Istana Putih
"Hei kamu!" teriak seseorang di belakang Aira.
"Kamu Vira setiap hari tidak ada kerjaan. Haruskah bermalas-malasan setiap saat?" Tegur Beilin yang kebetulan melihat Aira tengah merilekskan tubuhnya sejenak.
"Aku bukan Vira, aku Aira. Aku juga bukan tidak melakukan apapun," bantah Aira.
"Ini perintah dari Tuan Tristan. Ambilkan barang-barang ini. Lakukan dengan cepat!" Sambil memberikan catatan beberapa nama barang yang diperintahkan Tuan Tristan.
Aira segera masuk ke dalam dan menyiapkan apa yang diminta para wanita di depan.
"Hari ini benar-benar sial. Hari ini Tuan Devan kembali. Kita tidak melihatnya dan malah disuruh mengambil benda-benda yang tidak penting ini." Beilin sangat kesal.
"Ini adalah barang yang diminta Tuan Tristan." Aira sambil menyerahkan nampan berisi benda-benda kecil bersejarah.
Para wanita itu berbalik hendak meninggalkan Aira.
"Tunggu!" Aira menahan para wanita.
"Maaf. Tadi kudengar dari kalian, Tuan Devan sudah kembali?" Aira sedikit ragu bertanya pada mereka.
"Untuk apa kamu menanyakan ini?" Violet merasa tidak senang dengan pertanyaan Aira.
"Hanya seorang pelayan istana yang tidak berguna, lakukan pekerjaanmu dengan baik. Jangan menanyakan hal yang tidak masuk akal!" Jawab Beilin sinis.
"Ayo pergi!" Ajak Beilin kepada para wanita. Mereka berbalik dan meninggalkan Aira.
Aira mendengus kesal.
"Selalu seperti ini. Jika Nyonya Silvia ada, kalian pasti tidak berani." Aira meninju tangannya ke udara sambil memutar tubuhnya seperti gerakan menghajar banyak orang, kemudian ia menghentak-hentakkan kakinya karena masih kesal, tampak wajah masamnya masih belum hilang.
Aira merias dirinya secantik mungkin. Dengan pakaian paling indah yang ia miliki.
"Bagus sekali. Tuan Devan pulang membawa kemenangan lebih cepat. Aku akan memetik satu keranjang penuh bunga segar yang sengaja ku tanam dan memberikannya langsung kepadanya." Aira sangat gembira.
Sebelum pergi teman-teman Aira begitu khawatir kepadanya.
"Aira. Apakah Tuan Devan mengingat siapa dirimu?" Demian merasa cemas.
"Kamu harus mendandani dirimu lebih cantik. Berikan sebuah kesan yang baik untuk Tuan Devan." Viona memberi saran.
Di perjalanan menuju tempat Tuan Devan, Aira tidak sengaja melihat pria itu tengah menikmati pemandangan di taman istana.
"Tuan Devan," gumam Aira.
Perkataan Viona kembali terngiang.
"Aira. Perhatikan sikapmu! Ingat yang ku ajarkan pada dirimu! Kamu harus bersikap lembut, tampil menawan, juga memukau. Dengan begitu, dia akan tertarik kepadamu."
Aira merapikan rambut dan berjalan ke arah Tuan Devan, ia berjalan bak Ratu Kecantikan Dunia sambil terus memberikan senyum termanisnya.
Tiba-tiba.
"Aaaaa"
Bruk!
Aira terjatuh tersandung oleh gaunnya sendiri.
Satu keranjang bunga warna-warni yang ia bawa tampak berserakan.
Devan mengulurkan tangannya berniat membantu Aira.
Aira tampak kecewa melihat bunga yang sudah susah payah ia persiapkan hancur begitu saja. Namun melihat wajah tampan di hadapannya membuat rasa kecewa itu hilang seketika.
"Te.. Terimakasih Tuan Devan." Ucap Aira terbata-bata. Aira menerima uluran tangan Devan.
Devan hendak meninggalkan Aira setelah membantunya.
Aira dengan sigap menghentikannya.
"Tunggu Tuan Devan!"
"Bunga ini sebenarnya untukmu." Aira sambil berusaha memungut bunga-bunga yang masih bisa ia selamatkan.
"Tidak perlu, melindungi kelompok kita adalah tugas kami," ucap Devan.
"Bunga ini bukan untuk merayakan kepulanganmu yang membawa kemenangan." Aira mulai bicara serius.
Devan mendengarkan.
"Duapuluh tahun yang lalu, aku hanya seorang yang tidak berarti. Nyonya Silvia, tadinya tidak percaya untuk menerimaku. Kebetulan Tuan Devan datang dan membujuk Nyonya agar mau menerimaku. Tuan percaya hidupku bisa lebih baik lagi jika tinggal disini. Karena itu aku berkomitmen dan berusaha menjadi seseorang yang lebih baik."
"Jadi?" Devan masih belum puas dengan penjelasan wanita dihadapannya.
"Jadi aku ingin secara langsung mengatakan." Kalimat Aira terputus namun ia berusaha mengumpulkan semua keberaniannya.
"Tuan Devan, Tuan adalah penyelamatku. Aku selalu ingin mengucap terima kasih secara langsung kepada Tuan. Bunga ini, untuk Tuan." Aira menyerahkan keranjang berisi bunga yang ia pungut tadi.
"Tidak perlu." Jawab Devan singkat.
Aira terkejut dengan jawaban pria dihadapannya.
"Aku tidak ingat. Aku sudah tidak ingat lagi," Devan menambahkan.
"Tidak ingat." Aira merasa jatuh dari ketinggian.
"Tuan, aku sudah bersikap tidak sopan." Dengan perasaan hampa Aira berbalik hendak meninggalkan Devan.
"Tunggu!" Devan menghentikan langkah Aira.
Wajah Aira seketika kembali cerah.
Devan membawa satu tangkai bunga di keranjang yang dipegang Aira.
Aira tersenyum malu, seakan bunga-bunga itu bermekaran dalam dirinya.
Devan pergi meninggalkan Aira.
Tanpa sengaja Aira melihat sebuah benda yang jatuh di tanah.
"Tuan, ini kalung mu!" Teriak Aira pada Devan.
"Kamu sudah memberiku bunga ini. Jadi ambil saja!" Ucap Devan masih membelakangi Aira, namun tak lama ia berbalik melihat ke arah Aira.
"Kamu bantu menyimpannya saja!" Ucap Devan kemudian benar-benar pergi meninggalkan Aira.
"Maksudnya, adalah memberikannya kepadaku?" Tanya Aira masih tidak percaya.
"Dia bukan hanya memberikan kalung ini, Tuan Devan juga menerima bungaku. Apakah ini berarti dia juga memiliki perasaan padaku?" Aira senyum-senyum sendiri.
"Tapi dia bilang tidak mengingatku." Aira kembali sadar dengan kalimat itu.
"Ahhhh sudahlah! Tuan Devan!" Aira berteriak memanggil pria yang masih terlihat punggungnya dari kejauhan.
Devan berbalik karena penasaran dengan apa yang akan dikatakan Aira.
"Aku akan mengikuti ujian istana. Aku pasti diterima disana," teriak Aira.
Devan hanya membalasnya dengan senyuman lalu pergi. Melihat senyum Tuan Devan membuat Aira kegirangan. Ia menari-nari disana seakan alam juga ikut bahagia bersamanya.