Keinarra Love Story - 2

2277 Words
"Dhi!" Seseorang yang menyerukan namanya, membuat Adhi yang tengah berjalan sembari menundukkan kepala karena tengah membalas pesan yang dikirimkan oleh kekasihnya, kemudian mengangkat wajah. Kening pria itu mengernyit bingung saat mendapati salah seorang rekan kerjanya yang berlari menghampiri. "Lo ngapain lari-lari kaya dikejar razia, Gus?" Tanya Adhi sembari memasukan ponsel miliknya ke dalam saku celana. "I—itu, ada yang—nyari lo!" Meski kepayahan karena napasnya yang terengah-engah, Bagus, pria berambut cepak itu akhirnya bisa membuka suara. Mengangkat satu alis mata, Adhi menatap rekan kerjanya dengan heran, "si Bos?" Tebaknya yang mendapat jawaban berupa gelengan kepala, "oh ... Salah satu pelanggan yang mobilnya gue tangani? Siapa? Ada tiga mobil yang gue pegang sekarang," jelasnya, tapi Bagus lagi-lagi memberikan jawaban berupa gelengan kepala, "ck, terus siapa yang nyari gue?" Tanyanya yang kian kebingungan. "Gue nggak tau namanya, Dhi, ngupingnya kurang lengkap. Keburu semangat nyari lo. Tapi sekarang lagi disabotase sama si Randi yang nyariin lo itu." Adu Bagus dengan wajah tertekuk masam, "tau sendiri sohib lo yang satu itu gimana." "Yang nyari gue ... Cewek?" Tanya Adhi mencoba memastikan sesuatu, setelah mendengar penjelasan Bagus, jika sekarang Randi tengah mengambil alih perhatian seseorang yang sedang mencarinya, "cantik?" Tanyanya lagi dan diangguki penuh semangat oleh Bagus. "Astaga, Dhi. Lo kenal di mana sih itu cewek? Cantiknya bikin semua orang deg-degan. Kaya artis-artis yang sering nongol di tv. Kulitnya bening banget, mulus lagi, kaya manekin." Celoteh Bagus dengan menggebu-gebu yang membuat Adhi justru kian bingung tentang sosok asing yang tiba-tiba mencarinya. Dan pastinya, sosok tersebut bukanlah adik atau kekasihnya. Karena rekan kerjanya yang lain sudah tau sosok adik dan kekasihnya yang memang sesekali datang untuk membawakan makan siang untuknya. "Gue beneran nggak tau," ucap Adhi jujur, "kita ke depan, tamu gue itu masih ada kan?" Tanyanya yang diangguki penuh semangat oleh Bagus.  Keduanya kemudian berjalan beriringan, dengan Bagus yang kembali berceloteh panjang tentang wanita cantik itu. Adhi sendiri benar-benar tak tau, siapa sosok tersebut? Tadi dia ke kamar mandi, sebelum bersiap untuk makan siang bersama rekan-rekannya yang lain. Tapi setelah selesai, ponselnya berbunyi yang menandakan adanya pesan. Dan saat membalas pesan dari kekasihnya yang meminta maaf, tak bisa mengantarkan makanan karena ada pekerjaan yang belum diselesaikannya. Adhi justru dikejutkan dengan kehadiran Bagus yang begitu tergopoh-gopoh dan memberitahukan tentang tamu misterius yang tak ia tau siapa sebenarnya? "Tuh, lihat?" Tunjuk Bagus pada kerumunan beberapa rekan kerja mereka, dengan Randi yang berhadap-hadapan dengan seorang wanita yang wajahnya tak bisa Adhi liat, karena posisi wanita tersebut berdiri membelakanginya, "si Randi masih belum kelar juga dari tadi. Masih aja tebar-tebar pesona nggak jelas. Nggak kapok minggu lalu dua pelanggan perempuan di bengkel kita jambak-jambakan, gara-gara jadi korban playboy cap kutu kupret satu itu!" Dengkus Bagus kesal dengan kelakuan rekan kerjanya. Jika bukan karena keponakan pemilik bengkel ini, ia yakin, sudah sedari dulu Randi di depak dari sini. Bukannya dia iri, hanya saja masih kesal, karena wanita yang ia suka justru tergila-gila pada Randi. Tapi playboy itu hanya bersama dengan pujaan hatinya selama dua minggu. Dan pelanggan wanita yang Bagus suka, tak pernah lagi datang ke bengkel ini sejak saat itu, "lo ngapain bengong, Dhi? Sana samperin, sebelum itu mbak cantik jadi korban berikutnya si Randi." "Lo yakin, wanita itu nyari gue? Bukan yang lain?" Tanya Adhi yang masih ragu. Meski hanya melihat dari bagian belakang, ia merasa tak memiliki teman, kenalan, atau pun pelanggan seperti wanita tersebut. Pelanggan Adhi kebanyakan pria paruh baya. Karena jika ada wanita muda, sahabatnya yang langsung mengambil alih. Ia sendiri tak ambil pusing soal itu. Karena kewajibannya di sini adalah bekerja, bukan untuk menggoda wanita. "Beneran gue, Dhi. Masa gue bohong? Orang mbaknya sendiri yang nyebut nama lo. Secara lengkap lagi. Adek lo aja nggak hafal nama panjang lo siapa?" Kekeh Bagus saat dulu ada dua orang yang bernama Adhi di tempat ini. Lalu adik Adhi datang dan mencari kakaknya untuk mengantarkan makan siang pertama kalinya. Gadis remaja itu kebingungan saat ditanya nama lengkap kakaknya karena di bengkel ada dua orang pria yang bernama Adhi, "gue masih pengen ketawa aja kalau ingat itu, adek lo parah amat, nama kakak sendiri nggak hafal?" "Dia cuma hafal nama-nama idolanya aja," jawab Adhi sembari mengedikkan bahu tak acuh, "kayakanya udah ditangani sama Randi. Kita cari makan siang aja, Gus." Ajaknya yang kemudian mendapat tatapan protes Bagus. Pria itu menggelengkan kepala, menolak ajakan Adhi yang ingin pergi sementara ada sosok cantik tengah mencarinya, dan kini di hadapkan dengan playboy cap kutu kupret, "samperin dulu mbaknya, kasihan udah jauh-jauh nyari lo. Siapa tau beneran ada hal penting." "Gue beneran nggak kenal siapa dia," jawab Adhi yang mengela napas panjang. Bagus tiba-tiba meraih lengan kanan Adhi dan menarik pria itu untuk mendekati wanita yang masih berbicara dengan Randi. Dari jarak yang kian dekat, kini obrolan mereka bisa tertangkap pendengaran. Dan benar saja, pria itu sedang meluncurkan modus yang biasa digunakan untuk menjerat wanita yang tengah di incarnya. "Ini yang namanya Adhitama Pradana, Mbak!" Seru Bagus dengan suara lantang, sementara tangannya masih memegangi lengan Adhi yang tak bisa mengelak, saat di dorong olehnya dan kini berdiri di samping Randi yang tengah memelotot kesal. Pria itu pasti sebal karena modusnya terganggu, "lo nggak makan siang, Ran?" Tanya Bagas kalem, tak memedulikan wajah keruh rekan kerjanya itu. Meski dalam hati, ia tengah bersorak kegirangan. Merasa puas karena bisa mengganggu pria yang selalu tebar pesona. "Lo sendiri? Kenapa nggak makan siang?" Tanya Randi balik dengan nada kesal yang tak di tutup-tutupi. "Loh, kan gue panggil Adhi dulu tadi. Kan si Mbaknya nyari teman kita yang satu ini. Lo bukannya panggilkan, malah asyik sendiri." "Ck, itu urusan gu—" "Hai, kamu masih di sini?" Suara lembut yang terdengar antusias itu menginterupsi kekesalan Randi pada Bagus, rekan kerjanya yang sudah mengganggu. Dia nyaris mendapatkan nomor ponsel wanita cantik di depannya, dengan alasan akan menyampaikan pesan pada Adhi yang kebetulan pulang lebih cepat. Adhi menatap wajah wanita asing yang terlihat begitu berbinar saat bertemu dengannya. Atau mungkin, itu hanya perasannya saja? Astaga, sejak kapan seorang Adhi memiliki tingkat kepercayaan diri yang begitu tinggi seperti Randi? Atau bisa jadi, ia mulai tertular sahabatnya itu? "Gue emang di sini," jawab Adhi santai, tapi kemudian mengerutkan kening bingung saat melihat wajah wanita asing itu memerah dan mengerjap-ngerjapkan mata secara menggemas—astaga! Apa yang dia pikirkan? Bisa-bisanya berpikiran seperti itu pada wanita lain. Padahal, ia sudah memiliki kekasih.  Sayangnya, tak bisa Adhi pungkiri, jika apa yang tadi Bagus ucapkan dengan begitu menggebu-gebu tentang sosok wanita di depannya ini memang benar. Dia ... Cantik. Tapi hanya sebatas itu, karena kekasihnya tetap spesial di mata Adhi. Berdeham, Kei berusaha untuk menenangkan degup jantungnya yang berdetak begitu kencang. Ia cukup kepayahan menenangkan diri. Padahal, pria yang sudah mengusik tidurnya setiap malam, tampak berdiri tak acuh padanya. Berbeda dengan rekan kerjanya yang lain, terutama pria bernama Randi yang tadi sempat memperkenalkan diri dan berceloteh panjang. Sayangnya, tak ada satu pun yang terserap di kepala Kei selain informasi mengenai Adhitama Pradana. Tunggu! Seingat Kei, Randi sempat bilang jika Adhi, nama panggilan pria yang kini berdiri di hadapannya sekarang, tiba-tiba harus pulang lebih cepat karena sakit. "Tadi, Randi bilang kamu pulang karena—" "Lo kok masih maksain diri tetap kerja sih?" Randi yang tau ke mana arah pertanyaan yang hendak Kei ucapakan, segera memotong pembicaraan tersebut, "perut lo masih kerasa panas?" Adhi menatap Randi seolah temannya itu baru saja tumbuh tanduk di atas kepalanya.  Ck! Omong kosong apa lagi yang sahabatnya sebarkan, hanya agar menarik perhatian wanita incaran pria itu? "Memangnya, kamu sakit apa?" Tanya Kei dengan wajah yang begitu khawatir. Membuat ketiga pria yang tengah meletakkan atensi padanya, mengerjap bingung. Tak terkecuali dengan Adhi, yang juga tak mengerti dengan sikap Kei yang baginya tak wajar, bagi seseorang yang tak saling mengenal. "Gue nggak—" "Adhi mencret, Kei. Tadi sarapan bubur sambalnya tujuh sendok!" Jawab Randi asal yang mendapat pelototan dengan makna yang berbeda dari Adhi dan Kei. Jika Kei terbelalak karena terkejut, Adhi lebih ke arah kesal hingga gatal ingin mengguyur kepala sahabatnya itu agar bisa lebih waras. "Makan pedas di pagi hari itu nggak baik," ucap Kei dengan wajah khawatir, "kita ke rumah sakit aja ya? Nggak boleh dianggap remeh, termasuk diare sekali pun."  Adhi nyaris membuka suara tapi kemudian bibirnya kembali terkatup, saat sebuah tangan mungil yang begitu halus menggenggam erat tangan besar dan kasar miliknya, "tolong izinkan Adhi sama bosnya ya, Ran? Aku mau bawa dia ke rumah sakit sekarang." Ucap Kei panik dan segera menarik Adhi untuk ikut bersamanya. Meninggalkan dua pria yang hanya bisa terbengong di tempatnya. Kei nyaris membukakan pintu untuk Adhi, tapi gerakannya ditahan oleh pria itu, sekaligus melepas genggaman tangan mereka. "Maaf Nona, sepertinya ada kesalahpahaman di sini," mulai Adhi sembari menatap wajah kebingungan wanita di depannya, "teman gue berbohong, dan jangan tanya sama gue kenapa dia melakukan itu. Yang jelas, gue nggak sakit diare atau apa pun. Sebentar lagi waktu makan siang akan habis, itu artinya gue harus kembali bekerja." Jelasnya sebelum kemudian berniat untuk kembali ke bengkel, tapi baru saja akan beranjak pergi, langkahnya tertahan karena lengan kanannya dipeluk secara tiba-tiba. "T—tunggu!" Cegah Kei yang tak mau Adhi pergi begitu saja, bahkan ketika ia belum menyampaikan apa tujuannya menemui pria itu, "aku tidak akan mempermasalahkan temanmu yang berbohong," Kei mengerjap-ngerjapkan mata, gadis itu meneguk ludah kelu dan tak bisa melanjutkan ucapannya saat mendapati tatapan tak bersahabat yang Adhi layangkan pada kedua tangannya yang masih memeluk erat lengan kanan pria itu. Berdeham canggung, Kei melepas pelukannya dan mundur satu langkah untuk menciptakan jarak di antara mereka, "aku ingin berbicara denganmu." Menaikan satu alis dengan wajah datar, Adhi mengela napas panjang. Membuat Kei berdiri tak nyaman karena pria itu benar-benar memperlihatkan rasa tak suka padanya. Yang mungkin saja kesal karena merasa terganggu dengan kehadirannya yang tiba-tiba di tempat kerja pria itu. Hal yang membuat Kei merutuki diri sendiri. Seharusnya, ia bisa bersabar. Dan membuat pertemuan yang lebih baik, bukan mengganggu Adhi di saat tengah bekerja seperti sekarang.  Tapi mau bagaimana lagi? Kei tak bisa menahan diri. Untuk bisa bertemu dengan penyelamatnya. "Apa yang mau lo bicarakan?" Kei yang sebelumnya menundukkan kepala, mengangkat wajah dan menatap Adhi yang tampak menahan jengkel padanya. Ada rasa sedih yang menggerogoti hatinya, ketika mendengar pria itu berbicara begitu ketus dan benar-benar menempatkannya seperti sosok asing. Hei, bukankah dia memang sosok asing bagi Adhi? Keluh Kei dalam hati. "Maaf Nona, tapi gue benar-benar harus kembali bekerja. Permisi," pamit Adhi tiba-tiba yang dengan segera membuyarkan lamunan Kei. Hingga membuat gadis itu kelimpungan melihatnya bergerak pergi. "T—tunggu!" Cegah Kei yang berjalan mendahului dan kembali berdiri berhadap-hadapan, tapi kali ini sembari merentangkan kedua tangannya yang ia gunakan sebagai penghalang untuk mencegah kepergian Adhi. Pria itu hanya bergeming sembari bersedekap tangan, "kamu ... Lupa sama aku?" Tanya Kei putus asa. Wajah datar yang sebelumnya diperlihatkan Adhi mulai sedikit melunak. Kini pria itu mengerutkan kening bingung dengan raut yang tengah berpikir, "kita pernah bertemu?" Tanyanya ragu, tak mengetahui jika pertanyaan itu berhasil mengoyak perasaan Kei yang harus menelan kekecewaan. Setelah kejadian itu, tak satu hari pun ia melupakan sosok Adhi. Tapi rupanya, hal itu tak berlaku sebaliknya. Karena pria itu melupakannya begitu saja. Apa peristiwa waktu itu tak berarti sama sekali? Jadi, hanya Kei di sini yang tergulung resah? Mengerjap-ngerjapkan mata, berusaha menghalau rasa panas yang mulai terasa di kedua matanya, Kei berdeham, agar suaranya tak berubah parau. Gadis itu berusaha mengais ketegaran yang sudah berceceran, "a—aku, wanita yang dulu pernah kamu selamatkan, saat akan menjadi korban p********n. Memang, itu sudah cukup lama, jadi, mungkin kamu lupa." Kei tertawa hambar, bahkan terdengar menyedihkan untuk pendengarannya sendiri. Adhi terdiam, seolah tengah mencangkul memori yang mungkin sudah terkubur di dalam kepalanya. Dan kini ia cari tau tentang apa yang wanita itu katakan padanya.  Dia pernah menyelamatkan wanita yang masih merentangkan tangan di depannya ini? Benarkah? Tapi kapan? Kei yang sebelumnya merentangkan kedua tangannya untuk menghalangi kepergian Adhi, kini menegakan posisi dengan tangan yang sudah terkulai lemas di masing-masing tubuh, "kamu ... Nggak ingat?" Tanyanya nyaris seperti bisikan. Ia bahkan tak yakin jika Adhi mendengar apa yang ia katakan. "Ingat," ucap Adhi tiba-tiba yang membuat Kei kembali menatapnya dengan antusias, "lalu kenapa?" Tanyanya sembari mengedikkan bahu tak acuh, "bukankah urusan di antara kita waktu itu sudah selesai?" Ya, akhirnya Adhi mengingat peristiwa di mana ia hampir menabrak seorang wanita di jalanan sepi saat tengah malam. Dan ternyata, wanita itu tengah dikejar begal. Membuat Adhi yang kesal karena sosok itu begitu ceroboh dan nyaris tertabrak olehnya, menelan kembali semua kemarahannya. Sebelum kemudian menolong wanita tersebut. Harapan yang sempat membubung tinggi, saat akhirnya Adhi mengingat pertemuan mereka. Harus kembali meluruh dan bertabur kekecewaan, "a—aku, hanya ... Ingin mengucapkan terima kasih," ucap Kei dengan suara parau yang tak bisa lagi ia sembunyikan. Mengingat, kekecewaan yang dirasakannya saat ini begitu menyesakan d**a. Mengembuskan napas, Adhi menatap Kei yang seolah kehilangan binar antusiasnya. Pria itu menganggukkan kepala pelan sebelum kemudian menjawab, "tidak masalah, sudah seharusnya gue membantu. Karena siapa pun yang berada di posisi lo waktu itu. Mau tua, muda, pria, wanita, pasti bakal gue bantu. Nggak mungkin gue tutup mata dan pergi gitu aja, terus biarin orang itu dibegal sama penjahat. Gue bisa dihantui rasa bersalah sepanjang hidup." Kekeh Adhi yang justru kian meluluh lantakkan perasaan Kei hingga hanya bisa tersenyum lemah. "Ya," jawab Kei begitu pelan, "kamu benar." "Kalau begitu, urusan kita sudah selesai bukan? Gue harus balik kerja," dan nggak bisa menikmati waktu makan siang. Hah! Semoga saja perutnya bisa diajak kerjasama dan tak merengek minta di isi selama ia bekerja nanti. Keluh Adhi dalam hati. Tanpa mendengar jawaban dari Kei, Adhi beranjak pergi. Meninggalkan Kei yang masih bergeming di tempatnya berdiri. Setelah beberapa lama hanya terdiam, Kei akhirnya membuka pintu mobil miliknya dan masuk ke dalam. Berusaha sekuat tenaga agar tak menoleh ke belakang, hanya untuk melihat sosok Adhi yang sudah pergi meninggalkannya begitu saja. Meski alasan pria itu masuk akal, karena harus kembali bekerja. Dan tak seharusnya Kei menganggunya. Tapi, ada rasa tak rela yang sulit ditepis. Kei yang sudah mendudukkan diri di kursi kemudi, mulai menyalakan mesin mobil, sebelum kemudian mengendarainya meninggalkan bengkel tersebut. Mencoba fokus mengemudi, meski sesekali menghapus lelehan air mata yang tak lagi bisa ia cegah untuk berebut jatuh membasahi kedua pipi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD