Red - 76

2196 Words
“Hah?” Kelopak mata Paul langsung terbuka dalam sekejap, dan langit birulah pemandangan yang pertama kali dilihatnya sebelum alisnya mengerucut dan hidungnya mengerut. “Sekarang, ada di mana aku?” Itulah yang Paul ucapkan sebelum kepalanya menoleh ke samping dengan badannya yang masih terbaring di permukaan tanah gersang. Paul terkejut saat mengetahui bahwa dirinya sudah berada di arena pertandingan di Pulau Gladiol, karena dia melihat sosok Isabella yang sedang mengobrol ringan dengan Gissel. “Aku sudah kembali, ya?” Dua perempuan itu secara serentak langsung menengok ke tempat Paul terbaring saat mendengar suara Paul yang sengaja dinyaringkan. “Paul sudah sadar!” pekik Gissel dengan tercengang saking kagetnya melihat wajah Paul yang kini telah terbangun sempurna, sedangkan Isabella hanya tersenyum bahagia memandang mentornya yang telah kembali. Jeddy kelihatannya masih belum sadar, karena dia masih terlelap di pangkuan paha Isabella, dan itu membuat Paul sedikit mencemaskannya. Mengetahui dirinya telah kembali ke dunia nyata, tentu saja Paul sangat gembira, dia segera membangunkan badannya untuk terduduk dan memegang kepalanya yang sedikit pusing, lalu dia mengerjap-erjapkan kelopak matanya dan menatap wajah Isabella dan Gissel yang ada di depannya. Dua gadis itu tampak senang melihat dirinya telah bangun, lalu Gissel langsung mendekat dan bertanya pada Paul. “Apa kau baik-baik saja?” Mengernyitkan alisnya, Paul merasa heran pada sikap Gissel yang tiba-tiba perhatian begitu padanya, mengingat gadis itu cukup menjengkelkan saat berhadapan dengannya di ruangan penuh bunga. “Bukan urusanmu! Dan untuk apa kau kemari, hah? Kau tidak ada kaitannya dengan masalah ini, duduklah kembali di kursimu, gadis manja!” bentak Paul dengan mendecih kesal, tidak suka pada sikap sok akrab yang dilakukan Gissel terhadapnya barusan. Berusaha memakluminya, Gissel menganggukkan kepalanya dan tersenyum tipis, meski sebenarnya dia sakit hati dan agak sedikit jengkel. “Oh, syukurlah kalau kau baik-baik saja. Aku kira kau masih merasa pusing atau bagaimana, ternyata sudah sehat, ya. Kalau begitu aku permisi,” Kemudian Gissel mendatangi Isabella dan berkata, “Isabella, sepertinya tugasku di sini sudah selesai, aku harus kembali ke tempatku. Aku harap kau memenangkan pertandingan ini, semoga berhasil, ya.” Isabella menganggukkan kepala sambil melambaikan tangannya, “Terima kasih banyak, Gissel.” Akhirnya, Gissel melompat-lompat dan kembali ke bangku para penonton, untuk melanjutkan urusannya yang lain. Isabella memandangi kepergian gadis berambut perak keriting itu dengan tersenyum senang, dia tidak menyangka dapat bertemu dengan orang sebaik Gissel, dan ia juga tidak menduga kalau seorang perempuan pun terpilih menjadi seorang mentor. Isabella kira semua mentor di dunia ini adalah laki-laki, ternyata tidak begitu, ya. “Mengapa orang seperti dia datang kemari!?” Baru saja Isabella kembali menolehkan kepalanya untuk melihat Paul, ia tersentak saat orang itu ternyata sudah ada di belakangnya, sedang berdiri tegak dengan melipatkan dua tangannya dan wajahnya memasang tampang muak, begitu kesal melihat keberadaan gadis yang bernama Gissel. “Apa yang kau bicarakan dengannya, Isabella!?” Paul langsung menundukkan kepalanya untuk melihat Isabella yang duduk di sampingnya, dengan memelototkan kelopak matanya lebar-lebar, seakan-akan seperti seorang polisi yang sedang menginterogasi p**************a. “Tenanglah, Paul,” Karena Paul ada di dekatnya sambil berdiri, itu kesempatan Isabella untuk menjulurkan tangan kanannya tepat ke s**********n Paul, lalu ia meremas-remas buah zakar mentornya dengan manja sampai urat-uratnya jadi menegang sempurna di balik celana Sang Mentor. “Kau tidak perlu khawatir, dia orang baik, kok. Dia datang kemari bukan ingin mencelakaiku, dia hanya mau menemaniku yang sedang kesepian karena ditinggal oleh dirimu, Paul~” “b******k!” Paul langsung menepis tangan-tangan nakal Isabella yang meraba-raba selangkangannya dan membentaknya dengan dahi berkedut-kedut. “Jangan menyentuhku!” Setelah itu, Paul mendudukkan badannya di sebelah Isabella dan memandangi Jeddy yang masih terlelap di pangkuan perempuan berambut merah itu. “Dia masih belum bangun juga?” “Entahlah,” Isabella mengedikkan bahunya dengan mengangkat dua tangannya sembari menggeleng-gelengkan dagunya. “Aku juga tidak tahu, mungkin saja dia sudah sadar lebih dulu darimu, tapi karena masih nyaman tidur di pangkuanku, dia jadi pura-pura masih tak sadarkan diri.” ungkap Isabella dengan terkikik-kikik. “Kalau memang begitu, maka,” Secara paksa, Paul menarik leher Jeddy dan membantingkannya ke tanah. “Kita harus melepaskan kepalanya dari pahamu!” “Argh! Kau kenapa, Bro!? Ini sakit!” Jeddy mengerang saat wajahnya terbanting ke tanah yang penuh pasir sehingga mukanya jadi dipenuhi debu dan menyebabkan ia jadi terbatuk-batuk sejenak. Jeddy pun langsung membangunkan tubuh kekarnya dan tersenyum lebar pada Isabella dan Paul sembari menggaruk-garukkan belakang kepalanya. “Hahahaha! Aku baru saja bangun, kok, Bro! Kau yang lebih dulu sadar dibanding denganku, Bro!” Tentu saja itu bohong, karena nyatanya Jeddy memang lebih dulu sadar dari Paul, dan ia malah terus berpura-pura tak sadarkan diri karena terlalu nyaman menempel di paha mulusnya Isabella, apalagi tubuh perempuan itu masih sedang telanjang, hanya mengenakan celana dalam dan branya saja yang berwarna merah, membuat keseksiannya sangat tertampak jelas di hadapan Jeddy. Pria mana pun pasti bakal melakukan hal yang sama seperti Jeddy, itu adalah kenikmatan yang luar biasa, tidak ada tandingannya sama sekali. “Padahal kau tidak perlu semarah itu pada Jeddy,” kata Isabella dengan mendesah-desahkan suaranya, membuat muka Paul memerah pekat saking kesalnya. “Kalau kau mau, aku juga bersedia melakukannya untukmu, kok.” Isabella menggoda Paul dengan terkikik-kikik renyah, sementara Paul benar-benar benci jika dipermainkan seperti itu. “TUTUP MULUTMU, ISABELLA!” Setelah Paul berteriak kencang begitu, yang suaranya juga terdengar ke seluruh penjuru arena, karena masih menempelkan mikrofon mungil di pipinya, semua penonton yang menjerit-jerit dan berteriak-teriak mendadak ambruk, berjatuhan ke kursi, ubin, atau tembok, membuat kericuhan jadi senyap dalam mendadak. Paul bersama Jeddy dan Isabella pun terkaget dengan perubahan suasana yang sangat cepat itu, apa yang menyebabkan seluruh penonton yang jiwanya tenggelam di dunia ilusi, tiba-tiba jatuh pingsan secara kompak begitu? Apakah teriakan Paul menciptakan efek tertentu sehingga jiwa-jiwa mereka langsung kembali ke tubuh asalnya masing-masing? Yah, apa pun itu Paul senang karena satu-persatu dari para penonton yang ‘kerasukan’ sudah bangun dan normal kembali, hingga akhirnya suasana sudah kembali seperti sebelumnya, ramai dan menyenangkan. Isabella sangat bahagia melihat para penonton sudah keluar secara bersamaan dari dunia ilusinya dan bisa kembali menikmati pertandingan di bangkunya masing-masing, begitu juga dengan Jeddy yang begitu gembira karena bisa melanjutkan pertarungan tanpa ada yang perlu dikhawatirkan. “Sepertinya semuanya sudah kembali normal, ya.” Nico, tersenyum di depan Abbas, saat melihat orang-orang yang ada di sekitarnya sudah tidak berteriak-teriak lagi. Mereka berdua masih sedang beristirahat di bangku sebelumnya dan mereka senang karena misi mereka ternyata telah tuntas, yang akhirnya pencarian Sang Penguasa sudah tidak diperlukan lagi. Nico dan Abbas pun beranjak dari bangku kosong itu dan kembali berjalan menuju kursi-kursi mereka yang sebelumnya, begitu pula Cherry, Naomi, Victor, dan Koko yang sudah kembali duduk di kursi mereka masing-masing untuk menyaksikan pertarungan lanjutan dari pertandingan Isabella dan Jeddy melawan Paul yang sempat tertunda. Memandang situasi sudah kembali kondusif, Roswel tersenyum dengan bagian bawah jubahnya yang melambai-lambai tersentuh hembusan angin, lelaki berkulit pucat itu pun segera mengumumkan pada para penonton bahwa pertarungan tersebut akan segera dilanjutkan, dan seluruh penonton bergembira mendengarnya sembari bersorak-sorai, mendukung jagoannya masing-masing yang mulai kembali bertanding. “Baiklah, aku akan memundurkan langkah dan menyediakan kalian waktu untuk bersiap-siap, sekarang, aku tidak akan lagi masuk ke dalam jebakanmu, Isabella.” tutur Paul sambil memundur-mundurkan langkahnya semakin jauh ke depan dari hadapan Jeddy dan Isabella, memberikan keringanan pada lawannya untuk mempersiapkan diri, walau sebenarnya ia sudah tidak tahan lagi ingin cepat-cepat menghabisi dua pahlawannya itu. Membangkitkan badannya untuk berdiri tegap, Isabella dan Jeddy tersenyum melihat Paul dengan berbaik hati memberikan mereka waktu untuk bersiap-siap, kemudian pasangan itu saling menatap dan berbisik dengan pelan. “Menurutmu bagaimana, Jeddy?” bisik Isabella dengan menyunggingkan senyuman manisnya, bersikap santai dan ramah, meski sebenarnya hatinya sangat tegang dan gundah karena bingung harus menggunakan strategi bagaimana lagi untuk mengalahkan Paul, mengingat kemampuannya telah mengacaukan pertandingan dan ia tidak mau lagi menggunakkannya. “Aku harap kau punya rencana lain yang lebih sederhana tapi berpeluang bagus untuk memenangkan pertarungan ini.” Mendengar itu, langsung saja Jeddy menganggukkan kepalanya dan memukul dua kepalan tangannya di depan d**a sembari mengatakan, “Ya! Aku punya rencana lain yang lebih simpel dan bisa langsung mengalahkan Paul dalam sekejap!” seru Jeddy yang juga didengar oleh para penonton dan juga lawannya. Mempercayakan semuanya pada Jeddy, Isabella hanya terkikik sambil berkata, “Kalau begitu, mari kita lakukan sekarang, Jeddy~” desah Isabella dan langsung memberikan telinganya lebar-lebar pada pasangannya. Agar pembicaraannya tidak didengar oleh para penonton, Isabella dan Jeddy secara serentak, melepas dan melemparkan mikrofon mungil yang menempel di pipi mereka dan langsung saling berbisik untuk mendiskusikan rencana baru untuk mengalahkan Paul dalam sekejap. Jeddy lah yang berbisik di telinga Isabella dan perempuan berambut merah dan bertubuh seksi itu hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum tipis, sesekali tertawa, sampai akhirnya selesai-lah mereka dalam merundingkan strategi dan kembali berdiri tegak dengan memandangi lawannya yang ada jauh di depan mereka. “Heh! Apa pun rencananya, kalian tidak akan pernah bisa mengalahkan orang sepertiku!” raung Paul dengan penuh kepercayaan diri, seolah-olah hanya dirinya lah yang paling kuat dan tidak terkalahkan. “Asal kalian tahu saja, kemenangan Colin dan Lizzie, itu hanya kebetulan saja! Itu terjadi karena aku lengah, tapi sekarang, aku tidak akan lengah lagi!” Setelah berbicara begitu, Paul langsung berlari mendatangi lawannya, dan Jeddy ikut berlari ke depan mendekati mentornya. Ketika dua lelaki itu saling mendekat, mereka langsung saling menghantamkan pukulannya masing-masing di pipi lawan, sebelum akhirnya ambruk secara bersamaan ke tanah. Masih belum puas, Paul kembali bangkit, Jeddy juga demikian, dan kembali melakukan hal yang sama seperti tadi, saling memukul, menghajar, meninju, meraung-raung, hingga ambruk ke tanah berkali-kali. Para penonton sangat tegang menyaksikannya, mereka jadi kebingungan siapa yang akan bertahan dalam pertarungan sengit antara Jeddy dan Paul itu, mengingat dua lelaki itu punya otot, tenaga, energi, dan semangat yang nyaris setara, seolah-olah mereka semua seperti sedang melihat dua singa yang sedang berkelahi, menunjukkan pada dunia siapa yang pantas menduduki peran sebagai penguasa rantai makanan, hingga akhirnya Paul dan Jeddy mulai kelelahan dan tidak lagi segesit sebelumnya dalam membenturkan hantaman tangannya kepada lawannya masing-masing. Namun, saat Jeddy sudah tidak kuat lagi, orang itu langsung terkulai-kulai dan jatuh ke tanah dengan napas terengah-engah, seluruh tubuhnya pun jadi penuh luka lecet akibat pertarungan sengit barusan melawan Sang Mentor. Sedangkan Paul, terlihat masih mampu berdiri tegak, meski pergerakannya agak melambat dari dirinya yang sebelumnya. Lelaki berwajah sangar itu sudah tidak lagi segesit dirinya yang tadi, membuat siapa pun yang menontonnya jadi agak terkejut. Kini dua kaki Paul melangkah secara perlahan, mendekat dan mengarah ke sosok Isabella yang masih berdiri santai di posisinya, perempuan bertubuh seksi dan berambut merah itu tampak berseri-seri saat Paul dengan wajah babak belurnya dan badan penuh luka pukulan, mendatanginya. “Tinggal sedikit lagi… hingga aku bisa memenangkan pertandingan ini!” seru Paul dengan terengah-engah, napasnya sudah terasa sesak karena rasa lelah membuncah di seluruh tubuhnya, tapi dia tidak mau menyerah dan terus berjalan maju mendatangi Isabella. “Aku tahu, meskipun tubuhku sedang lemah begini, kau tidak akan mampu mengalahkanku, Isabella. Jadi daripada kau merasakan pukulanku, lebih baik kau menyerah saja secara langsung di sini. Cepatlah, sebelum aku benar-benar mendekatimu.” Karena sudah tidak lagi menggunakan mikrofon, suara Isabella tidak akan terdengar oleh para penonton, itulah mengapa dia memilih diam saja dan tidak merespon segala yang Paul katakan karena itu percuma saja, tidak akan terdengar. Malah sebaliknya, bukannya ketakutan, Isabella malah terkesan senang sekali melihat Paul mendatanginya, seolah-olah hal yang diinginkannya akan terwujud dengan sempurna. Setelah sudah sangat dekat, Paul tidak langsung menghajar wajah Isabella, dia memandanginya dulu dan menyeringai buas. “Sekarang mau bagaimana? Kau tidak akan bisa mengalahkanku dengan tangan-tangan lemahmu itu. Satu-satunya orang yang melindungimu, sudah dihabisi olehku, dan kau juga sekarang tidak bisa menggunakan kekuatanmu seperti sebelumnya, mengingat kau belum bisa mengendalikannya,” kata Paul, tampak meremehkan Isabella, dan perempuan itu sama sekali tidak terpengaruh dengan segala ejekan yang mentornya lontarkan padanya, seolah-olah itu bukan hal yang penting. “Katakan saja sekarang, kau mau dihabisi dengan cara apa, hah?” tanya Paul, memperlihatkan gigi-gigi tajamnya yang tampak berbahaya, seperti gigi-gigi ikan piranha yang dapat mencabik-cabik tubuh manusia tanpa sisa. “Bagaimana, ya?” Isabella mulai mengeluarkan suaranya, meski tidak begitu terdengar oleh para penonton. “Di sisi lain, aku sangat takut padamu, karena kau sangat mengerikan ketika menghabisi lawan-lawanmu, tidak peduli mereka itu siapa, tapi di sisi lain, aku juga tidak mau melewatkan kesempatan emas ini, karena kapan lagi aku bisa melakukan ini di hadapan banyak orang, kan?” Tidak paham pada apa yang dikatakan oleh Isabella, Paul memiringkan kepalanya. “Hah? Kau ini bicara apa, b******k?” Sontak, karena sudah tidak tahan lagi, Isabella langsung menjongkokkan badannya tepat di depan Paul, karena jarak mereka sangat dekat, membuat perempuan itu dapat melancarkan aksiya dengan sempurna. Paul terkejut saat Isabella mendadak berjongkok di depan badannya, dan tangan-tangan gadis itu menyentuh bagian pinggangnya dan langsung memelorotkan celana pendek sekaligus celana dalam milik mentornya, membuat Sang Mentor jadi memperlihatkan kejantanannya pada seluruh penonton. Situasi di arena langsung heboh, semua penonton perempuan menjerit-jerit kegirangan, melihat ukuran p***s Paul yang sangat besar, dan para penonton lainnya tercengang dengan kejadian itu. Sedangkan muka Paul langsung memerah pekat dengan mulut menganga, dan secara santai Isabella mendongakkan kepalanya sembari mengenggam erat leher p***s milik Paul dengan tangan kanannya dan berkata, “Sekarang bagaimana, Paul?” “A-AKU MENYERAH!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD