Red - 41

1084 Words
Sekarang, Victor dan Koko sedang bersiaga di posisinya masing-masing, mereka mengepalkan dua tangannya dan menatap fokus pada lawan yang ada di hadapannya, yaitu mentor mereka sendiri, Paul Cozelario, yang saat ini terlihat memberikan seringaian kejam dan tatapan tajam yang meremehkan pada mereka berdua. Sejujurnya, dua orang itu masih belum merencanakan apa pun dalam pertarungan ini, mereka belum merundingkan suatu strategi untuk mengalahkan Paul, Victor dan Koko belum sempat melakukan hal itu hingga akhirnya mereka tidak punya kesempatan untuk melakukannya di tempat ini. Alhasil, mereka berdua hanya bisa mengandalkan intuisi dan gerakan refleks jika semisalnya Paul mulai menyerang, meski sebenarnya Koko agak sedikit takut berhadapan melawan Sang Mentor, tapi dia berusaha memberanikan dirinya sendiri demi membuktikan pada pasangannya bahwa dia bukanlah seorang beban. Koko ingin menunjukkan juga pada semua orang bahwa dirinya bukanlah pahlawan yang lemah, dia ingin dianggap setara seperti teman-temannya yang lain, menjadi seorang pahlawan tangguh yang bisa diandalkan. “Entah cuma perasaanku saja, atau memang begitu kenyataannya,” ucap Paul dengan berdehem sejenak, yang juga suaranya didengar oleh seluruh penonton berkat mikrofon yang tertempel di pipinya. “Aku merasa kalian berdua tegang sekali dari tadi,” Paul menggeleng-gelengkan kepalanya. “Dengar ini! Ketegangan memang wajar, tapi kalian tidak boleh tegang berlebihan seperti itu, terutama kala berhadapan dengan musuh!” bentak Paul pada Victor dan Koko dengan dua bola matanya yang membulat melotot. ”Musuh akan meremehkan kalian jika kalian selalu tegang dan ketakutan begitu, apalagi kekuatan kalian sangat dibutuhkan oleh masyarakat! Sedikit saja gemetar, mereka semua akan merendahkann kalian!” Mendengar itu, Victor sedikit demi sedikit mengendurkan kepalan tangannya, sedangkan Koko hanya menundukkan kepalanya dengan lemas, membuat helaian-helaian ungunya berjatuhan. “Ya, aku mengerti, Paul,” kata Victor dengan berdehem. “Tapi merasa tegang dikala harus berhadapan dengan mentor kuat sepertimu, kurasa itu bisa dimaklumkan, hehe!” Koko tersenyum saat Victor bilang demikian, dia tidak tahu kalau pasangannya ternyata cukup waspada pada Paul, ia kira lelaki bangsawan berambut emas itu akan langsung melakukan hal ceroboh dalam melakukan p*********n pada Sang Mentor. Koko jadi sedikit lega mendengar perkataan Victor yang barusan, senyuman tipis dan lesungan pipi jadi terus terpatri di wajah manisnya. “Sekarang, apa yang harus kita lakukan?” tanya Victor dengan menolehkan kepalanya pada Koko yang berdiri di sampingnya, mereka berdua kebingungan saat Paul mulai bergerak untuk melangkahkan kakinya mendatangi dua lawannya itu. “Aku tahu ini mendadak, tapi kita harus membuat rencana untuk mengalahkan Paul, karena jika tidak, posisi kita bisa dalam bahaya.” “Maaf, tapi aku juga tidak tahu harus melakukan apa di sini, Victor,” kata Koko dengan suaranya yang gemetaran karena merinding ketika Paul semakin mendekati mereka, jantungnya berdegup dengan kencang. Kegelisahan memenuhi kepalanya, Koko benar-benar ketakutan terhadap pergerakan Sang Mentor. “Tapi kurasa… kita harus bisa melindungi diri kita sendiri dari Paul, cuma itu saja yang ada di pikiranku.” “Ketegangan kalian jadi semakin menjadi-jadi,” Paul terkekeh-kekeh mengamati ekspresi Koko dan Victor yang terlihat jelas sedang resah dan gundah, dia jadi sengaja memberikan aura menyeramkan saat berjalan, seperti gerakan kakinya di pelankan agar terasa menegangkan, dan seringaian jahat terus dipahat, agar mereka berdua jadi semakin ketakutan. “Aku harap kalian baik-baik saja, jika semisalnya aku kelepasan dan tidak bisa mengontrol amarahku.” Mendapatkan ide cemerlang saat diberi ancaman oleh Paul, Victor langsung berjalan mendekati Koko dan berbisik di telinga si lelaki cantik berambut ungu lebat itu, untuk menyampaikan apa yang ada di pikirannya. Menyerap dan memahami semua yang Victor bisiki, Koko dengan senyuman lugunya, langsung menganggukkan kepalanya dan menjawab, “Baik, terima kasih.” Setelah itu, Koko langsung berlari mundur dari dekat Victor, terus memundurkan langkahnya hingga ke tepi lapangan, sedangkan pasangannya malah tersenyum dalam diam di tengah lapangan, seakan-akan membiarkan Sang Mentor untuk menyentuh dan menghajarnya di sana. “Apa yang kalian rencanakan, hah?” kata Paul dengan menaikan sebelah alisnya tanpa sedikit pun menghentikkan langkah kakinya dalam berjalan hingga akhirnya saat dia sudah sangat dekat dengan Victor, lelaki sangar itu langsung berbisik pada kuping kiri Si Bangsawan Berambut Emas, yang bisikannya juga terdengar oleh seluruh penonton. “Yah, aku tidak peduli soal strategi, rencana, atau taktik yang kalian rundingkan dalam mengalahkanku, tapi yang jelas, apa pun yang kalian lakukan, tidak akan pernah bisa menaklukanku, apalagi memenangkan pertandingan ini. Jadi, jangan besar kepala dulu kau, Victor.” “Aku tidak besar kepala, kok,” ucap Victor, dengan suaranya yang sengaja dinyaringkan, agar para penonton juga bisa mendengarnya dengan jelas. “Aku hanya sedang berusaha agar aku tidak mempermalukan diriku sendiri dan juga Koko di pertandingan ini. Yang kubisiki di telinga Koko juga bukanlah sebuah taktik, strategi, atau pun rencana untuk mengalahkanmu.” Tersentak, Paul jadi agak terkejut mendengarnya, dia tidak mengerti mengenai hal itu, jika mereka tidak merundingkan suatu rencana, lantas buat apa mereka saling berbisik dan sok memahami? Paul benar-benar tidak mengerti. “Omong kosong,” desis Paul dengan mendecih kesal. “Jika kau memang tidak membuat rencana sama sekali di sini, itu artinya kau sama sekali tidak punya niat untuk bertarung dan melawanku, dan orang yang seperti itu,” Paul mendadak mencekik leher Victor dengan satu tangannya dan mengangkatnya sedikit ke atas. “… tidak pantas berhadapan denganku di sini.” Cekikannya jadi semakin mengencang, tapi anehnya Victor masih tampak menyunggingkan senyuman pada Paul, membuat Sang Mentor jadi semakin kebingungan. “Dari ekspresimu, kau pasti bertanya-tanya, mengapa aku terlihat sangat santai meski sekarang aku di sini sedang dicekik olehmu, iya kan?” Senyuman Victor jadi berkembang lebih lebar dari sebelumnya. “Alasannya adalah, karena kekalahan telak sebentar lagi akan menimpamu, Paul. Kau akan kalah secepat kilat di pertandingan ini. Aku sudah menyiapkan sesuatu yang hebat untukmu, kuharap kau dapat menikmatinya.” “b******k! KAU INI SEDANG BICARA APA, HAH!?” Baru saja Paul membentak, tiba-tiba saja bayangan-bayangan hitam berjumlah banyak, muncul dan memenuhi sekitar lapangan, mengelilingi Victor dan Paul yang sedang saling berhadapan, setelah dilihat dengan baik-baik, Sang Mentor terkejut karena mereka semua adalah sekelompok ninja yang berasal dari organisasi ninja ternama di Madelta. Paul baru ingat kalau Victor Osvaldo punya hubungan yang kuat dengan ninja-ninja tersebut, ini gawat. Paul bisa mati konyol jika bertarung melawan banyak ninja seperti itu. “Kau lihat?” Senyuman tipis Victor, semakin lama jadi semakin lebar sampai akhirnya terbentuk menjadi sebuah seringaian kejam. “Itulah mengapa aku mengatakan bahwa aku bisa mengalahkanmu di sini dengan secepat kilat, karena aku punya banyak ‘’senjata hidup’ yang dapat kugunakan untuk melawanmu, dan beruntungnya, tidak ada aturan yang menjelaskan kalau peserta dilarang membawa ‘senjata-senjata hidup’ di pertandingan ini. Jadi, aku punya kesempatan bagus di sini.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD