5

1631 Words
Sudah tiga hari sejak malam itu. Aku terus datang ke rumah Alika, tapi suasananya berubah. Tuan Raditya-yang biasanya selalu muncul entah dari mana dengan tatapan menusuk-sekarang seakan menghindar. Dia tidak pernah ada saat aku datang. Kalau pun bertemu, dia hanya mengangguk singkat lalu menghilang ke ruang kerjanya. Tanpa sepatah kata. Sikap dinginnya kembali. Tapi kali ini, bukan dingin yang tak peduli-melainkan dingin yang disengaja. Dan itu jauh lebih menyakitkan. "Ayah akhir-akhir ini sibuk banget, ya," gumam Alika suatu sore saat kami duduk di teras. Aku hanya mengangguk, menahan diri untuk tidak bertanya apa-apa. Tapi dalam hati, aku ingin tahu: Kenapa? Kenapa setelah malam itu, dia bersikap seperti tidak pernah terjadi apa-apa? Malamnya, aku berdiri cukup lama di depan cermin, menatap wajahku sendiri. "Kamu bodoh," bisikku pada bayangan itu. "Kamu pikir dia akan langsung berubah karena kamu? Kamu cuma remaja labil di matanya." Tapi meskipun begitu, aku tetap menunggunya. Hari keempat, saat aku sedang membantu Alika di dapur, suara berat yang sangat kukenal akhirnya terdengar dari belakang. "Alika, kamu bisa bantu Ayah ke ruang kerja? Ada dokumen-" Aku dan dia saling tatap. Alika menoleh padaku. "Key, kamu aja yang bantuin. Aku lagi potongin ayam nih, lengket semua." Jantungku berdegup cepat. Aku hampir menolak, tapi Tuan Raditya sudah lebih dulu berbalik dan berjalan pergi. Tanpa menunggu jawabanku. Dengan napas yang terengah tak terlihat, aku mengikuti langkahnya ke ruang kerja. Saat aku masuk, dia tidak duduk. Justru berdiri di depan jendela, menatap keluar. Suasana ruang itu sunyi sekali. "Apa benar kamu sudah siap masuk ke dunia yang aku punya?" tanyanya tiba-tiba, tanpa menoleh. Aku terdiam. "Saya nggak tahu... Tapi saya juga nggak bisa terus pura-pura nggak merasa apa-apa." Dia akhirnya menoleh. Tatapannya... lebih lembut dari biasanya. Tapi tetap sulit dibaca. "Kalau kamu melangkah lebih jauh, kamu nggak akan bisa balik, Keyla. Aku bukan seseorang yang bisa kamu cintai tanpa luka." Aku menarik napas panjang. "Kalau pun terluka, setidaknya karena saya memilih." Tuan Raditya mendekat. Tidak cepat, tapi tegas. Sampai akhirnya hanya ada beberapa jengkal di antara kami. Dia menatapku, begitu dekat, dan aku bisa melihat keraguan sekaligus ketertarikan di matanya. Lalu dia berkata dengan suara yang nyaris berbisik, "Kamu gila." Aku tersenyum tipis, meski tubuhku gemetar. "Mungkin. Tapi gila karena siapa?" Untuk pertama kalinya, dia tertawa kecil. Tawa singkat yang membuat dadaku berdesir. Tapi sebelum suasana semakin kabur batasnya, dia kembali melangkah mundur. "Pergilah, sebelum aku menyesal." Aku mengangguk, meskipun hatiku menjerit. Tapi saat aku membalikkan badan untuk pergi, dia berkata pelan, "Keyla." Aku menoleh. "Kamu tetap datang ke rumah ini. Setiap hari. Jangan berhenti." Dan dengan itu, aku tahu... dia mungkin tidak akan pernah bilang dia suka padaku. Tapi dia juga tidak ingin aku menjauh. Tentu. Kita lanjut ke Bab 6 - Bagian 2 dari Tuan Raditya, Ayah Sahabatku. Di bagian ini, Keyla mulai menyadari bahwa dirinya terperangkap di antara dua dunia: sebagai sahabat Alika dan sebagai seseorang yang perlahan jatuh ke dalam dunia pria yang terlalu dewasa dan penuh luka. Aku menuruni tangga dengan napas tak menentu. Setelah percakapan tadi di ruang kerja, pikiranku penuh kekacauan. Aku tidak tahu harus bersikap seperti apa saat kembali ke ruang makan, bertemu lagi dengan Alika yang sama sekali tidak tahu bahwa ayahnya dan sahabatnya baru saja saling menantang perasaan masing-masing dalam diam. Alika menyambutku dengan senyum, tak sadar apa pun. "Lama banget, Key. Dapet dokumennya?" Aku mengangguk cepat, lalu duduk di sebelahnya. Tanganku gemetar, tapi kututupi dengan mengambil gelas jus jeruk. "Ayah ngomong apa aja?" tanyanya lagi sambil mengunyah biskuit. Aku pura-pura sibuk dengan jusku. "Nggak banyak. Cuma minta file itu, terus bilang terima kasih." Alika mengangguk tanpa curiga. "Hmm... akhir-akhir ini dia lebih tenang sih. Mungkin karena kamu sering ke sini." Jantungku hampir melompat keluar. "Kenapa karena aku?" tanyaku, berpura-pura heran. "Entahlah," jawab Alika santai. "Biasanya dia lebih dingin. Tapi pas kamu di sini, kadang dia nggak sekaku itu. Walau masih nyebelin, ya. Hahaha." Aku tertawa hambar. Sementara pikiranku sibuk menahan rasa bersalah dan... harapan. Malam itu aku pulang lebih cepat dari biasanya. Saat melewati pintu depan, aku merasa ada yang mengawasi. Dan benar saja, dari balik jendela ruang kerja, siluet tubuh tinggi itu berdiri mematung. Menatap. Mengawasi. Tapi tidak bergerak. Dan entah kenapa, aku suka diperhatikan seperti itu. --- Sesampainya di rumah, aku tak bisa tidur. Suara Tuan Raditya, ekspresinya, dan caranya menatapku seperti ingin menahan sesuatu... semuanya memenuhi pikiranku. Aku menyentuh d**a sendiri. Bukan karena sakit-tapi karena jantungku terlalu berisik. Aku tahu aku makin tenggelam. Dan yang kutakuti sekarang bukan lagi rasa bersalah... Tapi aku takut, suatu saat nanti aku benar-benar tak bisa keluar dari perasaan ini. Hari ini aku datang lebih awal ke rumah Alika. Kami berencana mengerjakan tugas kelompok bareng beberapa teman, tapi aku tahu alasan sebenarnya kenapa aku tak sabar menekan bel gerbang pagi ini. Alika masih di kamar saat aku tiba. Mbak Rini yang membukakan pintu, dan saat aku masuk, suasana rumah terasa lebih lengang dari biasanya. Langkah kakiku otomatis menuju ruang tengah, lalu berhenti begitu melihat sosok Tuan Raditya berdiri di depan rak buku, membolak-balik berkas. Setelan kemeja biru muda dan celana panjang hitam membuatnya tampak lebih dingin-dan semakin tak tergapai. Dia tahu aku di sana. Tapi seperti biasa, dia memilih tidak langsung menoleh. Aku berdiri membatu beberapa detik, sebelum memberanikan diri berkata, "Pagi, Om." Ia menoleh pelan, tatapannya netral. Tapi hanya sebentar. "Pagi," jawabnya datar. Aku menunggu-entah apa yang kutunggu. Mungkin sepotong senyum kecil seperti malam itu. Atau suara lembut yang menyuruhku mendekat. Tapi tak ada. Sebaliknya, dia melipat dokumen, menyelipkannya ke dalam map, lalu berjalan melewatiku seakan aku cuma bayangan di dinding. Tapi saat dia melewati langkahku, tangannya menyentuh jemariku... cepat, ringan, dan nyaris tak terasa-tapi cukup untuk membuat tubuhku gemetar. Aku menoleh padanya, tapi dia terus berjalan, tanpa menoleh sedikit pun. Bibirku mengering. Tapi hatiku... terbakar. --- Setelah itu, aku mencoba menjalani hari seperti biasa. Tertawa bersama Alika dan dua teman lain, pura-pura memperhatikan pelajaran, pura-pura sibuk dengan laptop dan buku. Tapi otakku tertinggal di lorong tadi. Di sentuhan cepat itu. "Key, kamu kenapa sih hari ini? Gak fokus banget," tegur Alika. Aku tersenyum kecil. "Maaf... lagi banyak pikiran." Alika tidak bertanya lebih jauh. Tapi diam-diam aku bertanya dalam hati: Kalau Alika tahu yang sebenarnya... masihkah dia akan tersenyum padaku seperti ini? --- Sore hari saat aku pamit pulang, Tuan Raditya tidak muncul. Tapi saat aku membuka pintu, ada secarik kertas terselip di sisi dinding rak dekat sepatu. Terlalu banyak yang tak bisa dikatakan di depan orang lain. Tapi itu tak berarti aku tidak merasakannya. Tanpa nama. Tapi aku tahu siapa yang menulisnya. Dan aku tahu... ini belum selesai. Belum akan selesai. Aku duduk di kamar, menatap catatan kecil itu berkali-kali. Kalimatnya pendek, tapi rasanya mengguncangku lebih dari seribu kata manis. Terlalu banyak yang tak bisa dikatakan di depan orang lain. Tapi itu tak berarti aku tidak merasakannya. Tulisannya rapi, berwibawa-seperti dia. Tanganku gemetar saat menyentuhnya. Aku tahu, dia mencoba menjaga jarak. Tapi hatinya-sekeras apa pun ia menyangkal-sudah lebih dulu terikat padaku. Dan itu cukup bagiku untuk bertahan, meski harus menunggu dalam diam. Malamnya, aku menulis balasan. Aku tak berani memberikannya langsung. Jadi aku tempelkan kertas kecil itu di bagian dalam buku filsafat tua yang sering kulihat ia baca di ruang kerjanya. Kalau merasakannya saja sudah cukup menyiksa, bagaimana dengan aku yang harus menahannya sendirian setiap hari? Tak ada nama. Tak ada tanggal. Tapi aku yakin dia akan tahu dariku. --- Beberapa hari berlalu. Tak ada balasan. Tak ada sentuhan. Bahkan tak ada tatapan. Namun saat aku duduk di ruang tengah bersama Alika menonton film, aku melihatnya lewat di belakang sofa-dan langkahnya sempat terhenti saat matanya bertemu denganku. Hanya sepersekian detik. Tapi dalam tatapan itu, ada ketegangan. Ada kerinduan. Dan mungkin... rasa takut. Ketika dia berlalu begitu saja, aku menunduk. Aku tahu, ia sedang berusaha menahan sesuatu yang sama besarnya dengan apa yang kutahan. --- Malam itu, sebelum tidur, aku menerima pesan singkat tanpa nama: "Kamu terlalu berani untuk seorang gadis seusiamu. Tapi mungkin... itu yang membuatmu berbahaya." Aku menggenggam ponselku erat. Tidak ada tanda tanya, tidak ada harapan palsu. Hanya pernyataan-bahwa dia mulai menyadari, aku bukan sekadar anak kecil. Dan untuk pertama kalinya... aku merasa menang. Beberapa hari kemudian, rumah itu kembali sepi. Alika sedang menginap di rumah sepupunya, dan seperti biasa, aku diundang datang karena sudah dianggap keluarga. Aku tak tahu apakah itu ide Alika, atau... seseorang yang lain membiarkanku tetap datang. Saat sore menjelang, aku duduk sendiri di ruang tamu, membaca buku. Sesekali menatap pintu ruang kerja yang tertutup rapat. Aku tahu dia di dalam. Jam berganti, lampu mulai redup. Aku menyiapkan teh dan menyimpannya di meja dekat ruang kerja. Tak kuketuk pintunya. Hanya kutaruh pelan, lalu melangkah pergi. Tapi baru beberapa detik aku berjalan, pintu itu terbuka. "Keyla." Aku berhenti. Suara itu... berat dan pelan. Tapi memanggilku seperti ada sesuatu yang belum selesai. Aku berbalik perlahan. Dia berdiri di ambang pintu, kancing kemejanya terbuka dua, rambut sedikit berantakan. Wajahnya letih, tapi matanya... tidak. "Aku baca tulisanmu," katanya. Aku menunduk. "Saya cuma menulis apa yang saya rasakan." Dia menghela napas, berjalan pelan ke arahku. Setiap langkahnya membuat detak jantungku semakin tak beraturan. "Kamu harus tahu satu hal, Keyla," katanya saat berhenti di depanku. "Aku mungkin mulai merasakan sesuatu yang seharusnya tidak kumiliki. Tapi aku tidak bisa menjanjikan apa pun. Aku... berbahaya." Aku mengangkat wajah, menatap matanya. "Saya juga, Om. Saya juga berbahaya. Untuk diri saya sendiri... dan untuk Om." Hening. Hanya suara napas kami yang terdengar. Dan dalam sunyi itu, dia menyentuh pipiku. Sentuhan pelan, nyaris tak nyata, tapi membakar sampai ke tulang. "Aku tidak akan menyentuhmu lebih dari ini," katanya pelan. "Belum. Jangan paksa aku." Aku menggigit bibirku, menahan rasa yang bergemuruh. Tapi aku mengangguk. "Saya nggak minta apa-apa... kecuali satu hal." "Apa?" "Jangan bohong kalau Om rindu." Dia memejamkan mata sesaat, lalu membuka lagi dengan tatapan yang nyaris meluluhkan segalanya. "Aku rindu, Keyla. Setiap hari." Maksihhh atas vote yaa
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD