Bab 2

1405 Words
Perjalanan menuju rumah Dewangga sangat jauh. Lyra bahkan tidak tahu rumah pria itu di mana. Adipati tadi hanya bilang kalau rumah Dewangga berada di luar kota. “Pak,” panggil Lyra kepada Adipati yang sedang berada di kursi kemudi. Posisi Lyra saat ini berada di jok belakang. “Iya, Nona?” “Berapa hari saya akan berada di sana?” tanya Lyra takut-takut. “Pernikahan Anda akan diadakan besok pagi,” kata Adipati dengan nada sopan. “Setelahnya, Anda akan tinggal di sana.” Ucapan Adipati itu membuat Lyra jadi was-was. Bagaimana bisa dirinya besok menikah? Bukankah itu terlalu cepat? Lyra bahkan belum bertemu dengan calon suaminya itu. Apa Lyra memang harus pasrah saja menerima pernikahan ini? Tapi, Lyra tidak mau. “Anda tidak perlu mengkhawatirkan apa-apa, Nona. Semuanya sudah disiapkan.” “Apa orang tua saya beserta keluarga besar saya akan hadir di pernikahan saya besok?” “Tidak. Mereka tidak diundang.” “Kenapa?” “Karena mereka tidak pantas hadir di pesta pernikahan Tuan Dewangga,” jawab Adipati. “Oh ya, jika Anda haus atau lapar, silakan ambil makanan dan minuman di bangku samping Anda. Silakan dinikmati. Atau, kalau Anda menginginkan makanan ataupun minuman yang lain, silakan beritahu saya, Nona.” Sontak Lyra menoleh ke bangku di sampingnya. Sebuah tas plastik berada di bangku tersebut. Tangan Lyra terulur untuk membuka tas plastik itu. Terlihatlah beberapa botol air mineral dan juga beberapa jenis makanan ringan dan roti ada di sana. “Boleh saya makan?” “Silakan, Nona,” jawab Adipati dengan suaranya yang lembut dan menenangkan. “Itu semua untuk Nona Lyra. Perjalanan kita akan sangat jauh. Jadi, sebaiknya Anda mengisi perut terlebih dahulu.” Sambil menganggukkan kepala Lyra meraih sebuah roti, merobek bungkusnya lalu memakannya. Lyra menikmati roti itu sambil membuang pandangan ke arah jendela di sampingnya. Seumur hidupnya, Lyra tidak pernah pergi terlalu jauh dari rumah. Apalagi sendirian. Dan kini, dirinya harus pergi sangat jauh untuk dinikahkan dengan seorang pria asing. Bukankah itu terlalu menyeramkan untuk dibayangkan? “Omong-omong, apa Tuan Dewangga sudah sangat tua? Berapa usianya?” tanya Lyra. Entah mengapa Lyra merasa akan dinikahkan dengan kakek-kakek kaya raya. Karena memang kebanyakan anak seumurannya itu menikah dengan pria yang jauh lebih dewasa. Adipati tersenyum kecil mendengar pertanyaan polos dari Lyra. “Beliau tidak terlihat sangat tua, Nona.” “Benarkah?” “Iya.” “Tapi, kenapa Tuan Dewangga ingin menikahi saya? Saya kan tidak kenal dengan Tuan Dewangga? Lalu, bagaimana bisa Tuan Dewangga tahu saya?” “Karena Anda spesial, Nona. Tuan Dewangga sudah menunggu Anda sejak lama. Beliau pasti sangat senang akhirnya bisa bertemu dan menikah dengan Anda.” Perkataan Adipati itu tentu saja membuat Lyra agak merinding. Mendadak saja Lyra merasa menyesal masuk ke dalam mobil ini. Sebaiknya tadi Lyra tinggal di rumah. Meskipun harus merasakan tamparan dan siksaan dari ayahnya, mungkin itu lebih baik daripada dinikahkan dengan orang yang tidak dikenal Lyra. Namun, belum tentu juga, sih. Bagaimana kalau Dewangga ini memperlakukan Lyra dengan sangat baik dan meratukannya? Jika begitu kasusnya, bukanlah lebih baik Lyra memang menikahi Dewangga? Tapi, bagaimana kalau Dewangga itu tua sekali hingga pantas dipanggil kakek? Ah, Lyra pusing! Tiba-tiba saja Lyra menguap. Rasa kantuk perlahan menghampirinya yang membuatnya susah mempertahankan kelopak matanya untuk tetap terbuka. “Sebaiknya Anda tidur saja Nona, kalau mengantuk. Siapa tahu ketika bangun, Anda sudah sampai di rumah kediaman Tuan Dewangga,” kata Adipati terdengar samar. Lyra hanya bergumam. Mulutnya terasa hendak mengucapkan sesuatu. Namun, suaranya tidak keluar sama sekali. Malah, kini matanya yang terasa begitu berat sudah terpejam. Kesadarannya pun perlahan luruh dari dirinya. Hingga tiba-tiba saja Lyra sudah tertidur lelap dengan bungkus roti yang berada di pangkuannya. *** Lyra terbangun dari tidurnya yang begitu nyenyak. Di tatapnya langit-langit yang terdapat kain menerawang yang ternyata adalah kelambu. Merasa bingung dengan keberadaannya, Lyra sontak bangkit duduk. Diamatinya sekitar ruangan yang tampak cukup luas ini. Saat ini Lyra tengah berada di sebuah kamar yang tampak asing. “Di mana ini?” gumam Lyra seraya turun dari ranjang empuknya. Lyra berjalan ke arah jendela yang berada di kamar itu lalu membukanya. Saat ini langit tampak gelap. Pemandangan luar pun terlihat begitu samar karena tidak adanya penerangan. Yang pasti, Lyra tidak bisa mendengar suara apa pun kecuali suara jangkrik di kejauhan. Sepanjang mata memandang, Lyra hanya bisa menemukan kegelapan. Mendadak saja tubuh Lyra menggigil. Ia tidak tahu ini karena embusan angin yang masuk dari jendela dan menggigit kulitnya. Atau karena hal lain. Yang pasti, perasaan Lyra tiba-tiba saja jadi tidak tenang. Apa mungkin saat ini Lyra sudah berada di kediaman Tuan Dewangga? Tapi, bukankah tadi Lyra masih berada di mobil, dalam perjalanan ke sini? Memangnya, Lyra sudah tidur berapa jam? Karena merasa ngeri dengan pemandangan luar rumah, Lyra kembali menutup jendela kamarnya. Kemudian, ia kembali naik ke atas tempat tidur. Kini Lyra baru menyadari bahwa pakaian yang dikenakannya ini adalah rok piyama berbahan sutra halus. Lyra tidak ingat mengganti pakaian santainya tadi dengan baju tidur ini. Lalu, siapa yang menanggalkan pakaiannya dan menggantinya dengan piyama ini? Jantung Lyra kini berdegup hebat. Rasa takut mulai menjalari setiap bagian tubuhnya. Ia merasa ngeri sendiri karena berada di tempat asing. Terlebih, kamar ini terasa aneh. Lyra takut. Terdengar suara langkah kaki dari luar kamar. Karena suasana sangat tenang dan sunyi, bahkan bunyi sekecil apa pun dapat terdengar. Tak terkecuali suara langkah kaki yang saat ini sepertinya berhenti tepat di depan kamar Lyra. Tanpa sadar kini Lyra sudah menahan napas karena katakutan. Jantungnya pun rasanya seolah ingin keluar dari dalam rongga dadanya karena perasaan ngeri yang tiba-tiba muncul. Suara ketukan di pintu kamar Lyra membuat Lyra melonjak kaget. “Nona Lyra?” panggil suara dari balik pintu. Lyra mengenali suara itu. Suara lembut yang menenangkan itu Lyra yakin adalah milik Adipati. “Apa Anda sudah kembali tidur?” tanya Adipati lagi. Buru-buru Lyra bangkit dari posisi tidurnya lalu berlari kecil menuju pintu. Segera ia membuka pintu kamarnya, dan terlihatlah wajah familiar yang Lyra kenal. “Pak Adipati,” ucap Lyra dengan napas memburu. “Anda baik-baik saja?” tanya Adipati tampak bingung melihat wajah pucat Lyra. “Iya,” kata Lyra menganggukkan kepala. “Ini di mana, ya? Kok tiba-tiba saya di sini? Saya tadi kan ada di—” “Ini rumah kediaman Tuan Dewangga,” kata Adipati. “Tadi ketika sampai, Anda masih tidur. Jadi, mohon maaf sebelumnya, saya tadi menggendong Anda sampai ke kamar.” “Lalu apa—” “Sepertinya banyak pertanyaan yang ingin Anda tanyakan. Kalau Anda belum kembali mengantuk, bagaimana kalau kita ke ruang makan. Saya bisa buatkan Anda teh atau s**u hangat jika Anda mau.” Lyra menganggukkan kepala mendengar tawaran dari Adipati itu. “Oke,” katanya. “Kalau begitu, mari ikut saya.” Kemudian Lyra berjalan mengikuti Adipati melewati lorong panjang di depan kamarnya. Rumah milik Dewangga sangat besar dan luas. Banyak ruangan-ruangan tertutup yang Lyra tak tahu berisi apa. Lyra kini jadi bertanya-tanya berapa orang yang tinggal di sini? Karena dilihat dari rumah yang sangat besar ini, seharusnya ada lebih dari sepuluh orang yang tinggal di sini. Adipati membawa Lyra menuruni anak tangga menuju lantai satu. Di lantai satu pun tampak sepi seperti lantai tiga di mana kamar Lyra tadi berada. Lalu, ketika menuju ruang makan, Lyra menoleh ke arah jendela yang berada di sisi kirinya. Di sampingnya ada sebuah taman yang tampak remang-remang karena pencahayaan yang sangat minim. Di sana Lyra melihat seorang pria tengah duduk di kursi taman dengan kepala mendongak ke atas, menatap rembulan yang tampak bulat sempurna. Untuk sesaat Lyra terpaku di tempatnya dengan tatapan tertuju pada sosok pria itu. Bagi Lyra, ia tidak pernah melihat seorang pria yang lebih rupawan daripada pria itu. Kulit putihnya tampak kontras dengan kegelapan di sekitarnya. Perawakannya yang tinggi dan tegap membuatnya terlihat sangat keren. Lyra berharap bisa melihat wajah pria itu secara dekat karena dari jarak ini, Lyra hanya bisa mengira-ngira wajah tampannya saja. “Itu Tuan Dewangga,” kata Adipati yang ternyata ikut berhenti di samping Lyra. “Calon suami Nona.” Ucapan Adipati itu membuat Lyra menoleh ke arah pria tersebut. “Itu Tuan Dewangga?” tanya Lyra terkejut. Adipati tersenyum kecil sambil mengangguk. “Benar,” katanya. Lyra pikir, Dewangga itu sudah tua, peyot. Namun, pria yang dilihatnya itu tampak masih sangat muda. Mungkin kisaran dua puluhan tahun. Atau, mungkin awal tiga puluhan. Yang pasti, tidak tua bangka. Kenapa pria tampan, kaya dan rupawan seperti Dewangga mau menikahi bocah ingusan dan biasa saja seperti Lyra? Lyra benar-benar tidak paham.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD