Hujan turun deras malam itu. Aku duduk di jendela kamar, menatap titik-titik air yang berlomba di kaca. Setiap tetesnya seperti meniru isi kepalaku-tak henti, kacau, dan penuh perasaan yang tak bisa kusebutkan pada siapa pun.
Ponselku diam. Tak ada pesan. Tak ada suara dari pria itu sejak terakhir kali dia menyentuh pipiku dan berkata ia rindu. Tapi entah kenapa, diamnya justru lebih menyiksa daripada ribuan kata.
Kupandangi layar kosong itu lagi, berharap muncul satu pesan. Satu saja. Bahkan jika hanya satu kata: Keyla.
Tapi tetap tak ada.
Lalu tiba-tiba... ting!
Sebuah pesan masuk. Tanpa nama. Tanpa tanda.
"Lihat ke luar."
Aku tercekat.
Kakiku melangkah cepat menuju jendela ruang depan. Tirai kuangkat pelan, dan di baliknya... di bawah guyuran hujan malam yang membekukan, berdiri sosok tinggi dalam mantel gelap.
Tuan Raditya.
Basah, dingin, dan... penuh rindu.
Kubuka pintu. "Om? Kenapa...?"
"Ssst..." katanya. Suaranya rendah dan dalam, mengalahkan suara hujan. "Aku nggak bisa tidur. Aku butuh lihat kamu."
Aku tak bisa bicara. Hanya memandanginya dalam diam. Baju tidurku basah karena angin malam, tapi aku tak peduli. Karena di hadapanku, berdiri pria yang selama ini hanya bisa kupandangi diam-diam.
"Aku janji nggak akan masuk. Aku cuma mau pastiin kamu baik-baik aja," katanya lagi. "Karena setiap malam aku ngerasa kehilangan kamu... padahal kamu bukan milikku."
Nafasku tercekat.
Aku ingin memeluknya, menggenggam tangannya, atau sekadar berkata bahwa aku juga merasa hal yang sama. Tapi aku tahu, kalau aku bergerak satu inci saja... segalanya akan berubah.
Dan mungkin, tak akan bisa kembali lagi.
Ia menatapku, lama. Matanya bicara lebih keras dari kata-kata mana pun.
"Aku pergi," katanya akhirnya. "Sebelum aku benar-benar gila."
Dia berbalik, menembus hujan.
Tapi sebelum langkahnya jauh, aku berkata lirih, "Saya juga kehilangan Om setiap hari. Tapi saya lebih takut... kehilangan diri saya sendiri."
Ia berhenti. Tak menoleh. Tapi aku tahu, kata-kata itu menusuknya dalam.
Lalu ia pergi.
Dan aku berdiri di ambang pintu, membeku di tengah malam, tahu bahwa hujan malam ini telah menyembunyikan lebih dari sekadar air-ia menyembunyikan rasa yang mulai tumbuh menjadi bencana.
Setelah malam hujan itu, aku tak lagi sama.
Setiap langkahku ke rumah Alika terasa lebih berat-seperti ada beban tak terlihat yang menggantung di dadaku. Aku masih bisa tersenyum, tertawa, bahkan pura-pura mengeluh soal tugas sekolah seperti biasa. Tapi ada bagian dari diriku yang terus bergetar, seolah menunggu waktu untuk runtuh.
Hari ini, aku duduk di meja makan bersama Alika, sambil mengerjakan tugas sejarah.
"Ayah kemarin pulang malam banget," gumam Alika sambil mengunyah permen karet. "Kata Mbak Rini, habis dari rumah temannya. Tapi waktu aku tanya, dia cuma jawab 'jalan-jalan'."
Hatiku mencelos. Jalan-jalan? Tengah malam? Dalam hujan?
Aku pura-pura tak peduli. "Mungkin Om butuh hiburan juga."
Alika mengangkat bahu. "Iya sih. Dia kelihatan capek akhir-akhir ini. Tapi... aku nggak pernah lihat dia semurung sekarang."
Aku tak menjawab. Karena aku tahu alasannya.
Sore itu, setelah Alika tertidur di kamarnya, aku berkeliling rumah sendirian. Kebiasaanku sejak dulu. Tapi sekarang, setiap sudut rumah terasa seperti menyimpan rahasia. Setiap tempat yang dulu terasa biasa... kini punya makna baru.
Ruang kerja. Rak buku. Ruang tamu.
Dan koridor panjang yang pernah jadi tempat kami bertukar tatap-dan bisu.
Aku berjalan pelan melewati ruang kerja. Pintu sedikit terbuka. Lampu di dalam menyala, tapi kosong. Kumasuki ruangan itu, langkahku pelan seperti pencuri. Tapi pencuri apa? Perasaan? Diri sendiri?
Di atas meja, ada buku terbuka. Dan di sela halamannya, terselip kertas kecil dengan tulisan tangannya.
"Kamu diam, tapi aku bisa dengar. Kamu jauh, tapi aku bisa rasa. Aku pikir aku kuat menahan semuanya. Tapi ternyata, aku cuma manusia."
Tanganku bergetar saat menyentuh kertas itu.
Di saat yang sama, suara langkah kaki terdengar dari arah pintu. Aku buru-buru memutar badan-
Dan di sana, berdiri dia. Tuan Raditya.
Tatapannya tajam, tapi bukan marah. Itu... takut.
"Kenapa kamu di sini?" tanyanya pelan.
Aku menggenggam kertas itu di belakang punggung. "Saya cuma lewat."
Dia menatapku, lama. Lalu berjalan pelan mendekat. Nafasku memburu.
Saat jarak kami hanya tinggal beberapa langkah, dia berhenti.
"Kalau kamu terus datang ke sini, Keyla, aku mungkin nggak akan bisa lagi menjaga apa pun."
Aku tahu maksudnya. Dan itu membuat jantungku berdetak semakin keras.
"Saya nggak tahu caranya berhenti," bisikku.
Ia menatapku-mata kelamnya menyimpan pertarungan yang belum selesai.
Tapi sebelum ada yang bisa terjadi lebih jauh, suara Alika terdengar dari lantai atas. "Keylaaaa... kamu di mana?"
Aku dan dia saling berpandangan.
Lalu aku berlari keluar. Membawa kertas itu bersamaku. Dan semua rasa yang belum sempat tertumpahkan.
Hubungan mereka semakin menipis batasnya. Setiap pertemuan, setiap percakapan, membawa mereka lebih dekat ke tepi yang berbahaya.
Aku duduk di kamar malam itu, lampu sengaja kupadamkan. Hanya cahaya dari layar ponsel yang menyorot wajahku, menampilkan kertas kecil itu yang kini kupotret dan k****a ulang berkali-kali.
"Aku cuma manusia."
Kalimat itu terus bergema. Kalimat yang keluar dari pria yang selama ini kuanggap dingin, keras, dan tak tersentuh. Tapi di balik tatapan tajamnya, ternyata ada sisi yang bahkan dirinya sendiri takut untuk tunjukkan.
Aku jatuh cinta padanya. Tidak... aku sudah terjatuh terlalu dalam.
Tapi rasa ini seperti dosa. Dosa yang manis, menggoda, dan membuatku ingin melanggar segalanya hanya untuk tetap di dekatnya.
Apa salah jika mencintai seseorang yang hatinya lebih hangat dari dunia yang pernah menyakitiku?
Apa salah jika satu-satunya tempat aku merasa hidup... adalah di matanya?
Tiba-tiba ponselku berbunyi.
Nomor Tanpa Nama.
Kutekan tombol terima. Tak ada suara, hanya napas pelan di seberang sana.
"Om?" bisikku.
Beberapa detik hening. Lalu suaranya terdengar, rendah, pelan, tapi menusuk.
"Aku harus berhenti bicara sama kamu, Keyla."
Dadaku langsung sesak. "Kenapa?"
"Karena kalau tidak... aku akan melakukan hal-hal yang tak bisa kuperbaiki nanti."
Tanganku bergetar. "Apa Om pikir saya nggak ngerasain yang sama?"
Hening lagi. Lalu ia berkata, pelan, "Aku terlalu tua buat kamu. Terlalu rusak."
"Saya tahu semuanya. Tapi saya tetap di sini."
"Kamu gadis baik, Keyla. Dan aku... aku bukan pria baik. Aku bukan pahlawan."
Aku menarik napas. "Saya juga nggak butuh pahlawan. Saya cuma... butuh Om."
Dan di seberang sana, aku bisa dengar napasnya tercekat. Suara yang menandakan, dia juga tersiksa.
Ketika panggilan itu terputus, aku tahu: kami mungkin tidak bisa bersama seperti pasangan pada umumnya. Tapi kami terikat oleh sesuatu yang jauh lebih kuat dari sekadar kata cinta.
Kami saling menemukan di ruang kosong, saat dunia terlalu kejam untuk memberi pelukan.
Dan meski perasaan ini salah di mata orang lain... rasanya terlalu nyata untuk disangkal.
Berikut lanjutan Bab 7 - Bagian 4 dari Tuan Raditya, Ayah Sahabatku. Di bagian ini, Keyla menyadari bahwa bukan hanya perasaan yang tumbuh, tapi juga resiko yang mengintai. Karena rasa yang tak terucap, bisa saja suatu saat meledak-terutama saat rahasia mulai tercium.
---
Sudah tiga hari sejak percakapan telepon itu.
Tiga hari tanpa pesan. Tanpa tatap. Tanpa apa pun, selain pertanyaan yang terus tumbuh di kepalaku.
Apakah dia benar-benar mencoba menjauh? Atau sedang menahan diri agar tak lebih jatuh?
Di rumah Alika, suasana seperti biasa-hangat, riuh, dan penuh canda. Tapi bagiku, segalanya terasa aneh. Karena setiap sudut rumah ini menyimpan jejaknya. Dan setiap kali aku melihat Alika tertawa di sampingku, ada rasa bersalah yang makin tajam mengiris.
Kami sedang duduk di kamar saat Alika tiba-tiba berkata, "Ayah akhir-akhir ini aneh."
Aku menoleh cepat. "Aneh gimana?"
Dia mengangkat alis, main-main. "Nggak tahu. Kalau biasanya cuek, sekarang... lebih diem. Sering bengong. Dan kemarin dia marah ke sopir cuma karena telat lima menit. Padahal biasanya dia nggak gitu."
Aku tersenyum kecil. Pahit. Karena aku tahu alasan sebenarnya.
"Om mungkin capek," kataku pelan.
Alika mengangguk. "Mungkin. Tapi aneh aja... Dia juga sekarang suka bilang 'nggak ada yang bisa dipercaya.' Kamu pikir... ayah lagi punya masalah besar?"
Hatiku makin berdebar.
Dia mencurigai sesuatu.
Tapi belum sampai aku bisa menjawab, suara langkah kaki terdengar dari luar kamar. Berat. Teratur.
Dan saat pintu terbuka, aku melihatnya.
Tuan Raditya berdiri di sana, hanya menatap ke arah kami sebentar sebelum matanya tertuju... padaku.
Tatapan itu cepat, hanya satu detik. Tapi cukup untuk membuatku menggigit bibir dan berpaling.
Dia segera menunduk, menyuruh Alika turun makan malam, lalu berbalik pergi tanpa berkata apa pun padaku.
Tapi saat Alika sudah turun duluan, aku menyusul pelan dan melewati lorong yang kosong. Dan saat aku melewati ruang kerja...
Tiba-tiba dia menarikku masuk.
Pintu ditutup. Suara jantungku memekakkan telinga.
"Apa yang kamu lakukan di sini lagi?" bisiknya tajam, tapi suaranya... bergetar.
Aku menatapnya. "Saya cuma ikut Alika. Seperti biasa."
"Ini nggak bisa jadi biasa, Keyla."
"Lalu harus bagaimana, Om? Saya berhenti datang? Saya berhenti merasa?"
Dia menghela napas keras, menatapku sejenak lalu membalikkan badan, menggenggam tepi meja.
"Kita bermain api," katanya pelan. "Dan cepat atau lambat... kita akan terbakar."
Aku mendekat, satu langkah saja. "Kalau terbakar itu artinya bersama... saya rela."
Dia memejamkan mata. Lalu berkata lirih-patah, tapi jujur:
"Aku takut menghancurkanmu, Keyla. Karena aku sendiri belum selesai memperbaiki diriku."
Oke neexttt yaa guys pliss komen dan vote ya jika kalian menarik jika masih kurang tolong dikomen biar bisa ku perbaiki lagii
🙏🙏