{ 02 } Your Wife

1087 Words
Karena banyak yang nggak tahu dimana sih klik love itu? Jangan lupa Klik tanda bentuk jantung terlebih dulu sampai berubah jadi warna putih, untuk pengguna Handphone agar masuk ke dalam library kalian  Untuk pengguna komputer cukup klik tulisan ADD menjadi ADDED yaa :D Nikmati dan jangan lupa Appreciate juga karyaku yaa , Terimakasih:* Selamat membaca :)  { 02 }  . . . "Ari?" Panggilan itu lagi, wajah cantiknya menengadah tanpa sadar. Memperlihatkan air mata yang turun dari maniknya. Memandang kedua manik kecoklatan itu cemas. "Kau menangis?" Suara yang meningkat, tubuh tegap itu berjalan cepat menghampirinya, menaruh kotak obat-obatan di atas meja. Dapat Ari rasakan sentuhan hangat jemari Liam menghapus air matanya, manik itu terpejam seakan meresapi sentuhan sang suami. Kedua tangannya perlahan terangkat dan berusaha menggenggam erat tangan Liam. "Liam,” Ari kembali menangis terisak, mengucapkan nama suaminya berulang kali. "Kenapa kau menangis seperti ini? Ceritakan padaku. Akan kukirim orang yang berani membuatmu menangis ke penjara sekarang juga." tukas Liam, dengan wajah mengeras. Rengkuhan hangat mengukung tubuh wanita itu, memeluk erat. Sementara Ari menangis kecil, hancur sudah semuanya. Sifat dingin yang menurun sejak dulu, langsung menghilang saat melihat wajah suaminya. Hanya Liam-lah yang mampu membuat Ia seperti ini. Menangis terisak, dan gemetar takut. Ingin sekali Ari mengatakan semua ketakutannya, menangis sepuas mungkin, dan meminta tolong pada Liam. Tapi tidak bisa, Ia tidak bisa membahayakan keselamatan Liam. Nyawa laki-laki ini bisa terancam kalau sampai sang ayah tahu siapa dia sebenarnya. Sosok laki-laki paruh baya itu amat sangat menyeramkan. Ari menggeleng pasrah dalam pelukan, "Jariku sakit Liam, perih sekali," Menggunakan jemari yang terluka sebagai alasan. Ari memeluk tubuh Liam erat, membenamkan wajahnya di d**a sang suami. "Sesakit itu? Sampai kau menangis seperti ini?" "Sakit--perih Liam, aku tidak tahan," Menggigit bibir bawahnya keras, mengeratkan genggaman pada baju yang dipakai Liam, terasa sangat menenangkan. Air mata sudah cukup membasahi pakaian laki-laki itu. "Ssh, sudah jangan menangis. Ayo kuobati," Mengelus puncak kepala Ari, Liam mengecup kening wanita itu lembut. Menarik pelan tubuh sosok yang masih memeluknya. Dengan air mata yang masih jatuh, Ari mengulurkan jari telunjuknya. Darah mengucur pelan dari sana. Luka yang tidak seberapa dibanding hatinya saat ini. Laki-laki itu membuka kotak obat, mengambil beberapa antiseptik di dalamnya. Berhubung mengobati luka merupakan hal yang sangat sulit baginya. Jadi yang bisa Ia lakukan hanya membubuhi antiseptik pada luka Ari, dan menempelkan sebuah band-aid untuk menghentikan pendarahan. Ari masih menangis, memandang gerak-gerik Liam yang terlihat sangat kerepotan saat mengobatinya. Hati wanita itu bertambah perih, Liam terlalu baik untuknya. Dia yang hanya seorang pembunuh kejam, tidak pantas mendapatkan laki-laki seperti Liam. Bagaimana bisa seorang Komandan Kepolisian bersama dengan seorang pembunuh? Manik Ari memburam saat melihat cengiran kecil yang diberikan Liam padanya. Tangisan itu bertambah, isakan mengencang. Tanpa aba-aba, setelah Liam menyelesaikan tugasnya, "Nah, selesai-" Ari kembali memeluk tubuh tegap itu, memeluk lehernya erat. Membuat sang empunya terheran-heran. Ia terisak keras, "Terimakasih banyak,” Mengucapkan kalimat demi kalimat. Limit Ari sudah tidak bisa ditahan lagi. Dengusan kecil muncul, Liam tertawa kecil, "Kh, kau ini kenapa? Sikapmu aneh sejak tadi." Mengabaikan ucapan suaminya, Ari melepaskan pelukan. Membiarkan air mata mengalir dari pelupuk, dan langsung saja tanpa Liam sadari, "Aku sangat-sangat mencintaimu, Liam. Kau tahu kan?” Bibir mungilnya mencium bibir Liam lembut, kembali laki-laki itu tersentak kaget. Istrinya yang pemalu memulai ciuman? Tentu saja dia kaget. "Ari-" Tidak dapat berkata-kata, manik yang masih terbuka menatap bagaimana Ari menutup kedua matanya, dengan air mata yang masih turun deras, dan mencium Liam lembut. Tidak tahu apa yang terjadi, dapat Liam rasakan getaran tubuh wanita itu. Perasaan aneh berulang kali meresapinya. Keadaan Ari sangat aneh dari hari biasa. Wanita itu biasanya selalu tersenyum dan malu-malu jika berada di hadapan Liam, tapi sekarang. Apa yang Ia lihat? Tangisan, tubuh yang gemetar ketakutan seolah-olah kalau mereka akan berpisah saat ini juga. Bergerak perlahan, kedua tangan itu menangkup puncak kepala Ari. Membawa ciuman mereka semakin dalam, Liam membalasnya dengan lembut. Melumat bibir bawah istrinya, membuat wanita itu mengerang. Mengeratkan genggaman yang perlahan merambat ke rambut Liam. Meremas pelan- Ciuman yang lambat laun berubah alur, berubah menjadi panas. Lenguhan kecil dari Ari mampu membuat Liam teralih, laki-laki itu berusaha memasukkan lidahnya, mengajak wanita itu untuk beradu. Menjilat, mengeksplorasi serta mengabsensi gigi dan seluruh isi mulut Ari. Menciptakan decakan, lenguhan, dan erangan yang keluar lembut dari istrinya. "Liam-nghh," Menangis dalam ciuman, Ari mengerang kecil. Mempererat pelukan, sampai-sampai diA tidak sadar kalau kini tubuh tegap di hadapan Ari perlahan mulai membaringkan dirinya. Membuat Ia tertidur di atas sofa. Jemari Liam perlahan melingkar di pinggang ramping Ari, dan salah satunya lagi berjalan naik, menghapus air mata Ari, "Kau kenapa? Sikapmu aneh hari ini, Ari," Melepas ciuman singkat, sebelum mendengar respon wanita itu, Ia kembali menciumnya. Semakin dalam, membuat tangisan Ari bertambah kencang. Wanita itu mulai kehabisan pasokan udara, Liam tidak mengijinkannya untuk lepas. "Bernapaslah," Memberi syarat, Ari bernapas saat mereka masih dalam keadaan menyatukan kedua bibir. Air liur yang tidak bisa ditahan perlahan menetes, "Sakit Liam," Menangis, air liur yang turun terhapus lembut oleh jemari Liam untuk yang kesekian kali. Tangan kekar itu kembali turun, turun menghapus air mata di pipi Ari, perlahan turun kembali menghapus air liur yang menetes, dan berjalan menuju leher jenjang sang istri. "Kenapa kau menangis? Terluka kecil tidak mungkin membuatmu seperti ini." Kembali berucap, melepaskan ciuman mereka. Liam memandang tubuh Ari yang kini terbaring di hadapannya. Mengecup kedua manik itu. Sedangkan Ari menggeleng kecil, pikirannya bertambah kacau. Ciuman pada jenjang leher, membuat tubuh Ari menegang. Wanita itu reflek memeluk tubuh Liam kembali, membawa wajah Liam bersidekap di depan dadanya. Memeluk bagaikan boneka, napasnya tak teratur. Ini harus Ia lakukan. Keselamatan Liam kini bergantung pada Ari. Entah apa yang akan dilakukan ayahnya jika dia berani menolak pekerjaan ini. Akan ada banyak pembunuh lain yang mengincar suaminya. Dia tidak mau!! Ari sudah memikirkan semua rencananya, jika membunuh Liam Ia tak mampu. Maka satu-satunya cara adalah menggunakan benda itu, dengan cepat, tangannya yang masih terbebas, tanpa sepengetahuan Liam. Mengambil sebuah suntikan. Menancapkan benda itu tepat di leher suaminya. “Maafkan aku, Liam.” . . . "A-Ari?" Liam merasakan sesuatu yang tajam mengenai lehernya. Perlahan dapat Ia rasakan tubuh itu melemas. Saraf tidak dapat Ia gerakan. Tubuh Liam bagaikan seonggok daging yang tidak bisa digerakan sama sekali. "Maafkan aku." Suara dingin yang perlahan-lahan merebak, menegangkan tubuh sang empunya. Merinding, dapat Ia rasakan jemari dingin Ari menyentuh pipinya. Membuat Liam menghadap, memandang wajah wanita itu. Manik itu terlihat menghitam. Tidak seindah warna amber yang pernah Ia lihat sebelumnya. "A-apa yang kau lakukan?" Salah satu tangannya bergerak perlahan menyentuh bagian leher. Mengabaikan pertanyaan Liam, tubuh wanita itu beranjak dari bawah suaminya dengan hati-hati. Membaringkan tubuh Liam di atas sofa. Memandang laki-laki itu dengan tatapan datar. Tidak ada lagi senyuman atau tangisan seperti tadi. Tapi tetesan liquid bening masih tersisa di pipinya. Kedua tangan Ari mengepal keras, "Sudah saatnya kau tahu siapa aku sebenarnya, Wiliam." Tidak ada panggilan seperti biasanya lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD