Kunjungan Keluarga

1856 Words
Sehari setelah usia Shiren genap tiga puluh tahun, beban mentalnya seolah membesar secara otomatis. Pertemuan keluarga yang dijanjikan Mbah Uti benar-benar akan terjadi malam ini. Shiren sudah uring-uringan nyaris sehari penuh. Damar bahkan memanggilnya sebagai mak lampir karena tingkat amarah Shiren berada di atas normal. Emosinya lebih sensitif dari pada kucing bunting. Disenggol sedikit saja, langsung mencak-mencak. Emosi Shiren semakin tak jelas saat ia kembali pulang ke rumah, menyaksikan Mama dan Tante Ira sibuk memasak hidangan untuk acara nanti malam. Dia bertengkar dengan Mama lagi tentang perjodohan konyol yang mereka siapkan. Meski demikian, respon apa pun yang Shiren berikan tak berhasil mengubah keputusan beliau. Setelah bertahun-tahun, untuk pertama kalinya Shiren kembali merasa diperlakukan layaknya anak kecil. Semua keputusan penting hidupnya diambil oleh orang tuanya. Beruntung Shiren cukup dewasa menyikapi semua ini. Dia tetap memilih menghadapi segalanya dengan kepala dingin, tidak dengan tindakan kekanakan seperti kabur dari rumah atau semacamnya. Hanya emosinya saja yang sudah tak bisa dikontrol lagi. Logika dan nalarnya masih tetap berjalan normal. Dia sudah cukup matang untuk berpikir secara rasional. Kabur dari rumah atau pun bunuh diri bukanlah suatu pilihan dalam hidupnya. Untuk apa ia pergi jika tempat bekerjanya saja sudah diketahui keluarga. Mencari pekerjaan lain pun juga tak semudah membalikkan telapak tangan. Lebih bodoh lagi bunuh diri. Hei, dosanya segunung himalaya, bagaimana mungkin dia berani berbuat dosa seperti bunuh diri hanya karena kabur dari perjodohan. Tidak. Shiren masih normal. Setelah jam menunjukkan pukul delapan malam lewat delapan menit, Shiren dipandu Tante Ira menemui perwakilan keluarga dari pihak lelaki. Dia mengenakan dress panjang berwarna biru gelap dengan riasan tipis yang tampak alami. Sebuah penjepit rambut berwarna emas menghiasi sisi kepalanya. Kedua netra hitam Shiren mengamati setiap sudut ruang tamu. Ada empat orang yang hadir malam ini. Dua orang wanita yang masing-masing berusia sekitar pertengahan empat puluh dan pertengahan dua puluh tahunan. Dua orang lainya adalah seorang lelaki muda, masih sangat belia, sementara yang lainya berusia sekitar awal lima puluh tahun dengan kerut-kerut samar di sepanjang wajahnya. Shiren mengangguk takdzim, memberikan salam dengan wajah sedikit tak nyaman. Dia menatap lelaki tua yang usianya terpaut kurang lebih dua puluh tahun darinya dan tersenyum canggung. Wajahnya mulai memerah menahan amarah. Mungkinkah mama menjodohkan dirinya dengan duda beranak? Om-om berumur setengah abad yang perutnya menggelembung kebanyakan lemak. Kepalanya botak setengah. Tangannya gendut sebesar pelepah pohon pisang. Entah apa yang telah merasuki keluarganya, mereka dengan tega menggiring Shiren pada kesepakatan gila sepanjang hidupnya. Menikah, dengan lelaki tua. Bukan. Dia lebih pas disebut bandot m***m tua. Semapan apa pun lelaki tersebut, Shiren merasa jengah membayangkan hari-hari yang akan ia lewati. Kata menikah sudah berhasil menakuti mentalnya. Apalagi digabungkan dengan lelaki duda berumur, semakin lengkaplah tragedi yang ia alami. Shiren akan mengabadikan kisah hidupnya ini di atas buku sidu dengan selembar materai enam ribu, siapa tahu bisa menarik simpatisan di luar sana. "Jadi kamu Shiren ya, yang disebut-sebut dalam obrolan kita akhir-akhir ini … ayu ... benar-benar gadis ayu kamu nduk, tata kramamu juga tak mengecewakan." Lelaki yang memperkenalkan diri sebagai Om Akmal, tertawa renyah seolah merasa puas. Shiren mundur teratur, merasa syok. Innalillah. Om-om ini memujinya ayu. Suatu tragedi yang sangat besar. Kiamat kubro mulai terjadi. "Nduk, ini Zafran, calon masmu." Telunjuk Mbah Uti mengarah pada seorang lelaki muda, berusia awal dua puluh tahunan. Untuk sesaat, kesadaran Shiren macet mendadak. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya ragu, menatap bergantian antara Om Akmal dan lelaki asing yang disebut Zafran. Seorang pemuda dengan wajah maskulin tampak menatapnya datar. Tekstur wajahnya kuat seolah menunjukkan kepribadian dan karakternya yang keras. Dia duduk santai di samping Om Akmal, seolah tak peduli dengan keadaan sekelilingnya. Shiren mendesah putus asa. Sebelumnya ia pikir Om Akmal-lah yang akan dijodohkan oleh keluarganya. Tak disangka, anak lelaki muda ini yang dijodohkan oleh keluarganya. Hei. Yang bener aja. Berapa sih usianya? Delapan belas tahun? Whoa!!! Dunia sepertinya memang mau kiamat. Katakanlah Om Akmal memang tua, tapi setidaknya, itu lebih baik dari pada pemuda belia yang pasti usianya jauh dibawahnya. "Cukup muda ya." Shiren menggertakkan giginya, merasa marah keluarganya membuat drama seperti ini. "Putraku memang masih dua puluh dua tahun, tapi cukup cakap dalam banyak hal. Dia sudah bekerja membantu perusahaan Om sebagai accounting yang handal dan dalam proses menjalani pendidikan S2." Shiren mengerucutkan bibir. Jadi Om Akmal adalah babenya. Orang yang tadi ia pikir sebagai calon, ternyata memang calon. Hanya saja calon mertua. Otak Shiren semakin mengepul. Pikiranya mulai rumit. Dua puluh dua tahun. Mereka terpaut delapan tahun. Shiren terduduk lemah di atas kursi ruang tamu. Dia lelah, merasa ingin melarikan diri untuk sejenak. Tante Nurul, Istri Om Akmal yang berusia empat puluhan, menambahkan banyak poin tentang kelebihan Zafran. Mereka berdua seperti sales marketting yang sedang mempromosikan mati-matian sebuah produk andalan. Shiren menarik napas, merasa terjebak dengan keadaan . Semua orang di ruangan ini saling menimpali pembicaraan dengan meninggi-ninggikan nilai masing-masing calon. Lama-lama, pembicaraan ini jadi semakin membingungkan. Dia menatap Hikma, kakak Zafran yang menjadi satu-satunya pihak paling netral. Kedua matanya menyorot penuh permohonan, meminta bantuan secara tersirat. Mereka sama-sama kaum perempuan. Semoga saja Hikma cukup menaruh simpati dengan nasib Shiren. "Mah, sebaiknya kita semua memberikan kesempatan pada Zafran maupun Shiren untuk saling mengenal. Bagaimanapun juga, merekalah yang akan menjalani pernikahan jika pertemuan ini membuahkan perkawinan." Semua orang saling mengangguk setuju, membenarkan usul Hikma. Tak berapa lama, Zafran memutuskan untuk keluar ruangan diikuti Shiren. Mereka berdiri di teras depan dalam keterdiaman. Malam ini langit cukup gelap gulita. Hanya cahaya dari lampu rumah-rumah yang menghiasi suasana. Tak ada satu pun cahaya bintang. Awan cukup mendung untuk menampakkan keindahan dan pesonanya. Shiren mematung. Pandanganya tampak menerawang jauh. Pikiranya memproses banyak hal. Semua fakta yang disodorkan untuknya hingga detik ini masih sulit untuk ia terima. Di titik ini, dia merasa tujuan-tujuan hidupnya mulai kembali dipertanyakan. Shiren menatap lelaki belia disampingnya. Memang Ada gurat-gurat kedewasaan di wajahnya. Tatapan matanya kini datar, menyembunyikan banyak emosi. Entah. Shiren tak bisa meraba lelaki ini. "Ehm, gimana menurut loe?" Shiren memulai percakapan. Hening cukup lama. Hingga akhirnya sebuah pertanyaan singkat keluar darinya. "Apanya?" Suaranya dalam dan besar. Sebuah kernyitan tampak terbentuk di dahi indah Zafran. "Rencana perjodohan ini percuma. Kita hanya harus menjelaskan bersama-sama pada mereka bahwa pernikahan tak akan pernah terjadi." Angin malam terasa sedikit menggigit, membelai pelan pori-pori kulit lengan Shiren yang tak terlindungi. Percakapan-percakapan keluarga di ruang tamu terdengar samar-samar, menjadi suara latar belakang. Pernikahan adalah sesuatu hal yang sangat sakral. Sebuah perjanjian yang diucapkan di hadapan Sang Pencipta. Ikatan sesakral itu sudah seharusnya dipikirkan matang, kepada siapa kita akan bersumpah setia. Shiren yakin, jauh di dalam lubuk hati, Zafran pasti menolak pernikahan ini. Dengan jaman yang sudah bergerak maju, di mana kehidupan semakin modern, perjodohan terdengar semakin asing dan mustahil. Mungkin hal ini bisa berhasil untuk beberapa orang, tetapi yang jelas itu tak akan terjadi untuk Shiren sendiri. "Tidak masalah, aku menerima," sahut Zafran enteng seolah tanpa beban. Shiren terbatuk hebat, mencoba mengendalikan keterkejutanya. Hingga kedua matanya tampak berair dan berwarna merah. Menerima? Mustahil. Pasti lelaki ini sangat gila. "Kenapa?" Jangan bilang bahwa dia mengaku mencintai Shiren dalam pandangan pertama. Ayolah kita bermain realitas. Berapa persen kaum lelaki sanggup menyetujui pernikahan dengan pasangan wanita asing? Di mana mereka tidak saling mengetahui karakter masing-masing, tidak mengetahui kehidupan masing-masing dan tidak mengetahui emosi masing-masing. Semua ini tak ubahnya seperti sebuah perjudian. Hanya saja, di sini yang dipertaruhkan adalah aset kehidupan kita. "Sekarang biar gue balik pertanyaanya. Kenapa loe nggak mau dengan perjodohan ini?" Meskipun usianya jauh di bawah Shiren, tampaknya Zafran merupakan orang yang cukup kuat untuk mengimbangi dirinya. Bahkan, setiap kata-katanya terdengar cukup vokal. Shiren menghela napas dalam. Dia merangkai kata di dalam kepalanya sebelum akhirnya menjelaskan segala alasan masuk akal yang sanggup ia jabarkan. Mungkin disinilah ia harus jujur. Dengan miris, Shiren mengakui sebuah hal. Mata Shiren semakin menerawang jauh, seolah berusaha menembus gulitanya awan. "Karena gue nggak pernah merasakan apa yang orang bilang cinta. Pernikahan, semakin lama semakin menjadi sesuatu yang gue hindari. Untuk apa sebuah ikatan terjadi jika perasaan saja tidak gue miliki?" Shiren terdiam cukup lama, meresapi semua emosinya sendiri. Bukankah sebuah pernikahan perlu pondasi yang kuat? Setidaknya, faktor perasaan menjadi dominan untuk dijadikan barometer. Lelaki itu tersenyum. Sudut bibirnya ia tarik sedemikian rupa, menciptakan suatu keindahan. Meskipun Shiren menikmati senyumnya, tetapi tidak sedikit pun hal itu sanggup memunculkan reaksi asing. Hampa. Hanya itu yang ia rasakan. Suatu perasaan familier yang telah lama ia miliki untuk semua lawan jenisnya. "Jadi, bukankah pernikahan ini sempurna? Kita bisa saling toleransi dalam sebuah pernikahan. Mari kita menikah, saling menghargai dan menciptakan batasan masing-masing. Gue nggak akan melakukan sesuatu dari batas yang loe gariskan, begitu pun sebaliknya." Shiren syok. Penjelasan dari lelaki di sisinya ini cukup mengguncangkan batinya. Dia bersandar pada tembok di belakangnya, mengatur napas sesuai arahan dari instruktur yoga yang pernah ia ikuti. Shiren menatap keseriusan dari lelaki di sampingnya. Gila. Pasti ada yang tidak beres dari makhluk ini. "Cukup. Sepertinya logika loe terlalu bar-bar untuk gue cerna!" Shiren mengibaskan sebelah tangan, merasa gamang. "Kenapa? Kita dua orang yang saling terjebak keadaan. Bukankah akan lebih baik jika kita bekerja sama dan melakukan pernikahan ini? Usia loe semakin berjalan, pada akhirnya, baik loe atau pun gue pasti akan kembali dipaksa memasuki pernikahan. Dari pada kita terjebak pada orang asing yang memiliki pengharapan tinggi, bukankah lebih baik kita terjebak pada orang yang sanggup memahami batas-batas kita dan mencoba hidup dengan saling toleransi?" Shiren mematung. Zafran berhasil menggebrak kesadaranya yang paling dalam. Memang ada benarnya apa yang disampaikan lelaki ini. Dia adalah wanita yang dikejar usia. Dari sisi itulah keluarga besarnya sering kali mengkhawatirkan dirinya. Pernikahan selalu menjadi bayang-bayang tergelap Shiren. Alasan demi alasan yang ia berikan, pada akhirnya tak akan berhasil menahan keinginan keluarganya. Mereka menginginkan ia menjalani kehidupan normal, menikah, memiliki anak dan berbahagia. Namun, konsep pernikahan selalu terasa rumit bagi diri Shiren. Dia, mungkin telah tumbuh menjadi wanita yang cukup berbeda dari kebanyakan orang. Kemauanya terlalu dominan untuk hidup sendiri, meninggalkan banyak harapan-harapan romantisme dangkal bagi lawan jenis. Bukan untuk pertama kalinya Shiren merasa hilang arah. Menjadi orang asing bagi lingkunganya sendiri. Dia, sebenarnya merasa lelah. Mempertahankan segala prinsip kemandirian yang ia agungkan selama ini. "Usia loe terlalu muda," Shiren terkekeh geli, "mungkinkah lu bermaksud mengatakan bahwa perasaan loe juga tak tersentuh sehingga menerima pernikahan tanpa landasan kuat dengan gue?" Sepasang iris gelap Shiren melirik lelaki di sampingnya, menuntut konfirmasi dari pertanyaan yang ia lemparkan. Dia masih mempertahankan kekehanya, seolah-olah mengolok kondisi mereka berdua yang mengenaskan. "Justru sebaliknya. Gue terlalu mencintai seseorang yang tidak bisa lagi gue jangkau." Jari-jemari Zafran terkepal hebat. Cinta itu telah mengambil semua ruang hati yang ia miliki. Hingga tidak lagi menyisakan perasaan sekecil apa pun untuk orang lain. Wanita itu telah mengambil semua fokusnya, menutup kemungkinan-kemungkinan baginya agar membuka kesempatan pada wanita lain mana pun juga. Tetapi keluarga Zafran adalah keluarga yang kolot. Mereka akan terus mendorongnya melakukan pernikahan. Jadi, dari pada ia terikat pada wanita ringkih yang menuntut semua emosi dan perasaanya, bukankah lebih baik ia menikahi wanita asing di sisinya yang bisa menerima kondisinya saat ini. Toh, Shiren pun demikian. Perasaan yang wanita itu miliki terhadap pria tak ubahnya seperti kehampaan tanpa ujung. Dengan kata lain, mereka terjebak dalam keadaan yang sama dan membutuhkan jalan keluar bersama. "Jadi bagaimana jika kita menyetujui ikatan ini dengan kesepakatan dan ketentuan bersama?" ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD