Red - 75

2068 Words
Tersadar kalau suaranya sama sekali tidak terdengar oleh Isabella yang ada di luar alam ilusi, Jeddy terdiam dalam mata yang membelalak, dia sedang berada di permukaan laut gelap dan dingin dan juga mengangkat badan Paul yang tak sadarkan diri di sampingnya. Sebelumnya Jeddy bertarung habis-habisan melawan Paul di perairan ini dan sebenarnya tujuan dia kemari bukan hanya sekedar berhadapan dengan mentornya, dia ingin membujuk Sang Mentor untuk menghentikan aksi penyebaran ilusi ke setiap orang yang menyaksikan pertandingannya, dan Paul menegaskan bahwa satu-satunya cara agar penyebarannya dihentikan adalah dengan mengalahkan orang itu di dunia ini. Tentu saja, sekarang Jeddy sudah mengalahkan Paul, tapi dia merasa tidak ada yang berubah sama sekali di sini. Tidak ada hal yang membuat segalanya berubah, Jeddy masih berada di perairan ilusi ini bersama jiwa Paul yang tak sadarkan diri, dan teriakannya bahkan tidak terdengar oleh Isabella, yang merupakan penanggung jawab dari alam ini. Sontak, Jeddy jadi kebingungan harus bagaimana untuk mengatasi keadaan yang sulit ini, karena kemungkinan terburuknya, dia bisa terjebak dan terperangkap di alam ini selamanya bersama Paul, dan itu sangat menyeramkan. Tidak ada orang, tidak ada kota, tidak ada makanan, dan tidak ada gadis, ini adalah dunia yang sangat-sangat-sangat kelam dan mengerikan. Apa pun itu asal kan jangan terjebak di alam seperti ini. “B-Bagaimana ini? Aku harus bagaimana?” Bibir Jeddy jadi bergetar, dia benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia tidak bisa berpikir jernih di situasi seperti ini, satu-satunya hal yang ada di pikirannya adalah ‘aku ingin kembali ke duniaku’, hanya itu saja. Tanpa sadar, karena saking gelisahnya, air mata Jeddy jadi mengalir dari matanya dan hidungnya jadi terisak-isak, ia menangis dalam keheningan, tidak tahu apa yang harus dilakukannya di sini. Rasanya seperti kiamat, bahkan Jeddy lebih memilih mati jika diharuskan tinggal di tempat seperti ini. Air matanya terus berjatuhan, menetes-netes dan menimbulkan riak-riak kecil di permukaan laut. Kemudian, setelah beberapa menit setelahnya, dia lega karena emosinya sudah kembali stabil selepas menangis pilu. Sekarang, Jeddy menghapus air matanya dengan punggung tangannya lalu mengangkat badan Paul di bahunya semakin kuat dan tersenyum lebar, seraya berkata, “Baiklah! Aku siap menghadapi tantangan ini! Aku tidak akan menyerah! Bro!” Kemudian Jeddy langsung menggerakan satu lengannya dan dua kakinya, membaringkan badannya di permukaan air dan mulai berenang cepat, menerobos segala ketakutan dan kesedihan dengan sebuah keberanian. Dua matanya terbuka lebar, kelopaknya jadi sangat besar dan sorotannya tampak begitu membara seakan-akan ada api yang berkobar-kobar di dalamnya. Kelihatannya semangat dan energi besar menyelimuti Jeddy dengan sangat baik sehingga dia tidak lagi merasa takut atau menderita di tempat seperti ini, dia memaksakan dirinya untuk berani dan percaya bahwa keajaiban akan selalu ada di mana pun dirinya berada. Hanya dengan modal dua hal itu, Jeddy kembali seperti dirinya yang biasanya, tertawa terbahak-bahak dan bergembira, meski sedang berenang sendirian di laut yang sepi tersebut. Langit merah menghiasi pemandangan laut, warnanya sangat cerah dan mengkilau, seperti sebuah permata yang berkelap-kelip, sangat menakjubkan. Jeddy tak henti-hentinya terkagum dengan alam ini, dia tidak mengerti bagaimana Isabella bisa menciptakan langit seperti ini di dunia ilusinya, apa alasan dari perempuan itu membuat langit jadi berwarna merah? Apakah itu adalah penggambaran dari warna rambutnya yang unik? Atau ada alasan lain dibalik itu semua? Yah, apa pun alasannya, Jeddy tidak begitu mempedulikannya, yang penting, ia terkagum dengan keindahan dari langit di alam ini. Menghabiskan sekitar setengah jam perjalanan, Jeddy terkejut karena akhirnya dia menemukan sebuah daratan kecil tanpa pepohonan yang mengambang di tengah laut, kelihatan seperti tumpukan pasir putih, tapi agak luas jadi mirip seperti sebuah pulau mungil. Cepat-cepat Jeddy meningkat ayunan tangannya dalam berenang untuk mendatangi daratan tersebut. Sesampainya di sana, Jeddy gembira karena dia tidak perlu lagi merasa sesak untuk hidup di dalam air, karena saat ini dia sudah bisa bergerak bebas dan berlarian ke sana kemari tanpa khawatir tenggelam. Inilah yang membuat Jeddy semakin yakin bahwa keajaiban akan selalu ada di mana pun dia berada, selama ia mempercayainya dan teguh pada kepercayaannya. Sekarang tubuh Paul yang masih tak sadarkan diri, sedang dibaringkan di permukaan pasir, sedangkan Jeddy saat ini sedang duduk santai di dekatnya, sembari menikmati pemandangan laut. Entahlah, belakangan ini dia selalu bertemu dengan laut, mengingat ujian pertamanya bersama sembilan teman sesama pahlawannya adalah mengarungi lautan. Jeddy tertawa jika mengingatnya, itu adalah pengalaman yang sangat berharga karena untuk pertama kalinya dia dapat mengarungi lautan yang super luas di dunia nyata. Belum lagi mengingat segala pertengkaran dan kerja sama antar rekan sesama pahlawannya, itu selalu membuat Jeddy merasa terkesan, tidak percaya bahwa segala pertikaian yang panas ternyata bisa menjadi solusi untuk memulai sebuah kerja sama yang sangat kuat. Banyak sekali hal lain yang Jeddy pikirkan saat matanya memandangi lautan di alam ini, tapi tetap saja, Jeddy merasa kesepian di sini. Jeddy ingin keluar dan terbebas dari dunia ini bersama Paul, kembali ke dunia nyata dan melanjutkan pertarungan yang sempat tertunda. Tapi sekarang, tidak ada yang bisa dia lakukan selain menunggu keajaiban datang. Jika tidak kunjung datang, maka satu-satunya cara agar Jeddy bisa bertahan di sini adalah pasrah dan menerima keadaan. Kedengarannya memang menyedihkan, tapi hanya itu yang bisa Jeddy lakukan kalau tidak ada keajaiban yang datang menyertainya. “Uhuk! Uhuk!” Jeddy menoleh gusar saat mendengar suara batuk dari samping, dan rasa bahagia langsung muncul ketika dirinya melihat Paul yang badannya masih terbaring di permukaan pasir putih, terbatuk-batuk mengeluarkan cairan laut dari tubuhnya dan sedikit demi sedikit mengaktifkan kesadarannya dan membuka kelopak matanya lebar-lebar. Menyadari dirinya di suatu tempat yang begitu asing, Paul pun langsung mengangkat suaranya. “Ada di mana aku?” Paul bilang begitu tanpa menyadari kehadiran siapa pun di sekitarnya sehingga dia menganggap kalau dirinya sedang sendirian di suatu tempat. Maka dari itu, Paul sangat terkaget saat Jeddy tiba-tiba mendekatkan wajah ke mukanya dan berbicara, “Akhirnya kau bangun juga, Bro!” Saking kagetnya, Paul bahkan langsung mengangkat lehernya dan menubrukkan keningnya ke kening Jeddy membuat kepala lelaki berambut hijau itu terpelanting ke atas dan terbanting ke belakang. “Argh!” Dan Jeddy pun mengerang kesakitan dengan badannya yang tergeletak lemas di permukaan pasir. Kini, Paul segera membangunkan badannya untuk berdiri dan mengamati keadaan sekitar untuk melihat sedang berada di mana dirinya ini, dan keterkejutan menyerang perasaaanya saat sadar bahwa dirinya masih berada di alam ilusi ciptaan Isabella. “b******k! MENGAPA KITA MASIH BERADA DI SINI, JEDDY!?” bentak Paul yang kelihatannya sangat marah menyadari dirinya tidak keluar ke dunia nyata. Paul menolehkan kepalanya dan bertanya dengan bersungut-sungut pada lelaki berambut hijau itu yang kini tengah tertatih-tatih membangunkan badannya untuk berdiri tegap. “Seperti yang kau lihat, Bro?” ucap Jeddy, menjawab pertanyaan Paul yang tampak kebingungan dengan situasi ini. “Kita masih berada di sini, dan mengalahkanmu ternyata tidak membuat keadaan berubah, semuanya tetap sama seperti ini, Bro.” “Lalu bagaimana agar kita bisa keluar dari alam sialan ini!? Aku tidak mau menghabiskan sisa hidupku dengan tinggal di tempat aneh seperti ini!! Pokoknya kita harus mencari cara agar bisa kembali ke dunia nyata! Cepat berpikirlah, b******k! Kita butuh sesuatu!” “Tidak, Bro,” balas Jeddy dengan menggaruk-garukkan pinggangnya. “Tidak ada yang bisa kita lakukan di sini selain menunggu keajaiban datang.” “Hah?” Sontak, mendengar hal aneh yang barusan disebutkan oleh Jeddy, membuat dua alis Paul terangkat serentak. “Menunggu keajaiban kau bilang?” Mendecih, Paul langsung nyerocos pada Jeddy dengan suaranya yang membahana. “Hentikan pemikiran konyolmu! Keajaiban atau apa pun itu tidak akan pernah datang! Yang bisa menyelamatkan kita hanya diri kita sendiri! Seberapa besar usaha kita, itulah hasil yang kelak akan kita didapatkan! Jangan bertingkah seolah-olah kau sedang berada di negeri dongeng! Jika kau cuma duduk diam menunggu, tidak ada yang terjadi selain tubuhmu perlahan-lahan membusuk di sini!” Tersadar pada omongan Paul, akhirnya Jeddy menganggukkan kepalanya dan tersenyum. “Wah! Terima kasih, Bro! Sekarang aku sudah paham! Kalau begitu, ayo kita cari cara agar bisa keluar dari dunia ini, Bro!” Jeddy pun memejamkan matanya dan seketika mendapat ide yang menarik. “Bagaimana kalau kita buat sebuah alat agar kita bisa pergi ke dunia nyata, Bro!?” “Jangan konyol! Tidak ada yang bisa kita buat di tempat yang hanya tersedia air laut dan pasir begini! Membuat sesuatu setidaknya harus punya sumber daya dan bahan-bahannya, jika itu semua tidak ada! Sama saja omong kosong!” “Lalu, bagaimana, Bro?” “Mungkin,” Tiba-tiba suara Paul jadi menggeram dengan matanya yang mendelik tajam ke arah Jeddy. “Kita harus mati di alam ini.” Hening seketika, sebelum akhirnya Jeddy terbelalak dan berseru. “KAU SERIUS, BRO!?” “Tentu saja aku serius, Bodoh!” bentak Paul dengan menggertakkan gigi-giginya dengan buas. “Cuma itu cara yang aku dapatkan dari pemikiranku. Mungkin saja setelah kita mati di alam ini, kita akan secara otomatis dipindahkan ke dunia nyata dan kembali menyatu ke wujud fisik kita untuk melanjutkan hidup,” Entah kenapa, Paul kembali melanjutkan perkataannya dengan meneguk ludahnya. “Atau kemungkinan buruknya, kalau kita mati di dunia ini, maka kita juga akan mati di dunia nyata.” Sebetulnya Paul sadar bahwa ide yang didapatkannya itu terlalu beresiko dan tidak ada bukti bahwa itu bakal berhasil, karena itu masih hanya sekedar pemikiran liarnya saja yang mencoba ingin mengatasi situasi membingungkan ini. Tapi sayangnya, berapa kali pun Paul mencari cara lain, yang terpikirkan hanya itu saja. Entahlah, mungkin memang sifatnya yang terlalu brutal, hingga ide yang berasal dari pemikirannya pun tampak begitu mengerikan untuk dicoba. Jeddy merasa enggan untuk mencoba cara yang diungkapkan oleh Paul, dia takut jika itu gagal, maka dia akan benar-benar mati di dua dunia dan itu sangat menyeramkan. Sebab masih banyak sekali hal yang ingin dilakukannya di dunia nyata dan Jeddy juga masih belum siap untuk tewas dalam usia semuda ini. Karena itulah, Jeddy langsung berkata. “B-Bro? Kurasa kita harus cari jalan keluar lain, tidak mungkin kita harus menewaskan diri di tempat seperti ini, Bro? Maksudku, bagaimana cara kita mati? Tenggelam di laut atau mati kelaparan?” “Tentu saja saling membunuh, k*****t!” Tersentak, Jeddy buru-buru mencairkan suasana. “Hahahaha! Kau ini ada-ada saja, Bro! Itu terlalu berlebihan, Bro! Daripada saling membunuh, lebih baik kita saling melindungi karena kita sedang berada di dunia yang asing, tidak ada yang tahu ada bahaya apa di dunia ini, karena kita bukan penghuni di alam ini! Benar, kan, Bro? Hahahahaha!” “Jangan tertawa di situasi seperti ini, Bodoh!” Paul langsung menjitak kepala Jeddy. “Kalau begitu, apa? Kau mau menyarankan apa agar kita bisa keluar dari dunia b******k ini!? Hah!? Cepat bilang padaku!” Raungan Paul benar-benar tegas dan memaksa Jeddy untuk mengungkapkan pemikirannya dalam mencari jalan keluar dari dunia ini, tapi mau dipaksa sebagaimana pun, tetap percuma saja karena Jeddy sama sekali tidak memikirkan cara apa pun. Otaknya sudah sangat buntu dan sedang kebingungan. Akhirnya mereka hanya duduk dalam diam, memandangi pemandangan laut dengan suasana yang sepi. Entah kenapa, terlintas wajah seseorang yang dirindukannya, dan itu adalah wajah ibunya. Paul benar-benar ingin pulang, kembali ke kamarnya, dan juga bertemu dengan ibunya, dia merindukan masa-masa di mana ia masih sering makan malam bersama ibunya dan tertawa bersamanya. Begitu pula dengan Jeddy, karena termenung, ia jadi teringat pada keadaan orang tuanya yang masih dipenjara atas kesalahan mereka. Terakhir kali Jeddy menjenguk mereka, ayahnya sudah kembali normal, tidak lagi berwujud seperti seekor kambing. Namun, meskipun begitu, Jeddy selalu berharap semuanya kembali seperti dulu lagi. Jeddy ingin menghabiskan waktu bersama keluarganya lagi di rumah, dan saling bercanda dan terbahak-bahak pada setiap hal yang sepele. Suasana-suasana semacam itu, yang terkadang membuat Jeddy jadi ingin menangis. Dan tanpa disadari, Paul dan Jeddy mengeluarkan air matanya dalam hening, karena saat ini posisi duduk mereka saling memunggungi, membuat masing-masing dari mereka tidak tahu kalau orang yang duduk di dekatnya, juga sedang menangis sama sepertinya. Barulah sadar ketika hidung mereka terisak secara bersamaan, dan menimbulkan kekagetan. “Kau menangis, hah!?” tanya Paul dengan menolehkan kepalanya ke belakang. Jeddy juga melakukan hal yang sama. “Kau juga menangis, Bro!?” Dan akhirnya, mereka malah tertawa renyah, terbahak-bahak seolah-olah itu adalah kejadian yang sangat lucu saat kau memergoki temanmu tengah menangis dalam diam. “Kau menangis kenapa, Jeddy?” Kini suara Paul mulai sedikit lebih halus dari sebelumnya. “Aku hanya rindu dengan keluargaku, Bro.” Terkejut karena alasannya sama persis seperti dirinya, Paul pun tersenyum tipis. “Ya, aku mengerti perasaanmu,” kata Paul dengan kembali terisak-isak, menahan ingusnya. “Aku juga sangat merindukan keluargaku. Aku ingin mendengar suara ibuku.” Sampai akhirnya, Jeddy dan Paul menundukkan kepalanya masing-masing, kembali mengeluarkan air matanya dalam kesedihan
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD