Aksa memang seperti mimpi. Terkadang dia menganggap Freya hanya khayalannya saja. Namun, terkadang dia yakin semesta memang mengirim wanita itu padanya.
Jika itu hanya halusinasi, lalu kenapa saat ini Aksa harus ke tempat ini. LBH tempat Irwan bekerja. Aksa membandingkan kartu nama dan alamat tempat dia berdiri saat ini.
Freya memang menemaninya. Namun, dia tidak ingin terlihat gila karena orang akan melihatnya berbicara sendiri.
Aksa berdiri di depan resepsionis. “Ada janji Pak?” tanya gadis muda berbaju merah.
Aksa memang tidak membuat janji apapun. Lalu bagaimana kalau Irwan tidak ingin bertemu dengannya karena tidak membuat janji sebelumnya.
Jika menunggu besok, tentu saja waktu yang dia miliki untuk mengungkap kebenaran ini akan terus berkurang. “Tolong saya ingin bertemu dengan pak Irwan. Ini penting.”
“Sebentar saya telepon beliau dulu.” Perempuan itu mendekatkan telepon kabel ke telinganya. Dia tampak mengangguk, kemudian meletakan telepon itu ke tempatnya. “Silakan pak Irwan ada di lantai dua, ruangan sebelah kanan.”
“Terima kasih.” Aksa berlalu, kemudian menaiki anak tangga dan berdiri tepat di depan pintu ukir berwarna coklat, pernis membuat warnanya tampak mengilat.
Aksa mengetuk pintu. Suara penuh wibawa memintanya untuk segera masuk. Aksa langsung masuk, mendekat pada meja Irwan. Menjabat tangannya dan memperkenalkan diri. “Saya Aksa, Pak. Fey yang meminta saya ke sini.”
Irwan terkesiap mendengar nama Fey disebut oleh orang yang baru dilihatnya. “Fey sudah sadar?” tanyanya. Irwan memang hampir melupakan anak sahabatnya itu. Entah dia sibuk atau memang dia lupa akan tanggung jawabnya sebagai kuasa hukum keluarga Ardiwilaga.
Irwan meminta Aksa untuk duduk di sofa coklat gelap yang tersedia di ruangannya. Tanpa membuang waktu, Aksa segera duduk, kemudian dia merogoh selembar surat yang sudah dia siapkan, lalu memberikannya pada Irwan.
“Ini Pak. Saya Aksa yang ada dalam surat wasiat itu,” ucapnya. Sebenarnya Aksa bingung sendiri, entah harus mulai dari mana. Pasalnya dia merasa benar-benar sendiri. Dia takut Irwan tidak mempercayainya.
Pria paruh baya berambut putih dengan tubuh besar dan gemuk itu mengedarkan pandangan pada pemuda yang mengaku adalah orang yang ada dalam surat wasiat Ardiwilaga. Irwan mendorong kacamata yang melorot hingga setengah hidungnya. “Jadi kamu Aksa?”
Aksa mengangguk.
“Dari mana kamu tahu soal surat ini?” Irwan meletakkan surat yang baru saja dia baca itu di atas meja kaca yang menjadi penghalang antara dirinya dengan Aksa.
“Fey,” ucap Aksa yang menoleh sekilas pada wanita di sebelahnya yang hanya bisa dirasakan kehadirannya olah Aksa saja.
Merasa ada yang aneh, Tatapan Irwan pada Aksa berubah tajam. “Kapan bertemu Fey?”
Aksa menarik napas. Bukan enggan menjawab, hanya saja Aksa bingung menjelaskannya. Terdiam cukup lama, hingga menghabiskan sisa kesabaran Irwan.
“Oke, tidak masalah Aksa, kapanpun kamu bertemu Fey.” Irwan mengangkat bahu. “Baik kalau begitu saya jelaskan.” Irwan membuka sebuah dokumen. Entah apa yang membuat Irwan percaya pada pemuda itu. Selain menunjukkan tanda pengenal, adakah hal lain yang harus Aksa buktikan padanya.
Freya menggenggam tangan Aksa. Dia menoleh dan tersenyum lembut. “Om Irwan itu sahabat papa,” ucapnya.
“Aksa. Perusahaan ekspor-impor Ardiwilaga bersaing secara ketat dengan perusahaan Jaya Kusuma, perusahaan milik keluarga Danu.”
Aksa mengangguk. “Lalu Pak?”
Irwan menarik napas. “Kami curiga hilangnya Pak Ardi ada hubungannya dengan ini. Dua bulan yang lalu, pak Ardi hilang, tak ada yang tahu dia ke mana. Tahu-tahu dia ada di rumah sakit sudah meninggal.” Irwan menghela napas. “Apa Fey sudah cerita, awal mula ayahnya menghilang?”
Aksa mengangguk.
“Sebenarnya saya tidak tahu tepatnya seperti apa. Fey memang menceritakan kronologis ayahnya menghilang di pagi hari. Namun, kami tidak bisa membuktikan apapun karena kamera cctv rumah Ardi sudah di rusak oleh para penculik itu.” Irwan kembali mendorong kacamata yang kembali melorot hingga setengah hidungnya. “Aksa, bagaimana awal mula kamu membawa Ardi ke rumah sakit?”
“Saya tidak sengaja menabrak beliau, Pak,” ucap Aksa tanpa keraguan. Namun, dia meyakini mobil yang dia kendarai cukup pelan karena tidak ada luka serius yang dialami Ardiwilaga.
Irwan mengangguk.
“Terus pak, kenapa Fey bisa masuk rumah sakit?” Sepertinya Aksa melewatkan pertanyaan yang seharusnya ditanyakan pada Freya.
“Menurut keterangan Dokter, narkoba jenis heroin yang membuatnya seperti saat ini.”
Aksa menatap Freya sekilas. “Apa dia pemakai?”
“Tidak. Dokter tidak mengatakan itu, hanya saja kami curiga seseorang telah membuat Fey seperti ini ... dan--” Irwan menatap mata Aksa yang terlihat cukup tenang.
Aksa menunggu perkataan Irwan selanjutnya. “Dan apa, Pak?”
“Dan hanya Freya yang bisa memberi tahu siapa yang telah melakukan ini semua padanya.”
Aksa mengangguk. “Apa mungkin Danu?”
Irwan menggelengkan kepala. “Kami tidak punya bukti. Sementara kasus masih dalam penyelidikan polisi.”
Aksa mengangguk paham.
Hari makin siang. Dokumen yang dibawa Aksa dimasukan kembali ke dalam tas kerja milik Ardiwilaga.
“Ini biar saya yang simpan,” ucap Irwan.
Aksa tak bisa mencegah. Lagi pula Freya sudah katakan Irwan adalah sahabat ayahnya. “Boleh surat ini saya simpan?”
“Simpanlah,” ucap Irwan sembari mendorong surat wasiat yang tergeletak di meja. “Lagi pula itu memang untukmu.”
Aksa mengangguk dan mengambilnya, lalu memasukkan surat itu ke dalam tas laptopnya. Ini hanya agar Aksa tidak lupa meletakkannya.
***
Semilir angin memberi sejuk pada kulit yang tengah terbakar akibat sinar matahari. Aksa menatap makam di depannya. Nisan bertuliskan Ardiwilaga bin Suhendar. Tanggal meninggal sama persis dengan hari dia menabraknya.
Aksa berjongkok di depan Freya. Orang akan mengira Aksa datang sendiri, padahal dia tengah menemani bidadari. Aksa tersenyum. Pujian yang dia lontarkan cukup dalam hati saja, dia tidak ingin hal itu terdengar oleh Freya.
Tangan Aksa menyentuh batu nisan itu. “Pak. Saya minta maaf. Ini ulah anak bapak, Fey keterlaluan karena dia telah mengubah surat wasiat itu,” dengkusnya. “Dia bilang dia bisa jaga dirinya sendiri. Bohong!” Aksa menoleh pada Freya, menatapnya dalam-dalam. “Dia tidak akan terkapar di rumah sakit jika dia bisa membuktikan ucapannya,” imbuh Aksa tanpa berpaling dari wajah manis Freya.
Freya menatap takzim pria itu. Kemudian dia menoleh pada nisan ayahnya. “Fey memang gagal, Pa. Gagal membuktikan ucapan Fey sendiri.”
Sesaat mereka berdua terdiam. Kemudian Aksa kembali menatap Freya. “Fey.” Silau matahari membuat mata Aksa sedikit menyipit. “Sekarang kamu ceritakan, kenapa kamu bisa overdosis?”
Freya menoleh cepat. Menarik napas dalam-dalam. “Malam itu ….”
Freya, keluar lo. gue tau lo di dalam!” Pintu dipukul-pukul dengan keras. “Woi ….”
Freya tergopoh berlari ke arah pintu. Saat pintu dibuka, Danu langsung mencengkram lehernya. Lalu mendorongnya dengan kasar, hingga gadis itu terjengkang.
Plak! Satu tamparan membuat bibir Freya terkoyak. “Mau apa kamu?” pekiknya seraya memegang pipi yang panas dan berdenyut nyeri.
Danu menjambak rambut Freya hingga gadis itu terdongak. “Gue mau lo mati,” desisnya. Napas Danu memburu penuh emosi. “Sudah cukup keluarga lo hancurkan bisnis keluarga gue. Sekarang lo juga mau jauhin gue dari Alika, hm?” Danu mengempas kepala Freya dengan kasar hingga terbentur ke lantai. “Licik!” pekik Danu.
Tak ada seorangpun yang dapat menolong. Freya telah memecat semua pekerja di rumahnya. Apa yang bisa dia lakukan? Bahkan tangannya terlalu lemah untuk sekedar membalas tamparan Danu.
Freya mencoba bangkit. Secepat kilat ia menyambar vas bunga dan berhasil memberi Danu pukulan tepat di kepala bagian belakang hingga Danu meringis.
Tergopoh. Freya segera berlari menaiki anak tangga. Terhuyung. Danu mengikutinya sembari memegangi kepala yang mengeluarkan cairan kental berwarna merah.
Freya sudah berada di puncak tangga. Namun, Danu menahan tangannya. “Mau ke mana lo, hm?”
“Danu?” teriak Alika di ambang pintu. Dari awal Alika memang hanya memperhatikan, dia diberi tugas untuk berjaga di depan pintu. Namun, Alika bukan penjahat sepertinya, dia tidak ingin terlibat kalau-kalau Danu berhasil melenyapkan perempuan itu.
Danu menoleh dengan cepat. Alika berlari ke arahnya. “Hentikan! Apa yang kamu lakukan?” teriak Alika.
“Ini bukan urusanmu. Kamu tunggu saja di luar.” Tangan Danu mengayun hendak memukul Freya. Namun, dengan segera Alika menahannya, tapi sial dia tidak bisa mengimbangi tenaga Danu. Hingga tubuh Alika terempas dan jatuh dari tangga atas menuju dasar.
“Alika?” Danu berlari memburu gadis yang dia cintai. Panik, Freya pun ikut turun untuk melihat keadaan Alika, walau bagaimanapun gadis itu mencoba menolongnya.
Penuh amarah Danu mengambil apa yang sudah dia siapkan sedari tadi dari saku jaketnya. Dia menarik rambut Freya, menusukkan jarum suntik ke lehernya. “Mati lo.” Narkoba jenis heroin masuk ke dalam tubuh Freya.
Danu berlari menggendong Alika ke rumah sakit. Terseok setengah sadar Freya keluar mengikuti Danu untuk meminta pertolongan. Namun, tubuhnya terlanjur luruh ke lantai. Kejang-kejang hingga cairan putih seperti busa sabun ke luar dari mulutnya.
Langit seketika gelap, awan hitam pekat telah menutupi matahari.
“Apa yang terjadi setelah itu?”
Pertanyaan Aksa dijawab dengan gelengan kepala. “Yang jelas ada malaikat yang menolongku,” ucap Freya seraya bangkit.
Aksa pun ikut bangkit. “Kejahatan Danu memang tidak bisa dibiarkan.” Aksa mengedarkan pandangan, kemudian dia kembali menatap Freya. “Kita cari tempat penyekapan pak Ardi. Aku yakin tempatnya tidak jauh dari jalan saat tubuh pak Ardi tersungkur ke badan mobilku.”
Freya mengangguk setuju.
Aksa berjalan cepat diikuti Freya. Cuaca cerah itu benar-benar telah berubah dengan drastis, rintik-rintik hujan perlahan turun mengenai kulit mereka. “Baru saja tadi panas.” Aksa menoleh pada gadis di belakangnya.
Freya hanya tersenyum mengiyakan perkataan Aksa.
Setengah basah mereka sudah berada di dalam mobil. Anehnya Freya tak tersentuh air sama sekali. Aksa mencebik. Seandainya waktu tak mempertemukannya dengan cara seperti ini, mungkin saat ini dia dapat melihat tubuh Freya yang terkena tetesan air, rambut basah pasti menambah pesonanya.
“Kenapa?” tanya Freya yang heran karena Aksa tak berkedip memandangnya.
Aksa salah tingkah. “Hmm … kenapa kamu nggak basah?”
Freya mengangkat kedua bahunya.
Aksa mendekatkan punggung tangannya, kemudian dia menyentuh bahu licin Freya hingga ke lengan. “Pantes kulit kamu kayak minyak, jadi air aja cuma numpang lewat,” kekehnya.
Freya tertawa. Dia tak menyangka Aksa yang ketus, bisa selucu itu.
Hujan makin lebat. Mobil Aksa belum berniat pergi dari depan pemakaman umum itu, mobilnya mendadak mogok. Berkali-kali Aksa menghidupkan mesin mobilnya, namun tetap saja ngadat.
“Kayaknya kita nggak bisa ke sana sekarang.”
Freya paham, maka dia hanya mengangguk.
“Aku nggak tahu kenapa mobil tiba-tiba mogok.” Dia membuka sabuk pengaman. “Kamu tunggu di sini, aku mau periksa mesinnya dulu.”
Freya kembali mengangguk.
Aksa keluar tanpa payung. Dia membuka penutup mesin. Asap mengepul keluar dari mesin mobil. Dia menggelengkan kepala. Tubuhnya sudah sepenuhnya basah. Tiba-tiba payung berada di atas kepala, melindunginya dari hujan.
“Fey?”
“Kamu basah.”
Aksa mengangkat bahu. Kedua pipinya menggembung terisi angin. Kemudian keluar hingga membuat keduanya mengempis.
Freya tersenyum geli. Kenapa di matanya Aksa bisa selucu itu?
“Aku nggak ngerti soal mobil,” teriak Aksa. “Aku tahunya make doang,” lanjutnya.
Freya tersenyum sembari memberikan payung yang dipegangnya pada Aksa.
Aksa menerimanya, namun wajahnya mengernyit. Dia melihat cahaya putih terpancar dari tubuh Freya seolah menghalau hujan. Gadis itu sibuk membetulkan mesin mobil Aksa.
Berkali-kali hati Aksa menyuarakan tentang kenyataan ini. Ini terlalu nyata jika dianggap mimpi. Tapi ini terlalu aneh jika dianggap nyata, batinnya.
“Chek.” Freya menatap Aksa yang kembali memandangnya tanpa berkedip. “Bang?”
Aksa terkesiap. “Udah?”
Mata Freya menyipit. “Udah.”
“Bentar aku chek.” Aksa menyerahkan payung itu pada Freya. Dia masuk dan mulai menyalakan mesin, kemudian tersenyum saat mobil bersuara dengan ramah. Tangan Aksa menganjur keluar. Dia menunjukkan ibu jarinya sebagai pujian pada Freya. “Udah, kamu hebat banget, Manis.”
“Manis?”
Aksa menoleh pada Freya yang sudah ada di sebelahnya. “Loh, kamu kapan masuk?”
“Nggak penting, ayo jalan, keburu malem.”
Aksa melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, menembus hujan yang terus tanpa henti.
***
Aksa duduk di sofa kecil depan kamarnya dekat tangga menuju ke bawah. Dia menuliskan keterangan yang dia dapatkan dari Freya dan Irwan. Tak lupa dia juga mencari info lewat internet tentang perusahaan Ardiwilaga.
“Bang ... .” Nova datang membawakan teh hangat. “Kata papa kamu nggak masuk kerja. Kemana?”
“Ma ….” Aksa tersenyum lembut. Kemudian kembali menekuri laptopnya. “Ada urusan lain.”
“Apa?” Usai meletakkan gelas Nova duduk di sebelah Aksa yang terus sibuk, seolah apa yang sedang dikerjakan Aksa teramat penting, lebih penting dari ibunya.
Aksa menatap wajah Nova, menarik napas dalam-dalam, begitupun dengan Nova yang meminta keterbukaan Aksa. “Nanti kalau udah waktunya Aksa cerita kok, Ma.”
Nova merengut. “Jangan kayak waktu itu dong. Tiba-tiba minta nikah, mana mama nggak tahu siapa perempuan yang akan kamu nikahi.”
“Maaf, Ma.”
Kejadian tempo hari memang begitu singkat. Bahkan Aksa menutupi semua dari keluarganya. Nova mendengkus. “Mama tahu dari Nayna, sementara papa tahunya dari Oji.” Berkaca-kaca, Nova menunjukkan kesedihannya.
“Nanti kalau udah saatnya, Aksa janji, akan ceritain semuanya.”
“Mama pegang ya janji kamu.”
“Iya Ma.”
“Mama sedih loh, kamu atasi masalah kamu sendiri. Lalu apa gunanya keluarga?” Nova mengelus punggung tangan Aksa yang tengah berada di atas keyboard laptop.
Aksa menoleh. Dia menyeka air mata yang jatuh di pipi ibunya. “Maafin Aksa ya, Ma. Aksa cuma nggak mau jadi beban.”
“Bukan beban, Bang. Ini bukan tentang masalah beban-membebani. Tapi ini tentang pengakuan kamu terhadap keluarga.” Nova memberi jeda. “Keterbukaan, Bang.”
Aksa menarik napas. “Iya, Aksa ngerti, Ma. Aksa minta maaf.” Dia menggenggam tangan ibunya.
***