4

1718 Words
Beberapa hari setelah kejadian itu, perasaan yang terus berkembang dalam diriku seakan semakin menyiksa. Setiap kali aku berhadapan dengan Tuan Raditya, rasa cemas dan gelisah selalu merayap dalam diriku. Aku berusaha menjauh, berusaha untuk tidak memikirkannya, tapi semakin aku berusaha, semakin aku merasa terperangkap. Alika tidak tahu apa-apa tentang apa yang terjadi di antara kami, dan aku tidak pernah berniat untuk memberitahunya. Aku tidak ingin merusak persahabatan kami, yang sudah lama terjalin. Namun, aku tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa aku semakin sering teringat pada Tuan Raditya—dan itu sangat mengganggu. Hari itu, aku kembali ke rumah Alika. Seperti biasa, kami mengerjakan tugas bersama. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Tuan Raditya kembali lebih awal dari biasanya, dan kali ini dia langsung masuk ke ruang tamu tanpa basa-basi. “Keyla,” katanya dengan nada datar, memandangku tanpa ekspresi. Aku terkejut, hampir tidak bisa menguasai diri. “Om Raditya, ada apa?” Dia tidak langsung menjawab. Hanya menatapku dengan mata yang tajam, penuh makna. Seakan-akan ada pesan tersembunyi dalam setiap tatapannya. Aku merasakan ketegangan yang semakin kuat di antara kami. “Kenapa kamu selalu datang ke sini?” tanyanya dengan suara rendah, menekankan kata "selalu." Aku merasa tubuhku kaku. "Karena Alika yang ngajak." Dia mendekat, langkahnya tenang namun tegas. “Itu tidak cukup alasan untuk mengabaikan semua yang terjadi.” Aku menelan ludah, hatiku berdebar semakin kencang. “Om... saya tidak mengerti.” Tuan Raditya berdiri tepat di depanku, wajahnya begitu dekat, hanya beberapa inci. Aku bisa merasakan napasnya yang hangat. “Aku pikir kamu tahu, Keyla. Kamu sudah tahu betul apa yang terjadi. Hanya saja, kamu terlalu takut untuk menghadapinya.” Aku terdiam. Perasaan itu semakin sulit untuk dibendung. Perasaan yang aku tahu sangat salah, namun tidak bisa aku hindari. Tuan Raditya selalu ada di sekitar, selalu membuatku merasa cemas dan bingung, namun juga menarik dengan cara yang sulit dijelaskan. “Om, tolong... jangan bicara seperti itu,” kataku, suaraku bergetar. “Ini tidak benar.” Tuan Raditya hanya tersenyum tipis, tapi ada sesuatu yang gelap dalam senyuman itu. “Kamu terlalu pintar untuk tidak mengerti. Tapi, mungkin ini yang terbaik untukmu, Keyla. Ini lebih baik daripada kamu terjebak dalam ilusi yang tidak bisa kamu capai.” Aku mundur beberapa langkah, mencoba menjauh darinya. “Om, saya minta maaf... Saya nggak bisa terus seperti ini.” Tuan Raditya mengangguk pelan, seakan mengerti apa yang kurasakan. Namun, sebelum aku bisa pergi, dia melangkah maju dan meletakkan tangan di bahuku, menahanku untuk tidak pergi. “Tidak ada yang lebih berbahaya daripada berpura-pura tidak merasakannya, Keyla. Kamu tidak bisa mundur begitu saja. Tidak setelah semuanya terjadi.” Aku terpaku, tubuhku terasa kaku, dan semua kata-kata yang ingin kuucapkan seakan terkunci di dalam tenggorokanku. Jantungku berdebar lebih cepat, dan aku tahu satu hal pasti—aku tidak akan bisa menghindar lagi. Tuan Raditya melepaskan tangannya dan berjalan mundur, meninggalkan aku yang masih terdiam di tempat. “Aku tahu kamu bisa menghadapinya, Keyla. Tapi aku juga tahu, ada hal-hal yang lebih baik kamu biarkan hilang begitu saja.” Aku merasa seakan seluruh dunia berputar di sekelilingku. Tidak ada jalan keluar dari ini, dan aku tahu, semakin aku mencoba untuk menjauh, semakin aku terjebak dalam permainan yang lebih besar daripada yang bisa kubayangkan. Setiap kata yang Tuan Raditya ucapkan terus terputar di kepalaku. “Kamu tahu, kamu tidak bisa mundur begitu saja.” Ucapan itu seperti belati yang mengiris perlahan, membuatku sadar bahwa aku telah melangkah terlalu jauh dalam perasaan ini. Aku tahu, aku hanyalah gadis biasa—anak SMA yang belum tahu banyak tentang dunia. Tapi perasaan ini... bukan permainan. Bukan sekadar suka. Setiap kali aku melihatnya, tubuhku seperti bereaksi sendiri. Detak jantungku berpacu, napasku pendek, dan pikiranku kabur. Dan yang paling menakutkan... aku tidak ingin berhenti. Keesokan harinya aku tidak berniat ke rumah Alika, tapi pesannya datang sebelum aku bisa membuat alasan: “Key, ke rumah dong. Ada yang pengen aku omongin.” Aku lemas. Bagaimana aku bisa menolak sahabatku, sementara yang kutakuti bukan Alika—melainkan ayahnya? Tiba di rumahnya, Alika langsung menarikku masuk ke kamarnya. Dia tampak gelisah, tapi bukan gelisah seperti biasanya. Ada sinar khawatir di matanya. “Kayaknya Ayah makin aneh, deh,” bisiknya. Aku langsung kaku. “Maksudmu?” “Dia... suka tanya kamu akhir-akhir ini. Tanya soal sekolahmu, hobimu... bahkan nanya kamu udah punya pacar atau belum.” Aku tercekat. “Aku sih mikirnya mungkin karena kamu sering ke sini, jadi dia sekadar perhatian,” Alika melanjutkan, tanpa menyadari bahwa napasku nyaris terhenti. “Tapi aku jadi mikir... jangan-jangan dia tahu sesuatu?” Aku mencoba tertawa, meskipun jelas terdengar kaku. “Tahu apa? Aku cuma temen kamu, kok.” “Ya, iya sih,” gumam Alika sambil menatapku curiga, lalu menggeleng. “Ah sudahlah. Mungkin aku cuma parno.” Setelah beberapa saat, kami ke dapur untuk ambil minum. Dan seperti yang kutakutkan, Tuan Raditya ada di sana. Duduk di kursi tinggi dengan kemeja putih yang digulung sampai siku, rambutnya sedikit acak—entah kenapa, justru tampak... menarik. Tatapannya langsung tertuju padaku. “Keyla,” katanya pelan, seperti biasa, datar tapi menghujam. “Kamu datang lagi.” Aku hanya mengangguk. Tenggorokanku terasa kering. Dia berdiri perlahan, membuka kulkas dan mengambil sebotol air. “Kamu kelihatan lelah.” Aku tidak tahu harus menjawab apa. Tapi saat dia berjalan melewatiku, tubuhku gemetar. Bukan karena takut—tapi karena terlalu sadar akan keberadaannya. Aroma parfum maskulinnya, cara dia melirikku sekilas... semuanya membuatku terhanyut dalam diam. Saat Alika kembali ke kamarnya, aku menyusul, tapi sebelum langkahku melewati pintu, suara berat itu menghentikanku. “Keyla.” Aku menoleh. Jantungku nyaris copot. “Aku ingin bicara. Nanti malam. Setelah Alika tidur.” Mataku membesar. Aku ingin bertanya kenapa, ingin mengatakan tidak. Tapi yang keluar dari mulutku justru hanya satu kata: “Baik.” Waktu terasa berjalan sangat lambat malam itu. Aku berbaring di kasur Alika, tapi pikiranku sama sekali tidak bisa tenang. Detak jam dinding terdengar begitu keras di telingaku. Alika sudah terlelap di sebelahku, napasnya teratur. Tapi aku belum bisa memejamkan mata. Kata-kata Tuan Raditya tadi siang terus mengiang. "Setelah Alika tidur." Aku melihat jam. Hampir pukul sebelas malam. Rumah sudah sepi. Hanya suara AC dan sesekali gesekan ranting pohon di luar yang terdengar. Perlahan, aku bangkit. Jantungku berdebar kencang saat kakiku menyentuh lantai dingin. Rasanya salah. Sangat salah. Tapi rasa penasaran dalam diriku lebih besar dari ketakutan. Aku membuka pintu kamar Alika pelan-pelan, lalu melangkah menyusuri lorong yang gelap. Cahaya lampu temaram dari ruang kerja di ujung lorong tampak menyala. Aku menelan ludah dan melangkah ke sana. Setiap langkah terasa seperti menggiringku ke jurang yang tak terlihat. Saat aku tiba di ambang pintu, dia sudah di sana. Duduk di kursi, satu tangan menopang dagu, wajahnya menghadap jendela. Seolah-olah dia tahu aku akan datang. “Masuklah,” katanya pelan tanpa menoleh. Aku menutup pintu perlahan. Tanganku dingin, tapi tubuhku terasa panas. Ada getaran aneh di antara kami. Sunyi, tapi penuh tekanan. “Ada yang ingin Om bicarakan?” tanyaku pelan, nyaris berbisik. Tuan Raditya menoleh, tatapannya langsung mengunci mataku. “Kenapa kamu selalu datang ke rumah ini, Keyla? Apa kamu benar-benar datang hanya untuk Alika?” Pertanyaan itu seperti tamparan. Aku tercekat, tidak tahu harus berkata apa. “Aku... Alika sahabatku,” jawabku akhirnya, mencoba terdengar meyakinkan. Dia bangkit dari kursinya, berjalan pelan ke arahku. Langkahnya tenang, tapi napasku mulai tercekat. “Jangan bohong,” katanya, kini berdiri hanya sejengkal dariku. “Aku bisa lihat dari cara kamu memandangku.” Aku menunduk. “Maaf, Om... Saya nggak berniat...” “Suka?” bisiknya. “Kamu menyukaiku, bukan?” Tubuhku membeku. Kata itu akhirnya keluar. Dan aku tidak bisa menyangkalnya. “Iya...” ucapku pelan. “Saya suka, Om. Tapi saya tahu itu salah. Saya tahu saya nggak pantas.” Tuan Raditya menatapku dalam, lalu mengangkat daguku perlahan. “Keyla... ini bukan soal pantas atau tidak. Ini soal apa yang tidak bisa dikendalikan.” Mataku basah, bukan karena sedih, tapi karena takut dengan diriku sendiri. “Om,” kataku pelan, “jangan dekati saya kalau hanya ingin mempermainkan.” Tuan Raditya tersenyum samar. “Aku tidak main-main, Keyla. Tapi aku juga bukan orang baik.” Seketika itu juga, seluruh pertahanan diriku runtuh. Karena yang paling kutakuti bukanlah penolakannya—tapi justru saat aku tahu dia juga menginginkan hal yang sama. Baik, kita lanjut ke Bab 5 – Bagian 4 dari Tuan Raditya, Ayah Sahabatku. Di bagian ini, suasana makin intens. Perasaan yang selama ini disimpan kini telah terucap, tapi setelah itu... datanglah kenyataan. Keyla harus memilih: menyerah pada perasaannya atau menarik diri sebelum semuanya terlambat. Setelah pengakuan itu, ruangan menjadi sangat sunyi. Hanya suara detak jam dan napas kami yang terdengar. Tuan Raditya berdiri begitu dekat, dan aku masih bisa merasakan sentuhannya di daguku—lembut, tapi membekas dalam. Tatapan matanya menusukku, dan aku bisa melihat keraguan di balik ketegasannya. Seolah ia pun sedang berperang dengan logikanya sendiri. Dia menginginkanku—aku yakin itu. Tapi dia juga menahan diri. Dan mungkin, itu justru yang membuat semuanya terasa lebih membakar. “Kamu tahu ini salah, kan?” katanya pelan, hampir seperti tanya pada dirinya sendiri. Aku mengangguk pelan. “Iya. Tapi saya nggak bisa pura-pura nggak merasakan apa-apa.” Dia menarik napas panjang dan berjalan menjauh, membelakangi aku yang masih berdiri kaku. “Keyla... aku bukan orang yang bisa kamu kagumi. Aku terlalu tua, terlalu rusak, dan terlalu dingin untuk seseorang kayak kamu.” Aku menggenggam jemariku sendiri. “Saya nggak minta apa-apa, Om. Saya tahu diri. Tapi saya juga nggak bisa terus lari.” Dia membalikkan badan. “Kalau aku menyentuh kamu malam ini, kamu akan hancur, Keyla. Dan aku juga akan hancur.” Lidahku kelu. Kata-katanya begitu jujur, tapi menyesakkan. “Tapi kalau Om suruh saya berhenti datang ke rumah ini... saya akan berhenti,” kataku lirih. Dia menatapku lekat-lekat. Lama. Lalu akhirnya berkata, “Tidak. Jangan berhenti. Tapi jangan datang hanya karena aku.” Aku mengangguk, walau aku tahu dalam hati, alasan utamaku selalu dia. Kami tidak bicara lagi malam itu. Hanya saling tatap—penuh ketegangan, penuh rasa yang menggantung tanpa kejelasan. Lalu aku berjalan pergi, kembali ke kamar Alika, dengan perasaan campur aduk: takut, rindu, lega, sekaligus hancur. Malam itu, aku menangis diam-diam di sebelah sahabatku. Karena aku tahu, hatiku sudah bukan milikku lagi. Dan pria yang memilikinya… adalah ayah sahabatku sendiri. Heiiiiii lanjut gakk niiii jangan lupa vote ya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD