Red - 73

1565 Words
Hening seketika. Suasana di sekitar gondola jadi sepi setelah Lizzie berteriak sebegitu kencangnya dengan memanggil nama Abbas, suaranya sampai memantul-mantul di cakrawala layaknya burung elang yang mengeak-ngeak di langit. Namun, yang membuat semua orang hening bukanlah suara unik Lizzie yang nyaring, melainkan alasan dibalik gadis tomboi itu yang mendadak bersedia menggantikan peran Cherry yang diharuskan berteriak oleh Nico. Lizzie yang mereka kenal tidak mungkin mau menuruti perintah Nico apalagi dititah untuk berteriak-teriak begitu, sudah dipastikan gadis tomboi berambut oranye itu bakal menolaknya mentah-mentah. Tapi apa ini? Tiba-tiba saja dia mau melakukannya dengan sukarela, itu membuat semua teman-teman sesama pahlawannya jadi kaget dan terheran-heran. Menghela napasnya, Lizzie berdehem-dehem sehabis meneriakkan nama Abbas. Namun dia merasakan tatapan-tatapan tajam mengarah pada dirinya, dan itu berasal dari sorot mata teman-temannya. Cepat-cepat Lizzie sadar dan memutar lehernya ke belakang untuk melihat wajah-wajah dari mereka. “Apa yang kalian lihat dariku, Para b******n!” Secara kompak mereka menggeleng-gelengkan kepalanya seraya menyunggingkan senyuman tipis. “Terima kasih atas kontribusimu, kau sangat membantu,” kata Nico dengan memandangi wajah Lizzie. “Sekarang, kita hanya perlu menunggu apakah suaramu terdengar atau tidak pada telinga Abbas.” “Jika tidak, aku akan berteriak lagi, bahkan lebih membahana dari yang pertama!” “Tidak perlu, dia pasti mendengarnya walau samar-samar, karena menurut pengamatanku, wilayah lautan mati tidak seluas yang kita kira, jangkauannya hanya sekitar 500 meter, setelah itu kita bakal berada di permukaan laut yang normal.” timpal Nico meminta Lizzie untuk tidak berteriak-teriak lagi karena sejujurnya itu menyakitkan telinganya. “Baiklah, tapi mau sampai kapan kita diam dan menunggu? Sedangkan gondola kita sudah terseret lebih dekat ke area angin p****g beliung,” Baru saja Lizzie mengungkapkannya, mereka semua tersadar kalau tekanan anginnya jadi semakin besar, bahkan rambut panjang Koko dan Isabella sedari tadi berkibar-kibar seperti sebuah bendera. “Sambil menunggu datangnya Abbas, kita harus melakukan sesuatu untuk berjuang sama-sama di sini!” Paham pada yang diucapkan Lizzie, mereka semua—kecuali Isabella—secara serentak kembali ke posisi jongkoknya masing-masing di tepian gondola, dan mulai mendayung-dayungkan tangannya ke permukaan laut mati yang sangat dingin. Melihat mereka bergerak bersama membuat Isabella tidak begitu mengerti apa yang harus dilakukannya, apakah dia juga harus ikut membantu mendayung atau apa? “Di mana aku harus mendayung? Aku merasa tepian di samping kiri dan kanan gondola penuh oleh kalian, apakah aku harus mendayungnya dari area belakang?” tanya Isabella dengan mengibaskan rambut merah panjangnya yang sempat menutupi mukanya karena terkena hembusan angin kencang. “Kau tidak perlu ikut mendayung! Jagalah di situ untuk mengamati kemunculan Abbas, jika kau melihatnya, katakan pada kami berada di mana dia!” seru Lizzie sambil mengayun-ayunkan tangan kanannya ke air laut. Lega karena tidak perlu bersusah-payah mendayung gondola ini bersama mereka, Isabella senang karena tugasnya tidak memerlukan tenaga ekstra. “Baiklah, aku akan berdiri terus di sini untuk memeriksa keadaan sekitar gondola. Semoga mataku ini bisa berguna di situasi seperti ini.” Akhirnya Isabella mulai memicingkan matanya, mengawasi baik-baik, memfokuskan penglihatannya ke segala arah demi mencari sosok Abbas yang sedang berenang. Langit sudah gelap, malam telah tiba. Bintang-bintang bertaburan banyak sekali di atas langit yang hitam, ada bulan sabit juga yang menggantung di sana. Tapi gondola yang mereka tempati tidak bisa melihat pemandangan itu karena angin yang sangat ribut membuat mereka tidak punya waktu untuk memandanginya. Beberapa menit berjuang, tampaknya mereka berhasil membawa gondola itu menjauhi area p****g beliung yang ganas itu, hembusan anginnya pun sudah tidak seribut sebelumnya di daerah sini, tapi sepertinya kegagalan sedang dirasakan oleh Isabella karena dia dari tadi tidak melihat sosok Abbas di mana pun. “Syukurlah kita bisa menghindari angin corong itu!”pekik Colin yang mukanya memucat dari semenit yang lalu. “Jika kita tidak bisa menghindarinya, kita semua bisa mati di atas gondola dan jadi potongan mayat yang beterbangan di dalam angin corong itu! Membayangkannya saja aku tidak kuat!” “Sekarang, bagaimana denganmu, Isabella?” tanya Nico dengan napas yang terengah-engah setelah mendayung sekuat tenaga dengan tubuh kurus dan lemahnya itu, keringat membanjiri seluruh badannya hingga bajunya jadi basah kuyup oleh bulir-bulir peluhnya. “Apa kau menemukan sesuatu?” Semua orang yang ada di sana pun sama letihnya seperti Nico, dan sekarang perhatian mereka sedang difokuskan pada sosok Isabella yang berdiri sendirian di tengah gondola, berharap perempuan berambut merah panjang itu melihat sesuatu yang bisa dijadikan sebagai petunjuk. Sayangnya, Isabella menggelengkan kepalanya, yang artinya dia tidak melihat apa pun selain pemandangan laut yang gelap dan sepi, hasilnya nihil dan membuat harapan mereka semua jadi pupus, mereka agak kecewa dengan hasil tersebut. Andaikan saja Isabella menemukan sesuatu, mungkin rasa lelah mereka bisa hilang dan kembali semangat untuk mendayung, tapi kenyataannya tidak begitu, dan akhirnya mereka jadi sedikit malas dalam mendayung gondolanya lagi. “Begitu, ya,” Nico merenung dalam sesaat setelah Isabella menggelengkan kepalanya. “Sudah kuduga ini tidak akan mudah, karena itulah kita harus terus berusaha agar bisa menemukan Abbas dan bisa sampai di Pulau Gladiol bersama-sama." Menganggukkan kepalanya secara serentak, teman-teman sesama pahlawannya terenyuh mendengar perkataan Nico yang terkesan optimis dan penuh energi positif. “Kalau begitu ayo kita berusaha lagi dan lagi! Kali ini kita harus bisa mendapatkan hasil yang bagus! Kau juga harus berusaha semaksimal mungkin, Isabella! Kau bersedia!?” teriak Victor dengan menampilkan wajahnya yang sangat membara, matanya berkilat-kilat, hidungnya kembang-kempis, bibirnya menyunggingkan senyuman yang lebar, dan dua tangannya diacungkan ke atas dengan terkepal kuat. Victor berdiri dengan gagahnya, seperti seorang panglima perang yang menyemangati prajurit-prajuritnya dengan pidato yang menggetarkan suasana, membuat satu-persatu dari teman-temannya menganggukkan kepala, setuju terhadap omongannya dan mulai kembali ke posisinya masing-masing dengan sempurna untuk kembali mendayung lebih kuat lagi. Tersenyum, Isabella pun mendapatkan dorongan semangat dari ucapan Victor dan ia pun kali ini ingin lebih serius dalam menjalani tugasnya sebagai pengawas lautan agar bisa menemukan Abbas atau sesuatu yang lain, semoga di kesempatan yang kedua ini perannya bisa berguna untuk teman-temannya. Bergegas ikut mendayung, Victor segera kembali jongkok dan langsung mendayung dengan berteriak kencang, menyebarkan atmosfir seorang pejuang kepada teman-temannya. Bahkan Naomi, Nico, Cherry, dan Koko mampu mengayunkan lengan mereka lebih cepat dari sebelum-sebelumnya membuat mereka jadi mendapatkan kemajuan. Begitu pula dengan Lizzie, Jeddy, dan Colin yang tampak lebih beringas dalam mendayung gondola dari biasanya. Kesembilan pahlawan bimbingan Paul saat ini terlihat begitu panas dan menggila karena tidak bisa mengontrol semangatnya yang membara-bara seperti kobaran api yang melalap segalanya. “AKU MENEMUKANNYA!” Tiba-tiba Isabella menjerit dari posisinya ketika gondola masih sedang bergerak kencang didorong oleh ayunan tangan teman-temannya, membuat masing-masing dari kawan sesama pahlawannya mendelikkan matanya ke arah perempuan berambut merah panjang itu. “Bisakah kalian mengarahkan gondolanya ke tenggara, aku tadi melihatnya sedang berenang di sebelah sana! Tolong, cepatlah!” Mendengar perintah dari Isabella, Lizzie langsung mengangguk dan meraung, “BELOKKAN GONDOLANYA SEDIKIT KE KANAN!” Mematuhi teriakan Lizzie, satu-persatu dari teman-temannya berusaha sekuat mungkin untuk membelokkan gondolanya dengan mendayung miring, setelah berhasil, dengan gesit mereka langsung mendorong gondola itu untuk maju secepat mungkin. Tercekat, Isabella kecewa karena fokusnya jadi terganggu saat kabut tebal berwarna putih tiba-tiba muncul dan menutupi pemandangannya. Ini gawat! Padahal tinggal sedikit lagi mereka dekat dengan sosok yang diduga Abbas, tapi malah ada kabut yang mengganggu. Isabella jadi sedikit resah untuk melanjutkan perannya sebagai pengawas, sebab tugasnya dihalangi oleh fenomena alam. “Maaf, tampaknya ada kabut yang menghalangi kita jauh di depan, aku jadi tidak bisa memastikan di mana posisi Abbas sekarang!” seru Isabella dengan nada yang melengking. “Sekarang kita harus bagaimana?” “TERUS MAJU!” Tidak peduli pada omongan Isabella, Lizzie memerintahkan teman-temannya untuk terus mendorong gondola ke depan. “JIKA ADA YANG MENGHALANGI, MAKA TEROBOSLAH!” Tersentak, Isabella terkikik-kikik mendengar suara Lizzie yang menggelora, membuat kawan-kawannya yang lain menuruti seruan gadis tomboi berambut oranye pendek itu. “Ya ampun, semangat sekali kalian ini, ya,” Isabella menggeleng-gelengkan kepalanya sembari melipat dua tangannya di depan d**a. “Aku jadi terangsang melihat perjuangan kalian.” Menembus kabut tebal, gondola yang mereka dayung berhasil keluar dari asap putih yang mengganggu putih itu dan di situlah akhirnya Isabella terbelalak karena ternyata, “BERHENTI!” Buru-buru Isabella menjerit histeris kepada teman-temannya meminta mereka untuk berhenti mendayung, tapi sayangnya teriakan perempuan bertubuh seksi itu tidak didengar oleh mereka sehingga gondola masih terus melaju kencang di permukaan laut. “HEY! BERHENTILAH!” “Jangan bodoh! Jika kita berhenti di sini, kita akan terjebak terus-terusan di laut! TERUS DAYUNG DAN MAJU!” pekik Lizzie tidak mempedulikan lengkingan-lengkingan Isabella yang menyuruh mereka untuk berhenti. “Memangnya ada apa sampai kau meminta kami berhenti, Isabella?” tanya Victor dengan mengernyitkan alisnya, tanpa menghentikkan tangannya untuk mendayung. Begitu pula dengan teman-temannya yang lain, mereka semua tidak berhenti mendayung tapi penasaran pada alasan Isabella meminta mereka untuk berhenti. “Apa yang kau lihat dari sana, Isabella?” Colin benar-benar heran. “Jangan bilang Isabella melihat gurita raksasa!? Cherry takut sekali dengan makhluk itu!” “Saya rasa sesuatu yang lebih mengerikan dari itu.” Sahut Naomi, sengaja menakut-nakuti Cherry sehingga muka gadis mungil berambut merah muda itu jadi sangat pucat saking takutnya. “Tidak apa-apa, kau bisa mengatakannya pada kami, Isabella.” lirih Koko dengan suara dan nadanya yang begitu halus dan lembut. “Bilang saja pada kami apa yang kau temukan, Bro!” seru Jeddy dengan menganggukkan kepalanya, setuju pada omongan Koko. “Cepat jelaskan saja pada kami.” tutur Nico dengan santai. “Kita akan menabrak sesuatu yang besar dari sebuah tempat asing,” kata Isabella dengan menghela napasnya. “Mari kita hitung sampai tiga,”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD