PART 1

3644 Words
MENJALANI bulan pertama sebagai perempuan hamil memang tak pernah mudah bagi perempuan manapun. Termasuk Galiya yang benar-benar tak menyukai fakta ini. Siapa yang berharap hamil dalam status janda? Jika ada, mungkin terdapat alasan kuat mengapa orang itu ingin mengandung ditengah fakta dirinya tak bersuami. Sejujurnya Galiya tidak membiarkan begitu saja makhluk mungil di dalam perutnya bisa hidup bebas. Galiya butuh waktu, dan proses yang dirinya rencanakan membutuhkan waktu tak sebentar. Melatari pemandangan dirinya sendiri, Galiya menarik pelan kaus yang dikenakannya di hadapan cermin seluruh tubuh. Demi apapun, permukaan itu masih belum terlihat membentuk lingkaran apapun. Masih ada kesempatan untuk membuatnya benar-benar tidak terlihat. Namun, hati nuraninya sedang berperang sendiri. Bagaimana bisa memusnahkan nyawa yang sudah pasti memiliki aliran darahnya. Bolehkah Galiya menyatakan bahwa dia sedang berusaha membunuh dirinya sendiri? Ini murni kesalahannya dan pria yang tidak dia kira akan sebegini jauh membuatnya terluka. Anandra memberikannya kenangan yang tidak main-main. Selain menjadi satu-satunya pria yang membekas dalam perjalanan cintanya, nyatanya juga pria itu bisa menjadi penyebab kedatangan si kecil  yang sudah Galiya patenkan untuk harus mengalah. Tidak ada yang boleh membuat hubungan Galiya dan Anan saling terkoneksi lagi. Sudah cukup menelan banyak air mata, kehilangan, dan pengorbanan. "Kamu tahu mahluk kecil, aku melakukan ini karena aku mencintaimu. Aku peduli padamu..." Galiya menahan tangisnya, tidak lagi, dia tak mau menangis lagi. "... maafkan ibumu yang bodoh ini, mahluk kecil." * "Untuk perjalanan yang panjang ibu dan bapak bisa menggunakan fasilitas kami..." Anan tak benar-benar mendengarkan apa yang orang bandara itu ucapkan. Setiap kalimat penjelasannya sungguh tidak berharga untuk Anan dengar. Matanya menerawang dinding kaca yang memperlihatkan suasana diluar. Kacau. Anan tidak bisa berdiam diri hanya menunggu waktu yang bicara. Dia membutuhkan kepastian, apa yang sebenarnya terjadi dengan Galiya setelah insiden malam itu. Sudah satu bulan, tapi tak ada kabar yang Anan dengar dari mantan istrinya. Anan sudah memberikan kartu namanya pada Galiya jika saja ada kendala yang tidak diinginkan. Tentu Anan tahu wanita itu tidak akan menyimpan nomor teleponnya lagi setelah perpisahan mereka, tapi setidaknya, seharusnya... wanita itu menyimpan kartu namanya, kan? Jika memang tidak ada apapun yang terjadi, paling tidak Anan ingin mendengar bahwa kecemasannya tidak berdasar sama sekali. "Sebentar, ya, Mbak saya diskusikan dulu dengan suami saya." Tamira menyentuh pundah Anan dan mengajak pria itu keluar ruangan. Dengan uang segalanya menjadi lebih mudah. Tami sudah paham jika suaminya tak ingin terbang menemaninya ke Amerika untuk tujuan modelling perempuan itu, tapi Tamira tidak begitu saja menyerah. "Aku tahu kamu nggak berniat nemenin aku, tapi kita sepakat untuk saling menjaga kepercayaan, kan?" "Apa dengan aku membebaskanmu mengambil apapun yang kamu mau, itu kurang membuat kamu percaya?" balas Anan. Tamira menghela napas keras. "Aku mau kamu perhatian ke aku, Anan!" "Dengan melepaskan kamu dari b******n  itu apa aku nggak perhatian dengan kamu, Tamira?!" desis Anan dengan sedikit membentak. Perempuan yang sudah disayangi oleh Anan sejak mereka kecil hingga kini itu menggeleng pelan, bersiap mengeluarkan jurus tangisnya. Dan sebelum itu terjadi, Anan membawa Tamira menuju parkir mobil. Disana mereka bicara bebas tanpa harus diperhatikan banyak orang. "Aku tahu aku penghancur..." "Tamira! Berapa kali aku harus bilang untuk berhenti seperti anak-anak?! Sudah aku buktikan segala yang kamu butuhkan dan inginkan. Kamu bisa lepas dari b******n itu, dan kamu menuntut aku perhatian. Perhatian yang seperti apalagi?! Sekarang terserah kamu. Terserah. Bawa mobilnya pulang, aku naik taksi." Anandra meninggalkan istrinya di dalam mobil. Kepalanya pusing menghadapi tingkah Tamira. Dia memahami Tami, sangat memahaminya. Tapi Anan seperti tak memahami dirinya sendiri. Kenapa? Dirinya harus melepaskan Galiya demi Tami yang... sudah menjadi sahabatnya sejak kecil. * Makan paginya terganggu karena si makhluk kecil seperti paham situasi untuk membuat sang ibu kesal. Sekali suapan Galiya bisa menelannya dengan baik, begitu selesai rasa mualnya naik dan mengharuskannya memuntahkan menu apa saja yang dicoba Galiya. Berjalan menuju rumah sakit dimana dia akan berkonsultasi ke salah satu temannya yang bekerja sebagai dokter kandungan, Galiya menemukan keterikatan yang aneh. Si makhluk kecil menginginkan menu paginya adalah bakso, yang Galiya ingat sebagai makanan favorit Anan ketika mereka jajan bersama. Sedangkan Galiya memilih mie ayam dan kebetulan ini menyesakkan. "Hm. Kamu suka bakso juga, mahluk kecil?" Galiya mengelap bibirnya menggunakan sapu tangan yang selalu dibawa kemanapun. Mengakhiri makan paginya—yang lebih pantas disebut makan siang—pada jam setengah dua belas siang itu. Kakinya melangkah kuat, percaya diri untuk meminta bala bantuan. Meski dirinya tahu bahwa perbuatan tersebut akan ditolak mentah, Galiya tetap berusaha. "Gue nggak paham kenapa lo mutusin cere kalo lo hamil gini." Galiya diam dengan komentar yang dilayangkan Agustin padanya. Temannya itu tidak benar-benar paham apa yang sedang dirinya alami. Keadaan diam memang lebih menjanjikan ketimbang membalas dengan segala bantahan. "Jadi usianya belum genap satu bulan. Sehat. Detak jantungnya bagus. Tinggal nunggu bapak—" "Gue butuh bantuan, Gus." Agus adalah panggilan kesayangan Galiya untuk teman semasa kuliahnya itu. "Apa? Duit? Kayak sama siapa aja, sih, Gal! Gampanglah masalah biaya check rutin, mah." "Bukan itu, Gus." Agustin menatap bingung. "Terus apa? Lo kalo nggak kepepet biasanya nggak bakal minta tol—" "Gue mau gugurin bayi ini, Gus." Agustin mendadak tercengang. Mulutnya tidak bisa terkatup rapat karena sibuk mencerna ucapan Galiya yang teramat tenang untuk ukuran seorang perempuan yang dikaruniai nyawa titipan dari Tuhan. "Lo tahu, apa yang lagi lo omongin?" Galiya mengangguk. Dari raut yang begitu santai dan normal, Agustin tahu ada yang tak beres. "Pasti ada yang lo sembunyiin dari gue, kan?" Agustin mencoba menerka-nerka, apa hal aneh yang temannya sambungkan dengan keputusan gila tersebut. Ingatannya tajam begitu menghitung nyawa si bayi dengan selisih jarak perceraian. "Tunggu... lo belum bilang kapan tepatnya kalian cerai! Iya... lo belum bilang kapan ke gue. Lo cuma bilang kalo lo udah jadi janda." "Gue nggak bisa cerita sekarang." "Nggak mau tahu! Lo minta tolong sama gue, maka lo harus jujur. Gue harus tahu alasan jelasnya." Galiya berulang kali membuka mulutnya untuk bersuara, tapi tidak mudah untuk dikemukakan. Bayangan dirinya dan Anan yang dalam keadaan tidak benar-benar mabuk malam itu terulang di kepala Galiya. Menimang bahwa dia dan mantan suaminya sudah melakukan kesalahan besar. Nafsu yang menggebu, tatapan yang saling mengadu, serta kesakitan yang mereka lebur menjadi satu... menghasilkan buah. "Kita udah cerai satu setengah tahun lalu, Gus." Kata Galiya, mengakui. "Anak ini... harusnya dia nggak ada. Dia nggak boleh ada, Gus." "Lo gila?!! Mana bisa lo egois gitu, Gal?!! Lo harus bilang sama mantan suami lo, bilang kalo ada nyawa yang harus kalian jaga. Mau dalam ikatan resmi atau nggak, ini menyangkut sisi kemanusiaan!" Ucap Agustin menggebu. "Nggak bisa..." Galiya menggeleng lemah. "Kalo lo nggak bisa bilang, gue yang akan mewakili. Kasih tahu gue alamat rumahnya! Gue kosongin jadwal hari ini—" "Dia udah punya istri, Gus!" Agustin kembali terpaku, tetapi menolak tak membantah. "Kenapa emangnya? Selama bapaknya mau tanggung jawab, nggak akan masalah. Lagian istrinya harus bisa nerima kenyataan kalo suaminya punya anak dari mantan istrinya." "Gue yang nggak mau mereka tahu. Gue nggak mau anak ini nantinya dalam asuhan mereka." Agustin menjambak rambutnya sendiri. "Kenapa, sih?! Apa salahnya?!! Lo bisa—" "Istrinya Anan sekarang... itu Tamira. Sahabatnya sejak kecil." Agustin mengumpat saat itu juga. * Memeluk tubuh Galiya dengan memberikan dukungan melalui kata-kata adalah satu-satunya yang Agustin bisa. "Pikirin baik-baik, gue nggak bisa lihat lo dengan teganya jadi pembunuh anak lo sendiri." Kata Agustin memberi usapan pada punggung temannya. Sedari di dalam ruangan tadi, Agustin tidak mau memberikan rekomendasi  pihak manapun yang bisa menggugurkan kandungan perempuan itu. Teman macam apa memangnya yang akan merekomendasikan hal tersebut? Mungkin ada, tapi tidak termasuk Agustin didalamnya. "Makasih, Gus." Agustin tahu hal tersebut tidak benar-benar tulus dari dalam hati Galiya. Ucapan terima kasih yang penuh dengan ketidak ikhlasan. Agustin tahu temannya itu tidak akan benar-benar mematuhi ucapannya, pasti ada saja cara yang akan Galiya pikirkan untuk menyingkirkan janin dalam perutnya. Apalagi mengingat janin itu berasal dari pria yang ingin dilupakan oleh Galiya. "Gue tahu nggak mudah, tapi yang nggak gue tahu adalah gimana perasaan lo. Kalo lo tetep keukeuh mau gugurin anak itu... jangan minta tolong sama gue. Dan jangan pernah temuin gue lagi, Gal. Ini prinsip gue." Pembicaraan itu ditutup sampai sana. Agustin mengantarkannya hingga lobi utama rumah sakit itu, tidak peduli antrian yang duduk menunggu giliran mereka. Salah satu sikap para dokter yang merasa memiliki privasi lainnya selain mengurus orang yang membayar mahal kemampuan mereka. Meski Galiya mengatakan jangan, Agustin tetap melakukan apa yang mau dilakukannya. "Inget, lo punya pilihan. Tapi jangan pernah panggil gue atau apapun itu ketika lo udah bulat dengan rencana lo." Sekali Agustin mengingatkan temannya itu. Keduanya sekali saling berpelukan, tak memperdulikan keadaan sekitar yang diantara banyaknya manusia di sana ada dua pasang mata yang melihat wajah pucat Galiya dan tertegun. * "Itu Liya, kan, Nan?" tanya Arini yang duduk di kursi rodanya. Ibu Anandra itu selalu perhatian jika ada sosok bernama Galiya. Menantu kesayangan yang selalu menuruti apa maunya, memiliki cara terhalus untuk menolak kemauan Arini yang tak masuk akal bak anak kecil. Menantu yang suka di rumah dengan segudang keterampilannya, bukan menantu yang suka bepergian dan tak memperdulikan ucapannya. "Bawa mama ketemu Galiya, Nan!" kata wanita paruh baya itu. Anandra terdiam di tempatnya, dia tidak membalas ataupun langsung mengikuti apa yang Arini mau. Dia mengamati bagaimana penampilan Galiya begitu berbeda dengan terakhir kali mereka melakukan kesalahan itu. Wajah wanita itu pucat dengan senyum yang selalu dipaksakan. Anan tak tahu siapakah perempuan yang berulang kali memeluk dan mengusap bahu mantan istrinya itu. Seingat Anan, Galiya jarang keluar rumah hanya untuk menemui temannya. Wanita yang teramat disiplin berada di rumah itu memang tidak lagi membebaskan diri semenjak mereka menikah. "Anan!" Arini menepuk punggung tangan putranya dan mendongak. "Ayo, cepet! Nanti keburu Liya pergi." "Ma... kita nggak bisa menemui Galiya gitu aja." "Kenapa?! Mama yang mau ketemu, bukan kamu! Lepas kursinya, mama bisa sendiri kesana!" Arini masih keras kepala untuk menemui Galiya. "Cepet lepas kursi mama, Anan!" Anan membiarkan Galiya menjauh, supaya ibunya tidak  bisa menjangkau langkah wanita yang masih begitu dicintainya itu. Anan tahu dia akan membuat Arini menangis jika dilarang menemui Galiya, sosok putri  tak kandung yang begitu dicintai. "Anan... mama kangen sama Liya. Kenapa kamu tega begini...." Dan benar saja, Arini mulai menangis. "Ma..." Anan berjongkok di depan mamanya. "Ibu Arini? Kenapa menangis, Bu?" "Agustin! Kamu kenal sama menantu ibu? Yang tadi bicara sama kamu." Agustin kebingungan. "Mak-- maksudnya... Galiya, Bu?" tanya Agustin yang dijawab dengan anggukan semangat dari Arini. "Galiya... dia menantu ibu?" Anan mengambil alih. "Maaf dokter... Agustin. Sebenarnya Galiya mantan istri saya—" "Oh! Jadi lo Anandra yang suaminya Galiya itu?! Lo yang harusnya tanggung jawab, kan?! b******n itu lo!!!" Seketika saja suasana ricuh dengan ucapan kasar Agustin yang spontan saja. "Tanggung jawab? Tanggung jawab apa, Nan?" Arini mendongak pada putranya dan bergantian pada Agustin yang wajahnya sudah memerah karena amarah. * Pecah sudah semua tangis Arini. Menantu yang sudah dia sayangi begitu dalam, terpaksa dipisahkan darinya dengan alasan demi kebaikan bersama tanpa tahu bahwa alasan sebenarnya sangat tidak masuk akal. Putranya ingin menyelamatkan seorang sahabat masa kecil demi kelangsungan hidup perempuan itu, tapi justru menenggelamkan biduk rumah tangganya yang sangat positif kacau dengan semua rancangannya. Agustin dengan baik hatinya membawa permasalahan itu ke ruangan yang lebih manusiawi. Dia masih memiliki hati super baik dengan menyembunyikan aib tersebut dari banyak orang-orang yang lalu lalang di rumah sakit tersebut. Ekspresi pertama yang Arini berikan adalah bingung. "Tapi... tapi Galiya dan putra saya sudah tidak tinggal di satu atap yang sama." Arini mencoba untuk tidak berpikiran buruk, tapi nyatanya memang fakta tersebut sangat buruk. Bagaimana bisa seorang Anandra yang dirinya besarkan dengan sangat baik, sopan, ramah, dan keras(dari ayahnya) menjadi begitu sangat sembrono dengan m*****i seorang mantan istri yang sangat dicintai keluarga mereka. "Maafin aku, Ma." Agustin mendengus keras mendengar pengakuan tersebut. Meminta maaf pada Arini saja tak akan cukup rasanya. Yang sangat dirugikan saat ini adalah Galiya. Bagi teman yang dimintai segala bantuan mengenai keadaan si kecil di dalam perut Galiya, Agustin tidak terima. "Minta maaf ke bu Arini? Buat apa Anandra?! Yang Anda hamili itu Galiya, bukan mama Anda!" kecam Agustin dengan begitu menggebu-gebu. Bodohnya memang dia mengucapkan fakta tersebut di depan Arini yang sudah terlampau tua dan seharusnya tidak mendengar banyak kalimat kasar. Untungnya Arini memiliki sense  yang hampir serupa dengan Agustin, jadi wanita baya itu justru mendukung ucapan Agustin dengan sama menggebunya. "Minta maaf sama Galiya! Tanggung jawab atas perbuatanmu sendiri! Mama nggak mau cucu mama dilahirkan dalam keadaan yang begini!" Agustin kembali mengambil alih pembicaraan dengan menghentikan ocehan Arini mengenai kelahiran bayi yang Galiya kandung. "Maaf sebelumnya, Bu Arini. Tapi Galiya sudah berniat mencari seorang kenalan dokter untuk menggugurkan kandungannya." Arini langsung terserang stres saat itu juga. * Berulang kali Galiya membiarkan nomor yang tak dikenal itu menelepon ponselnya yang aktif. Berulang kali, bahkan banyak pesan masuk yang menanyakan keberadaannya. Galiya tidak tertarik untuk membalasnya. Dengan melihat apa kalimat yang masuk saja Galiya paham bahwa Anandra yang menghubunginya. Kamu dimana? Galiya kita harus bicara. Begitu seterusnya kira-kira kalimat demi kalimat yang Anan serukan dalam pesan. Dan tidak hanya sekali dua kali, tapi berulang kali dirinya diteror dengan kalimat yang sama. Meski pria itu belum mengungkapkan apa keinginan utamanya menginginkan waktu untuk bertemu, tapi Galiya bisa merasakan jika Anan tahu sesuatu mengenai janin yang ada dalam perutnya. Kalau sudah menyangkut si mahluk kecil, bagi Galiya semua tidak akan mudah-mudah saja untuk dilakukan. Apalagi bagi mereka yang statusnya sudah berpisah. "Makhluk kecil... aku nggak ingin bertemu dengan dia. Apa kamu dengar? Aku nggak ingin bertemu dengannya. Kamu harus membantuku." Galiya berusaha mendapatkan dukungan dari si makhluk kecil yang belum bisa mendengar suaranya. Kita ketemu, atau aku yang memaksa mencari tahu rumahmu yg skrang dari anak buahku? Itu lebih berbahaya lagi. Kalau Anan tahu tempat tinggalnya sekarang, semua bisa hancur. Anan paling tak suka dengan rumah yang menurutnya tidak memenuhi kualifikasi untuk ditinggali, dan saat ini Galiya menempati tempat yang tidak masuk dalam kualifikasi pria itu. Bisa saja Anan menghalalkan segala cara untuk membuatnya pindah jika tahu keadaan Galiya yang serba sederhana saat ini. Jalan Roastat tmpt makan seberang hotel. Aku tunggu disana jam 5. Begitulah akhirnya. Galiya tetap harus menuruti pertemuan ini agar Anan tak berusaha menemukannya sendiri. * Galiya tahu keputusan ini adalah keputusan yang sama gilanya seperti ketika dirinya belajar untuk melepaskan Anandra dan tidak mempertahankan pria itu untuk dirinya sendiri. Galiya berupaya menarik diri, mengira dengan begitu maka dia akan menjadi pihak yang memenangkan. Seribu sayang, Galiya mendapatkan surat perceraian. Berulang kali dirinya menyadarkan jiwa yang dia miliki sendiri dengan menjadi lebih kuat. Namun, yang dia lakukan justru sebaliknya. Dia menjadi perempuan lemah yang menyembunyikan diri padahal dia yakin tak akan salah sama sekali jika melakukan tindakan memiliki Anan seutuhnya. Tempat makan yang dirinya pilih saat ini tidak lebih mengesankan dari setiap tempat yang mereka pilih saat masih bersama dulu. Setiap lalu lalang orang-orang yang melewati hotel hingga setiap deretan toko oleh-oleh disana memiliki kisah sendiri bagi Galiya yang selama satu setengah tahun ini selalu mencari pekerjaan serabutan. Mengingat pekerjaannya yang tak menentu, tetapi harus memiliki tanggung jawab baru... rasanya berat bagi Galiya. Meski uang dari mantan suaminya masih mengalir deras, Galiya sudah benar-benar menutup akses bagi pria itu untuk berhubungan dengannya lebih jauh. "Kamu nggak memesan apa-apa?" Anandra datang, bertanya langsung seolah mereka baik-baik saja dan tak canggung untuk saling bicara. Kejadian satu bulan yang lalu pun tidak bisa mendekatkan mereka. Kecanggungan yang terjadi bahkan lebih parah ketimbang disaat mereka harus berhadapan di dalam satu kamar yang sama. "Mau bicara apa?" sahut Galiya tanpa menjawab pertanyaan Anan. "Aku mau kamu makan, Galiya." "Aku ingin segera istirahat di rumah." Anandra tahu dia sudah sangat keterlaluan. Membuat wanita itu datang tanpa dijemput saja membuatnya kesal, tapi mengingat keras kepalanya Galiya dalam bertindak, Anan tak mau wanita itu malah semakin berlari jauh. "Aku yang akan memesan kalo begitu." Kalimat pendek demi kalimat pendek meretas diantara mereka. Sesekali dijeda dengan setiap ketidakpercayaan diri mereka sebagai pasangan yang sudah berpisah dengan kisah yang belum sepenuhnya usai. Menunggu hingga menu yang Anan pesan datang, Galiya tidak bisa duduk diam setelah itu. Dia langsung beranjak ke kamar mandi setelah satu persatu hidangan ditata di meja mereka. Anan tahu itu adalah proses dimana anak mereka sedang berusaha menyusahkan sang ibu. Sang pelayan memandang bingung tapi tak banyak bertanya. "Mbak boleh saya minta teh hangat?" kata Anan sebelum si pelayan pergi. "Iya, Pak." Galiya dan dirinya tidak akan bisa bicara jika wanita itu harus menahan gejolak mual yang terus datang. Begitu datang, Galiya duduk dengan tenang. Meski begitu, pucat dari warna bibirnya sangat terlihat. Baju yang Galiya pakai sontak saja mendapat atensi dari pengunjung yang melihatnya berjalan tadi. Ini restoran yang tak berada di bintang atas, tetapi orang-orangnya lebih sok menilai setiap pakaian yang para pengunjungnya datangi. Begitu mata mereka melihat Anan yang berpenampilan sangat rapi dan tertata, mereka semakin memberikan tatapan cemooh. "Makan, Galiya." Ucap Anan yang menyadari wanita itu menunduk karena tatapan orang lain ke arah meja mereka. "Aku nggak nafsu makan disini. Kamu saja." Anan tidak menolak dan membuat perdebatan dengan mantan istrinya, dia mengamati dari sudut matanya dan yakin jika Galiya mulai merasakan keinginan untuk menyantap hidangan tersebut. "Tehnya, Pak." Untuk kali ini, begitu Anan menyerahkannya ke arah Galiya tidak mendapat tolakan sama sekali. Perut Galiya terasa tenang dan nyaman. Mualnya juga berangsur berkurang. Begitu porsi makan Anan terselesaikan, Galiya menatap heran dengan banyaknya makanan yang tidak habis. "Mau kamu buang?" "Hm. Buat apa? Kamu nggak mau ikut makan." Mau tidak mau Galiya mengisi piringnya dengan segala lauk pauk yang pria itu pesan. Begitu banyak dan anehnya Galiya tak merasa ragu untuk melanjutkan suapan demi suapan setelahnya. Bahkan ratapan Anan tidak membuatnya berhenti untuk menyuapkan porsi lainnya hingga semua menu yang pria itu pesan habis tak tersisa. Diam-diam Anan menahan senyumannya. Dia benar-benar suka dengan sikap Galiya yang sangat menggemaskan seperti ini. Menjawab tak mau, tapi pada akhirnya dia yang menghabiskan. Sangat lucu. Begitu selesai, Anan berdehem guna mengambil banyak kesempatan memulai. "Apa... kamu menyimpan kartu namaku?" tanya Anan memulai setelah Galiya menghabiskan teh hangatnya. "Buat apa? Aku nggak punya kepentingan apapun dengan kartu nama yang kamu kasih." "Kamu harusnya menghubungi aku jika sesuatu terjadi, kan? Aku sangat berharap kamu jujur sedari awal dan menghubungi aku—" Galiya bisa menyimpulkan bahwa Anan tahu mengenai kehamilannya. Sudah pasti. Pembahasan pria itu sudah merambat kesana. "Darimana kamu tahu?" "Aku mau meminta maaf atas semua kesalahanku, Gal. Tapi aku mohon jangan limpahkan kesalahan itu pada anak kita." Kata Anan langsung. "Aku yang salah... aku—" "Untuk apa kamu meminta aku nggak menggugurkannya?" Sepertinya akan sangat sengit pembicaraan mereka ini. Dan Anan maupun Galiya tidak berniat mengalah untuk mempertahankan ego mereka masing-masing. * "Aku nggak ingin kamu menggugurkan anak kita. Itu yang ingin aku katakan, Gal. Tapi bahkan aku belum mengatakannya, kamu sudah nggak mengizinkan dia hidup." Kata Anan dengan tak menaikkan sudut bibirnya sama sekali. Dia bahagia melihat dan bertemu Galiya, tetapi bukan dengan hal seperti ini. Bayangan ketika wanita yang masih bertahta di hatinya itu memeluknya dengan erat, menyebut namanya, menerimanya sebagai seorang pria membuat Anan merasakan ironis sekali. Jika ada yang mengatakan lelaki tak menangis, salah besar. Anan tak pernah absen menangisi kekacauan yang terjadi dalam hidupnya. Saat Galiya tak menghubunginya, padahal ada nyawa yang tercipta dari perbuatan mereka... rasanya sangat menyakitkan. "Dia nggak bisa hidup dalam keadaan begini." Galiya membalas. "Dia pasti mengerti dengan keputusan yang akan aku ambil. Dia nggak bisa hidup dengan kesalahan yang orangtuanya buat." "Kamu anggap anak kita kesalahan?" Galiya tahu hatinya tak begitu kuat jika menyinggung darah dagingnya sendiri, tetapi membiarkan janin itu tetap hidup... Galiya akan semakin merasa bersalah karena harus membiarkannya lahir dan melihat ayahnya yang tak akan memberikan kasih sayang yang utuh untuknya. Membayangkan hal tersebut, berulang kali, Galiya tak suka. Bahkan dia benci membayangkan bagaimana kehidupan yang akan sang anak tanggung jika Galiya keras kepala membesarkannya sendiri. "Hidupku sudah sulit, aku nggak akan membuatnya ikut kesulitan bersamaku." Jawaban yang keluar dari keinginan Anan itu menjawab segalanya. Alasan dibalik keinginan Galiya untuk membunuh nyawa mereka sendiri. Anan seperti tersambar petir yang panas hingga menghancurkan hatinya sendiri. Karena siapa hidup Galiya sulit? Karena siapa hidup Galiya tidak lagi tenang? Karena siapa wanita itu berani memutuskan menghabisi nyawa seorang bayi tak bersalah? Anan tak berharap dengan menyinggung uang yang selalu dirinya berikan pada Galiya ke rekening wanita itu. Sebagai seseorang yang pernah dan mungkin akan selalu menjadi sosok terdekat bagi Galiya, materi adalah hal yang akan menyinggung wanita itu sangat dalam. Belum lagi kehilangan kedua orangtuanya adalah hal terberat yang harus dialami. "Aku harus bagaimana supaya kamu nggak melakukan itu, Galiya? Katakan... apa yang harus aku lakukan?" Wanita itu mendorong kursinya ke belakang hingga beberapa pengunjung melihat ke arah meja mereka berada. Tatapan tajam Galiya menjelaskan jika wanita itu tak suka pada Anan yang memohon. "Jangan memohon! Itu yang harus kamu lakukan. Nggak ada hal lainnya yang bisa kamu lakukan untuk mengubah keputusanku." Setelahnya, Galiya buru-buru pergi dari sana. Anan tentu saja tak tinggal diam, dia mengejar langkah wanita yang ingin sekali dia rengkuh dalam pelukannya itu setelah buru-buru membayar pesanannya. "Galiya! Galiya! Dengarkan aku dulu, Gal." Gerimis sedikit demi sedikit turun merintikkan air yang sama sekali tak membuat Galiya gentar untuk menghindari Anandra. Panggilan pria itu juga tidak digubris hingga Galiya nekat berlari. Dia tahu bahwa Anan akan sangat panik dan membuat pria itu berhenti karena tak mau Galiya pergi dengan berlari dan membahayakan janin yang Galiya kandung itu. "Aku nggak akan berhenti berusaha, Gal!" Kalimat terakhir yang Galiya dengar sebelum Anan benar-benar berhenti mengejar Galiya yang tak akan mau berhenti sekalipun perutnya sakit dan lelah. Tangisan Galiya pecah begitu dia mengambil langkah untuk berhenti disalah satu g**g yang sempit dan kecil. Dia bisa mengeluarkan tangis lebih dulu sebelum melanjutkan langkah pulang. Makhluk kecil... maafkan aku. * "Apa kamu berhasil membawa Galiya pulang?" tanya Arini begitu semangat melihat putranya kembali ke rumah. Sayangnya wanita itu seperti tak melihat wajah lesu Anan yang menunjukkan betul jawaban apa yang tertera. "Anan! Apa yang kamu lakukan sampai nggak berhasil membawa Liya pulang?!" tuntut wanita itu. "Kamu mau melihat mama mati lebih cepat?" "Ma! Jangan bicara sembarangan begitu!" "Kalo kamu memang nggak mau mama bicara begini, harusnya kamu juga bisa membawa Galiya kembali ke rumah ini!" "Siapa yang harus kembali ke rumah ini, Mas, Ma?" tanya Tamira yang melihat bagaimana anak dan ibu itu saling mendebat. Arini dengan cepat memutar kursi rodanya sendiri untuk memasuki kamar Sedangkan Tamira mengamati suaminya dengan wajah bingung. "Kenapa, sih, Nan? Kenapa mama marah sama kamu kaya gitu? Ada masalah?" Anan tak membalik tubuhnya dan hanya menjawab, "Aku mandi dulu di atas. Kamu kalo mau makan sudah ada ditempatnya yang biasa." Rumah tangga yang aneh. Rasa yang tak ada dalam hubungan tersebut nampak jelas. Tamira dengan bodohnya bertahan dan meminta tolong pada Anan yang jelas-jelas begitu mencintai istrinya. Dengan segala cara, apapun yang dia lakukan... semua tak ada gunanya. Semua orang di rumah itu hanya peduli, menerima, dan mencintai satu nama; Galiya. Entah bagaimana, tapi semuanya terasa menyakitkan baginya sahabat masa sejak kecilnya Anandra. "Galiya... kenapa kamu terus menjadi pengganggu rumah ini?" gumam Tamira.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD