Kesepakatan

1143 Words
Kesempatan dan ketentuan bersama? Ini terdengar seperti pernikahan kontrak seperti yang ada di film-film. Shiren membatin dalam hati. Dia mengerucutkan bibirnya lama, dan menimbang-nimbang hati-hati. "Loe menawari gue pernikahan kesepakatan?" "Ya. Umur loe udah tua. Masih mau pilih-pilih? Nggak takut keburu enam puluh tahun dan tiba-tiba meninggal?" Zafran berkata ringan, membuat perandaian yang tentu saja sangat sangat dibenci oleh Shiren. "Wah sembarangan loe ya. Gue masih tiga puluh dan loe bahas tentang mati? Sarap loe!" Shiren menunjuk-nunjuk d**a zafran yang keras, dan merasa tak nyaman sendiri saat kuku telunjuknya mengenai kancing kemeja lelaki tersebut. Sialan. Kata siapa menunjuk-nunjuk orang itu enak? Shiren mengibaskan tangannya beberapa kali, meresapi rasa nyut-nyutan ujung jemari yang melanda. "Lihat keuntungannya kalau kita nikah. Loe dapat berondong, sesuatu yang pastinya loe banggakan!" Fix. Shiren kali ini ingin muntah. Dia memandang wajah Zafran yang tampak memukau dengan tatapan jijik. Kenapa makhluk setampan ini dinodai dosa besar berupa kenarsisan hakiki? Sebuah dosa yang pasti masuk kategori berat. "Yang ada gue dituduh p*****l. Wanita matang yang nikahin anak di bawah umur. Bisa kena pasal nggak ya ini?" Shiren meratapi nasibnya. Dia menggaruk rambutnya yang tidak gatal dan merasa kesal sendiri. "Gue menyarankan sebuah jalan keluar. Tolong gunakan kecerdasan loe! Kita dua orang yang sepertinya sulit untuk menikah. Gue nggak lagi tertarik wanita dan loe sulit tertarik laki-laki. Kenapa tidak mencari jalan tengah yang ada? Menikah dengan layak, memiliki batasan-batasan tertentu, dan nanti, toh kalau pun salah satu dari kita menemukan orang istimewa, masih terbuka lebar untuk berpisah. Apa susahnya?" Zafran menjelaskan dengan sabar. Dia menatap wanita yang ada di sisinya, membiarkan Shiren mencerna semua kata demi kata. Pernikahan itu membutuhkan pikiran dan keputusan matang. Pernikahan itu sakral dan mengikat seseorang tanpa batas waktu. Tetapi di lain sisi, pernikahan ini dianggap sebagai proses alami kehidupan. Sebuah fase yang harus dilewati. Sehingga mau tak mau, seseorang ada yang dipaksa sebegitu rupa untuk menyempurnakan fase ini karena tuntutan sosial dan keluarga. Mungkin di negara lain pernikahan bukan sesuatu yang diwajibkan. Tetapi untuk orang Indonesia, terutama Jawa, banyak orang yang menganggap pernikahan sebagai suatu keharusan. Kalau nggak dapat calon, ya dicari-cari sebisanya. Ditanya-tanyain ke sanak kerabat. Ada segelintir orang yang tidak menganggap pernikahan sebagai suatu keharusan. Tetapi segelintir orang tersebut pastilah jumlahnya tak seberapa. Sayangnya, keluarga besar Zafran dan Shiren termasuk kolot dalam hal ini. "Loe bener sih. Tapi apa kita nanti bisa saling mejaga prifasi? Benar-benar menjaga batasan satu sama lain?" Shiren ingin meyakinkan. Dia tak bisa membayangkan jika tiba-tiba di malam pertama Zafran duduk di atas ranjang, menuntut haknya sebagai seorang suami. Shiren bergidik ngeri. Dia merasa tertekan dan tak bisa memikirkan semua itu. "Lihat gue!" pinta Zafran, menghadap persis ke arah Shiren. "Ogah!" tolak Shiren otomatis. Shiren sudah mulai paham lelaki itu narsis. Tapi tak pernah membayangkan dia senarsis ini. "Shiren, lihat gue!" "Please, Zafran!" Wajah Shiren memelas. Dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, mulai istighfar. Dosa apa yang Shiren miliki sehingga dia dipertemukan dengan lelaki senarsis ini. Seingat Shiren, dirinya jarang mendzolimi seseorang. Tetapi situasi ini jelas sangat mendzolimi dirinya sendiri. "Lihat gue! Lihat gue! Lihat gue!" Zafran menahan kedua tangan Shiren dan memaksa wanita ini mau tak mau menatap dirinya. Shiren menderita. Dia mengerang pelan. Jauh di dalam rumah, keluarga besarnya mulai mengintip dari sudut jendela dan terkikik geli.Terutama Mama dan Mbah Uti. Di mata mereka, adegan Zafran dan Shiren saat ini seperti adegan india yang malu-malu kucing. Sungguh suatu khayalan yang cukup tinggi. Bukti bahwa generasi seperti Mbah Uti saja bisa ternodai sinetron. "Mereka mau ciuman!" Mama menebak sembarangan. Wajahnya yang sumringah terlihat penuh senyum. "Bukan ciuman, mereka mau pelukan," ralat Efim, tebakannya tak kalah kacau. "Mereka mau nyuri star malam pertama di balkon rumah, Sodara-sodara!" Kali ini, Om Akmal dengan tebakannya yang lebih gila, asal ia cerocoskan saja. Hikma dan Aris, dua orang yang sepertinya berotak waras hanya bisa mendesah pasrah mendengar tebakan-tebakan keluarga mereka yang kacau balau. "Pantas fitnah itu disebut sebagai dosa jariyah. Orang kalo ngomong seenaknya sendiri gitu tanpa dipikir!" Aris menggelengkan kepalanya lemah, merasa tak berdaya. Sementara di luar, Zafran masih saja menahan kedua tangan Shiren. Lelaki ini menunduk sedikit, agar Shiren lebih seksama menatap dirinya. "Lihat aku, Shiren! Apa aku ini punya wajah lelaki m***m yang dengan seenaknya sendiri mengambil keuntungan dari pernikahan? Apa aku ini kelihatan seperti orang b***t?" Zafran menatap Shiren sungguh-sungguh. Mereka berpandangan lama, mengamati satu sama lain. Shiren mendesah lega. Jadi ini tujuan Zafran memaksanya untuk menatap wajah. Memang, karakter seseorang bisa disimpulkan dari garis-garis wajah seseorang. Meskipun tidak selamanya wajah baik menunjukkan karakter baik, tetapi sebagian besar rumusnya seperti itu. "Nggak juga sih. Loe punya wajah anak muda yang baru lulus SMA. Terlalu lugu." "Ya. Gue terlalu lugu. Suatu nasib yang harus gue tanggung untuk menikah dengan tante-tante seperti loe. Semua keuntungan ini lebih besar ada sama loe, dari pada gue. Bayangkan, loe merried, dapet lelaki sekeren ini, muda, berkarakter, berkarir mapan, kenapa nggak terima aja?" Shiren terbengong lama. Dia seperti mendengar informasi yang sangat langka. Keren. Muda. Berkarakter. Berkarir. Dengan tiba-tiba, Shiren terbatuk-batuk hebat. Dia mundur beberapa langkah dari Zafran, merasa harus segera menjaga jarak. "Astaghfirullah. Astaghfirullah …." "Shiren?" "Ya Ilahi Ya Maliki." "Shiren?" "Anta ta'lam kayfa hali." Kini giliran Zafran yang terbengong lebar. Dia tak tahu apa yang tengah Shiren katakan. Bukankah ia telah menawarkan jalan keluar? Kenapa Shiren harus sedramatis itu? "Mau nggak loe nikah sama gue?" Zafran akhirnya bertanya langsung agar tujuannya segera teecapai. "Loe lamar gue?" Shiren semakin terkejut. Zafran mendesah panjang, tak tahu lagi harus menjelaskan seperti apa situasi mereka. Dari tadi dia sudah mengatakan maksudnya panjang lebar, tetapi ujung-ujungnya kembali lagi ke titik ini. Zafran lelah harus mengulanginya dari awal. Dia duduk di kursi teras, menatap langit malam dengan lemas. "Terserahlah loe mau ngomong apa. Gue capek jelasin semuanya dari awal!" Zafran memejamkan matanya, terlihat mulai tak peduli. Dia sudah menawarkan jalan keluar bagi mereka. Sekarang terserah Shiren akan menerimanya atau tidak. Yang penting, Zafran sudah melakukan bagiannya. "Jika pun gue nolak pernikahan ini, keluarga gue tetep bakal mencarikan calon lain. Calon yang bisa jadi lebih parah dari loe. Loe pun juga pasti sama. Keluarga loe tetep bakal nyariin calon lain lagi kan?" tebak Shiren. Zafran tersenyum sinis. Baguslah jika Shiren mulai memahami duduk masalahnya. Dari tadi itulah yang coba Zafran jelaskan panjang lebar. "Karena itulah tawaran gue terjadi!" balas Zafran ringan. Auranya jadi berubah lebih serius, dengan wajah yang menggelap tak suka. Zafran sudah kehilangan minat pada pernikahan. Sementara keluarganya yang suka ikut campur, mulai merongrong Zafran dengan banyak alasan. Umurnya memang masih muda, tetapi tanggung jawab besar sebagai penerus utama bisnis ayahnya membuat ia diberi tanggungan kewajiban lebih dari pada yang lain. "Sepertinya loe benar, Zaf. Kita akan lebih baik menerima ini." Zafran menoleh ke arah Shiren, tersenyum simpul. Mereka akhirnya menemukan kesepakatan satu sama lain. …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD