Empat

2194 Words
Aksa berjalan di koridor rumah sakit. Kemudian dia berbelok ke ruangan Alika.  “Bang Aksa?” Alika menyambutnya dengan ceria. Mengenal Alika, Aksa seperti mendapat adik baru yang menyebalkan.  “Kamu kenapa bisa kecelakaan?” tanya Aksa tanpa basa-basi.  Alika malah menggelengkan kepala. Dia enggan bercerita. “Kata Dokter besok aku pulang.” “Pacar kamu si Danu mana?” Alika mendengkus. “Sebenarnya ini ulah Danu.”  “Terus?” Alika pura-pura meringis sembari memegangi dahi. “Ya udah nggak usah dibahas.”  Aksa mencebik dan membuang muka. ‘Harusnya kalau memang nggak suka, gue nggak usah datang buat jenguk Alika. Daripada jadi orang munafik kayak gini.’ Aksa merutuk dalam hati.  Tiba-tiba seorang wanita paruh baya datang dan mendekat. “Mama?” Alika terperanjat. Salah tingkah dia mencoba mencari cara untuk menghindari serangan mendadak dari ibunya.  “Kamu Alika!” pekik wanita itu. “Papa meninggal nggak ngasih tahu? Sekarang kamu kecelakaan juga nggak ngasih tahu, anak nakal.” Wanita itu menarik telinga Alika. “Mama hubungi kamu nggak aktif. Kalau ganti nomor bilang.” Dia terus meracau memarahi anaknya yang tak tahu diri itu.  “Aw sakit, Ma.” Alika mencoba menahan telinganya agar tidak terlepas dari tempatnya. Jari-jemari besar milik ibunya membuat telinga Alika terasa panas dan nyeri.  “Kamu itu pengin bebas dari pengawasan mama, hm? Mau jadi apa?” teriaknya lagi, seolah lupa ini adalah rumah sakit. Dia pun tidak sadar dengan keberadaan pria berpakaian kemeja slimfit berwarna coklat nude.   “Maaf, Ma.” Alika terus meminta maaf, seolah mudah saja kata itu keluar dari mulutnya, bukan dari hatinya. Apa yang dikatakan ibunya memang benar. Alika ingin bebas. Malas sekali punya ibu cerewet seperti wanita itu.  “Mama nggak mau tahu, kamu ikut mama ke Bandung.” “Tapi Ma--” Alika melirik Aksa.  Rania menoleh pada Aksa. “Hei ini siapa?” tanya Rania sembari menoleh pada Aksa. Menatap pria itu dari atas ke bawah.  “Saya Aksa.” Aksa mengangguk ramah. Rania kembali menoleh pada anaknya. “Pantes nggak mau ikut mama. Kamu punya pacar?” goda Rania pada anaknya.  “Maaf Tante. Saya bukan pacar Alika. Permisi.” Aksa memilih pergi dan enggan berbalik, meski Rania memanggilnya. Dia tidak peduli, bersikap tidak sopan adalah caranya untuk menghindari orang tersebut. Segala sesuatu yang berhubungan dengan Alika pasti akan panjang urusannya. Setidaknya Alika aman bersama ibunya.  Kini Aksa berjalan di lorong rumah sakit. Tiba-tiba dia melihat Perawat dan Dokter berhamburan keluar dari sebuah kamar. Cukup lama Aksa berdiri di depan kamar itu. “Kamar mawar nomor 10.” Aksa ingat dengan pesan Freya. Dia segera mendekat ke depan pintu. Mengintip dari kaca yang langsung tertuju pada ranjang pasien. Tanpa menunggu lama. Aksa segera masuk dan berjalan pelan ke arah ranjang. Seorang gadis terbujur kaku tak berdaya dengan selang oksigen, impus dan beberapa alat lainnya.  Jantung Aksa berdebar. Dia mendekatkan wajahnya menatap wajah gadis itu lamat-lamat. Hingga dia terperanjat saat suara Freya mengejutkannya.  “Bang.” Perempuan bergaun satin putih itu tengah berdiri di sebelahnya.  Aksa menoleh menatapnya bergantian dengan perempuan yang ada di atas ranjang.  “Dia siapa? Saudara kembarmu?” tanya Aksa. Apa itu, kasus yang harus Aksa pecahkan? Freya menggeleng pelan. “Itu aku,” lirihnya.  Terkesiap. Mata Aksa seketika membola. Dia mundur menjauhi ranjang. Membuang napas dengan kasar. Ini di luar nalar dan benar-benar tak masuk akal.  Aksa berjingkat memilih pergi ke luar meninggalkan wanita itu dengan segala keanehannya. Dia pikir Freya itu benar-benar hantu. Lalu apa sebutan yang tepat untuknya?  Aksa duduk tak jauh dari kamar Freya. Tiba-tiba dia melihat seorang pria masuk ke kamar itu. “Danu?” Aksa berdiri dan mengintip dari pintu.  Danu menatap Freya yang tak berdaya cukup lama. Sementara arwah Freya berusaha menghalau lengan Danu dari pipinya.  Wajah Danu semakin dekat hendak mengecup.  Aksa masih terdiam pada posisinya. Bukan hak dia untuk melarang Danu melakukan itu, lagi pula dia tidak tahu apa hubungan Danu dengan Freya.  Freya menjerit, tapi Danu tak mendengar sama sekali. Aksa malah merasa khawatir. Setelah Danu keluar dia masuk kembali ke kamar Freya.  Dia mendapati Freya yang sedang duduk di pojok ruangan menyembunyikan wajahnya. Dia teringat dengan gadis tempo hari saat ayahnya meninggal karena di tabrak olehnya. “Apa yang bisa saya lakukan untuk bantu kamu?” ucap Aksa pelan seraya mendekat. Freya mengangkat wajahnya, menatap Aksa cukup lama, kemudian bangkit. Dia menarik napas, lalu tersenyum tipis melihat Aksa yang mulai melunak. Ada gunanya Danu ke sini. “Kamu bisa ikut aku,” ucapnya.  Aksa mengekorinya.  Kini mereka sudah ada di dalam mobil. Aksa terus melajukan mobilnya dan Freya hanya menunjukkan arah.  Siang berganti malam. Malam pun semakin gelap seolah menyelimuti langit biru itu menjadi abu-abu. Udara semakin dingin. Desau angin pun berembus kencang disertai rintikan hujan yang mulai deras.  “Berhenti,” ucap Freya memberi aba-aba. Aksa berhenti di depan sebuah rumah besar. Saat Freya memintanya untuk memasukkan mobil ke halaman rumah tersebut, Aksa menurutinya. Rumah dua lantai bernuansa pastel itu seperti tak berpenghuni. Gelap dan tak ada cahaya sama sekali dari lampu dalam maupun lampu luar.  Aksa terus mengikuti Freya, tanpa banyak bertanya. Lagi pula apa yang harus Aksa tanyakan? Soal Danu? Rasanya tidak. Menurut Aksa itu terlalu pribadi. Pintu terbuka lebar, memberi jalan kepada sang tamu untuk masuk. Aksa berjalan pelan, tiba-tiba lampu rumah terang benderang. Aksa mengedarkan pandangan. Namun, sebuah foto membuatnya terperanjat. Foto besar yang hampir setengah dinding ruang tamu. “Pak Ardi?” gumamnya.  “Iya,” jawab Freya singkat. Sembari mendekat pada foto itu. Freya mendekatkan telapak tangannya pada foto berbingkai dengan debu tebal di bagian permukaan kacanya. “Dia papaku, Ardiwilaga.” Jantung Aksa mencelus. Dia membasahi kerongkongannya. Apa Freya datang untuk membalas dendam karena ayahnya meninggal sebab di tabrak Aksa? “Pagi itu ….” Aksa menyiapkan telinga untuk mendengarkan cerita Freya. Freya menatap foto wajah ayah yang sudah hampir tiga hari menghilang darinya. Dia duduk di tepi ranjang, meraba sprei yang terlihat kusut, masih sama seperti hari pertama saat dia mendapati ayahnya tidak ada di kamar.  Dia merogoh ponsel dari saku piyama, sebuah getaran menandakan ada panggilan masuk. Freya menarik napas. Dia berharap ini adalah kabar baik dari Polisi.  “Halo,” sapanya pelan.  [Fey, ini papa.] Suara serak dari seberang sana membuat jantung Freya mencelus. Apa dia sedang bermimpi? “Papa?” [Iya, Nak. Sekarang papa di rumah sakit. Ada orang baik nolongin papa. Kamu cepat ke sini.] Jelas sekali itu benar-benar suara Ardiwilaga.  Freya berdiri. Dia berlari ke kamarnya untuk mengganti baju. Menjalankan mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Sungguh dia ingin cepat sampai ke rumah sakit untuk bertemu dengan ayahnya.  Sesampainya di sana. Freya memeluk ayahnya. Menangis dalam dekapan. “Papa ke mana aja?” Dada Ardiwilaga sakit melihat kesedihan anaknya. “Papa disekap Danu dan teman-temannya.” “Danu?” Freya mengernyit dan menjauhkan tubuhnya, lalu dia menarik kursi dan duduk di sebelah ranjang.  “Iya, anak Anton rekan bisnis papa. Mereka bangkrut gara-gara kalah tender dari perusahaan papa.”  Freya menarik napas. “Aku harus melaporkan dia.” “Kamu sudah kasih tahu om Irwan?” Freya menggelengkan kepala.  “Fey,  kamu harus jaga diri.” Napas Ardi terengah. “Papa takut Danu akan mencelakakan kamu.” Freya mengangguk.  “Fey, papa takut nggak bisa nemenin kamu lagi.” “Papa nggak boleh ngomong kayak gitu,” Freya terisak. “Papa sudah menulis surat untuk orang yang sudah bawa papa ke sini.” Freya mengambil kertas yang di sodorkan Ardi. “Tolong kamu berikan ke dia. Namanya Aksa.” Freya membacanya. Dia agak terkejut dengan isi surat tersebut. “Aku bisa jaga diriku sendiri, Pa. Aku janji akan balas semua perbuatan Danu ke Papa.” Ardi menggelengkan kepala. “Papa yakin Aksa pria yang baik. Tolong ya, Nak.” Ardi mengusap rambut anakanya. “Papa ingin kamu ada yang melindungi.” “Ada Nino, ‘kan, Pa.” “Kamu, ‘kan tahu, dari dulu papa nggak setuju kamu sama dia.” “Pa ….” Freya memanjangkan suaranya. “Tolong, Fey.” Napas Ardi terengah dan semakin berat. Dadanya terangkat. Matanya membola. Freya mulai panik. “Papa?”  Dia segera berlari memanggil Dokter.  “Biar kami yang tangani. Mbak bisa tunggu di luar.” Freya mengempas b****g di kursi besi itu. Dunia seperti akan runtuh. Dalam hati dia terus melantunkan doa agar ayahnya selamat. Dia belum siap kehilangan satu-satunya orang yang paling dia sayang di dunia ini.  Dia melihat Danu sedang memeluk gadis yang sedang menangis. Brankar di bawa keluar dari sebuah ruangan, seseorang tertutup kain putih hingga seluruh tubuhnya. Danu dan gadis itu berlari mengikuti dokter dan beberapa perawat yang sedang membawa pasien itu.  Inisiatif, Freya mencegat salah satu suster. “Ini kenapa Sus?” “Habis dari ruang operasi, tapi--” Perawat itu menggelengkan kepala. Freya mengangguk. Dia tahu apa yang harus dia lakukan pada Danu. Freya meminta bolpoin dan secarik kertas. Dia juga bertanya tentang alamat pasien yang baru saja meninggal itu dengan alasan akan mengirim bunga turut berduka pada keluarga korban. Tentu saja resepsionis itu percaya.  Freya telah menukar surat itu dan menitipkannya pada perawat yang bertugas di kamar ayahnya, agar memberikannya di saat Aksa datang.  Freya kembali ke kamar ayahnya. Lututnya lemas. Dunianya benar-benar runtuh. Dadanya benar-benar sakit. Tangannya gemetar saat menurunkan kain putih yang menutupi wajah ayahnya.  “Papa?” Dia menjerit histeris menggoyang-goyangkan tubuh tak bernyawa itu. “Papa kenapa ninggalin aku?” Dia memeluknya erat. Berharap ini hanya mimpi. Padahal tidak sampai dua jam dia mengobrol dengan ayahnya, kenapa Tuhan mengambilnya secepat itu? Waktu benar-benar singkat. Dia sudah berniat untuk membawa ayahnya ke Siangapura. Andai dia tidak membuang setiap detik dengan mengurusi surat itu dan tetap berada di dekat ayahnya. Mungkin penyesalannya tidak akan sebesar ini.  Secerah apapun langit, bagi Freya awan hitam tetap menaungi sisi hidupnya. Freya bangkit dan memberikan selembar surat pada Aksa. “Dari ayahku,” ucapnya. Aksa mengangkat sebelah alisnya. Lalu dia membuka lipatan kertas itu. Deretan tulisan menyapanya ramah.  Aksa, saya Ardiwilaga. Terima kasih karena kamu telah menyelamatkan saya. Jika waktu saya tak lama lagi, saya minta tolong kamu bersedia menjaga Freya Shalomitha anak semata wayang saya dari kejahatan Danu. “Ini?” Aksa mengernyit meminta penjelasan Freya. “Ini asli? Atau kamu sedang mempermainkan saya.” Aksa tidak ingin kebodohannya terulang.  Freya mengangguk. “Sepertinya surat itu yang membawaku datang kepadamu.” Aksa mengaruk lehernya. “Apa maksudnya?” “Maaf, surat yang tempo hari kamu terima itu palsu. Aku yang telah menukarnya,” ucap Freya penuh penyesalan.  Aksa menghela napas. “Kanapa?” Dia mengempas punggung ke sandaran sofa.  “Karena aku bisa jaga diriku sendiri.” Freya berdiri membelakangi Aksa.  Aksa mendecih lalu bangkit. “Kalau begitu selesaikan urusanmu sendiri.” Dia mencengkram kedua bahu Freya.  “Seandainya aku bisa mengungkapkan kejahatan Danu. Aku tidak akan mengemis bantuan darimu.” Freya melepaskan kedua tangan Aksa dari bahunya. Aksa mendengkus. “Angkuh.”  Sadar dengan apa yang Aksa ucapkan, Freya berbalik. “Aku minta maaf. Tapi aku benar-benar butuh bantuanmu. Bukan demi aku, tapi demi papa.” Seketika Aksa teringat dengan pria malang yang tersungkur di badan mobilnya. Dia merasa bersalah karena telah menabraknya. Tapi faktanya Ardi sendiri yang menabrakkan tubuh ke mobilnya.  Freya menarik napas. “Aku nggak bisa berbuat apa-apa lagi, kalau kamu tidak mau menolongku. Mungkin memang sudah saatnya aku mati menyusul papa. Biarkan orang jahat seperti Danu bebas berkeliaran tanpa tuntutan atau hukuman.” Freya duduk kembali diikuti Aksa. “Dari mana kita akan mulai mengungkap semuanya?” Freya tersenyum. Spontan dia memeluk Aksa. “Terima kasih.” Aksa mengangguk. Dari awal memang dia ingin bertanggung jawab pada orang yang dia tabrak, meski kenyataannya tidak seperti itu. Namun, Aksa terlanjur terlibat dengan semua ini.  Freya melepaskan rasa hangat di tubuh Aksa. “Maaf.” Rasa canggung tiba-tiba lewat tanpa permisi. “Tunggu sebentar.” Freya pergi mengambil sesuatu ke kamar Ardiwilaga.  Selang beberapa menit dia kembali dengan beberapa berkas di tangannya. Dia meletakkan di meja depan Aksa. “Danu menginginkan ini.”  “Apa ini?” Aksa mengambilnya dan membuka lembar demi lembar berkas-berkas perusahaan Ardiwilaga. Dia menyamakan tanda tangan Ardi pada berkas dan pada surat wasiat yang diterimanya dari Freya. Benar-benar mirip. Itu artinya ini benar-benar asli.  “Untuk lebih jelas kamu bisa hubungi om Irwan.” Freya memberikan kartu nama pengacara keluarganya.  Aksa mengangguk. “Tolong Bang. Waktu kita cuma satu minggu.” Aksa menatap wajah Freya yang benar-benar mirip dengan penyanyi favoritnya.  “Harapan aku besar untuk kasus ini bisa selesai,” ucap Freya.  Aksa mengangguk. “Kamu bisa pegang janjiku.” Dia meraih kedua tangan Freya. Entah sejak kapan kata ‘aku-kamu’ keluar dari mulut Aksa. Yang jelas sejak rasa tanggung jawab Aksa besar terhadap anak Ardiwilaga.  Bibir bawah Freya menganjur ke depan, air mata tergenang dan jatuh dengan sempurna. “Makasih ya, Bang. Benar kata papa, kamu orang baik.”  Aksa terenyuh. Telapak tangannya membelai pipi Freya, ibu jari menyeka air mata yang melewatinya. “Aku nggak akan biarin kamu sendiri.” Karena Aksa percaya surat wasiat itulah yang membawa Freya padanya.  Meski cara balas dendam yang dilakukan Freya pada Danu adalah salah karena ternyata malah menambah masalah baru dan membuatnya menjadi seperti ini. Namun, mungkin itulah cara semesta mengatur semuanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD