Red - 77

2137 Words
Secara resmi, pertandingan kedua telah berakhir dengan hasil yang dimenangkan oleh Isabella Melvana dan Jeddy Griggory, mereka berdua berhasil mengalahkan Paul dengan cara yang cukup licik dan nakal, yaitu mempermalukan Sang Mentor dengan memelorotkan celananya agar para penonton dapat melihat kejantanan Paul yang besar dan berurat secara gratis. Tentu saja karena itu, Paul merasa malu dan tidak ada lagi yang ingin dia katakan selain ‘aku menyerah’ di pertandingan tersebut. Berakhirnya pertandingan kedua telah membuat para penonton jadi semakin tertarik pada pahlawan-pahlawan dari Madelta, karena dari yang mereka saksikan, masing-masing dari sepuluh pahlawan punya keunikan dan kekonyolannya sendiri dalam menunjukkan kemampuannya pada semua orang. Berkali-kali mereka dikagetkan dengan hal-hal mengejutkan di setiap pertandingan, entah itu amarahnya Lizzie yang berani menantang dan merendahkan mentornya, ketakutannya Colin yang mendadak lenyap dan jadi satu-satunya orang yang bertahan di akhir pertandingan, kericuhannya Isabella yang tidak dapat mengendalikan kemampuannya, dan kekonyolannya Jeddy yang menggunakan strategi sederhana dalam memenangkan pertandingannya. Itu baru empat orang, dan para penonton sudah sangat terhibur, seolah-olah keseruannya tidak pernah pudar dan membuat tiap-tiap dari orang yang menyaksikan pertandingan makin tidak sabar ingin melihat kejutan apa lagi yang akan hadir di pertarungan selanjutnya. Pasti bakal lebih gila dan mencengangkan dari sebelum-sebelumnya, sampai sebagian besar dari para penonton—yang semuanya adalah kumpulan mentor dan pahlawan dari berbagai negara—jadi mengidolakan pahlawan-pahlawan dari Madelta. Tentu saja mereka mengidolakannya, sebab pahlawan-pahlawan dari Madelta memiliki keunikan dan auranya masing-masing, dan semuanya sangat hebat dan mempesona. “Konyol sekali,” Leo mendengus dengan kesal saat menyadari seluruh penonton jadi terkesan mengagumi pahlawan-pahlawan bimbingannya Paul. “Selera mereka rendahan sekali, sampai mengidolakan kelompok yang jelas-jelas tidak berkompeten dalam berperan sebagai pahlawan. Aku yakin, beberapa tahun ke depan, sepuluh orang itu hanya akan jadi beban di Asiosasi Pahlawan Dunia, lihat saja nanti.” Perkataan-perkataan yang diucapkan oleh Leo diberikan anggukan-anggukan kepala oleh pahlawan-pahlawan bimbingannya, mereka semua setuju pada anggapan mentornya dan menilai bahwa sepuluh pahlawan dari Madelta hanyalah kumpulan orang lemah dan payah yang kebetulan terpilih menjadi seorang pahlawan. Sementara Vardigos, yang juga mendengar apa yang dikatakan oleh Leo, hanya melirik sedikit ke mentor bimbingannya dan kembali memandang lurus ke lapangan dengan menghela napas, sepertinya mentor bimbingannya ini punya kecemburuan dan kedengkian yang sangat besar terhadap kelompok pahlawan dari Madelta. Padahal, hubungan Vardigos dengan Roswel, yang merupakan pelayan pendamping dari kelompok pahlawan Madelta, cukup baik. Ia jadi bingung harus menanggapinya bagaimana mengingat Roswel begitu ramah padanya, tidak mungkin dia ikut membenci kelompok pahlawan Madelta hanya karena mentornya juga membenci mereka. Itu tidak mungkin, sangat tidak mungkin. Apalagi sebelumnya Vardigos juga sempat menolong salah satu pahlawan dari Madelta yang tenggelam di dunia ilusi, ia yakin jika Leo mengetahuinya, anak itu pasti bakal sangat kecewa padanya. Mungkin, untuk sementara, Vardigos abaikan saja kemarahan mentornya dan menyembunyikan hubungan baiknya dengan kelompok Madelta dari mereka, anak-anak bimbingannya. Sementara itu, di lokasi yang berbeda, Isabella dan Jeddy sedang terbahak-bahak di kolam penyembuhan, mereka tidak henti-hentinya membicarakan ekspresi Paul saat celananya dipelorotkan oleh perempuan itu membuat mereka jadi tertawa tak henti-hentinya. Colin dan Lizzie yang juga ada di sana, hanya terdiam dengan kaku, tidak percaya kalau pertandingan kedua akan berakhir dengan kekonyolan seperti itu. Colin dan Lizzie saling menatap dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kalian benar-benar melakukan itu pada Paul?” tanya Colin, yang masih ingin memastikannya, karena bisa saja yang Isabella dan Jeddy katakan hanya kebohongan semata agar suasana jadi cair dan menyenangkan. “Ya, Bro! Kami telah merencanakannya dengan baik!” jawab Jeddy dengan terbahak-bahak. “Dan Isabella-lah yang melakukannya, aku hanya berperan sebagai pengalih saja agar Paul kelelahan! Hahahahah!” “Dan dia menyerah?” Lizzie menaikan sebelah alisnya, agak bimbang harus percaya atau tidak pada cerita yang disampaikan oleh dua orang yang baru saja bertanding tersebut. “Dia menyerah 100%,” ucap Isabella, dengan terkikik-kikik, menimpali pertanyaan Lizzie yang terkesan belum sepenuhnya mempercayai mereka. “Lagipula siapa orang yang bakal bertahan saat alat kelaminnya dipertontonkan di hadapan banyak orang? Itu benar-benar menggelikan, kan?” “Lalu, sekarang dia ada di mana?” Colin kembali bertanya, menanyakan keberadaan mentornya. “Biasanya dia juga akan kemari untuk menyelam sejenak di sini agar luka-lukanya disembuhkan, tapi mengapa dia belum datang juga?” “Entah,” kata Isabella dengan menenggelamkan setengah kepalanya di kolam air hangat itu. “Mungkin dia sedang mengeluarkan spermanya di suatu tempat karena sebelumnya gadis secantik dan seseksi diriku memegang p***s besarnya, bisa saja begitu, kan?” “Kau ini,” Menghembuskan napasnya, Colin menyenderkan punggungnya di tepian kolam dengan santai. “Bukankah jahat sekali mempermainkan Paul sampai sebegitunya? Dia juga manusia biasa, loh. Mungkin dia sedang menenangkan mentalnya karena kejadian tadi telah membuatnya merasa dipermalukan.” “Dipermalukan, ya?” Isabella mengerjap-erjapkan matanya dan menguap lebar. “Tapi tidak masalah, kan? Paul juga terkadang mempermalukan kita di hadapan banyak orang, contohnya saat pertandingan pertama, dia menyebutmu pengecut dan pecundang berkali-kali, itu juga pasti mempermalukan harga dirimu, kan, Colin?” Colin hanya terdiam. “Lalu,” Kini Lizzie yang bersuara, dengan matanya mengerling tajam ke sosok Jeddy dan Isabella. “Kudengar ada kericuhan sebelumnya di pertandingan kalian, itu ada insiden apa? Pembunuhan? Perkelahian? Atau apa?” Seketika, Isabella dan Jeddy saling menatap dan merenung. “Sebenarnya itu kericuhan yang disebabkan olehku,” ungkap Isabella, menjelaskan penyebab utama dari peristiwa gaduh sebelumnya. Lizzie sedikit tidak paham mengapa kericuhannya disebabkan oleh Isabella. “Awalnya aku menggunakan kemampuanku untuk mengalahkan Paul dan memenangkan pertandingan, tapi aku lupa kalau aku masih payah dalam mengendalikan kemampuanku, hingga akhirnya itu jadi menyebar ke sebagian penonton dan membuat arena jadi sangat kacau.” “Tunggu, tadi kau bilang apa?” Colin kembali bersuara, tampak tertarik dengan pembahasan tersebut. “Kemampuan? Kemampuan apa yang kau maksud? Apakah kemampuan yang sama seperti diriku di pertandingan pertama? Yang membuat seluruh tubuhku jadi bercahaya berwarna biru?” Menggelengkan kepalanya, Isabella mulai menjelaskannya pada Colin. “Tidak, itu tidak sama sepertimu,” Isabella terdiam sejenak. “Kemampuanku sudah ada bahkan sebelum aku terpilih menjadi seorang pahlawan, dan ini juga bukan kemampuan yang terlalu hebat, dan dulu, ketika aku masih menjadi seorang p*****r di Kota Luna, aku selalu menggunakan kemampuan ini untuk menarik para laki-laki agar ketagihan b******a denganku, tapi untuk kasus ini, aku menggunakannya untuk mengalahkan Paul.” “Memangnya apa kemampuanmu?” Lizzie lah yang kini bertanya pada Isabella. “Hipnotis,” jawab Isabella secara cepat. “Aku menghipnotis banyak laki-laki agar mereka merasa hanya akulah perempuan yang dapat memuaskan hasrat b***t mereka, tapi saat melawan Paul, aku menggunakan kemampuanku dengan sedikit kasar dan menyeramkan, dan saat baru setengah jalan, tiba-tiba aku bingung harus bagaimana untuk mengakhiri kemampuan ini, tanpa sadar Paul malah menyebarkan ilusiku ke setiap penonton yang pikirannya kosong, dan itulah penyebab kericuhan terjadi.” “Bagaimana Paul melakukannya? Dan bagaimana kau bisa mengakhirinya?” “Kalau soal Paul, aku juga tidak tahu karena dia juga tidak menjelaskannya padaku,” terang Isabella dengan merenung. “Tapi mengenai caraku yang akhirnya bisa mengakhiri kemampuan ilusiku, itu berkat Gissel, gadis asing berambut perak keriting, yang membantuku agar aku bisa mengeluarkan jiwa Paul dan juga jiwa Jeddy yang sempat terkurung di dunia ilusi, dan setelah itu, semuanya mulai membaik.” “Gissel?” Lizzie mengernyitkan alisnya. “Siapa orang itu?” “Katanya dia seorang mentor dari Marigold,” timpal Isabella dengan membasuh rambut merah panjangnya dengan halus. “Dan wajahnya sangat cantik, kalian juga pasti bakal mengaguminya, karena dia juga punya aura yang begitu menenangkan.” “Seorang mentor, ya?” Lizzie mengangguk-anggukkan kepalanya, mulai memahami keberagaman dari berbagai mentor dan pahlawan dari setiap negara. “Ah, ya, Bro!” Jeddy mendadak berseru dengan wajah yang terfokus pada Colin, membuat lelaki berambut biru itu jadi terheran-heran. “Soal tubuhmu yang bisa keluar cahaya itu, bukankah itu tanda kau sudah diberkati kekuatan oleh roh kunang-kunang yang ada di dalam tubuhmu? Jadi apa? Kekuatan seperti apa yang kau peroleh dari roh kunang-kunangmu? Jujur saja, Bro! Aku ketika melihat seluruh tubuhmu bercahaya, aku sangat terpukau! Hahahahaha!” Colin terkekeh dengan gugup dan mulai menjelaskannya sedikit pada Jeddy dan juga yang lainnya, “Aku juga sebenarnya masih belum paham mengapa tubuhku jadi mengeluarkan cahaya terang begitu,” ucap Colin dengan tersenyum kikuk, merasa malu-malu. “Tapi setelah melewati fase itu, aku tidak merasakan perubahan yang signifikan di tubuhku, aku hanya merasa sedikit lebih kuat dari sebelumnya. Jadi rasanya seperti aku yang biasanya hanya mampu berlari 100 meter, sekarang aku bisa mencapai 500 meter. Ya, hanya hal sepele seperti itu.” “WOAAH!” Bola-bola mata Jeddy terlihat bersinar-sinar, seperti anak kecil yang sedang menonton film animasi kesukaannya. “Itu hebat sekali, Bro! Artinya kau sekarang lebih kuat dariku! Wah! Aku harus mulai berhati-hati padamu, agar tidak terkena pukulan dahsyatmu! Hahahaha!” “Tapi itu masih perkiraanku saja, Jeddy,” lirih Colin dengan menyisir helain birunya dengan jemari tangan kanannya. “Aku masih Colin yang biasanya, tidak ada yang berubah dari diriku, jangan menganggapku seolah-olah aku jadi seekor beruang yang bakal memangsamu kapan saja. Itu terlalu berlebihan.” “Hahahah! Bukankah menyenangkan jika menganggapmu menjadi orang yang paling kuat di sini, Bro!?” Jeddy menepuk-nepuk punggung Colin yang ada di sebelahnya. “Soalnya kau selalu ketakutan pada apa pun, dan ketika mendengarmu berubah jadi orang yang kuat, aku sangat bahagia, Bro!” “Hey! Jangan menepuk-nepuk punggungku, Jeddy,” Colin meringis perih saat tangan-tangan Jeddy menepak-nepak permukaan punggungnya. “Tepukanmu sangat keras.” “Hahahhah! Oke-oke-oke, maaf, Bro!” Jeddy langsung menarik dua tangannya dan berhenti menepak punggung Colin sambil tertawa terbahak-bahak. Setelah itu, suasana kembali hening. Empat orang itu kini sedang tenggelam dalam lamunannya masing-masing sebelum akhirnya, suara gebrakkan pintu mengagetkan mereka semua. Sontak, secara refleks, mereka langsung menoleh dan memandang ke arah pintu. Di situlah mereka kaget melihat sosok yang telanjang bulat masuk ke dalam ruang kolam penyembuhan, dan itu adalah Paul Cozelario. “SUDAHLAH! AKU MUAK!” teriak Paul sembari berjalan pelan memasuki ruangan dan langsung menceburkan dirinya di air kolam penyembuhan. “Karena kalian! Aku sudah tidak peduli lagi soal kelaminku! Semua orang di Pulau Gladiol sudah terlanjur mengetahuinya dan aku sudah muak menyembunyikannya lagi!” Mendengarnya, Lizzie melotot, Colin memucat, Jeddy menahan tawanya, dan Isabella terkikik-kikik. “Ya ampun, kau ini ada-ada saja, ya,” ucap Isabella dengan menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak paham mengapa sikap mentornya jadi meledak-ledak begitu sambil bertelanjang bulat. “Aku paham perasaanmu, tapi kau tidak perlu blak-blakkan begitu, kan? Maksudku, jika kau terus memperlihatkan alat vitalmu secara cuma-cuma, kau sama saja seperti binatang, Paul.” “Hah?” Paul langsung bangkit dari kolam dan mendekat, mencengkram rambut Isabella, mengangkat kepala perempuan itu ke dekat wajahnya dan menggeram. “Kau bilang apa tadi?” Tanpa takut sama sekali, Isabella kembali mengulangi omongannya. “Jika kau memamerkan p***s besarmu itu kepada setiap orang sepanjang waktu, itu bisa membuatmu sama seperti binatang, kau tahu kan mereka, para binatang, tidak keberatan menunjukkan alat kelaminnya. Kalau kau juga melakukan itu, maka kau tidak jauh berbeda seperti hewan, Paul.” “Ya, aku tahu itu,” balas Paul dengan menggertakkan gigi-giginya, saking gemasnya pada kelakuan Isabella yang menjengkelkan. “Tapi itu semua tidak akan terjadi jika kau tidak mempermalukanku saat di lapangan, b******k!” “Aku tidak mempermalukanmu, Paul,” Dengan santainya, Isabella menimpali perkataan Paul sembari menyunggingkan senyuman tipisnya. “Itu hanya bagian dari strategi yang dibuat oleh Jeddy, jadi kurasa itu hanya sekedar cara agar kami bisa memenangkan pertandingan. Lagi pula, tidak ada larangan memelorotkan celana lawan, kan? Jadi kupikir itu sah-sah saja.” Mendengar itu, fokus Paul mulai dialihkan pada Jeddy. “Oh, jadi itu ulahmu, ya?” Perlahan-lahan, jambakan tangannya di rambut Isabella mengendur dan Paul mulai mendatangi Jeddy dengan sorotan mata yang menyeramkan, seperti iblis yang akan membantai umat manusia. “Jelaskan padaku,” Paul segera menjulurkan lengan kanannya ke leher Jeddy dan menekannya sekuat mungkin. “Rencana b***t yang kau buat untuk mengalahkanku itu.” “B-BRO! A-AKU HANYA—ARGH!” Jeddy mengerang kesakitan saat tangan kanan Paul mencekik lehernya begitu kuat. “Hah? Kau bilang apa? Aku tidak mendengarmu! Jelaskan dengan suara yang nyaring, Bodoh!” “Ayolah Paul, kau tidak perlu sekasar itu pada muridmu sendiri, kan?” Isabella tiba-tiba memeluk badan Paul dari belakang, membuat Sang Mentor terkejut karena saat ini kondisi mereka semua sedang telanjang bulat sehingga sentuhan apa pun dapat terasa sangat intim. “Hey? Paul? Ayolah? Lepaskan tanganmu dari lehernya? Kau bisa membuatnya tewas? Kau tidak mau, kan? Salah satu pahlawanmu tewas di sini? Itu bisa jadi masalah, kan? Ayolah, Paul? Lepaskan~” Sambil mengatakan itu dengan suara bisikan dan desahan, dua tangan Isabella juga sibuk memain-mainkan p***s Paul yang sedikit demi sedikit membesar dan membesar hingga akhirnya berereksi sepenuhnya. Kemudian, dengan sentuhan lembut, Isabella mengecup leher Paul dari belakang dan mulai memaju mundurkan genggaman tangannya di p***s Sang Mentor sehingga lelaki sangar itu sedikit mengerang kenikmatan. Cekikan di leher Jeddy jadi mengendur, membuat lelaki berambut hijau itu jadi terbebas, tapi dia kaget dengan ekspresi Paul yang tampaknya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD