Keesokan paginya, aku bangun lebih dulu dari Alika. Matahari baru menyelinap lewat celah gorden. Tapi tubuhku masih terasa panas. Bukan karena udara-tapi karena perasaan semalam yang belum juga reda.
> "Sekali kamu masuk ke duniamu sendiri, aku belum tentu biarkan kamu keluar lagi."
Kata-kata itu menghantui sepanjang malam. Ucapan yang terlalu ambigu... tapi juga terlalu nyata.
Aku bangkit pelan-pelan, tak ingin membangunkan Alika. Melangkah ke kamar mandi untuk membasuh wajah. Tapi saat keluar, aku terhenti di depan tangga.
Di bawah sana, aku bisa mendengar suara langkah kaki. Berat, teratur. Lalu aroma kopi menyeruak, khas dan maskulin. Tuan Raditya.
Aku tahu aku tak seharusnya turun duluan. Tapi kaki ini seperti tak bisa menahan diri.
Saat aku tiba di bawah, dia sedang duduk di meja makan, membaca tablet dan menyeruput kopi. Sekilas menoleh padaku, lalu kembali menatap layarnya.
"Pagi," sapaku pelan.
"Pagi," balasnya, datar.
Aku berjalan ke dapur, mengambil segelas air, berusaha tak memikirkan dia. Tapi tetap saja... aku bisa merasakan tatapannya yang sesekali naik dari layar. Mengamatiku.
"Tidurmu nyenyak?" tanyanya, masih tanpa menatap langsung.
"Lumayan," jawabku sambil mengisi gelas. "Cuma kepikiran tugas."
Dia mendengus pelan. "Kau mudah sekali cemas, ya?"
Aku menoleh pelan. "Saya cuma... ingin hasilnya bagus."
Kali ini dia menatapku, lebih lama. "Atau mungkin kamu takut menilai diri sendiri terlalu dalam?"
Aku mengernyit. "Maksud Om?"
Dia berdiri dari kursinya, berjalan ke arahku dengan langkah pelan namun mantap. Jarak kami semakin dekat. Aku menahan napas saat dia berdiri tepat di hadapanku, mengambil gelas di rak atas-yang kebetulan tinggi, dan tubuhku terkurung di antara meja dan dadanya.
"Kamu tahu, Keyla," bisiknya pelan, "gadis seusiamu biasanya sibuk dengan drama sekolah. Tapi kamu... seperti menyimpan rahasia yang lebih dalam."
Tanganku menggenggam gelas makin erat. "Saya... nggak punya rahasia, Om."
Dia menunduk sedikit, wajahnya hanya sejengkal dari wajahku. "Sayang sekali, aku sangat pandai membaca kebohongan."
Detik itu juga, suara langkah kaki terdengar dari atas. Kami berdua refleks mundur.
Alika turun dengan rambut masih acak-acakan. "Kalian udah bangun?" katanya santai.
Aku cepat-cepat duduk di meja makan, berusaha mengatur napas yang sempat kacau.
Tuan Raditya hanya kembali ke kursinya, meneguk kopinya lagi. Seolah tak terjadi apa-apa.
Tapi aku tahu.
Dan dia tahu aku tahu.
Hari itu, aku pulang dengan kepala penuh teka-teki. Ini lebih dari sekadar perasaan. Ini semacam permainan yang tak kutahu kapan dimulai-dan yang jelas, aku sudah terjebak di dalamnya.
Hari-hari berikutnya berlalu dengan biasa. Aku kembali ke sekolah, kembali ke rutinitas, tapi entah kenapa, semuanya terasa tidak biasa. Semua itu karena perasaan aneh yang mulai tumbuh sejak aku pertama kali berhadapan dengan Tuan Raditya.
Setiap kali aku berada di dekatnya, rasanya jantungku selalu berdetak lebih cepat. Bahkan tanpa dia melakukan apa-apa selain duduk di ruang tamu dengan tatapan tajam itu, atau berjalan di sekitar rumah tanpa mengucapkan sepatah kata pun, aku merasa ada sesuatu yang menahan nafasku.
Satu minggu setelah percakapan kami di lorong itu, aku kembali ke rumah Alika, mencoba berusaha biasa saja. Tapi saat aku tiba, aku mendengar suara mobil di luar. Tuan Raditya ternyata baru pulang dari suatu tempat.
Dia masuk rumah dengan ekspresi datar, seperti biasa, tapi matanya segera menatapku begitu dia melihatku duduk di ruang tamu.
"Aku bilang kan, kau terlalu sering datang ke sini," katanya tanpa basa-basi.
Aku menunduk sedikit. "Alika yang ngajak, Om."
"Jadi kalau dia ngajak, kamu langsung datang?" Nada suaranya mulai lebih tajam.
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Yang kutahu, perasaan itu makin hari makin tumbuh dalam diriku. Perasaan yang tak bisa aku hindari, bahkan saat aku mencoba mengabaikannya.
Tuan Raditya mendekat, berdiri di sampingku. "Kamu tahu, Keyla," ujarnya, suara kali ini lebih rendah, seolah-olah ada ketegangan yang bisa dirasakan di antara kami, "aku bisa lihat dari cara kamu memperhatikan aku."
Aku menatapnya, wajahku memerah. "Om, saya nggak..."
"Terlalu sering melihat orang yang tidak seharusnya kamu lihat bisa membuat seseorang jadi kepo. Penasaran," lanjutnya, menatapku dengan cara yang sangat menekan. "Dan aku tidak suka jika kamu penasaran dengan hal yang tidak seharusnya."
Aku mencoba mengendalikan perasaan, tapi detak jantungku terasa seperti lonceng yang terus berdentang. Apa yang dimaksud Tuan Raditya? Aku tidak tahu apakah dia sedang memperingatkanku atau justru menarikku lebih dalam ke dalam permainan yang tidak aku pahami.
"Apa yang Om inginkan dari saya?" aku akhirnya berani bertanya, suara sedikit bergetar.
Dia mengangkat alis, sedikit mengejek. "Aku ingin kamu tahu satu hal, Keyla... Terkadang, ada hal-hal yang lebih baik kamu tidak cari tahu."
Aku bingung, otakku berputar mencoba mencerna kata-katanya.
Tuan Raditya berdiri lebih dekat, hanya beberapa inci dariku. Ada ketegangan di udara yang membuatku tak bisa bergerak. Rasanya perasaanku seperti ditarik ke dalam pusaran yang semakin kuat, dan aku tidak bisa menahannya.
"Tapi aku rasa kamu sudah tahu lebih banyak dari yang kamu kira," katanya pelan, hampir seperti bisikan.
Aku terpaku, napasku tercekat. Aku tahu, bahwa setiap kata yang keluar dari bibirnya bukan hanya sekadar kata-kata biasa. Ada sesuatu yang lebih-sesuatu yang akan mengubah segalanya.
Tuan Raditya menatapku lama, lalu berbalik, seolah tidak terjadi apa-apa. "Tugasmu selesai?"
Aku hanya bisa mengangguk, tetapi pikiranku tidak bisa lepas dari dia. Setiap tatapan, setiap perkataan, membuatku semakin ingin tahu lebih banyak-dan semakin terjebak dalam ketidakpastian yang membuatku ketakutan sekaligus tertarik.
Seminggu berlalu begitu cepat. Semua tampak seperti biasa, namun perasaan yang terus berkembang dalam diriku semakin sulit untuk dihindari. Setiap kali aku berada di sekitar Tuan Raditya, hatiku terasa berdebar lebih cepat. Matanya yang tajam, suaranya yang rendah dan penuh penekanan, membuatku semakin terjebak dalam permainan yang tidak bisa kutanggapi dengan rasional.
Hari itu, aku kembali ke rumah Alika, seperti biasa. Tidak ada yang istimewa, kecuali perasaan cemas yang menggelayuti pikiranku. Aku berusaha untuk tidak berpikir tentang Tuan Raditya, tapi ketika aku tiba, suasana di dalam rumah langsung membuatku merasa aneh.
"Keyla! Ayah lagi gak ada di rumah," kata Alika dengan senyum lebar. "Dia ada meeting, jadi kita bisa bebas ngobrol."
Aku mengangguk, mencoba tersenyum. "Oh, oke."
Aku mengikuti Alika masuk ke dalam rumah. Suasana agak sepi, tidak ada suara langkah kaki Tuan Raditya yang biasa terngiang di lantai. Aku merasa lega-tapi juga kecewa. Kenapa rasanya aku merasa sedikit kosong ketika tidak ada dia di sekitar?
Kami duduk di ruang tamu, membicarakan tugas sekolah, seperti biasa. Tapi di tengah obrolan kami, aku merasa ada sesuatu yang berubah.
"Tadi pas Ayah lagi meeting, aku nanya-nanya soal kamu," kata Alika dengan ceria, seolah tidak ada beban.
Aku terdiam. "Nanya apa?"
Alika tertawa. "Aku bilang kamu sering datang ke sini, dan dia sempat bilang kalau kamu bukan gadis biasa. Kayaknya Ayah penasaran banget sama kamu."
Aku hampir tersedak. "Dia bilang gitu?"
"Iya," jawab Alika sambil mengangkat bahu. "Tapi kan Ayah emang suka penasaran sama orang baru. Kamu gak perlu khawatir."
Aku mencoba menyembunyikan ketegangan dalam diriku. Kenapa Tuan Raditya bilang begitu? Apa yang sebenarnya dia pikirkan tentangku? Itu bukan sekadar penasaran biasa, bukan?
Sore itu, Tuan Raditya pulang lebih awal. Aku bisa mendengar suara mobilnya masuk halaman rumah. Jantungku langsung berdebar lebih cepat, meskipun aku berusaha untuk tetap tenang.
Dia masuk ke rumah dengan langkah berat, melepaskan jasnya di pintu. Saat dia melihat aku, matanya langsung menangkap perhatianku. Tanpa kata-kata, hanya sebuah tatapan yang terlalu dalam, seakan bisa menembus segala yang ada dalam diriku.
Aku berdiri dari sofa, mencoba untuk bersikap biasa. "Selamat sore, Om," kataku, suaraku hampir tak terdengar.
Tuan Raditya hanya mengangguk, lalu berjalan ke arah dapur. "Kau datang lagi. Tidak bosan?"
Aku tersenyum kaku, meskipun ada sedikit kegelisahan dalam dadaku. "Saya tidak merasa bosan."
Dia berhenti sejenak di pintu dapur, menoleh kembali ke arahku. "Aku sudah bilang, kamu harus tahu kapan harus mundur."
"Kenapa Om terus bilang begitu?" tanyaku, sedikit lebih berani. "Kenapa Om terus mengawasi saya?"
Tuan Raditya terdiam sejenak, matanya tajam menatapku. "Karena aku tahu, Keyla. Aku tahu ada sesuatu yang kamu sembunyikan."
Aku menelan ludah, tubuhku mulai terasa kaku. "Saya tidak..."
"Jangan bohong," katanya, suaranya lebih dalam. "Kamu tahu, aku bisa merasakan itu."
Tatapan kami saling bertemu. Detak jantungku semakin cepat, seolah-olah setiap kata yang keluar dari bibirnya semakin mempererat cengkeraman perasaan yang tak bisa kubendung. Aku tahu ini salah, aku tahu perasaan ini sangat salah, tapi entah kenapa, aku tidak bisa berhenti merasakannya.
"Apa yang Om inginkan dari saya?" tanyaku dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.
Tuan Raditya menatapku lama, seakan-akan sedang menimbang-nimbang sesuatu. Lalu, dia membuka mulutnya dengan perlahan. "Aku tidak ingin apa-apa, Keyla. Aku hanya ingin kamu tahu... terkadang, seseorang tidak bisa memilih siapa yang mereka inginkan. Tapi mereka selalu tahu kapan harus berhenti."
Aku terpaku. Apa maksudnya? Ada begitu banyak kata yang tidak kuerti, namun hatiku bisa merasakannya dengan jelas-perasaan yang semakin menggila, semakin sulit ditahan.
Aku ingin berkata sesuatu, tapi bibirku terasa berat. Tuan Raditya berbalik dan berjalan ke luar ruangan, meninggalkan aku yang terdiam, masih mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.
Apakah ini benar-benar akhir dari semuanya? Atau aku hanya berada di awal dari sesuatu yang lebih berbahaya?
Nextttt okayyy