2

1287 Words
Sejak pagi itu, sesuatu dalam diriku berubah. Aku pikir aku akan kesal, bahkan mungkin takut untuk datang lagi ke rumah Alika. Tapi yang kurasakan justru sebaliknya—aku malah ingin kembali. Ingin melihat lagi tatapan dingin Tuan Raditya. Ingin membuktikan bahwa aku bukan gadis lemah yang mudah diintimidasi olehnya. “Ayahku ngomong sesuatu ke kamu?” tanya Alika ketika kami duduk di kantin sekolah. Aku mengaduk jus jerukku pelan. “Nggak, cuma... dia sedikit ketus.” Alika mendesah. “Udah biasa. Kadang aku juga capek. Dia kayak batu es yang nggak pernah cair.” Aku tersenyum kecil. Batu es yang justru membakar dari dalam, batinku. Tiga hari kemudian, aku kembali ke rumah Alika. Kali ini karena kami harus menyelesaikan tugas kelompok. Alika bilang ayahnya tidak di rumah, jadi aku datang dengan santai. Tapi saat aku membuka pagar, mataku langsung bertemu dengan sosok pria tinggi dengan kemeja putih digulung rapi dan lengan yang kekar—Tuan Raditya. Jantungku otomatis melonjak. Dia sedang menyiram tanaman, tampak berbeda dari biasanya. Tanpa jas, tanpa sikap formal. Tapi sorot matanya tetap sama—dingin dan penuh kontrol. “Permisi, Om,” kataku ragu. Ia menoleh, hanya sebentar. “Alika di kamar.” Aku mengangguk dan berjalan masuk, tapi langkahku terhenti saat mendengar suaranya lagi. “Kamu selalu datang tanpa izin dulu?” Aku berbalik. “Alika bilang saya boleh ke sini.” Ia meletakkan selang air, lalu berjalan mendekat. Napas dan detak jantungku terasa tak beraturan. “Kamu suka menantang, ya?” Aku mengerutkan dahi. “Apa maksud Om?” Ia menatapku tajam, mencondongkan sedikit tubuhnya ke arahku. “Kamu tahu kamu cantik. Tapi jangan pakai itu untuk main-main di rumahku.” Aku tercekat. Aku ingin marah. Tapi saat dia begitu dekat, nada bicaranya begitu rendah dan tajam, aku malah merasa jantungku seperti meledak. “Saya nggak pernah main-main, Om. Saya cuma datang sebagai sahabat Alika.” Senyum tipis muncul di bibirnya—bukan senyum hangat, tapi seperti mengejek. “Kita lihat saja nanti.” Dia meletakkan selang air, lalu berjalan mendekat. Langkahnya tenang, tapi setiap tapak terasa menekan dadaku. Saat berdiri di depanku, tinggi badannya terasa menjulang, membuatku mendongak tanpa sadar. “Kenapa kamu diam?” tanyanya. Aku menelan ludah. “Saya cuma kaget Om tiba-tiba bicara seperti itu.” Dia menatapku, matanya gelap dan sulit ditebak. “Kamu terlalu sering ke sini. Aku tidak suka orang yang tidak tahu batas.” “Maaf kalau saya ganggu, tapi saya ke sini karena Alika,” jawabku berusaha tenang, walau lututku agak gemetar. Tuan Raditya menyipitkan matanya. “Kamu pintar menjawab. Tapi kamu juga tahu caramu menatapku tadi... bukan seperti gadis polos biasa.” Darahku serasa naik ke wajah. “Maksud Om apa?” Dia mencondongkan tubuhnya, wajahnya hanya beberapa jengkal dari wajahku. Nafasnya hangat, tapi nada bicaranya tetap dingin. “Kamu suka bermain api?” Jantungku melompat. “Saya nggak ngerti maksud Om,” kataku, tapi suaraku nyaris berbisik. “Kamu ngerti.” Dia menyeringai tipis, seolah menikmati reaksiku. “Kamu gadis yang terlalu berani.” Aku menatap matanya—untuk pertama kalinya aku tidak menunduk. “Atau mungkin Om yang terlalu cepat menghakimi.” Kami saling diam. Sorot matanya tetap menembusku, tapi kali ini... aku tidak mundur. Ada semacam tarik-menarik yang aneh, menegangkan, tapi juga membuat napasku terhenti. Akhirnya, dia mundur selangkah. “Naiklah. Sebelum aku berubah pikiran dan menyuruhmu pulang.” Aku mengangguk pelan. Tapi saat berbalik, langkahku gemetar. Bukan karena takut—tapi karena sesuatu yang baru saja muncul dalam diriku. Perasaan berbahaya. Aku ingin menaklukkan pria itu. Dan entah kenapa... aku yakin dia tahu. Siap! Kita lanjutkan Bab 2 – Bagian 2 dari Tuan Raditya, Ayah Sahabatku. Masih di hari yang sama, dengan suasana yang tegang dan penasaran antara Keyla dan Tuan Raditya. Tanganku masih sedikit gemetar saat membuka pintu kamar Alika. Tapi aku berusaha menstabilkan napas, memasang wajah santai. Alika sedang duduk di karpet sambil menyalakan laptop. “Lama banget sih,” katanya tanpa menoleh. “Ngobrol sama ayahku?” Aku diam sebentar, lalu menutup pintu pelan. “Iya... sedikit.” Alika tertawa kecil. “Pasti dimarahin ya? Dia kayak gitu. Lihat orang baru dikit langsung curiga. Kamu jangan baper.” Aku mengangguk, duduk di sebelahnya. Tapi pikiranku masih tertinggal di taman bawah. Suara napas Tuan Raditya. Cara dia bicara. Tatapan tajamnya yang menusuk seperti ingin membongkar isi kepalaku. “Dia bilang apa?” tanya Alika, kali ini menoleh ke arahku. Aku ragu sejenak. “Cuma... nanya aku sering ke sini atau enggak.” Alika memutar bola matanya. “Basi. Dia tuh posesif sama rumah. Kayak nggak mau ada jejak orang lain di sini. Kecuali dia yang undang sendiri.” Aku mengangguk pelan. Tapi di dalam hati, aku tahu... ada nada berbeda dalam suara Tuan Raditya tadi. Bukan sekadar soal rumah. Tapi lebih ke... penghakiman. Seolah dia tahu niatku tidak sesuci yang kukira. Kami mulai mengerjakan tugas. Tapi baru lima belas menit, pikiranku kembali mengembara. Aku menatap keluar jendela kamar Alika yang mengarah ke samping rumah. Dan tanpa sengaja, aku melihatnya. Tuan Raditya, berdiri di balkon kamarnya di lantai atas. Memegang secangkir kopi. Dan... menatap ke arah jendela ini. Ke arahku. Aku cepat-cepat berpaling. Jantungku mencelos. Tapi pipiku hangat. “Apa sih?” tanya Alika, melihat ekspresi wajahku yang berubah. “Enggak. Cuma… kayak dilihatin dari tadi.” Alika mengangkat alis. “Oleh siapa?” Aku ragu menjawab. Tapi akhirnya aku berbohong kecil. “Kayaknya cuma perasaan aja.” Tapi dalam hati aku tahu, itu bukan cuma perasaan. Tuan Raditya memang sedang memperhatikan. Dan yang lebih gila lagi... aku mulai suka diperhatikan olehnya. Masih di hari yang sama, makin malam, suasana makin intens dan diam-diam memikat. Waktu berlalu cepat saat kami mengerjakan tugas. Jam dinding menunjukkan pukul setengah sembilan malam saat akhirnya Alika menguap lebar dan berkata, “Lanjut besok aja, yuk. Aku capek banget.” Aku mengangguk. Tapi aku belum mengantuk. Hati dan pikiranku terlalu berisik untuk tidur. Setelah Alika tertidur, aku beranjak diam-diam dari kamar. Niatku cuma ingin ke dapur mengambil air. Tapi saat melewati lorong lantai dua, aku mendengar suara pintu terbuka pelan. Pintu kamar Tuan Raditya. Aku menahan napas. Jantungku berdetak lebih keras, apalagi ketika kudengar langkahnya mendekat. Dan tiba-tiba—dia berdiri di hadapanku. Hanya beberapa langkah. Rambutnya agak berantakan. Kemejanya sudah diganti dengan kaus hitam dan celana training abu gelap. Tapi sorot matanya masih sama. Tetap tajam. Tetap menusuk. “Kamu ngapain belum tidur?” tanyanya datar. Aku menunduk sedikit. “Haus, Om. Mau ambil air ke bawah.” Dia mengangguk pelan. Tapi tidak beranjak. Ia malah menyandarkan satu bahu ke dinding lorong, seolah ingin menahanku. “Kamu nyaman di sini?” tanyanya lagi. Kali ini nadanya lebih rendah. “Nyaman, Om,” jawabku lirih. “Alika sahabat saya.” Dia memicingkan mata. “Sahabat. Tapi kamu lebih sering menatapku daripada dia.” Aku membeku. Beberapa detik hening. “Aku bukan bodoh, Keyla,” lanjutnya. “Tatapanmu bukan tatapan biasa.” Aku menggigit bibir bawahku. “Saya... saya nggak maksud apa-apa.” Dia menyeringai tipis. Tapi bukan senyum hangat. Lebih seperti tantangan. Dingin. Berbahaya. “Lalu kenapa kamu selalu gugup tiap lihat aku?” Aku ingin menjawab. Tapi mulutku kelu. Kata-katanya menelanjangiku. Membuka isi hatiku yang bahkan belum sempat kusadari penuh. Dia mendekat. Satu langkah lagi. Kini jarak kami hanya beberapa sentimeter. “Sebaiknya kamu hati-hati, Keyla.” “N-... ngapain?” suaraku nyaris tak terdengar. Dia menatapku dalam, nyaris berbisik. “Karena sekali kamu masuk ke duniamu sendiri, aku belum tentu biarkan kamu keluar lagi.” Lalu dia berbalik, meninggalkanku sendiri di lorong gelap. Tanpa suara. Tanpa salam. Dan aku berdiri di sana, tubuh gemetar... tapi bukan karena takut. Tapi karena aku tahu satu hal pasti: Aku sudah benar-benar tertarik padanya. Nextt bab 3 yaa guyss jangan lupa vote ya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD