melawannya. Kemudian gadis itu menunduk, tak sanggup melawan tatapan Langit yang seperti ingin menelannya hidup-hidup. Sejak lama Anggia sebenarnya sudah tahu. Kalau Kakak kelasnya yang satu itu selalu memperhatikan dirinya. Tapi ia mencuekannya. Namun kali ini ia merasa kalau Langit berbuat lebih berani padanya. Dan Anggia mulai merasa tak aman. "Kenapa?" Tanya Langit di antara keheningan mereka berdua. "A-apanya yang kenapa Kak?" "Kenapa lo cantik? Kenapa mata lo indah? Kenapa lo goda gue?" Anggia menggeleng jengah, bukan laki-laki ini saja yang berkata Cheese itu padanya. Tapi hampir setiap laki-laki yang bertemu dengan dirinya akan mengatakan hal itu. Dan Anggia benci mendengar nya. Ia benci dikenal hanya karena ia cantik. Ia ingin seseorang atau siapa pun mengenal dirinya karena apa adanya ia. Bukan karena pisik yang di milikinya. "Kalau tidak ada yang ingin kakak bicarakan. Mending diam saja." Ketus Anggia. Meski perutnya lapar. Ia sama sekali tidak menyentuh makanan yang di sediakan Langit untuknya. Si tampan tersenyum. "Sejak pertama kali gue lihat mata lo gue udah suka sama lo! Jadi lo harus tanggung jawab!" "Mata saya ada karena Tuhan, bukan untuk menggoda anda, Kak langit Angkara!" Langit terkekeh, sikap judes gadis itu justru menjadi daya tarik yang tidak di miliki oleh siapa pun. Dan terus terang saja, Langit amat suka. Dia seperti senja yang indah di sore hari. Dia seperti sinar jingga yang Selalu dinantikan setiap napas. Dia ... Anggia senja! Gadis yang telah mencuri hatinya saat pertama kali ia bertemu dan melihat kedua mata bening itu, hidung mancung yang sempurna itu, kemudian dua alis amat cantik itu, dan bibir merah menggoda yang begitu memabukkan itu. Langit serasa hilang akal. Ia ingin memiliki nya. Dan menguasainya. Ia cemburu melihat ketiga sahabat Anggia yang selalu dekat dan bebas berkomunikasi dengannya. Ia juga cemburu melihat para murid laki-laki Mutiara yang bebas melihat wajah cantiknya. Ia cemburu pada apa pun, yang dipegang Anggia. Karena nyatanya ia tidak bisa sedekat itu dengannya. Ia ... "Berhenti menatap saya Kak! Laki-laki yang terhormat tidak akan menatap perempuan yang bukan miliknya selancang Kakak!" Gadis itu terlihat marah. Kedua bibir manisnya bergetar. Dan sorot matanya memperlihatkan aura kemarahan. "Dari itu gue bakal milikin lo! Biar gue enggak di anggap lancang ketika natap lo!" "Kakak stres!" Anggia hendak berdiri. Namun sebelah tangan Langit menahannya. Hingga membuat gadis cantik itu terduduk kembali. "Makan bareng saya Anggia senja!" Tegas Langit penuh penekanan. "Kakak tidak bisa maksa saya! Kakak enggak ada hak atas diri saya!" Anggia menepiskan tangan Langit dengan kuat. "Saya bilang makan dengan saya Anggia Senja!" Plakkk! Tamparan panas menyapa wajah tampan Langit. Membuat semua isi kantin menatapnya dengan mulut yang menganga. Termasuk tiga sahabat Anggia yang saat ini melihat di arah sana. Sejak kapan Anggia seberani itu. Apalagi pada sosok langit yang notabenenya King Mutiara, laki-laki yang selalu disegani para murid laki-laki. Karena mereka tahu Langit adalah anak dari pemilik sekolah. Kemudian digilai para murid perempuan karena wajah tampannya. Langit terdiam, ia memegang wajahnya yang terasa panas. Ia menatap Anggia tajam. Seolah gadis itu adalah buruannya saat ini. "Lo udah nyulut api gue Anggia senja! Lo, jangan harap bisa lari dari gue." Langit mendekat. Membuat Anggia gemetar. Jujur ia takut, ia tadi refleks. Kenapa sih tangannya malah nampar laki-laki itu? "K-kak ma-maaf. " Gadis itu menunduk dalam. Dengan kedua tangan memegang ujung roknya. "Ma..." Anggia membulatkan kedua matanya. Karena tiba-tiba dengan gerakan cepat. Langit menarik dirinya dengan begitu mudah. Sehingga saat ini ia sudah berada di dekap erat kedua lengan kokoh itu. "Mine!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD