Keinarra Love Story - 1

2171 Words
Kei menatap deretan high heels cantik di depannya tanpa minat. Hal yang biasanya berhasil membuat mood yang tengah koyak, bisa kembali pulih dengan berburu ini dan itu dipusat perbelanjaan. Sayangnya, nyaris satu bulan ini semangatnya seolah menguap. "Gue ajakin lo shopping, bukan bengong!" Sebal Citra dengan beberapa pasang high heels buruannya yang sudah berada di dalam pelukan, "lo kesambet apa gimana sih Kei? Gue merasa kehilangan sosok Kei yang dulu," ucapnya dengan bibir mencebik. Mendengkus, Kei memilih sepasang high heels berwarna peach yang cukup menarik perhatiannya, "udah?" Tanyanya pada Citra yang masih merengut, "ayo bayar, abis itu gue mau pulang," Kei melangkah menuju kasir, meninggalkan Citra yang mengerjap-ngerjapkan mata tak percaya. "What? Pulang? Serius Kei? Kita baru satu jam di sini," protes Citra yang segera mensejajarkan langkah dengan Kei. Mengedikkan bahu tak acuh, Kei menunggu antrian, menatap Citra yang berdiri di sampingnya, "gue capek, mau balik." Mulutnya sudah gatal ingin kembali melayangkan protes, tapi terpaksa Citra telan kembali semua kekesalannya saat menangkap wajah murung sahabatnya.  Setelah shopping yang merupakan rekor tercepat menurut Citra. Mereka benar-benar pulang, ke rumah Kei lebih tepatnya, dengan Citra yang kini mendudukkan diri di sofa panjang dekat jendela yang berada di kamar Kei. Sebuah sketsa wajah yang terbingkai dan di letakkan di atas meja nakas samping tempat tidur, membuat Citra tertarik, dan membuatnya beranjak dari tempat duduk.  Meraih bingkai tersebut, Citra mengerutkan kening melihat sketsa wajah seorang pria yang tampak asing di matanya. Kembali melangkah ke arah sofa dengan bingkai sketsa wajah yang tak dikenalnya, Citra mendudukkan diri lagi di atas sofa dengan kaki berselonjor santai. Suara pintu kamar mandi yang terbuka berhasil mengalihkan atensi Citra dari bingkai tersebut ke arah sahabatnya yang tampak lebih segar dengan wajah yang telah bersih dari make up. Rambut panjangnya tercepol asal, dengan tubuh terbalut tank top pink dan hot pans berwarna putih. Sementara sebuah handuk kecil, terkalung dileher. "Ini siapa Kei?" Tembak Citra langsung karena tak lagi bisa membendung rasa penasarannya. Membuat Kei yang nyaris menuju meja riasnya menjadi urung. Berbalik arah dan mengayunkan langkah ke tempat Citra. Menurunkan posisi kakinya yang tadi berselonjor santai, Citra membiarkan Kei menduduki posisi di sampingnya.  Alih-alih menjawab, Kei justru mengambil alih bingkai berisi sketsa wajah seorang pria dengan tatapan kagum dan bibir yang terus merekahkan senyuman. "Ye ... Gue tanya malah halu nggak jelas lo," kesal Citra yang berhasil membuat Kei meluruhkan senyumannya dan menatap sebal. "My hero," jawabnya singkat dan memberi kecupan pada bingkai tersebut, hingga membuat Citra membelalakkan mata. "Astaga ... Jangan bilang, lo bucin sama penolong lo ini?" Tanyanya ngeri yang justru diangguki penuh semangat oleh Kei. Citra tentu saja tau peristiwa yang menimpa Kei seusai pesta ulangtahun Mona. Jantungnya nyaris pontang-panting saat mendengar kabar Kei menjadi korban begal. Om Arifin bahkan sempat tak sadarkan diri, beruntung, Kei dalam keadaan baik-baik saja saat mereka berbondong-bondong mendatangi rumah sakit yang menjadi tempat Kei di rawat. Sesampainya di sana, yang ia temukan justru sahabatnya tengah duduk di samping ranjang perawatan yang di isi oleh seorang pria asing. "Gue ... Bingung." Suara Kei membuat Citra kembali menginjak kesadaran setelah sebelumnya terlempar dalam lamunan, "bingung kenapa?" Tanyanya dengan satu alis mata terangkat. Mengela napas berat, Kei menyandarkan kepalanya di bahu sahabatnya yang masih memberi tatapan heran pada tingkahnya yang duduk meringkuk dengan tangan memeluk erat bingkai berisi sketsa wajah penolongnya, "gue pengen ketemu dia lagi, Cit," aku Kei dengan tatapan menerawang. "Buat apaan? Bilang makasih? Atau kasih imbalan? Lo bilang dia nolak pas om Arif kasih duit satu koper." "Iya, dia bilang ikhlas bantu gue. Pas besoknya ke rumah sakit, mau jenguk dia lagi. Taunya udah nggak ada. Galau gue," keluh Kei dengan bibir mencebik. "Galau kenapa?" "Pengen ketemu dia tapi nggak tau di mana?" "Lo ngelawak? Lo minta artis ternama datang ke rumah juga pasti bisa, tinggal rengek sama bokap doang. Apalagi ngorek info soal itu cowok," Citra mengibaskan tangan sambil lalu dengan wajah meremehkan, "gampang, kaya ngorek upil dilubang hidung." Kei menegakan posisi duduknya, menabok pelan bahu sahabatnya yang memelotot kesal, "nggak ada perumpamaan lain apa?" "Ye! Itu udah paling pas!" Kesal Citra yang kemudian terkejut saat Kei tiba-tiba memeluknya begitu erat. "Thanks, Cit, lo memang sahabat yang paling bisa diandalkan." Meski mendengkus sebal, tapi Citra ikut senang karena wajah Kei tak lagi muram. "Sekalinya jatuh cinta, lo pilihnya yang agak ribet ya Kei? Kenapa nggak cowok-cowok yang antri mau sama lo aja sih biar gampang?" Melepas pelukan, Kei mencebik, "hati tuh nggak bisa disuruh, dia yang milih sendiri maunya sama yang mana?" Jawabnya sok bijak yang membuat Citra memutar bola mata malas, sementara Kei hanya terkekeh puas. ***  Kei menatap pintu kokoh dengan ukiran rumit di depannya. Mencoba membukanya menggunakan lengan karena tangannya tengah memegang nampan berisi s**u jahe dan biskuit kelapa kesukaan sang papa.  Setelah bersusah-payah, pintu ruang kerja berhasil terbuka, membuat Kei bisa melenggang masuk ke dalam. Dan mendapati sang papa yang tengah menunduk, fokus membaca laporan pekerjaan yang tak pernah ada habisnya.  Mengela napas, Kei mengayunkan langkah, mendekat kearah papanya yang belum juga sadar dengan kehadirannya karena terlalu fokus. "Pa," panggil Kei pelan, tak ingin mengejutkan sang papa yang langsung mengangkat wajah dan mengalihkan atensinya dari laporan kearah putri semata wayangnya yang tengah melempar cengiran di seberang meja, dengan nampan berisi cangkir yang menguarkan aroma minuman favoritnya, serta piring kecil berisi beberapa keping biskuit yang juga ia suka. Melapas kacamata baca, Arifin menyandarkan punggung pada sandaran kursi kerjanya sembari bersedekap tangan, memicingkan mata, menatap penuh curiga pada perhatian putrinya yang sangat tak biasa. Dan sudah ia hafal, karena tengah menginginkan sesuatu. Selain dengan merengek, Kei biasa memberinya sogokan secangkir s**u jahe dan biskuit kelapa yang dulu, biasa istrinya suguhkan saat ia tengah sibuk bekerja.  Arifin yang dulu penggila kopi, dan bisa menghabiskan beberapa gelas untuk menemaninya begadang menyelesaikan pekerjaan. Membuat sang istri mengkhawatirkan kesehatannya. Lalu menyuguhkannya s**u jahe dan biskuit kelapa kesukaan istrinya itu. Setelahnya, ia menjadikan dua hal tersebut sebagai favoritnya. Terutama, saat merindukan mendiang istrinya. "Mau ganti mobil lagi?" Tebak Arifin yang justru membuat Kei mencebikkan bibir. "Bukan Papa," ucap Kei sembari meletakan nampan ke atas meja. Sebelum kemudian menyuguhkan cangkir berisi minuman kesukaan sang papa beserta camilannya. "Lalu?" Tanya Arifin dengan satu alis terangkat, menatap heran sekaligus penasaran, tentang apa yang tengah di inginkan putrinya kali ini. Mendudukkan diri di kursi kosong berhadapan dengan papanya. Kei memeluk nampan sembari tersenyum malu-malu, "Pa ...," Mulainya, kemudian berdeham untuk membulatkan tekat yang nyaris terkoyak ragu, "papa ingat sama orang yang udah nolongin Kei?" Menganggukkan kepala, Arifin memilih untuk menyesap minuman yang dibawakan putrinya selagi masih dalam keadaan hangat. Menyingkirkan ragu, Kei berusaha tak gentar untuk mengutarakan keinginannya. Lagipula, sejak kapan ia ragu-ragu seperti sekarang? Bukankah sudah terbiasa mengucapkan apa yang ia inginkan? "Kei ... Mau ketemu sama dia lagi." "Untuk?" Tanya Arifin setelah meletakan kembali cangkir di atas meja, "dia tidak mau menerima hadiah dari papa sebagai ucapan terima kasih. Seratus juta memang tak sebanding dengan apa yang sudah ia lakukan untuk kamu. Kalau pun minta lebih dari itu, Papa juga nggak akan keberatan untuk kasih." "Mungkin ... Dia nggak suka dikasih uang Pa." Terkekeh, Arifin menatap jenaka putrinya yang cemberut, "zaman sekarang, mana ada orang yang nggak suka uang?" "Ya pasti ada Pa, buktinya yang nolongin aku itu. Dia nggak silau sama uang papa. Lebih memilih ucapan terima kasih daripada koper berisi uang seratus juta." Meski enggan, Arifin akhirnya menganggukkan kepala. Menyetujui perkataan putrinya, "terus untuk apa kamu cari informasi tentang dia?" "Pa, Kei rasa ... Kei suka sama dia."  Arifin terdiam menatap wajah tegang putrinya setelah mengungkapkan hal yang cukup mengejutkan. Ini, adalah kali pertama Kei membicarakan masalah perasaan pada lawan jenis. Karena selama ini, putrinya tampak tak acuh pada pria. Membuat Arifin sempat bingung, haruskah dia senang atau sebaliknya? Karena diusia seperempat abad, Kei tak pernah sekalipun memperkenalkan sosok pria sebagai kekasih apalagi calon suami. Ia sendiri tak pernah mendesak putri semata wayangnya itu untuk segera memiliki pendamping. Meski ada beberapa anak rekan bisnisnya yang terang-terangan menyukai Kei. Tapi anaknya itu terlalu cuek dan tak berminat. "Pa, nggak masalah kan, kalau Kei suka sama orang biasa? Maksudnya, bukan yang ... Ya Papa pasti paham. Kalau penolong Kei itu terlihat dari kalangan yang bukan seperti papa. Duh, gimana sih jelasinnya?" Keluh Kei sembari menggaruk pipinya sendiri dengan wajah frustasi. Pemandangan yang membuat Arifin terkekeh, gemas pada putri kecilnya yang telah tumbuh dewasa. Tapi di matanya, Kei adalah bidadari kecilnya. "Papa mengerti maksud kamu," ucap Arifin yang berhasil menenangkan Kei, "kadang, harta tak menjamin kebahagiaan. Meski itu juga hal yang dibutuhkan dalam hidup. Intinya, bagaimana kita bisa merasa cukup dan membangun kebahagiaan dengan cara sendiri. Dalam kesederhanaan sekalipun." Kei menganggukkan kepalanya, mendengar pesan yang disampaikan sang papa, "jadi, nggak masalah kan, kalau Kei suka sama dia?" Mengedikkan bahu tak acuh, Arifin kembali terkekeh melihat wajah cemberut putrinya, hal yang bisa menjadi obat disaat rasa lelah tengah dirasakannya. Sekaligus penyemangat dalam hidupnya. "Nggak masalah kalau kamu suka dia. Yang jadi masalah itu ...." Arifin sengaja mengagntung ucapannya, membuat Kei penasaran sampai mencondongkan tubuh. "Itu apa Pa?" Tanyanya tak sabar. "Yang jadi masalah itu, dia suka nggak sama anak papa yang manja dan cerewet ini?"  "Papa ... Ih, kok ngeselin," rajuk Kei yang langsung bangkit dari posisi duduknya dan memutari meja kerja sang papa. Mengalungkan lengannya dibahu pria yang amat sangat ia cintai itu. Memeluknya dari belakang dan menyandarkan kepala pada bahu yang masih terasa kokoh meski usianya tak lagi muda, "jadi papa mau kan ... Cari informasi tentang dia?" Rengeknya dengan wajah bak anak kucing yang terkena hujan di pinggir jalan sendirian.  Arifin berdecak, jika putrinya sudah merengek seperti itu, mana bisa ia menolak? "Biar orang kepercayaan Papa yang nanti cari informasinya." Wajah Kei langsung sumringah mendengar ucapan papanya yang secara tak langsung telah memberikan dukungan padanya, "makasih Papaku yang paling tampan dan baik hati sedunia sampai luar angkasa," celotehnya sembari memberikan ciuman di pipi papanya bertubi-tubi hingga pria paruh baya itu tergelak. ***  Menundukkan wajah, Kei menatap sebuah berkas yang berada di tangannya. Menampilkan profil sesosok pria yang nyaris satu bulan lebih mengusik pikirannya. "Adhitama Pradana," bisiknya dengan bibir yang membentuk senyuman. Sebelum kemudian menutup berkas tersebut dan mengalihkan pandangannya pada sebuah bengkel yang tak lagi terlihat terlalu sibuk seperti sebelumnya. Mungkin, karena sekarang sudah masuk jam makan siang.  Sudah lima belas menit Kei bertahan di dalam mobilnya, memerhatikan dari jauh keadaan bengkel yang menurut informasi, adalah tempat kerja pria yang telah menolongnya. Adhitama Pradana, dua bersaudara yang kemudian menjadi tulang punggung untuk ibu dan adik perempuannya setelah kematian sang ayah dua tahun lalu. Bekerja sebagai salah satu montir di bengkel yang terlihat cukup besar. Kei mengetuk-ngetuk jari telunjuknya pada setir, tengah menimbang, apakah hari ini ia cukup melihat tempat kerja pria itu, atau ... Turun dan menemuinya secara langsung? Tapi ... Apa tindakannya tak terlalu tergesa-gesa? Oh, astaga! Ini benar-benar menyebalkan! Sebelumnya, Kei tak perlu merepotkan diri seperti ini. Karena semua pria yang selama ini berlomba mencari perhatian darinya. Menyugar rambut panjangnya yang pada bagian ujung dibentuk carly, Kei meraih kacamata hitam dari atas dasbor. Baiklah, sosok yang dia cari-cari sudah di depan mata. Lalu, kenapa dia harus menunggu lebih lama lagi? Mengenakan kacamata hitam, Kei menatap pantulan dirinya pada kaca spion dalam. Merekahkan senyuman hingga bibir terpoles lipstik merah itu tampak kian mempesona.  Mengais keberanian yang sebelumnya tercecer, Kei akhirnya menyalakan mesin dan mengendarai mobil yang sebelumnya hanya terparkir di seberang jalan. Melajukannya untuk memasuki area bengkel tersebut. Semua orang meletakan atensi pada mobil Ferarri merah yang begitu mencolok. Belum usai rasa penasaran yang bercokol di kepala terjawab, tiba-tiba saja, atap mobil yang meneriakkan kata mahal itu terbuka. Memperlihatkan pengemudinya yang ternyata seorang wanita cantik. "Astaga ... Kenapa ada bidadari nyasar siang bolong?" Randi segera berkaca pada spion mobil yang baru saja diperbaikinya, "dia jatah gue ya, lo semua belum ada keahlian berhadapan sama wanita cantik soalnya." "Ah, lo mah curang! Paling depan kalau urusannya sama yang bening-bening," protes salah seorang rekan kerjanya. "Tau, biar aja, kita liat, siapa yang bakal beruntung layanin dia." Sahut rekannya yang lain. Mendengkus, Randi memberengut kesal pada teman-temannya yang tak mau memberinya jalan dengan bebas. Karena mereka pun, ingin melayani sosok cantik tersebut. Perdebatan yang sempat terjadi tiba-tiba lenyap. Semua mata kembali memfokuskan pandangan, pada sosok cantik yang baru saja turun dari mobilnya. Dan berhasil membuat para pria itu membeku dengan tatapan terpesona. Pada Kei yang tampak cantik dengan dress merah di atas lutut model sabrina, begitu kontras dengan kulit putihnya. "Itu beneran orang? Bukan manekin hidup?" Celetuk salah seorang pegawai yang tak lepas memandangi Kei yang kini melangkah anggun. Dengan gesit, Randi yang tak ingin kecolongan dengan rekan kerjanya yang lain langsung menyongsong kedatangan calon pelanggan yang membuat alarm playboy-nya memekik nyaring. "Selamat siang, selamat datang di bengkel kami. Ada yang bisa saya bantu, Nona?" Sapa Randi ramah, tak lupa tersenyum manis hingga memperlihatkan lesung pipit yang cukup dalam di bagian pipi kirinya. Hal yang biasanya mampu membuat para wanita terpesona. Memperbaiki letak sling bag hitam yang berada di bahu kirinya, Kei menatap sosok pria yang mengenakan pakaian montir yang di beberapa sisi terdapat bercak oli. Membuka kacamata hitam dan meletakkannya di atas kepala, Kei tersenyum kecil, tapi mampu membuat Randi kepayahan memenangkan degup jantungnya yang berdetak kencang, seperti akan mendobrak rongga dadanya. "Siang, saya ... Ingin bertemu dengan seseorang," ucap Kei langsung, tak suka berbasa-basi seperti biasanya. "S—siapa?" Gagap Randi karena gugup. s**l, ini pertama kalinya dia mati kutu di depan seorang wanita. Jiwa playboy-nya yang biasa menghadapai wanita tiba-tiba tak bekerja seperti biasanya. Kei mengangkat dagu dengan senyuman yang selalu bisa membuat ketenangan para pria luluh lantak padanya, "Adhitama Pradana," ucap Kei tenang, tapi berhasil membuat semua orang membelalakkan mata tak percaya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD