Bab 4 | Obrolan Dengan Bunda

1562 Words
Rencana Tuhan adalah yang terbaik menurut versi-Nya, walau kadang datangnya penuh kejutan, membuat kita tidak memiliki persiapan, tapi jika Tuhan saja yakin kita bisa melewatinya, kenapa kita tidak yakin? -Ayyara-   ***  Raut wajah gadis itu terlihat sendu menatap langit malam dari balkon kamar kosnya. Ayya sekali lagi menghembuskan napasnya panjang, menatap bintang-bintang yang malam ini bersinar begitu indah, sangat berbeda dengan suasana hatinya yang masih gelisah, sejak kepulangannya dari rumah Fares pagi tadi.   Ayya menatap ponselnya sekali lagi, berniat untuk menghubungi bundanya, hanya saja dia bingung, bagaimana untuk memulai cerita, atau bagian mana saja yang sebaiknya ia ceritakan pada bundanya?   Raut tegas ayah Fares saat mengatakan akan datang ke rumahnya juga terekam jelas dalam otaknya. Ayya takut, justru jika ia tidak menghubungi bundanya. Bundanya akan berpikiran yang bukan-bukan.   "Ah, Bunda, bisa tidak ya, Ayya mencoba membatalkan semuanya?" Ayya menggumam lagi, menarik napasnya dalam dan menghembuskannya panjang. Tapi, mengingat bagaimana ucapan Fares padanya juga statement tegas Bagas, sepertinya keputusan pria paruh baya itu tidak bisa lagi diganggu gugat. Fares juga terlihat sudah tidak memiliki kuasa untuk menantang ayahnya. Ayya bangkit dari duduknya, berjalan menuju pembatas balkon dan menekan nama ibunya di layar ponsel.   "Sayang, kenapa baru menghubungi Bunda, heum?"   Sapaan ibunya membuat Ayya meringis, Ayya memang bukan gadis yang akan menghubungi orang tuanya setiap hari. Dia lebih sering mengirim satu dua pesan hanya untuk menanyakan keadaan rumah.   "Maaf, Bunda."   Hanya itu yang Ayya katakan, membuat Rita hanya tersenyum maklum dengan kebiasaan Ayya yang memang lebih suka mengiriminya pesan setiap hari.   "Tidak apa-apa, kamu pasti sibuk kan dengan kuliah dan kegiatanmu."   "Emmmm, Bunda ...."   Panggil Ayya dengan nada merajuk, membuat Rita mengernyit, tidak biasanya Ayya merajuk.   "Kenapa sayang, apa sesuatu terjadi?"   "Ehehe tidak apa-apa, Bunda. Bunda, dulu Bunda pernah mengatakan jika lebih suka Ayya menikah muda, kenapa begitu, Bunda?"   "Ya Tuhan, Bunda kira ada apa. Kenapa, heum? Kenapa tiba-tiba kamu membahas tentang pernikahan?"   "Iih, Bunda. Kan Ayya bertanya, kenapa Bunda menjawabnya dengan pertanyaan?" Ayya merajuk kesal, membuat Rita terkekeh di ujung sana.   "Sayang, kamu tau bagaimana perasaan Bunda melepas kamu jauh dari rumah? Terlebih di Jakarta. Kota metropolitan, terlalu banyak kejahatan di sana juga pergaulannya yang tidak baik sayang. Setiap hari, Bunda selalu khawatir dengan keadaanmu, tidak ada yang menjagamu. Bahkan, kamu sering pulang malam karena rapat-rapat organisasimu itu kan? Bunda cemas sayang, anak gadis Bunda satu-satunya, ada di tempat jauh dan tidak ada yang menjaganya. Tapi, bunda juga tidak bisa melarangmu pergi, kamu mengejar masa depanmu di sana, Bunda tidak bisa egois."   Rita sudah berkaca-kaca dengan suara menahan tangis, membuat Ayya meringis, tidak pernah tau, jika perasaan orang tua yang membiarkan anaknya pergi jauh, ternyata seperti itu. Bodohnya dia sangat tidak peka, tidak pernah menelpon jika bukan hanya hal-hal yang penting.    Bukan alasan sibuk. Ayya tidak bisa terus menelpon Rita setiap hari. Dia takut, akan menceritakan semua masalah yang ia hadapi di sini.   Dia takut, jika sudah berbicara dengan ibunya, semua hal yang ia alami mengalir begitu saja, yang akan semakin menambah kekhawatiran Rita.   Bahkan, dia menelpon malam ini, berusaha keras untuk tidak lepas kontrol, membiarkan bibirnya berbicara hal yang sebenarnya. Dia hanya ingin menanyakan perihal, bagaimana jika dirinya menikah muda.   "Maaf, Bunda. Ayya justru tidak pernah menelpon Bunda setiap hari, padahal Bunda selalu mencemaskan Ayya."   "Tidak perlu menelpon setiap hari, sayang. Asal kamu selalu memberi kabar pada Bunda atau Ayah, itu sudah cukup untuk Bunda."   Ayya meringis lagi, memang dia selalu memberi kabar setiap hari pada Rita, hanya saja melalui pesan singkat.    "Bunda belum menjawab pertanyaan Ayya tadi," ujar Ayya lagi, karena jawaban akan pertanyaannya belum ia dapatkan dari Rita.    "Yang mana, sayang? Tentang menikah muda? Bukankah kamu sudah mendapat jawabannya? Bunda lebih tenang jika kamu sudah menikah, dengan begitu ada yang menjaga dan memastikan jika kamu baik -baik saja. Terkadang kamu masih suka ceroboh dan kurang memperhatikan dirimu jika sudah memiliki kesibukan. Itu yang selalu Bunda khawatirkan, Sayang. Kegiatanmu justru membuatmu mengabaikan kesehatanmu. Bunda sangat tahu, jika anak Bunda sudah fokus dengan suatu hal, maka semua yang lain akan diabaikan, termasuk kesehatannya sendiri."   Ucapan Rita lagi-lagi membuat Ayya meringis, memang benar. Bundanya seratus persen sangat benar. Ayya selalu mengabaikan hal-hal kecil yang mungkin akan berakibat fatal. Seperti dia yang tau memiliki maag namun masih suka telat makan atau hal-hal kecil lainnya.    "Seriously, Bunda? Bunda menginginkan Ayya menikah muda hanya karena takut Ayya lupa makan?" jawaban Ayya membuat Rita terkekeh.    "Ya itu salah satunya, Sayang. Seperti yang Bunda tadi bilang, Jakarta itu terlalu berbahaya untuk anak gadis Bunda. Bunda lebih tenang jika ada yang menjagamu di sana, jika menikah tentu saja suamimu yang pasti akan menjagamu, kita tidak memiliki satu pun saudara di sana, pun dengan kerabat. Lagi pula, jika kamu menikah, Bunda lebih tenang lagi, kamu tidak akan terjerumus ke lingkungan yang tidak baik seperti pergaulan bebas."   "Tapi Ayya bisa menjaga diri Ayya, Bunda, dan Bunda tidak perlu khawatir dengan pergaulan Ayya di sini. Ayya tidak bergaul dengan anak-anak tidak baik seperti itu. Di sini kami memiliki tujuan yang sama untuk menuntut ilmu, Bunda."   "Bunda tau sayang, Bunda percaya pada anak, Bunda. Hanya saja, ke depannya siapa yang tau? Bagaimana jika sesuatu yang buruk menimpamu? Siapa yang akan menolongmu? Dengan memiliki seseorang yang bisa menjagamu dua puluh empat jam, itu lebih baik dari apapun."   "Jadi, maksud Bunda, Ayya menikah untuk mencari seseorang yang bisa melindungi Ayya? Tanpa perlu cinta dan hal lainnya?"   "Ya Tuhan, Sayang. Bukan begitu maksud Bunda. Saat kamu memutuskan untuk menikah, tentu semua hal termasuk cinta sudah termasuk di dalamnya. Dengan menikah, Ayya akan memiliki rumah untuk pulang, pun dengan suami Ayya kelak, kalian akan saling melengkapi, memberi dan menerima cinta satu sama lain, kehidupan Ayya akan berubah, hidup Ayya bukan hanya tentang Ayya, tapi bagaimana Ayya berusaha untuk membahagiakan suami Ayya.  Ayya tidak lagi sendiri, akan ada seseorang yang selalu bersama Ayya dalam keadaan apapun juga, menikah itu ibadah seumur hidup Ayya. Bunda ingin, Ayya menikah dengan orang yang tepat, yang akan menggantikan Bunda dan Ayah menjaga Ayya, karena seperti sekarang, Bunda dan Ayah tidak bisa lagi menjaga Ayya dua puluh empat jam seperti saat Ayya kecil. Bunda tahu, Ayya sudah dewasa, hanya saja melepas Ayya jauh dari rumah tetap terasa berat bagi kami, karena bagi kami. Ayya tetap putri kecil Ayah dan Bunda yang harus dilindungi dan dijaga."    "Bundaa," Ayya menangis, ucapan Bundanya seolah menjadi tamparan untuknya, dia merasa bersalah, pernikahannya dengan Fares, kehidupan pernikahan mereka tidak mungkin akan seperti itu. Semuanya sudah salah sejak awal, namun baik Ayya maupun Fares tidak ada yang bisa menghentikannya. Dia harus menemui Fares dan mengajak pria itu untuk berbicara sekali lagi dengan Bagas dan Sekar.   "Kenapa sayang? Kenapa menangis, heum?"   "Tidak, Bunda. Ayya hanya terharu saja, bagaimana nanti jika Ayya benar menikah dan Ayya tidak bisa lagi pulang ke rumah?" Ayya terisak-isak, membuat Rita terkekeh.    "Itu sudah menjadi kodrat perempuan sayang, saat kamu menikah, maka ridhomu akan berpindah pada suamimu, dia yang lebih berhak padamu, bukan lagi Bunda atau Ayah."   "Bundaaa," Ayya semakin menangis, membuat Rita ikut menitikkan air mata, membayangkan jika anak gadis satu-satunya itu telah menikah, menjadi lebih dewasa dan bukan lagi miliknya.    "Anak gadis Bunda sudah dewasa ya, jika dulu Ayya bercerita tentang teman Ayya yang nakal di sekolah, kini justru curhat tentang pernikahan pada Bunda," Rita terkekeh dan mengusap air mata di wajahnya.   Rasanya baru kemarin menimang Ayya dalam gendongannya, baru kemarin mengantar Ayya saat hari pertama sekolah, kini anaknya sudah merantau ke kota orang untuk menuntut ilmu.   Memang waktu berlalu cepat tanpa kita sadari, saat menyadari, justru semua kenangan itu membuat kita terharu dan menangis, membayangkan begitu banyak hal yang sudah dilewati hingga ke titik ini.    "Bunda, Ayya sayang sekali pada Bunda dan Ayah. Ayya tidak akan pernah mengecewakan Bunda dan Ayah. Bunda percaya itu kan? Ayya hanya akan selalu memberikan yang terbaik yang Ayya bisa. Bunda percaya kan?"   "Tentu sayang, Bunda percaya. Sangat percaya, karena anak Bunda, Reynata Kyla Ayyara, adalah yang terbaik yang Tuhan berikan untuk Bunda dan Ayah."   "Bagaimana menurut Bunda jika Ayya benar-benar menikah? Maksud Ayya, bahkan jika Ayya belum menyelesaikan study Ayya."   "Kan, Bunda sudah mengatakan, sayang. Itu yang Bunda inginkan, tidak masalah kamu menikah. Toh, itu tidak melanggar hukum atau agama. Bunda lebih tenang jika kamu memiliki seseorang yang akan selalu memastikan kamu baik-baik saja. Kenapa Ayya bertanya seperti itu, heum? Apa Bunda melewatkan sesuatu?"   "Tidak, Bunda. Kan, Ayya hanya bertanya kemungkinan itu. Kita kan tidak tau apa yang terjadi ke depan, bisa jadi Ayya mengatakan tidak ingin menikah muda, tapi jika jodoh Ayya memang datang saat Ayya belum siap, Ayya bisa apa? Kan Bunda yang bilang, rencana Tuhan selalu yang terbaik untuk umatnya, walau kadang datangnya penuh kejutan, membuat kita tidak memiliki persiapan, tapi jika Tuhan saja yakin kita bisa melewatinya, kenapa kita harus tidak yakin? Iya kan, Bunda?"   "Iya sayang, benar sekali. Hidup kan juga tentang ujian. Siap atau tidak siap, jika Tuhan yakin kita bisa melaluinya, kenapa kita harus meragukan diri kita sendiri? Kita punya Tuhan yang akan selalu memberikan pertolongan pada umatnya. Tidurlah, ini sudah malam, besok Ayya ada kelas kan?"   "Iya, Bunda."   Saat sambungan terputus, Ayya kembali menghembuskan napas panjang, menatap langit malam bertabur bintang dengan tatapan sendu juga perasaan yang tidak bisa ia deskripsikan. Semuanya menjadi satu, membuat hatinya semakin takut dan gelisah.   Memikirkan hari esok dan ke depannya, mencoba mencari celah untuk berbicara pada orang tua Fares sekali lagi. Berharap ia bisa membatalkan pernikahan yang direncanakan oleh orang tua Fares karena kesalahan pahaman konyol itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD