Kunjungan Mbah Uti

1406 Words
Shiren memasuki rumah dengan pandangan bertanya. Seorang wanita sepuh tengah terduduk di kursi tunggal, menjadi pusat perhatian. Di sisi kiri kanannya, terdapat Mama dan Tante Ira yang juga dari Magelang. Dua kursi lainya diisi oleh adik lelakinya, Aris dan Efim. Mereka semua tampak antusias menyaksikan kepulangan dirinya. Mata-mata berbinar penuh harap. Wajah-wajah terlihat berseri-seri. Lama-lama, reaksi mereka membuat Shiren merasa was-was. Mereka melihat dirinya seolah-olah ia adalah sang penyelamat. Mungkinkah entah bagaimana Mama telah menukarkan dirinya sebagai penebusan hutang keluarga? atau dia telah menjadi alat tukar suatu kesepakatan tertentu? Sehingga mereka menganggap dirinya sebagai bentuk penyelamatan darurat? Kan banyak tuh di film-film anak perawan dijual untuk jaminan hutang. Dijadikan simpanan juragan kaya yang perutnya gendut. Dinikahkan dengan duda lapuk yang anaknya selusin. Shiren merasa pandanganya semakin tak terfokus. Dia benar-benar akan mengutuk Mama jika tega melakukan drama murahan seperti itu. Hei, ini abad dua puluh satu. Manusia memiliki hak yang kuat untuk tetap hidup dan memiliki kemandirian penuh. Tidak seharusnya dijadikan suatu alat tukar kesepakan apapun. "Hai Kak, sudah pulang?" Tanya Efim, si adik bontot. Antara dirinya dan adik-adiknya, mereka semua memiliki selisih dua tahun berturut-turut. Shiren yang sebentar lagi menginjak usia tiga puluh tahun, Ares dua puluh delapan tahun dan Efim dua puluh enam tahun. Sepertinya mama adalah orang yang teratur secara teknis. Semua anak-anaknya direncanakan secara matang dari waktu kelahiran. Selain waktu, beliau juga sangat memperhatikan masalah nama. Semua nama anak-anaknya diambil dari makhluk mitologi yunani. Shiren adalah nama yang diadaptasi dari makhluk legendaris yang termasuk kaum naiad yang hidup di air. Aris diambil dari nama Ares, yang berarti dewa perang. Sedangkan Efim, asal katanya adalah Eufeme, dia merupakan nama dewa kata-kata baik. Shiren selalu merasa curiga seandainya saja Papa tidak wafat begitu cepat meninggalkan mereka dua puluh tahun lalu, mungkin Shiren akan memiliki selusin adik yang semua namanya diambil dari dewa dewi yunani. Rumah mereka pasti akan terdengar seperti nama-nama sejarah. Menggelikan. Shiren pernah membayangkan memiliki adik yang namanya Zeus. Pasti dia sukses dijadikan bulan-bulanan oleh teman-temanya. Shiren mengernyit mengamati adik bungsunya. Tumben makhluk itu bisa pulang lebih awal darinya. Biasanya, Efim selalu bekerja hingga larut malam. Pekerjaanya sebagai sekretaris HRD di sebuah perusahaan produksi spare part selalu menyita banyak waktu. "Loe kenapa udah balik gawe? dapet PHK?" Tanya Shiren sambil lalu. Dia menyalami mbah uti dan Tante Ira bergantian. Dengan penuh takdzim, Shiren mengecup ujung tangan mereka. "Gue bela-belain pulang lebih awal buat loe." Buat dia? Perut Shiren kian terasa mulas. Ya Tuhan, Mama pasti serius telah mempertaruhkan tubuh putrinya sendiri sebagai alat bayar hutang. Sampai-sampai si cecunguk Efim rela pulang demi dirinya. Mungkin hati kecil adiknya tergerak untuk melepas kepergian terakhir Shiren dengan dadah-dadah selamat tinggal. "Ssht. Jangan mulai ribut deh. Kasian Mbah Uti dan Tante Ira." Aris, adiknya yang lain menengahi. Di antara mereka semua, Aris-lah yang mewarisi kedewasaan Papa dan juga sikap lemah lembut beliau. Sementara yang lain, lebih dominan mewarisi karakteristik Mama yang cablak, supel dan extrovert. Shiren berbasa-basi sebentar sebelum ia pamit mandi dan kembali membaur bersama mereka. Mbah Uti tengah membicarakan sesuatu yang sangat serius dengan Mama. Sesekali mereka saling meliriknya secara bergantian. "Fim, apa wajah gue semakin cakep? Kenapa mereka lirikin gue terus? Mbah Uti nggak i***s sama cucu sendiri kan? gue wanita lho ini. Apa orinteasi seksual orang bisa berubah di usia tua?" Efim menoyor kepala kakaknya. Usia sih nyaris tiga puluh. Tapi otak kok nggak pernah upgrade. Orang ini benar-benar pengen ditampol. "Shiren," panggil Mbah Uti kepada cucu perempuanya. Shiren mendekat dengan tak yakin. Jantungnya mulai berdetak tak karuan. Entah kenapa, panggilan seperti itu membuat rasa was-wasnya naik di ubun-ubun. "Ya, Mbah. Sendiko dhawuh." Shiren mengerjap-ngerjapkan matanya tak nyaman. Di belakangnya, Efim setengah mati menahan tawa. Kakaknya yang cablak akhirnya harus berurusan dengan sesepuh utama keluarga. Menggelikan. "Apa dosa saya Mbah?" Nada Shiren terdengar rendah saat bertanya. Mbah Uti menggeleng lemah. Sekarang baru cucunya ini bertanya apa dosanya? "Kamu masih tidak tau kesalahan kamu, Nduk?" Mata Shiren semakin nyalang. Kesalahan? Apa lebaran kemarin masih belum cukup meminta maaf? Ya Tuhan, berurusan dengan orang tua itu ternyata menakutkan. Shiren bergidik ngeri. "Kesalahan saya adalah tidak tau kesalahan saya, Mbah." Shiren sungkem. Biarlah dia melakukan apa saja, kaum muda memang selalu salah di mata sesepuh. "Kamu itu cucu Mbah bukan sih Nduk? Kesalahan kamu saja ndak tau?" Mbah uti menderita skizofrenia. Pasti. Sampai-sampai cucunya sendiri tidak ia ingat. Shiren tergoda untuk menunjukkan kartu keluarga pada beliau agar ia kembali mengingat dirinya. Sudah jelas-jelas dia cucunya. Kenapa harus ditanya? "Usia kamu menuju tiga puluh tahun dan masih saja tidak menikah. Di jaman mbah, gadis lima belas tahun itu udah punya anak." Shiren berjalan mundur ke belakang, menabrak Efim yang langsung marah-marah. Gadis lima belas tahun memiliki anak? Gila. Dunia Shiren porak poranda mendengar fakta mengejutkan itu. Pantas saja populasi dunia membengkak. Makhluk di dalamnya beranak pinak dengan cepat sih. Program KB harus ditegakkan lebih intensif lagi. Demi apa pun juga, Shiren bersedia menjadi duta KB. "Mbah ke sini berniat untuk membantumu. Mbah sudah membuat kesepakatan perjodohan dengan kerabat jauh. Dia tinggal di Jakarta juga. Orang tuanya adalah anak dari adiknya keponakan dari kakaknya Mbah dari garis ibu di kampung." Mata Shiren membelalak lebar. Dia memukul-mukul kepalanya perlahan untuk mencerna kabar yang dibawa oleh wanita sepuh ini. Hubungan kerabat yang Mbah Uti jelaskan semakin menambah pusing kepalanya. Seperti denah hutan belantara yang nggak jelas ujung pangkalya. Perjodohan? Tuhan, dari segala cerita hidup yang Shiren jalani, perjodohan adalah hal yang tak pernah ia pikirkan. Dia wanita karir, mandiri, dan lajang. Untuk apa perjodohan dimasukkan dalam agenda hidupnya? Hello, tanpa laki juga Shiren bisa hidup nyaman kok. Wanita makhluk yang kuat. Bisa ditempa dan bertahan dalam banyak keadaan. "Mbah—" "Tidak. Kamu tidak bisa menolak. Acara lamaran sudah mbah hitung berdasarkan hari weton kalian. Jika nanti lancar, Mbah sudah dapatkan hari yang baik. Dua belas hari lagi kalian akan serah terima mahar." Ya Tuhan. "Dalam tiga hari kedepan, keluarga dari pihak lelaki akan berkunjung ke rumah ini untuk melakukan musyawarah. Jika acara tersebut lancar, selanjutnya lamaran akan segera dilakukan. Kemudian pernikahan diagendakan dua bulan kedepan." "Dia ganteng, nggak kalah sama Aris." Mbah Uti mengedipkan sebelah matanya. Nggak kalah sama Aris? Wah, itu artinya bencana besar. Dari sudut mana Aris bisa disebut ganteng? kecuali orang itu katarak atau silinder tentu saja. Aris setampan manusia kera pada jaman purba. Harusnya Aris dimuseumkan dini. Nafas Shiren sudah terputus-putus seolah sekarat. Dia menatap sekelilingnya yang tiba-tiba berubah menjadi hening. Kedua adiknya tersenyum penuh arti. Sepertinya, entah bagaimana mereka bahagia melihat ia menderita. Mama dan Tante Ira, menatap Shiren dengan wajah berbinar. Tentu saja Mama pasti senang. Tiga tahun Mama merecokinya tentang pernikahan, akhirnya kini ia berhasil mencomot menantu asing untuk putrinya. Ini gila. Tidak semudah itu pernikahan terjadi. Banyak faktor yang ikut berperan di dalamnya. Memilih suami adalah proses yang tidak mudah. Jika salah, pernikahan hanya akan hancur dalam hitungan hari. Bagaimana jika lelaki itu senang main tangan? Tukang judi? Tukang sambung ayam? Tukang miras? Tukang selingkuh? Tukang kuntit janda? Tukang korupsi? Tukang ngintip tetangga? Tukang curi kolor? Eh … tukang ngekorin janda? Aduuuhhh duhhh …. Shiren merasa kepalanya sebentar lagi pasti akan meledak. Terlalu banyak hantaman kesadaran dalam waktu yang bersamaan. "Mbah. Shiren belum mau menikah. Kalau nanti Shiren ketemu dengan lelaki yang cocok, pasti akan langsung mengadakan pernikahan." Meskipun dia tak yakin dapat bertemu dengan lelaki yang cocok, setidaknya saat ini dia perlu memberikan janji dulu. Mbah Uti perlu ditenangkan secepatnya. Sebelum ide-ide liarnya berkembang tak terkendali. "Tidak. Mbah sudah sepakat. Mau tidak mau kamu harus menikah. Waktumu sudah habis untuk memilih. Jika kamu terus saja menghindari pernikahan, bisa-bisa kamu benar-benar menjadi perawan tua selamanya?" Meskipun usia beliau memasuki tujuh puluh tahun, tetapi wanita di hadapanya ini masih jauh dari pikun. Beliau bisa sangat keras kepala jika menginginkan sesuatu. Tipe sesepuh yang otoriter. Sepertinya, dia memang masih jauh dari segala gejala skizofrenia. Shiren mencoba mengatur nafas sedemikian rupa agar amarahnya tidak naik ke permukaan. Mbah Uti membicarakan pernikahan seolah ia adalah burung merpati yang bisa dijodohkan dengan pejantan secara random begitu saja. Yang penting dicoba, disatukan dan dikembangbiakkan. Memangnya ini peternakan? "Mah, Shiren—" "Sudah. Kamu harus terima keputusan ini. Mbah Uti akan tetap di sini hingga tiga hari ke depan, agar kamu tidak membuat masalah. Kamu beruntung akan mendapatkan lelaki mapan dan juga baik. Latar belakangnya jelas dan membanggakan." Kedua mata Mama berbinar bahagia. Bayangan tentang dirinya yang duduk di pelaminan, disungkemi dengan anak dan menantunya, telah berhasil membuat stok bahagianya melonjak tiga kali lipat. Sangat bertolak belakang dengan Shiren yang wajahnya menunjukkan siap pingsan kapan saja. ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD