Di pagi buta, Aksa sudah berada di rumah sakit, hendak menjenguk keadaan Freya. Namun, dia terkejut saat melihat Danu keluar dari ruangan Freya. Aksa cepat bersembunyi. Dia tidak ingin Danu curiga padanya yang sudah mengetahui semuanya.
Setelah Danu berlalu, Aksa keluar dan cepat-cepat masuk. Dia mendapati Freya sedang tertunduk di pojok ruangan, selalu pemandangan seperti itu yang Aksa lihat dari pertama dia mengenal Freya sebagai anak dari Ardiwilaga.
“Apa yang Danu lakukan di sini?” Aksa berdiri tepat di depan Freya.
Gadis berambut panjang itu mendongak. “Abang?” Dia segera berdiri dan menghambur ke pelukan Aksa. “Aku takut dia hampir membunuhku,” lirihnya.
Aksa membalas pelukan Freya. Tangannya merengkuh punggung kecil gadis itu. Hangat. Itu yang Aksa rasakan. Detak jantung di monitor bergerak lebih cepat, bersahutan dengan suara di balik d**a Aksa.
“Terus apa yang kamu lakukan?”
“Aku menekan tombol untuk memanggil Dokter.” Napas Freya sedikit terengah-engah.
“Bagus.”
Freya menjauhkan tubuhnya dari Aksa.
Aksa memegang kedua pipi Freya. “Fey, aku sudah menyewa bodyguard untuk berjaga di depan kamar kamu.”
Freya mengangguk pelan. “Terima kasih,” desisnya.
“Kamu sudah siap?”
Freya mengangguk.
Tubuh Freya bagai seonggok daging yang tak berguna, terkulai lemah di atas ranjang. Aksa memandangnya cukup lama. “Waktu kita tinggal lima hari lagi, Fey.”
Sementara arwah Freya berada di sebelah Aksa hanya bisa tersenyum lembut. Tak pernah ada orang setulus Aksa dalam hidupnya.
Aksa berjalan cepat menuju parkiran. Dia masuk ke dalam mobil sementara Freya sudah ada terlebih dahulu.
Aksa memutar roda kemudi. “Aku akan tunjukan tempat di mana aku menemukan ayah kamu.” Setelah jalanan di sebelah kanannya aman. Aksa menginjak pedal gas.
Freya hanya bisa mengangguk. Satu minggu memang akan terasa sangat singkat. Freya hanya berharap waktu benar-benar berpihak padanya.
“Jadi saat itu aku buru-buru banget mau ke kantor, karena ada rapat penting. Tiba-tiba papa kamu jatuh di badan mobilku.” Aksa menoleh, sementara mobil masih melaju.
Freya tersenyum kecil menanggapi perkataan Aksa. Padahal hatinya sedih mengingat kembali keadaan sang ayah yang berjuang demi dirinya, mempertahankan perusahaan hanya agar tidak kehilangan harta yang bisa saja membuat Freya jatuh miskin.
“Setelah aku mengantar papa kamu ke rumah sakit aku izin untuk pergi ke kantor dan berjanji akan kembali sorenya.” Aksa menghela napas. “Fey.” Dia menoleh sekilas karena Freya hanya diam. Dia takut kalau tiba-tiba Freya menghilang dari hadapannya.
Freya menarik napas. “Pagi itu, aku dapat telepon dari papa.” Suara Freya bergetar, sedih.
“Sesampainya di rumah sakit, aku bahagia karena papa baik-baik saja, hanya luka lebam di beberapa titik, dan aku bersyukur, aku masih sempat mendengar papa menceritakan semuanya.”
Aksa menyimak seraya tetap memperhatikan jalan. Dia mengambil ponsel dan merekam perkataan Freya.
“Apa yang diceritakan pak Ardi?”
“Malam itu, saat papa sedang tidur papa dibawa oleh dua orang laki-laki, sepertinya menggunakan obat bius. Karena papa bilang saat dia sadar dia sudah berada di sebuah ruangan dalam keadaan terikat. Di sana ada Danu.”
“Kenapa saat kamu mendapati ayah kamu tidak ada di kamar, kamu tidak melapor Polisi?”
“Aku menemukan surat yang mengatakan bahwa papa ada urusan bisnis di kota Malang. Aku tidak curiga apapun karena papa memang biasanya seperti itu.”
“Lalu, apa ada cctv di rumah kamu?”
“Mati.”
Aksa memang sudah mendengar dari Irwan kemarin.
“Aku nggak tahu sejak kapan cctv itu mati.”
Aksa menarik napas. Cerita Freya bagai potongan puzzle, untuk bisa mengungkapkan semuanya, dia harus bisa menyatukannya agar menjadi sebuah kisah yang lengkap.
“Terus apa yang Danu inginkan dari pak Ardi?”
“Papa bilang Danu ingin papa menanam saham di perusahaannya, tak tanggung-tanggung 50% yang Danu inginkan. Jelas papa menolak, melihat bagaimana persaingan bisnis mereka sebelumnya.”
Aksa mengangguk. Tiba-tiba dia menepikan mobilnya dan berhenti. “Di sini, aku menemukan papa kamu.” Aksa keluar dari mobil diikuti Freya.
Dia berdiri kemudian melihat ke sekeliling. Ada sebuah jalan kecil menuju kebun. “Aku yakin pak Ardi keluar dari sana. Soalnya nggak ada lagi jalan.”
Freya setuju. Dia langsung mengikuti Aksa.
Berjalan di antara semak belukar, potongan ranting-ranting dan dedaunan kering. “Kamu yakin papa lewat sini?”
“Aku yakin nggak ada jalan lain soalnya.” Aksa tetap melanjutkan perjalanannya. Sesekali dia melirik pada Freya. Jika Freya bukan arwah mungkin saat ini, perempuan berambut panjang itu sudah meminta Aksa untuk menggendongnya. Dia tahu bagaimana manjanya perempuan.
“Ada rumah,” ucap Freya sembari menunjuk ke sebuah rumah tua yang kurang lebih berjarak lima meter dari tempat mereka berdiri saat ini.
“Kita ke sana.” Aksa berlari lebih dulu. Dia yakin sesosok arwah tidak akan menyulitkannya dan benar saja Freya sudah lebih dulu ada di depan rumah itu.
Aksa mengedarkan pandangan, hanya ada satu rumah, lebih tepatnya gubuk.
“Bang, jangan pegang apapun, cukup gunakan kamera kamu saja.” Freya memperingatkan.
Aksa mengangguk paham. Dia mengarahkan kamera beberapa meter dari rumah tersebut, dia memotret seluruh rumah itu. Lalu masuk ke dalam. Ada sebuah kursi dan sebuah tali pengikat.
“Mungkin nggak?” tanya Aksa mengarahkan kamera pada Freya. Dia sedikit terkejut karena kameranya tidak bisa menangkap sosok Freya. Maka, dia menurunkan kamera dan membiarkannya menggantung di leher.
Freya tak menjawab. Dia tetap mencari sebuah bukti yang bisa menunjukan bahwa benar ayahnya di sekap di sini. Sementara Aksa terus mengambil gambar, tak ada yang terlewatkan sedikitpun.
“Fey,” panggil Aksa. Freya tetap tak menyahut membuat Aksa sedikit merinding.
“Sepertinya mereka mengambil ini saat mereka membawa papa.” Freya menunjukan sebuah bolpoin yang tergeletak diatas meja.
Dengan kameranya Aksa membidik bolpoin itu sebagai bukti. “Eh tapi, untuk apa?” tanyanya setelah menurunkan kamera.
“Untuk apa lagi, kalau bukan untuk tanda tangan dokumen.” Bahu Freya turun.
Aksa mengangguk. “Kira-kira ada lagi?”
Desau angin tiba-tiba membawa resah. d**a Freya terasa sakit, begitupun dengan lehernya.
“Kenapa Fey?” Aksa panik dan segera mendekat.
Freya bergeming. Dia memegangi lehernya sendiri. Dia juga merasakan hal yang sama saat Danu mencekiknya tadi pagi.
“Kita kembali ke rumah sakit.” Aksa menarik tangan Freya. Namun, itu tak mungkin melihat kondisi Freya yang semakin melemah. Aksa segera menggendong Freya berlari keluar dari hutan itu menuju mobilnya. “Kamu harus bertahan,” ucap Aksa.
Setelah sampai di dalam mobil. Aksa memutar setir menuju rumah sakit. Dia juga menelpon dua bodyguard yang disewanya pagi tadi.
“Kalian di mana?”
[Maaf Bos, kami lagi makan.]
“Bego! Kenapa nggak gantian? Kenapa harus barengan, kalian nggak lagi pacaran ‘kan?” cerocos Aksa memarahi orang di seberang telepon. “Gue nggak mau tahu pokoknya kalian balik sekarang. Gue curiga Danu ada di kamar Freya.”
[Baik Bos.]
“Kerja yang bener, gue bayar mahal buat kerja kalian.”
[Iya bos.]
Aksa mencabut ear phone dari telinganya dengan kasar. Dari tadi Freya memperhatikan Aksa. Sakit yang dia rasakan sudah berkurang, entah kenapa. Dia benar-benar dapat melihat ketulusan Aksa dalam membantunya.
“Kamu nggak apa-apa? Kamu masih kuat ‘kan?” tanya Aksa panik. Tangannya membelai puncak kepala Freya.
Freya hanya mengangguk. “Kalau aku mati. Tolong kirim aku doa.”
Aksa menoleh. Dalam hatinya dia tidak ingin Freya meninggal. Sungguh perempuan itu sangat menarik dan Aksa ingin mengenalnya lebih jauh. “Aku akan berdoa semoga kamu sembuh kembali seperti sedia kala.”
Bulir bening meluncur dari sudut mata Freya. Dia benar-benar terenyuh.
“Kita sampai.” Aksa memarkirkan mobilnya. Dia melihat ke samping Freya sudah tidak ada di samping.
Dia keluar dari mobil dan berlari di lorong rumah sakit menuju kamar Freya. Dua orang bodyguard sudah berdiri di depan kamar. “Malam Bos.”
“Ada Danu?”
“Iya bos, dia sudah keluar.”
Aksa menghadiahi tinju ke perut mereka sebagai santapan malam. “Sekali lagi kalian lalai, gue laporin Polisi,” desis Aksa.
“Siap Bos.” Mereka meringis menahan sakit di perut akibat hantaman Aksa.
***
Sudah tiga hari Aksa bolos kerja. Kini dia hadir lebih awal. Dua hari Aksa tak pulang ke rumah membuat semua orang khawatir. Pasalnya untuk masalah yang sedang dihadapinya saat ini tak ada yang tahu, termasuk Oji. Dia menjadi tertutup dan sibuk sendiri.
“Kemana aja?” Oji menarik kursi dan duduk di sebelah Aksa.
“Sibuk,” jawab Aksa singkat.
“Sibuk apa sih? Sampai nggak sempat cerita.”
Aksa menoleh dan menatap Oji. Lalu menarik napas.
“Muka lu ruwet banget, Aksa. Ngopi yuk!”
Aksa tak menoleh. “Gue nggak bisa, Ji.” Dia tetap pada kesibukannya berjibaku menyusun masalah yang sedang dihadapi Freya, apalagi Freya tak ada sejak semalam. Aksa merasa hampa.
“Sa,” panggil Oji. “Gue tahu elu lagi banyak masalah.”
Aksa mengangguk. Namun, tak menoleh.
“Kalau lu butuh bantuan, lu ngomong, Sa.” Oji memberi jeda. “Gue pasti bantu.” Perkataan Oji penuh dengan penekanan. “Apa dong gunanya gue sebagai sahabat elu.”
Aksa menghela napas. Mengingat waktu Freya yang tinggal sedikit. Sepertinya Aksa memang membutuhkan bantuan sahabatnya. “Ya, gue butuh bantuan elu, Ji.”
“Ngomong, Sa.” Oji mengangkat wajah. Bagai seorang prajurit yang diutus raja, Oji siap melakukan apapun.
“Gue butuh bantuan elu buat menyelidiki si Danu. Tempat tinggalnya dan tempat nongkrongnya, juga semua teman-temannya.” Aksa menarik napas membuangnya perlahan, seolah resah bersarang. Dia menatap sahabatnya itu. “Nanti kalau lu berhasil ngumpulin itu data, gue janji gue bakal ceritain semuanya.”
“Tapi, ini bukan soal Alika ‘kan?”
“Nggak. Nggak ada hubungannya sama dia.”
Oji mengangguk.
“Gue belum ada waktu buat ceritain semuanya, Ji.”
“Ya gue paham.” Oji menepuk bahu sahabatnya itu. “Sekarang gue akan mulai selidiki si Danu.”
“Thanks, ya.”
Oji mengangguk, melihat ada kelegaan di wajah Aksa. “Kalau gitu gue pergi. Nanti gue kabarin.”
Aksa mengangguk. Dia benar-benar beruntung punya teman yang mempunyai rasa kepedulian yang tinggi seperti Oji.
Selang beberapa menit setelah kepergian Oji. Aksa merapikan pekerjaannya, menutup laptop dan memasukkannya ke dalam tas ransel. Hari ini dia datang ke kantor dengan setelan seperti orang yang hendak nongkrong. Tanpa jas dan dasi, juga tanpa celana bahan seperti biasanya.
Aksa sedikit berantakan dengan kaos dan kemeja yang terbuka, lengan kemeja biru dongkernya digulung hingga ke sikut, juga celana jeans robek di beberapa titik. Penghuni kantor terutama perempuan sempat menggunjing Aksa. Meski di mata mereka Aksa terlihat keren tapi kesalahan kostum yang dilakukan Aksa benar-benar membuat yang lain iri.
Bahkan teguran dari Aydan tak dihiraukan Aksa.
“Jangan mentang-mentang kamu anak papa, Sa. Bisa seenaknya masuk tanpa ada kabar. Berpakaian seperti ini,” ucap Aydan dengan nada tinggi. “Kamu harus memberi contoh yang baik pada karyawan yang lain,” imbuhnya.
“Aksa tahu, Pa.” Dia mengangkat wajah. “Maaf untuk sekarang Aksa jadi anak nakal dulu, Pa.”
“Maksud kamu apa? Pekerjaan kamu serahkan semuanya pada Nura, dia juga punya kerjaan lain, Aksa.”
“Pa, Aksa mohon Pa. Tiga hari, Aksa minta waktu tiga hari lagi, Pa.”
“Memang kamu mau ke mana?”
“Ada urusan Pa. Penting.”
Aydan menghela napas yang cukup panjang.
“Aksa permisi, Pa.” Aksa membungkukan tubuh, lalu keluar dari ruangan Aydan.
Kenapa Aksa merasa hatinya kosong. Kejadian kemarin membuatnya benar-benar ada di posisi paling sedih. Aksa melajukan mobilnya keluar dari kawasan kantor Beritaku.
Tangan menyetir, mata menatap jalan, tapi pikirannya termenung memikirkan kenapa Freya tidak muncul lagi? Kenapa Freya menghilang?
Sejauh Aksa mengendarai mobilnya, beberapa kali dia mengerem mendadak karena tidak konsentrasi. Beberapa teguran juga beberapa cacian melayang untuk Aksa yang menjalankan mobil seperti orang mabuk.
Kini dia berhenti di depan LBH tempat Irwan bekerja. Setelah parkir dengan baik, dia keluar dari mobil dan langsung menuju ruang Irwan.
Aksa mengetuk pintu kayu dengan ukiran estetik itu secara perlahan, bahkan terkesan Aksa tak memiliki tenaga sama sekali.
Tiba-tiba seorang perempuan, asisten dari Irwan berdiri di belakangnya. Dia mengetuk pintu itu dengan cukup keras. Lalu masuk dan memberitahu Irwan bahwa ada tamu untuknya.
“Aksa?”
“Pak.” Aksa mengangguk.
“Duduk.” Irwan menunjuk sofa. Agar lebih santai, baginya Aksa bukan sekedar tamu.
“Bagaimana?”
Aksa menarik napas. Dia mengeluarkan laptop dan menunjukkan sesuatu. Namun, setelah membacanya, Irwan malah mengernyit dan bertanya, “Kamu nggak ngarang cerita ‘kan Aksa?”
Sudah Aksa duga. “Pak, menurut Pak Irwan dari mana saya tahu semua ini kalau bukan dari Fey.”
“Tapi semua orang tahu Fey sedang koma.” Irwan tertawa keras. Namun, justru Aksa merasa Irwan sedang mencemoohnya.
Aksa menghela napas. Dia mengusap wajahnya kasar, bagaimana dia menjelaskan semuanya. Aksa ingat dengan suara Fey dalam rekaman di ponselnya. “Sebentar.” Dia mengeluarkan ponsel, lalu menekan tombol play.
Mereka berdua menajamkan telinga. Rekaman suara berdurasi satu tengah menit itu. Hanya terdengar suara desau angin.
“Aksa … Aksa.” Irwan membuang napas. “Kamu mempermainkan saya?” cemooh Irwan.
Aksa tercengang. Jelas-jelas semalam ada dan dia dengar suara lembut Freya.
“Kamu bisa kena tuntut Aksa. Kalau kamu berani memanfaatkan kesusahan orang dengan mengarang cerita tanpa adanya bukti.”
Aksa menatap wajah tua Irwan lekat-lekat, kenapa dia curiga Irwan tak benar-benar membantu kasus Freya.
“Terus apa yang harus saya lakukan?”
“Kamu bertanya?” Irwan mendecih menyepelekan.
“Kalau begitu saya minta Pak Irwan secepatnya mengurus kasus Freya.”
Irwan bangkit. Berjalan-jalan kecil sembari memainkan janggutnya sendiri. “Saya sudah urus semua Aksa. Memang hukum di Negara kita berjalan lamban.”
“Mohon maaf Pak.” Aksa bangkit. “Selamban-lambannya pasti ada perkembangan.” Aksa memberi jeda pada ucapannya. “Jangan-jangan memang Bapak Irwan Wiguna S.H. Anda tidak pernah beritikad untuk membantu Pak Ardi dan juga Fey.”
“Tolong jaga ucapan kamu Aksa!” Mata Irwan membelalak. “Saya kenal dengan keluarga Ardiwilaga lebih dari tiga puluh tahun, bahkan jauh sebelum kelahiran Fey,” ucapnya penuh penekanan.
“Kalau begitu buktikan, Pak, bahwa Anda memang setia pada keluarga pak Ardi. Tidak hanya mengharapkan imbalan.”
Kemarahan Irwan sudah di ubun-ubun. “Saya tidak ada urusan dengan anak ingusan seperti kamu, Aksa.” Irwan menunjuk pintu. “Lebih baik kamu keluar dari ruangan saya dengan cara terhormat sebelum saya memanggil Satpam untuk menyeret kamu keluar dari sini.”
Aksa merapikan barang-barang miliknya. Dia keluar dari ruangan Irwan dalam keadaan hati yang kesal. Dia memang tidak begitu paham dengan hukum. Itulah mengapa dia berharap besar pada Irwan.